13. Little Hope
Buatan : Rinne2702
G
enre: friendship, slice of life
Sub Genre: minor romance(?)
Mimpi: Penulis
***
Mimpi? Mimpiku sangatlah sederhana.
.
.
Atmosfer merayapi dengan hening di balkon tersebut. Manik obsidian gadis itu masih saja bergerak dengan cepat, sambil membolak-balikkan kertas. Begitu tenang dan damai, hingga dia dapat berkonsentrasi dengan penuh-
"NATSUMIIII!!!!"
-oke. Tolong diralat. Dia tak pernah mengalami yang namanya damai dan tenang kalau suara itu masih sampai di telonganya.
Natsumi mengangkat kepalanya, dengan bibir yang sedikit melengkung ke bawah. Menampilkan ekspresi yang tidak senang kepada laki-laki yang telah meneriaki namanya itu.
"Tck. Tak bisakah kau diam untuk sejenak, Natsuki?!" Dia menggerutu kesal. Nyaris saja buku yang di pegangnya dilempar ke kepalanya.
Natsuki hanya memasang cengiran khasnya. Tidak peduli dengan omelan gadis itu, walaupun dia telah dengan santainya melompati balkon yang berjarak beberapa senti saja dari balkon rumahnya.
Baiklah. Akan dijelaskan secara singkat bahwa Natsumi membenci Natsuki. Oh, tidak. Dia tidak mau hidupnya layaknya film romansa klise membosankan yang ada di televisi. Tapi, yahh ... sifat Natsuki yang sekarang ini, memicu adanya kehidupan klise tersebut.
Padahal, di sekolah dia terkenal sebagai anak yang pendiam dan kalem. Ada yang bilang bahkan dia yang terpintar-walaupun dia merasa tidak terlalu setuju dengan pendapat terakhir. Tapi, sepertinya image anak baik itu runtuh seketika saat dia menempati rumah baru yang bersebelahan dengan laki-laki bandel tersebut.
Yah. Takdir memang kejam. Bahkan, kenapa namanya harus mirip dengan Natsuki?! Oh, ayolah. Sudah jelas pemuda itu jahil akut dan berisik tingkat dewa dan bukanlah saudara sedarahnya. Masa harus disamakan dengannya yang lebih senang akan ketenangan dan kedamaian?
Terkutuklah orang yang sudah memberikan namanya dan Natsuki dengan mirip.
"Ayolah, Natsumiii!! Aku bosan di rumah!" rengeknya, yang menurut Natsumi tampak seperti rengekan perempuan.
"Tch." Natsumi mendecih pelan dan menutup kasar novelnya. "Kalau mau main kan, masih ada teman-temanmu yang lain!"
Natsuki bungkam. Namun, dua detik kemudian, dia memasang senyum miring.
Dengan lirikan yang setengah tidak niat, gadis itu menyahut, "Apa?"
Natsuki hanya mengendikkan bahu, "Tidak. Aku hanya mengingat kalau kau jarang sekali didekati oleh teman sekelas. Padahal kau orangnya baik."
Natsumi tersenyum miris, tidak menyangkal fakta kalau dirinya memang sering memojok di kelas. Bukannya dia tidak berteman dengan yang lain, namun entah kenapa teman-temannyalah yang tampak seperti menjaga jarak dengannya.
Dia mengalihkan pandangannya kembali ke novelnya, seakan tidak peduli dengan perkataan Natsuki tadi.
"Lah? Kok, diem?" Natsuki sepertinya malas akan keheningan yang dibuat Natsumi.
"Aku nggak akan menyangkal kalau kau berkata seperti itu." Natsumi mengakui dengan secuil rasa berat hati.
"Sepertinya, yang lain hanya memanfaatkan kepintaranmu untuk menyontek saja," komentar Natsuki. "Kenapa kau patuh saja kepada mereka, sih?"
"Aku hanya mengikuti arus."
Natsuki terdiam selama beberapa detik, "...kenapa?"
Natsumi meliriknya sekilas. Kenapa? Pertanyaan yang begitu sederhana, bukan?
"...entahlah."
Ya. Dia tidak tahu. Dia juga tidak pernah mengerti kenapa dia patuh saja terhadap mereka, walau di dalam hatinya ia merasa begitu risih dan jengkel.
"Hahh ... aku benar-benar tidak mengerti tentangmu," keluhnya pelan.
"Aku tak pernah menyuruhmu untuk memahamiku," balas Natsumi enteng. "Lalu? Kenapa kau kemari?"
"...tidak tahu."
DUAGH!
Sebuah buku melayang dengan indahnya menuju kepala Natsuki. Pemuda itu malah cengar-cengir, sedikit merintih kesakitan.
Natsumi memberikan sebuahdeathglare, "PERGI SANA!"
***
"Sudah kukatakan berkali-kali! Jangan menuju rumah wanita jalang itu!"
PLAK!
Sebuah tamparan menghampiri Natsumi yang tengah menunduk. Gadis itu menggigit bibir, memaki dalam hati.
"Maaf ...." Natsumi berucap pelan, walaupun dalam hatinya, ia benar-benar tidak sudi mengatakannya. Padahal ibunya tidak ada kesalahan apa-apa! Ayahnya saja yang egois! Terlalu buta pada harta hingga ibu pun dibiarkannya!
Ayahnya hanya mencampakkannya tanpa rasa iba sekalipun, seraya meninggalkannya "Dasar anak yang tidak berguna!"
"Khh ...." Tangannya memukul lantai. 'Sialan ....'
Bulir air bening jatuh dari matanya, "Ayah brengsek ...."
.
.
"...mi-chan?"
"...atsumi-chan!"
"HEII! NATSUMI-CHAN!"
"AH! IYA?! ADA APA?!" Lamunannya buyar seketika saat namanya terpanggil dengan begitu lantangnya, sampai-sampai ia refleks berteriak.
"Huuhh .... Natsumi-chan bengong terus." Sahabat satu-satunya Natsumi-Aira-mengembungkan pipi.
"Ehehe ...." Natsumi hanya menunjukkan sebuah cengiran. "Bukan apa-apa, kok."
Siang itu, Natsumi sedang berkunjung ke rumah Aira untuk mengerjakan tugas kelompok. Berhubung tugasnya sudah selesai dan yang lainnya sudah pulang, Natsumi bersantai sejenak di rumah Aira. Aira juga tidak mempermasalahkannya. Toh,orangtuanya sudah mengenal baik bagaimana seorang Natsumi itu.
Aira mengerutkan dahi sejenak, kemudian menghembuskan napas berat, "Kalau kau punya masalah dari tadi, bilang saja, deh."
"Eng ... bukan masalah berat, sih."
"Ayahmu berulah lagi?"
Natsumi bungkam, walaupun bibirnya masih saja tetap tersenyum.
"Hentikan senyuman palsumu itu, Natsumi-chan." Aira menatapnya datar. "Kau bisa berteriak sepuasnya kepadaku."
"Sedikit masalah, sih." Senyuman masih belum terhapus di wajahnya, walaupun Aira tahu itu hanyalah senyum palsu yang begitu sempurna.
Aira bungkam, tidak mau membahasnya lebih lanjut karena ia mengerti apa yang terjadi kepada kehidupan Natsumi. Broken home. Orangtuanya bercerai hanya gara-gara harta warisan. Dia pun sudah mengenal gadis bersurai cokelat gelap itu dari kecil. Dia benar-benar mengerti sifat dan tipikal gadis itu. Wajahnya memang selalu memasang senyuman, tapi kedua matanya jelas saja bertolak belakang dari luarnya.
Aira tahu, Natsumi ingin sekali berteriak kesal. Memaki-maki ayahnya yang terlalu mementingkan harta. Bahkan, prestasi Natsumi pun dimanfaatkannya. Sama seperti teman-teman sekelasnya yang memanfaatkan kepintaran Natsumi hanya untuk menyontek. Aira bukan iri atau apa, tapi melihat hal itu jelas saja dia risih dan jengkel. Maunya mendapat sesuatu yang bagus, tapi usaha saja tidak mau.
"Kabar ibumu baik-baik saja, kan?" tanya Aira.
"Um. Tempat tinggalnya agak jauh dari rumahku, tapi aku masih bisa berkunjung sesekali," ujar Natsumi, mengangkat cangkir tehnya. "Penghasilannya juga lumayan untuk menghidupi diri sendiri."
"Syukurlah kalau begitu." Aira tersenyum, mengalihkan topik. "Omong-omong, kau baik-baik saja kan, dengan Natsuki?"
Barusan Natsumi menegak tehnya, refleks saja tersedak.
"Reaksimu tersedak terus." Aira terkekeh. "Bertengkar lagi?"
"Dianya saja yang ganggu aku terus," dengus Natsumi. "Lagian, kenapa kau membicarakan hal ini, sih?! Tidak ada topik lain?!"
"Sayangnya enggak ada." Aira nyengir. "Lagian, kamu dengan Natsuki kan, bertengkar terus, tapi dekat. Saingan, tapi juga teman."
"Jangan berpikiran yang aneh-aneh, ah. Ini bukan film romansa tahu, yang tokoh utamanya membenci peran utama laki-laki, lalu jadi suka. Enggak. Itu nggak akan terjadi."
"Hati-hati, lho. Benci bisa jadi-"
"Sudah. Kubilang. Aira." Natsumi menekankan kalimatnya. "Jangan samakan realita dengan film klise. Realita itu nggak semanis imajinasi."
"Lah? Bisa jadi juga, kan?" Aira tertawa keras.
"Nggak, ah. Kalaupun misalnya-masihkalau, ya-aku punya rasa ke dia dan pacaran, malas banget aku ngurusinfans-nya. Ribet kalau jadi orang terkenal," ujar Natsumi malas.
"Baiklah, baiklah. Natsumi nggak suka Natsuki. Haduhh ... nama kalian mirip lagi."
"Ulangi lagi, kulempar bukumu ke kepalamu juga."
Aira kembali tertawa, sementara Natsumi memutar bola matanya dan mau tak mau ikut tersenyum juga.
"Ah. Sudah jam segini. Lebih baik aku cepat-cepat." Natsumi buru-buru membereskan barang-barangnya.
"Eh? Sudah mau pulang?" Terselip nada kecewa dari pertanyaan Aira.
"Um. Aku sudah janji untuk makan bersama ibuku. Ayahku pasti sedang pergi sekarang." Natsumi tersenyum. "Tenang saja. Untuk hari ini, aku sudah menyiapkan alasan."
***
"Okaa-san! Tadaima!"
Natsumi membuka pintu dengan wajah riang tanpa beban. Gadis bersurai cokelat gelap itu mengulum senyum ketika Ibunya keluar dan mendapati kalau putrinya telah datang.
"Okaerinasai, Natsumi-chan." Sang Ibu-Naoko-menyambutnya dengan hangat, membuat Natsumi tersenyum semakin lebar. Dia memang jarang sekali mendapatkan sapaan hangat keluarganya, terutama ayahnya. Sanak saudaranya rata-rata tinggal jauh dari mereka, jadi Natsumi bersyukur masih bisa memiliki seorang ibu yang baik hati dan penyayang.
Sebenarnya, Natsumi ingin sekali kabur dari rumahnya itu. Namun, ibunya tetap bersikeras untuk tinggal di rumah lamanya. Ibunya tak ingin sekali anak satu-satunya itu terluka-walaupun hal itu berat untuk dilakukan.
Naoko berpendapat, Natsumi anak yang baik. Sangat baik, malah. Walaupun dia jarang mendapatkan perhatian orangtuanya, dia tidak pernah melakukan hal-hal kotor, seperti merokok, keluar malam, dan sebagainya. Naoko memang merasa bersalah karena jarang memperhatikan anaknya tersebut, namun apa daya jika takdir membuat keluarganya jatuh dalam keadaan terpuruk.
Kalau boleh jujur, Naoko tidak pernah melamar suaminya itu atas dasar cinta. Hanya saja, keluarga terpandang dari suaminya membuatnya harus menikahi orang itu. Mau tak mau, tulus atau tidak, mereka sudah terikat. Dikekang.
Naoko mengerti sekali dengan perilaku suaminya-Nishiya. Dia memang seperti pada anak bangsawan lainnya. Manja. Serakah. Memiliki ego yang tinggi. Jadi, jangan heran kenapa dia begitu buta kepada hartanya semenjak perusahaan keluarga mereka bangkrut.
"Padahal, kamu tidak perlu datang ke sini setiap hari, Natsumi-chan." Naoko tersenyum, sedikit merasa bersalah karena gadis itu selalu mendapatkan kekerasan fisik dari ayahnya apabila ketahuan kemari.
Natsumi menggeleng sambil tetap fokus akan masakan yang dibuatnya, mengingat waktu makan siang sudah dekat. "Aku tidak masalah, kok. AsalkanOkaa-san dapat hidup tenang, aku sudah cukup bahagia."
"Tapi, kamu juga memiliki kebahagiaan tersendiri, kan? Jangan terus menerus mengurusi orang. Urusilah dirimu sendiri. Jangan memaksakan untuk melakukan hal yang berada jauh dari jangkauanmu."
Natsumi diam sejenak, kemudian menoleh ke arah Ibunya dengan senyuman, "Ini sudah hakku untuk memutuskan."
Naoko tersenyum balik, tidak bisa menangani anaknya yang satu ini. Dia terlalu keras kepala, seperti biasa.
"Tapi, setidaknya kamu memiliki sesuatu yang kamu inginkan, bukan? Sesuatu yang ingin kamu jangkau, sesuatu yang ingin kamu lakukan.Okaa-san baik-baik saja, kok." Naoko berujar. "Baiklah. Sekarang Okaa-sanmau menanyakan sesuatu. Apa mimpimu? Okaa-san tidak perlu hal-hal muluk kepada mimpimu. Cukup suatu hal yang benar-benar ingin kau capai."
"Hmm ... entahlah." Natsumi mengendikkan bahu. "Aku tidak pernah memikirkan mengenai cita-cita."
"Tidak boleh seperti itu, dong." Naoko mengalungkan tangannya ke leher anaknya dari belakang, seraya menepuk-nepuk kepalanya. "Kamu juga harus punya mimpi. Okaa-san dengar, kamu juga menulis cerita di salah satu situs internet, bukan? Apa keinginanmu dari cerita tersebut? Hal yang benar-benar di dasari oleh hatimu."
"Aku hanya melakukannya karena kesenanganku sendiri, kok." Natsumi tersenyum malu, mengingat dia hanya mem-publish cerita tersebut dengan modal nekat dan penjelasan deskripsinya masih acak-acakan. EYD dan tanda baca memang sudah rapi, tetapi deskripsi tidak. Alurnya saja begitu lambat.
Naoko meluncurkan tawa pelan, "Yahh ..., berharap saja ceritamu bakalan dibukukan. Okaa-san yang akan membaca untuk pertama kalinya cerita karanganmu itu."
Natsumi terkekeh, "Aku tidak perlu hal-hal muluk sampai dibukukan. Asalkan pembacanya senang dan menghargainya, aku tidak masalah."
"Tuh, kan. Kamu memang cocok jadi penulis."
"Enggak juga kali, Okaa-san!"
"Ara, ara. Malah malu-malu." Naoko tertawa akan reaksi anaknya tersebut. "Deskripsinya memang kurang, tetapi fantasinya sudah masuk, kok. Romansanya juga begitu."
"Akhhh!! Jangan dibicarakan, Okaa-san! Ceritaku masih acak-acakan!"
"Eh? Dan darimana kamu bisa mengerti hal tentang cinta begitu? Kamu sudah mengalaminya, ya? Sama siapa, hayo?" Naoko langsung teringat satu-satunya nama yang dikenalinya. "Dengan Natsuki-kun, ya? Anak Okaa-san sudah besar, ya!"
"Enggak kali, Okaa-san! Aku dengan Natsuki enggak kayak gitu! Dianya saja yang nyebelin!" Natsumi menggerutu kesal akan godaan ibunya itu.
"Ehh? Tapi, biasanya kalau anak laki-laki suka jahilin anak perempuan, laki-laki tersebut memiliki ketertarikan kepada perempuan, lho!"
"Enggak mesti gitu juga, Okaa-san! Di kelas banyak yang jahilin aku, tetapi nggak punya perasaan seperti itu, kok!"
"Tapi kan, Natsuki-kun itu jahilin kamu, tetapi dia benar-benar peduli denganmu!"
"Natsuki enggak kayak gitu, kok! Darimana pedulinya?!"
"Lah? Dia yang sering ngajarin kamu tugas, yang sering bantu kamu. Masa itu dibilang nggak peduli?"
"Tapi, kan ...."
Dan ujung-ujungnya, rumah itu dipenuhi peperangan tidak mau kalah antara ibu dan anak.
***
"Mimpi ..., ya ...?"
Setelah peperangan dan makan siang bersama tersebut, Natsumi buru-buru pulang ke rumahnya. Untunglah ayahnya sama sekali belum menginjaki rumahnya di kala itu, jadi dia bisa bebas.
Walaupun begitu, malamnya ia sempat-sempat kepikiran akan ucapan ibunya tersebut.
Mimpi? Apa yang dimimpikannya?
Dia tidak pernah bermimpi lagi semenjak perceraian orangtuanya. Dia lebih mementingkan masa depan ibunya, dibandingkan dirinya sendiri.
Sejak kecil, ia pernah terpikir untuk menjadi guru. Namun, entah mengapa, sekarang ia paling malas untuk menjadi pengajar. Jika ditanya alasannya, dia malas mengurus hal-hal berkaitan nilai, soal, dan sebagainya. Memusingkan banget.
Lalu? Apa mimpinya?
Dokter? Dia saja takut dengan darah.
Pramugari? Pilot? Tidak, tidak. Dia benci ketinggian.
Chef? Dia kurang suka memasak.
Polisi? Aturannya terlalu ketat.
"Hahh ...." Natsumi menghembuskan napas lelah. "Rasa-rasanya, aku seperti tidak memiliki tujuan hidup saja ...."
"Tujuan hidup apa?"
Natsumi nyaris menjerit ketika mendapati Natsuki berada di sisi tempat tidurnya. Dia segera duduk dan memasang wajah datarnya.
"Ngapain kamu ke sini?"
"Ingin mengerjakan tugas."
"Mengerjakan atau menyontek?" dengus Natsumi. "Ambil saja tuh, bukunya di meja."
"Padahal, memang mau mengerjakan bersama."
"Tapi, kau senang, kan?"
Tentu saja dengan senang hati, Natsuki mengambilnya dan menyalinnya tanpa rasa beban sedikit pun.
Keheningan ruangan tersebut kembali hadir. Tidak butuh waktu lama Natsuki menyalinnya karena hanya terdapat 25 soal pilihan ganda.
"Omong-omong." Natsuki berujar. "Ada apa dengan tujuan hidupmu?"
Natsumi tersenyum miring, "Ibuku bertanya kepadaku tentang mimpiku."
"Lalu?"
"Ya, begitu."
"Kau tidak punya mimpi?"
Natsumi menggeleng.
"Tidak sama sekali?"
Dia kembali menggeleng.
"Pfftt ...."
"Tertawa saja sesukamu."
Dan bertepatan dengan itu, Natsuki tertawa keras. "Nggak punya mimpi sama sekali? Yang benar saja!"
Natsumi mengerucutkan bibir, "Terserahmu saja. Memangnya, apa mimpimu sendiri?"
"Aku punya dua mimpi. Mimpi pertamaku itu menjadi pelukis."
"Yahh ... itu wajar saja, sih." Natsumi mengelus tengkuknya. "Gambaranmu memang keren."
"Tulisanmu juga bagus, kok." Komentar dari Natsuki membuat Natsumi terkejut.
"Kau tahu darimana?!"
"Huh? Bukannya kau memiliki ID yang memakai nama penamu itu? Aku iseng saja cari di Google, dan BAM!" Natsuki nyengir. "Cerita fantasi tersebut dikisahkan bahwa-"
"AKHH! Hentikan itu!"
"Kenapa? Ceritanya bagus. Penulisannya juga rapi." Natsuki bergumam. "Walaupun aku kurang suka yang bertema roman, tetapi aksi-fantasinya bagus. Semoga saja dibukukan."
"Tuh, kan. Komentarmu saja sama seperti ibuku."
"Memangnya kamu nggak mau?"
"Yahh ... rasa-rasanya juga mau. Tetapi, asalkan ceritaku sudah dihargai, itu lebih dari cukup."
"Nah! Kau sudah menyatakan harapanmu tadi! Memang sih, hanya harapan kecil, tetapi itu kan, sudah termasuk tujuan!" seru Natsuki menggebu-gebu.
"Semangat sekali. Padahal, itu kan, mimpiku." Natsumi mau tak mau menyunggingkan senyum. "Lagipula, aku juga tidak terlalu memperhatikannya. Ibuku yang sekarang lebih penting."
"Yahh ... siapapun yang memiliki sifat rendah hati sepertimu itu pasti akan memikirkan hal tersebut. Selalu memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri." Natsuki terdiam sejenak. "...kau ..., tidak pernah berpikiran kalau orangtuamu berbaikan?"
"Aku inginnya seperti itu. Tapi ..., mengingat sikap ayahku yang seperti itu, aku tidak yakin." Natsumi merendahkan suaranya. "Ditambah lagi, ayahku lebih banyak mabuk-mabukkan di luar sana. Jadi ...."
Natsuki hanya mengangguk mengerti.
"Dan ... bagaimana dengan mimpimu yang kedua?" tanya Natsumi penasaran.
"Hmm? Ah, itu ya." Natsuki tersenyum misterius. "Belum bisa kuberitahukan sekarang."
"Hehh ...." Natsumi hanya bisa bergumam. "Lalu kapan?"
"Setelah mimpi pertamaku terwujud ..., mungkin?"
"Memangnya kita bisa bertemu lagi selama itu? Belum tentu aku memasuki univertas di tempat yang sama!"
"Lah? Bisa jadi, kan?" Natsuki hanya menunjukkan cengiran. "Ah, dan satu lagi."
"Hmm?"
"Sepertinya aku akan mengikuti suatu kontes nasional." Ia memberikan sebuah lembaran pamflet.
Natsumi membacanya sejenak, kemudian maniknya terbuka dengan binar, "Keren! Ini kan, kejuaraan yang bisa membuatmu masuk ke internasional! Kau mendaftar?"
"Tidak. Aku ... diundang. Ketika festival seni kemarin."
Natsumi mengguncang-guncangkan tubuhnya, "Kau. Harus. Lolos."
"Oh, astaga. Tidak perlu seantusias itu, kali."
"Intinya, aku akan mendukungmu!"
"Iya, iya."
***
Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Ketika kontes itu berlangsung, Natsumi ikut menemaninya secara diam-diam bersama Aira. Dan tepat pada saat musim gugur kala itu, dia resmi menjadi seorang pelukis tenar di daerahnya.
Keluarga Natsumi mulai berangsur-angsur baik. Ibunya pelan-pelan untuk membicarakan hal ini dengan ayahnya-walaupun pada awalnya ia tahu bahwa tidak ada yang berjalan dengan baik di awal. Kemungkinan besar pun, pernikahan orangtuanya juga kembali dilaksanakan.
Waktu memang terasa cepat. Tidak terasa pun, ia harus memilih jalan masa depannya. Yahh ... Natsumi memang paling bingung ketika memilih jurusan apa di bidang mata kuliahnya. Beruntung pada suatu hari, sebuah surat mengejutkan dari UCL-London-mengatakan bahwa ia berhasil lulus dari beasiswa. Kedua orangtuanya dan Aira sekalipun mengucapkan selamat dengan rasa senang dan haru.
Sebulan berlalu, dan keberangkatan Natsumi pun tiba. Dia diantar oleh keluarganya menuju bandara. Ibu dan ayahnya sempat memberikan pelukan hangat serta berbagai nasehat. Keluarga Aira yang mengikuti pun ikut mengucapkan salam perpisahan.
Natsuki? Ah. Semenjak dia lulus dari kontes tersebut, dia memang agak sibuk. Namun, dia dapat memaklumi hal itu dan berkata baik-baik sa-
"Akhirnya sempaaatt!!"
Natsumi segera berbalik, tidak mempercayai suara yang di dengarnya. "Natsuki?!"
"Bagaimana ...? Tunggu. Bukannya kamu sibuk mengurusi kuliahmu yang akan datang?"
Natsuki menunjukkan sebuah cengiran, dan tangannya mengacak-acak tatanan rambutnya yang sudah rapi tadi.
"Aku membolos sedikit ketika istirahat tiba."
"Demi-apa-apaan itu?! Tesnya berlangsung hari ini, tahu!"
Ya. Walaupun Natsumi berkata seperti itu, ia dapat merasakan sesuatu yang membuncah di dadanya. Entah kenapa ..., dia merasa begitu senang.
"Doakan aku menyusulmu."
Natsumi hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Selamat tinggal. Dan ... aku-"
"...."
Kalimat itu membuat Natsumi membeku. Natsuki berbalik, mengucapkan salam perpisahan tanpa dosa. Namun, ia yakin pendengarannya tidaklah salah.
Lamunannya terhenti ketika pemanggilan keberangkatan pesawat tersebut. Samar-samar, ia masih dapat mengingat apa yang diucapkannya ketika pesawat mulai lepas landas.
"Dan ... aku mencintaimu, Natsumi."
Padahal, dari dulu ia selalu meyakinkan diri bahwa dia tidak akan pernah menaruh rasa kepada pemuda itu. Kenapa sekarang ... seakan sedang ribuan kupu-kupu menggelitiki perutnya?
***
Enam tahun kemudian.
"Akhh ... bosannyaaa ...."
Natsumi terus menerus mengeluh, memutari sudut kota. Liburnya sama sekali tidak menyenangkan. Dia terlalu malas untuk keluar sekarang, namun entah kenapa firasatnya ingin terus berjalan.
Omong-omong, dia masih menetap di London. Kuliahnya selama beberapa tahun itu cukup berjalan mulus. Namun, selama semester kedua, ia memutuskan untuk berhenti. Dia memang tahu, kalau kuliah memang tidak cocok untuknya, dan lebih memilih untuk tinggal di apartemen sederhana di sudut kota. Natsumi memilih untuk mengambil pekerjaan sampingan sebagai penulis novel. Beruntung novel pertamanya kala itu langsung melonjak menjadi best seller, dan ia menerbitkan begitu banyak buku. Sekarang, ia juga diundang untuk mendapatkan pekerjaan honor menjadi sebuah editor di salah satu pembuat film animasi yang terkenal.
Namun, liburan kali ini benar-benar membosankan.
"Hahh ...." Natsumi menduduki di salah satu bangku yang disediakan di tepi sebuah taman. Entah kenapa, ia mendadak rindu dengan segala hal yang ada di Jepang.
Berbicara tentang Jepang, ia masih tetap berkomunikasi dengan keluarganya. Aira-selaku sahabatnya-berkali-kali meneleponnya dengan alasan rindu akan kecerewetannya, yang membuat Natsumi sweatdropseketika. Yahh ... ia juga tidak merasa keberatan, sih.
Jangan membicarakan tentang Natsuki. Setelah keberangkatannya pun, ia tidak pernah sekalipun menghubunginya. Apa dia terlalu canggung untuk berbicara dengannya?
"Permisi, Nona. Anda menganggu pekerjaan saya."
Natsumi refleks menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pemuda mengenakan kacamata hitam menunjuk ke arah kanvas yang tak jauh darinya.
"Ah, maafkan ... aku?" Natsumi terhenti sejenak. Tunggu sebentar. Rasa-rasanya ia begitu familier dengan suara ini.
"Lho? Natsumi, ya?"
"Natsuki?!"
Keduanya tercengang ketika mendapati kembali bertemu. Oke. Natsumi ingin menepis jauh-jauh akan imajinasinya layaknya di salah satu adegan novel miliknya.
"Etto ... hisashiburi?" Natsumi mengulurkan tangan dengan senyuman.
"H-halo." Natsuki masih menunjukkan sebuah cengiran-walaupun Natsumi sedikit menyadari bahwa ia tengah gugup.
Astaga. Sebegitu ingatnyakah ia tentang pernyataannya yang begitu mendadak waktu itu?
"Bagaimana kabarmu? Kenapa tidak menghubungiku?"
"Yaa ... begitulah. Aku sibuk. Ditambah lagi, aku menjadi ilustrator. Lumayanlah." Natsuki ikut duduk di sampingnya. "Aku sedang ingin mencari latar yang pas. Jadi, aku memutuskan untuk jalan-jalan."
"Sejak kapan kamu ke London? Kok, nggak beritahu aku, sih?!"
"Informasinya mendadak sekali, tahu." Natsuki mengacak-ngacak rambut gadis itu. "Kalau begitu, agak telat, sih. Tapi, selamat. Kau sudah menjadi penulis. Ketika aku mendengarnya, aku buru-buru membeli novelmu itu."
"Ahh ... kalau begitu, terima kasih." Natsumi tersenyum. "Oh, dan Natsuki. Soal pernyataanmu waktu itu-"
"Astaga! Jangan ingatkan aku dengan kejadian semacam itu!" pekik Natsuki, menutup wajahnya yang mendadak memerah.
Ya ampun. Natsuki memang payah dalam hal ini.
Natsumi meluncurkan sebuah tawa, "Ya Tuhan .... Aku juga tidak mau membahas hal itu, kok. Paling-paling kamu sudah punya yang lain."
"Tidak."
"...eh?" Natsumi mengerjapkan mata. "Tidak sama sekali?"
"Hmph." Natsuki memalingkan wajahnya.
"Astaga .... Apakah aku sebegitu langkanya sampai-sampai kau tidak bisa menaruh hati kepada siapapun?" Natsumi mendecak.
Natsuki tidak kunjung membalas.
Gadis itu mengambil napas banyak-banyak, memantapkan hati untuk berkata sebuah kalimat tersirat. "Baguslah kalau begitu."
Natsuki menaikkan alis dengan bingung.
"Aku suka dengan orang yang setia." Natsumi mengakui dengan sungguh-sungguh.
Apa itu sebuah jawaban?
Baiklah. Natsuki ingin terbang ke langit ke tujuh sekarang juga, mengingat mimpi keduanya adalah menjadi miliknya.
-fin-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top