SI BAPAK DAN EMAK CURIGA
Prilly merangkak di tempat tidur menyusul Ali yang kini sedang membaca buku bisnis tebal dengan kacamata bacanya. Ketampanan bapak ini tak pernah pudar meski sudah berumur. Prilly bersandar di dada bidangnya dan ikut membaca.
"Pa?" panggil Prilly pelan untuk mengawali obrolan mereka.
"Hemmm ... ada apa?" tanya Ali menutup bukunya dan melepas kacamatanya, bersiap mendengarkan keluh kesah sang istri.
Beginilah kegiatan mereka sebelum tidur, mengobrol tentang apa yang terjadi seharian tadi, selama Ali bekerja, begitu sebaliknya, Ali menceritakan apa yang terjadi saat tadi dia bekerja. Dari hal yang kecil hingga hal yang penting. Mungkin saja bagi sebagian orang pembahasan hal sepele itu tak penting, namun bagi mereka sesuatu yang sepele itu dapat menjadi sesuatu hal yang penting untuk dibicarakan.
"Tadi Agatha berantem lagi di sekolahannya," adu Prilly manja sudah nyaman berada di dada Ali.
Ali menghela napas dalam, bukan kali ini saja dia mendengar kabar itu. Sudah sering kali Ali mendapat laporan demikian.
"Heran sama anak-anak kita, Mam. Yang cowok nggak pernah kedengaran berkelahi, bahkan punya pacar aja, kita belum pernah denger. Yang cewek, malah kayak anak cowok, sering banget berantem. Dulu kamu ngidam apa sih?" gumam Ali heran memeluk istrinya.
"Nggak tahu, apa hubungannya sama ngidam? Tapi nih ya Pa, tadi tuh si Digo bawa cewek ke sini, begitu Mama tanya, apa mereka pacaran, eh, malah keduanya salah tingkah dan nggak ada yang jawab. Mama curiga deh, pasti mereka ada apa-apanya." Perkataan Prilly itu seolah-olah meyakini jika antara Digo dan Sisi sedang menyembunyikan sesuatu dari mereka.
Ali tersenyum geli setiap Prilly menaruh kecurigaan kepada anak-anaknya. Memang harus begitu, jika ingin mengetahui lebih dalam tentang anak-anak. Karena apa yang dilakukan anak di luar rumah, itu lepas dari pengawasan orangtua, jadi kita berhak mencurigai apa pun yang mereka lakukan di luar sana. Dengan pendekatan sebagai teman mereka, adalah solusi terbaik untuk mengetahui hal apa saja yang sudah mereka alami selama lepas dari pengawasan orangtua.
"Kamu ini, curigaan banget sama anak." Ali mengelus kepala Prilly dan mencium pucuk kepalanya mesra.
"Nggak curiga bagaimana sih, Pa? Usia Digo itu sekarang sudah 21 tahun, lebih malah. Tapi, pacaran belum pernah. Mama jadi takut, kan sekarang zamannya suka sesama jenis Pa."
"Hus! Asal kalau bicara. Papanya genteng, normal, masa anaknya seperti itu. Amit-amit jabang bayi." Ali mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri. "Jangan sampai terjadi itu Mam," imbuhnya.
"Ya iyalah Pa, amit-amit banget!!! Tapi tadi itu dia bawa pulang cewek, Pa. Cantik deh anaknya," ujar Prilly bersemangat menceritakan hal tak biasa baginya itu.
Karena bagi mereka itu suatu yang langka, soalnya Digo selama ini belum pernah sekalipun berpacaran. Pernah dulu waktu SMA dekat dengan seorang gadis, namun sayang, gadis itu menolak cinta Digo. Dari situlah, kepercayaan diri Digo menjadi berkurang jika dekat dengan lawan jenis. Berbeda jauh dengan Ali saat masih muda. Dia selalu yakin dan percaya diri, jika suatu saat akan membina rumah tangga bersama Prilly, meski dulu sempat mereka menjalin hubungan dengan pacar masing-masing, tapi pada akhirnya, Tuhan menjodohkan mereka untuk menjadi suami istri, bahkan orangtua bagi kedua buah hati mereka. Memang manusia manapun tak akan pernah mengerti dan memahami rencana Tuhan yang begitu indah, meski prosesnya panjang dan kadang rumit.
"Iya kah? Cantiknya melebihi Mama nggak? Gawat kalau itu sampai terjadi," goda Ali menyeringai genit.
"Iiiiih Papa, mulai genit deh. Ah males," rengek Prilly mencubit perut Ali dan mencebikkan bibirnya.
"Aw enak, lagi dong." Ali semakin menggoda istrinya sembari tertawa kecil.
Keromantisan mereka tak pernah pudar, justru semakin lekat saat usia mereka dewasa. Menjadi orangtua tak menghalangi mereka untuk selalu bersikap romantis dan mesra. Hal itulah yang selalu diperlihatkan kepada anak-anak mereka, sebagai contoh agar suatu saat nanti anak-anak mereka akan memperlakukan pasangannya sebaik mungkin, seperti mama papanya yang selalu menjaga keharmonisan rumah tangga mereka.
"Papa, Mama serius ah! Jangan bercanda," tegur Prilly.
"Iya Mam, serius nih. Terus Mama tanya apa lagi sama gadis itu?" Akhirnya Ali menanggapi serius pembicaraan Prilly.
"Tanya sih Pa, tapi dia malu-malu meong gitu. Bikin Mama gemes sama tuh anak." Prilly membayangkan wajah Sisi yang malu-malu hingga pipinya merah ketika Prilly bertanya tentang dia dan Digo.
"Siapa namanyanya?" tanya Ali sembari jarinya mengelus-elus bagian tubuh Prilly, hingga sekujur tubuh Prilly merinding mendapat perlakuan demikian dari Ali.
"Sisi," jawab Prilly setengah mendesah karena tangan Ali menyelusup ke balik piyamanya.
"Namanya aneh banget. Kalau orang Jawa 'Sisi umbelmu disek. Gilo aku weroh deleweran nek irungmu'." Ali tertawa menirukan bahasa Jawa sekaligus logatnya.
Prilly ikut tertawa keras hingga terbahak. "Astogfirulloh Haladzin, Papa jorok. Jangan begitu, nama seseorang itu bermakna bagi kedua orangtuanya. Papa nih," tegur Prilly mencolek perut Ali kecil.
"Astogfirulloh Haladzin, maaf Mam, soalnya denger namanya lucu sih," bela Ali pada dirinya sendiri. "Terus, apa rencana Mama?"
"Mama mau mendesak Digo, buat mengaku sama Mama, sebenarnya ada hubungan apa di antara mereka?" Prilly menirukan pembawa acara infotainment Silet, menekan setiap kata dengan tatapan mata yang tajam.
"Terus soal Agatha?" tanya Ali yang juga ingin mengetahui perkembangan anak gadisnya itu.
Prilly menegakkan tubuhnya dan mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu, seolah-olah sedang berpikir keras.
"Ini Pa, yang Mama masih selidiki. Sebenarnya ada apa dengan anak ini? Kenapa sikapnya di sekolah dan di rumah beda ya? Masa sih anak kita memiliki kepribadian ganda? Kalau di rumah jadi gadis feminim kalau di sekolahan jadi tomboy. Tapi nggak mungkin! Ada apa ya?" Prilly terus menerka-nerka kejadian yang selalu dialami Agatha di sekolahannya sesuai laporan para guru hingga pembimbing konseling.
"Sudahlah, besok saat sarapan kita tanyakan langsung sama anaknya." Ali menarik Prilly agar merebahkan tubuhnya.
Tanpa aba-aba, Ali menindih tubuh Prilly dan berbisik, "Main yuk!"
"Ayuk!" sahut Prilly bersemangat langsung menghimpit tubuh Ali dengan kedua kakinya.
***
Di pagi hari yang cerah, sang surya mengintip dari ufuk timur. Perlahan sinarnya semakin meninggi. Prilly sudah berkutat di dapur bersama seorang ART. Dari pagi buta dia selalu sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Sebuah tangan kekar melingkar di perutnya dan kecupan di pagi hari mendarat di pipinya.
"Pagi istriku," bisiknya lembut di samping telinga.
"Pagi suamiku," balas Prilly mencium pipi Ali.
Ali melepaskan pelukannya karena Prilly terlihat begitu sibuk mengaduk nasi goreng. Seorang ART menggoreng telur di sebelahnya, sudah .
"Mbak Nita, setelah semua siap, tolong ambil ayam di frizer, terus direndam ayamnya ya? Dimasak nanti, untuk makan siang," titah Prilly seraya mematikan kompor.
"Baik Nyonya," jawab Nita seorang ART muda, berpenampilan lugu dan rajin bekerja.
Prilly mencuci tangannya dan menghampiri Ali, sedang duduk menunggunya di meja mini bar. Dia memakaikan dasinya, lantas membuatkan sang suami kopi susu.
"Anak-anak belum ada yang bangun nih, Pa?" tanya Prilly mengaduk kopinya dan membawa ke meja mini bar, di depan Ali.
"Nggak tahu, sudah pada besar, tapi kalau suruh bangun susah. Harus emaknya dulu bikin keributan di rumah, baru mereka melek," ujar Ali, lantas menyeruput kopinya perlahan.
Prilly tersenyum dan mengambil panci serta sendok sayur. Bersiap untuk mengeluarkan jurus kesehariannya.
Teng ... teng ... teng ... teng ....
"Agathaaaaaaa!! Digooooooo!" pekiknya keras hingga melengking memekakkan telinga.
Ali menutup telinganya, dan tersenyum, menggelengkan kepalanya. Ini adalah pemandangan setiap pagi bagi Ali, kecuali di hari libur.
"Sudah kan? Sebentar lagi juga akan turun," ucap Prilly melirik Ali dan tersenyum menggoda.
Ali terkekeh lantas membuka korannya, sembari memerhatikan istrinya yang masih sibuk di dapur, dia menikmati kabar berita hari ini, sambil menyeruput kopi susu.
"Pa, besok lusa Digo membayar uang ujiannya. Papa datang ke kampusnya, bicarakan apa saja yang dibutuhkan Digo. Sekalian lunasi semua pembayarannya," ujar Prilly sambil membuatkan susu untuk anak-anaknya.
"Cepet banget sudah mau ujian? Kayaknya baru kemarin masuk," sahut Ali menutup korannya dan memerhatikan Prilly menghidangkan nasi goreng dan susu di meja makan.
Dia kembali berjalan ke dapur, seraya mengobrol dengan sang suami mengenai pendidikan anaknya.
"Papa aja yang terlalu sibuk bekerja, sampai-sampai nggak terasa anak mau lulus S1. Tapi, itu lebih bagus kan, dia bisa membantu Papa kerja di kantor setelah ini," ucap Prilly sudah menyelesaikan tugas memasaknya dan sarapan juga telah tersaji.
Urusan mencuci alat masak dan membereskan dapur, Prilly serahkan kepada ART.
"Iya, tapi Papa pengen Digo melanjutkan S2-nya," kata Ali beranjak dari duduk, memindahkan kopi di meja makan dan kembali duduk di sana.
Prilly mengambilkan nasi goreng untuknya, serta tak ketinggalan telur goreng mata sapi sebagai pelengkap.
"Tapi kan sekarang nggak bisa langsung begitu Pa. Sebelum ambil S2, mereka harus sudah memiliki pengalaman kerja 2 tahun. Memangnya apa rencana Papa, mengenai S2 Digo?" tanya Prilly, sudah memahami jalan pikiran suaminya.
Ali sejak dulu sudah mengatur dari pendidikan hingga masa tua mereka kelak. Dia tak pernah main-main setiap mengambil keputusan untuk keluarganya.
"Papa sih sebenarnya mengikuti kemauan anak. Cuma, kalau bisa, S2-nya, Digo ambil di luar negeri. Persaingan bisnis semakin ketat, salah ambil jalan, bisa-bisa usaha hancur," terang Ali. "Tapi, Papa tidak akan memaksakannya, kalau dia tidak mau," imbuhnya tak ingin terlalu mengarahkan dan menekan anak-anaknya.
Mengarahkan di jalan sesuai yang orangtua inginkan memang tak ada salahnya, namun ketika anak sudah memiliki jalan untuk masa depannya sendiri, orangtua hanya bisa mendukung. Karena hanya mereka sendirilah yang mampu mengukur kemampuan dan merencanakan masa depannya. Mau dibawa ke manakah masa depannya, setelah lepas dari orangtua.
"Ya, nanti kita bicarakan sama anaknya ya?" ujar Prilly mengelus lengan Ali dan tersenyum sangat manis.
"Pagi Ma, Pa," sapa Agatha sambil menuruni tangga.
Ali dan Prilly menoleh. "Pagi Queen," balas mereka bersamaan.
Dia berlari kecil mencium pipi Ali dan Prilly bergantian. Lalu mendaratkan bokongnya di kursi.
"Waaaah nasi goreng spesial. Mau bawa bekal dong, Mam," pintanya menatap Prilly.
Agatha tak biasa makan nasi jika di pagi hari. Maka dari itu, Prilly kadang kala harus menyiapkannya bekal jika Agatha memintanya, seperti saat ini.
"Ya, Mama siapkan dulu tempatnya." Prilly berjalan ke dapur mencarikan tempat bekal untuk Agatha.
Sedangkan dia di ruang makan sudah mulai mengolesi selai di rotinya. Ali juga mulai menyuapkan nasi gorengnya ke dalam mulut.
"Pagi semua?" Kali ini suara si ganteng Digo yang menyapa.
Dia mengacak rambut Agatha pelan, lantas duduk di samping Ali.
"Aaaaa, berantakan nih!" rengek Agatha manja, memasang face duck-nya.
Digo lalu mengambil nasi gorengnya dan telur. Sebelum memakannya, dia meminum susu yang sudah siap di tempatnya. Prilly sudah begitu hafal susu apa yang harus dikonsumsi untuk Digo dan Agatha sesuai dengan usia mereka. Jadi, setiap pagi saat sarapan, semua sudah siap dan tinggal mengkonsumsinya.
"Kapan ujian akan dimulai, Dig?" tanya Ali di sela makan mereka.
Digo menelan makanannya dulu, baru dia menjawab, "Kalau nggak salah, dua minggu lagi Pa. Soal pembayaran ujian dan lain-lain, Digo sudah bilang ke Mama."
"Iya, mamamu tadi sudah bilang sama Papa."
"Pa, sekolahan Agatha mau mengadakan kamping di Puncak. Apa boleh Agatha ikut?" izin Agatha menatap Ali was-was.
Ali meletakkan sendoknya karena nasi gorengnya sudah habis. Lantas sebelum menjawab dia meminum air putih dulu dan mengelap bibirnya dengan tisu.
"Apa semua siswa ikut? Atau hanya yang mau saja?" tanya Ali sebelum memutuskan.
Prilly datang dari dapur, membawakan kotak nasi untuk Agatha dan sekotak susu kesukaannya.
"Yang mau saja sih Pa. Tapi Agatha mau ikut, Pa," rajuknya manja dengan tatapan memohon.
Ali dan Prilly saling memandang, seolah mereka berbicara dari tatapan. Prilly menganggukkan kepalanya, mengiyakan permohonan Agatha.
"Ya sudah, tapi ingat ya, kamu harus hati-hati. Jangan aneh-aneh," wanti-wanti Ali akhirnya memutuskan.
"Yes! Makasih Papa." Agatha berdiri langsung memeluk Ali dan mencium pipinya.
"Kalau kemauannya diizinkan saja, begitu. Coba kalau Papa nggak izinin, pasti meronta-ronta sampai Papa terpaksa bilang 'Iya'," cibir Digo selesai sarapannya.
"Nggak apa-apa, wlek!" Agatha menjulurkan lidahnya kepada Digo. "Yang penting sudah diizinin!" timpalnya.
Suasana yang seperti inilah, tak mampu dibeli dan dicari di keluarga yang lain. Agatha menyandarkan kepalanya manja di bahu Ali, melihat tingkah konyolnya, membangkitkan tawa keceriaan bagi mereka. Gelak tawa menguasai ruang makan pagi yang indah ini. Prilly mengelus kepala Agatha penuh kelembutan.
##########
Bisa membayangkan tidak jika mereka berkeluarga seperti ini?
Semoga bayangan kalian dapat ya? Feel-nya juga terbangun meskipun cerita ini, mereka sudah menjadi orangtua.
Terima kasih🙏 atas vote dan komentarnya. Semoga kalian terhibur dengan cerita ini.😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top