KOSONG TANPANYA
Pria bertubuh tegap, wajahnya selalu terlihat murung, namun ketampanannya masih terus lestari hingga di usuanya berkepala lima. Ali! Kini sudah 4 tahun berlalu. Semua sudah berubah. Digo telah menjadi pengusaha muda dan kini sedang menempuh S2-nya, sedangkan Agatha kini telah menduduki posisi penting di perusahaan yang kian melambungkan namanya. Namun semua keberhasilan dan kesuksesan karir anak-anaknya, tak serta merta menyukseskan mereka dalam percintaan.
Lips gloss yang dulu mengkilapkan bibir Agatha, kini sudah berganti lipstik yang semakin membuat bibirnya menawan. Seragam putih abu-abu yang dulu hampir setiap hari dikenakan, kini berubah busana kantoran dengan blazer, ditambah tas bermerek ternama yang dia jinjing. Tak lagi terdengar suara kelontengan yang ditimbulkan Prilly, dengan memukulkan sendok ke panci hingga teriakan melengking setiap pagi, menjadi kerinduan tersendiri untuk Agatha dan Digo.
"Mam, aku kangen dibangunin pakai panci lagi. Kangen suara Mama yang beroktaf menggetarkan isi rumah, dan kangen ju---"
"Dijemput Andra ke sekolah?" sahut Ali memotong ucapan putrinya.
Semua tergelak tawa, begitupun Digo yang sedang menikmati sarapannya.
"Astagaaaaa, Papa ini! Baru mau ngomong gitu, kan jadi malu," ujar Agatha menyembunyikan wajah merahnya di belakang punggung Digo.
Suara tawa kian menggelegar memenuhi ruang makan itu. Hingga sekarang, Digo belum juga dapat menemukan informasi mengenai keberadaan Sisi dan anaknya. Entah, bagaimana kabar mereka sekarang, Digo tak tahu. Namun, sampai sekarang, Digo tetap terus mencarinya.
"Pa, bagaimana kasusnya Om Lopes dan Gio? Apa sudah menemukan titik terangnya?" tanya Digo.
"Belum, pengadilan belum memutuskan, sampai sekarang kasusnya masih terus bergulir. Entahlah, mau sampai kapan kasus itu digelar, Dig. Padahal sudah 4 tahun, masih saja banyak yang menuntut dan melaporkan mereka. Semakin banyak terbongkarnya kejahatan mereka, semakin berat hukuman yang akan mereka terima," jelas Ali seraya mengelap bibirnya dengan tisu lantas meminum air mineralnya.
"Tapi yang bikin aku heran nih ya, Pa? Kenapa Om Lopes tidak tahu keberadaan Kak Sisi dan Tante Intan? Padahal kan, dia yang mengajaknya pergi ke luar negeri?" sahut Agatha heran menyapu pandangannya.
"Nah itu yang aku bingungkan sampai saat ini. Kemarin aku habis menemuinya di penjara, jawabannya tetap sama, dia tidak tahu keberadaannya Sisi dan Mama Intan. Entah, bagaimana sekarang nasib dia, apakah anakku baik-baik saja, at---"
"Sudah-sudah, jangan dibahas di sini. Nanti saja membahasnya, sekarang kalian harus berangkat bekerja, Mama juga mau ke restoran, ngecek bahan persediaan," sela Prilly melihat wajah Digo yang selalu sedih dan murung jika membahas Sisi dan anaknya yang entah bagaimana kabar mereka.
"Ya sudah." Ali lebih dulu berdiri. "Dig, kamu berangkat saja langsung ke PT Batubara Jaya, sedangkan Agatha biar yang mengecek ke tempat produksi. Ada beberapa pupuk yang harus dikirim ke Papua. Hati-hati ya, Queen? Itu barang bersubsidi negara. Papa mau menemui klien di PT Adi Jaya Makmur," timpal Ali selesai mengenakan jasnya.
"Siap Pa," sahut mereka bersamaan.
"Mama mau bareng siapa?" tanya Agatha.
"Bareng mantan pacar Mama dong," jawab Prilly melingkarkan tangannya mesra di lengan Ali.
"Ish... Mama, bikin aku envy. Udah yuk, Kak! Kita tinggal sejoli yang nggak inget umur," cibir Agatha menarik tangan Digo lebih dulu pergi meninggalkan Ali dan Prilly. Mereka terkekeh kecil melihat wajah kesal Agatha.
"Mam, Pa, berangkat dulu," pekik Digo saat Agatha sudah menarik tangannya keluar dari ruang makan.
"Hati-hati kalian," balas Prilly terdengar hingga sampai ke garasi.
Digo dan Agatha pun sudah siap dengan tugasnya masing-masing. Setelah kejadian waktu itu, resmilah, PT Batubara Jaya dan PT Liebra Lopez, jatuh ke tangan Ali. Dikarenakan hutang kedua perusahaan itu melambung, dan pemiliknya tak dapat membayar hutang-hutangnya. Alhasil, kini Ali semakin dipusingkan dengan ketiga perusahaan yang berdiri di bidangnya masing-masing. Untung saja ada Agatha dan Digo yang siap membantunya.
Empat tahun yang lalu, Gio dan Lopes ditangkap di bandara Internasional Beijing. Mereka sedang mencoba melarikan diri, serta membawa barang bukti mengenai kasus suap dari seorang pejabat negara. Mereka berdua terseret dalam beberapa kasus, diantaranya, kasus penipuan dan perdagangan gelap. Namun, ketika mereka sudah di bekuk dan kasus bergulir di meja hijau, Sisi dan Intan tak kunjung memperlihatkan batang hidungnya. Setiap kali Lopes ditanya, dia tak tahu menahu di mana keberadaan istri dan anak tirinya itu.
Terakhir mereka bersama, Lopes meninggalkan mereka di London. Sejak itu, dia tidak lagi mendapat kabar apa pun dari mereka. Digo dan Ali sudah mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari mereka di London. Tapi sayang, hasilnya nihil. Digo pun sampai sekarang tak patah semangat untuk selalu mencari keberadaan belahan hatinya dan juga anaknya.
"Miss Agatha," panggil seorang wanita, masih muda dan manis, menahan Agatha masuk ke ruangannya.
"Iya Lina?" Agatha menoleh mengurungkan niatnya ketika ingin membuka pintu ruang kerjanya.
"Ini ada yang perlu Miss Agatha tanda tangani. Dan jangan lupa, nanti siang kita ada meeting di restoran cepat saji," ujar Lina memberikan map merah kepada Agatha.
Lina adalah sekretaris Agatha, meski baru beberapa bulan bergabung di perusahaan Ali, namun Agatha menunjukan totalitas dan loyalitasnya mengabdi kepada perusahaan itu. Sedangkan Digo, kini memimpin penuh PT Batubara Jaya, yang dulu milik keluarga Gio.
"Baiklah, terima kasih," ucap Agatha menerima map merah itu, lantas dia masuk ke ruangan yang cukup luas, ber-AC, nyaman dan rapi.
Kursi kebesarannya telah menantinya, di tempat inilah, Agatha menuangkan semua apa yang sudah ia pelajari saat kuliah.
Sedangkan di kantor PT Batubara Jaya, Digo sudah disibukkan dengan tumpukan-tumpukan pekerjaan di atas meja. Menjadi CEO atau direktur utama, mengharuskan Digo untuk selalu memajukan bisnis perusahaan itu. Wajahnya selalu tampak murung, dan tubuhnya pun tak sekekar dulu. Bayangan Sisi dan nasib anaknya pun, selalu mencumbi pikirannya. Hidup tanpa Sisi membuat batinnya tersiksa dan hatinya pun kini hampa tanpa penghuni. Hanya nama Sisi yang terukir di dalam hati dan jiwanya.
"Kamu di mana sih, Sayang? Apa anak kita baik-baik saja? Pasti sekarang dia sudah besar. Sudah bisa berlari, dan apakah dia nakal? Apa dia cewek seperti kemauanmu? Atau cowok, seperti harapanku? Ya Allah, di mana aku harus mencari keberadaan mereka? Seluruh London sudah aku jelajahi, tapi di mana mereka?" lirih Digo mengelus foto Sisi dan Dirinya yang setia berdiri di atas meja kerjanya.
Hanya foto itu yang dapat membuat Digo bersemangat untuk selalu bekerja, mengumpulkan pundi-pundi rupiah, demi masa depannya dengan Sisi dan anak mereka. Semuanya sudah Digo miliki, rumah, mobil, usaha dan masa depan yang cerah. Tinggal kini, dia menanti kepulangan sang pemilik hati.
***
Agatha mendaratkan pantatnya di sofa, dia terlihat murung dan tak bersemangat. Ali, Prilly dan Digo yang sudah sedari tadi di ruang tengah, semua menatap Agatha.
"Kenapa?" tanya Prilly lembut mengelus kepalanya.
"Kok Andra nggak telepon dan nggak balas chat aku sih, Mam," keluh Agatha.
"Ah masa sih? Tadi aja dia habis teleponan sama aku kok," sangkal Digo.
"Serius, Kak?" tanya Agatha menegakkan duduknya.
"Iya, serius," jawab Digo meyakinkan.
"Wah, wah, wah, sudah mulai berani main-main ternyata dia. Awas saja, aku nggak akan tanggapi kalau dia telepon atau chatting!" ancam Agatha kesal.
"Yakin? Kuat? Tahan?" goda Ali mengerling.
"Aaaaah... Papa!!! Mana aku bisa!" rengek Agatha menciptakan tawa keras di keluarga itu.
Hubungan jarak jauh memang menguras kesabaran dan kepercayaan. Sudah empat tahun, namun Andra tak kunjung kembali. Selama itu juga, mereka hanya berkomunikasi melalui alat-alat canggih dan modern seperti saat ini. Teman pria Agatha hanya Dodot, dia membatasi pergaulannya, apalagi ketika ada seorang pria yang ingin mendekat, dengan cepat, dia menutup pintu gerbang hatinya.
"Sudah ah! Aku mau keluar sama Dodot," sela Agatha berdiri dari duduknya.
"Mau ke mana? Baru juga pulang?" tanya Prilly mendongak, menatap Agatha heran.
"Mau menghadiri ulang tahun teman di klub, Mam," jawab Agatha seraya berjalan menuju ke tangga.
"Hati-hati loh, Queen. Jangan malam-malam pulangnya," pesan Ali.
"Tenang saja, Pa!" pekik Agatha berlari menaiki tangga.
Ali dan Prilly mungkin kelihatannya tenang dan santai. Namun di dalam hati mereka masih gundah dan risau, memikirkan nasib Digo. Usianya kini semakin bertambah, namun sampai sekarang, Digo tak bisa memikirkan wanita lain, selain Sisi. Ali dan Prilly sudah berusaha membantunya, memperkenalkan wanita lain, namun tanggapan Digo dingin, dan tak berselera melirik, apalagi memandang wanita itu.
"Kamu nggak keluar, Dig?" tanya Ali.
"Nggak, Pa. Enakkan di rumah saja," jawab Digo santai memandang televisi, namun pandangannya kosong, pikirannya entah ke mana. Itu sudah setiap hari menjadi pemandangan biasa bagi Ali dan Prilly.
Sejak kepergian Sisi, Digo menjadi orang yang tertutup dan sangat dingin terhadap dunia luar. Tak lagi dia keluar bersenang-senang dengan teman-temannya. Kesehariannya hanya bekerja, bekerja, bekerja lagi dan duduk di rumah bersama keluarganya. Begitulah hidup Digo sekarang, monoton dan tak bergairah.
***
Suara musik DJ menggema memenuhi ruang diskotik itu. Agatha dan Dodot mencari-cari seseorang yang sudah memilki janji dengannya.
"Tha, mana sih, si Mini," pekik Dodot menyapu pandangannya ke seluruh tempat itu.
Suara musik DJ yang terus menghentak memekakkan telinga. Sebenarnya, Agatha tidak terbiasa pergi ke tempat seperti itu. Karena menghargai undangan teman, akhirnya dia pun datang. Setiap datang, dia pun selalu mengajak Dodot, tidak pernah Agatha pergi sendiri.
"Dot, lihat di sana!" tunjuk Agatha ke salah satu sofa set di pojok ruangan itu.
Dodot mengikuti arah telunjuk Agatha, matanya menyipit, memperjelas pandangannya, siapa seseorang yang Agatha maksud?
"Bukankah itu Chelsea?" tanya Dodot.
"Masa sih, Dot? Ah! Nggak yakin gue," elak Agatha, padahal dirinya juga yakin bahwa yang dilihat adalah Chelsea, teman SMA mereka dulu.
Tapi....
"Masa sih, dia jadi wanita penghibur?" Dodot masih terus memerhatikan cara Chelsea duduk dikelilingi para bos besar, dengan pakaian mini.
"Sudahlah, mungkin kita salah lihat, Dot," ujar Agatha meyakinkan dirinya, jika yang dia lihat itu bukan Chelsea.
"Ah, gue jadi penasaran!" Dodot pun berjalan mendekatinya.
"Dot!" Agatha berusaha mencegah, namun terlanjur Dodot sudah berjalan mendekati.
Ketika wanita yang mirip dengan Chelsea itu melihat Dodot mendekat ke arahnya, lantas dia buru-buru beranjak dari tempat duduknya. Dia pergi, namun Dodot mengikutinya. Karena melihat Dodot seperti mengejar sesuatu, Agatha pun mendekati Dodot dan ikut berlari mengejar orang itu. Sampai di lorong toilet, Dodot mencekal pergelangan tangan wanita yang mirip dengan Chelsea itu.
"Aw!!!" pekik wanita itu.
Setelah kelulusan tidak saling bertemu, banyak perubahan di diri Chelsea. Sekarang dia terlihat modis dan lebih seksi, penampilannya pun berani, hingga pakaian yang ia kenakan belahan dadanya sangat rendah.
"Chelsea?" gumam Agatha setelah melihat dengan jelas wajah wanita itu.
"Awas! Lepasin!!!" berontak Chelsea mengayunkan tangannya, supaya Dodot melepaskan pergelangan tangannya.
"Chelsea? Lo benaran Chelsea?" gertak Dodot tak melepas pergelangan tangannya.
Sikap wanita yang mirip Chelsea itu, seketika gelagapan, seolah-olah seperti kepergok sedang melakukan sesuatu.
"Kalau lo diam, berarti benar, lo Chelsea," timpal Agatha.
"IYA!!! KALAU GUE CHELSEA, APA MASALAH KALIAN!!!" bentak Chelsea menatap Dodot dan Agatha tajam.
Mereka shock, dengan kejujuran yang dilontarkan wanita itu.
"Chelsea, apa yang lo lakuin?" tanya Agatha merasa iba.
"APA URUSAN KALIAN!!! INI HIDUP GUE DAN KALIAN NGGAK ADA HAK, BUAT IKUT CAMPUR MASALAH GUE!!!" sentak Chelsea.
Suaranya bergetar, sepertinya dia sedang mengalami depresi dan kesedihan yang mendalam. Terlihat dari sorot matanya yang sudah berkaca-kaca.
"Maaf, bukan maksud kita untuk ikut campur masalah lo. Tapi, gue cuma mau bilang, kalau lo butuh temen, kita siap kok, mendengar keluh kesah lo. Ya kan, Dot?" ujar Agatha menyenggol bahu Dodot.
"Eh, iya. Bener Chel," timpal Dodot masih memegangi tangan Chelsea.
Tiba-tiba Chelsea menangis sesenggukan, Dodot dan Agatha pun menjadi bingung dan saling memandang. Dodot yang dasarnya berhati lembut, menjadi tak tega. Dia pun menarik kepala Chelsea pelan agar menumpahkan isakannya di bahu Dodot. Agatha mengelus punggung Chelsea.
Di sinilah, mereka sekarang berada. Di salah satu restoran tak jauh dari klub malam tadi. Setelah Chelsea lebih tenang, Dodot dan Agatha pun mengajaknya keluar dari tempat bising itu, dan mereka pun mengajak Chelsea mengobrol di restoran.
"Oh, jadi keluarga lo bangkrut. Terus sekarang lo tinggal di mana?" tanya Agatha merasa kasihan mendengar cerita kehidupan Chelsea setelah sekian tahun mereka tak bertemu.
"Gue sekarang tinggal di kontrakan sama Mama. Gue terpaksa bekerja sebagai pendamping dan pemandu karaoke. Gue lakukan itu, semata-mata untuk mencukupi kebutuhan kami," ujar Chelsea selalu menunduk, merasa sangat malu kepada Dodot dan Agatha.
Tangan Agatha terulur menggenggam tangan Chelsea. Dia tersenyum sangat manis, menenangkan perasaan Chelsea, gadis yang dulu selalu mengganggu ketenangannya di sekolah.
"Lo yang sabar ya, Chel? Gue ikut berdukacita atas meninggalnya bokap lo. Dan, mengenai kakak Lo, maaf, gue nggak tahu menahu masalah hukum. Tapi, mungkin papa gue bisa bantu lo," ujar Agatha.
"Serius, Tha?" pekik Chelsea tampak berseri, seakan mendapat pencerahan di dalam masalah kehidupannya.
"Insya Allah. Besok gue bicara sama bokap. Semoga kakak lo, bisa bebas ya? Kalau memang tidak bersalah, pasti dia akan cepat bisa keluar dari penjara," ujar Agatha.
"Makasih ya, Tha?" ucap Chelsea memeluknya.
Masa depan memang misteri. Seseorang yang pernah disia-siakan, dan tersakiti, bisa saja, dia yang menyelamatkan hidup kita. Sungguh, Tuhan memang adil.
#########
Hai, kangen nggak? Hehehe
Sabar ya, semoga saja kalian tetap sabar menanti. Hehehe
Makasih, untuk vote dan komentarnya.
Maaf kalau menu typo. Nggak baca ulang. Hehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top