KISAH KASIH DI SEKOLAH
Agatha berjalan di koridor sekolah, beriringan dengan Andra. Dari jarak yang tak jauh, mereka melihat Chelsea dengan teman-temannya sudah menatap ke arah mereka dengan sorotan mata tak suka. Merasakan tatapan aneh Chelsea, Agatha pun menjaga jarak dengan Andra.
"Kenapa sih, jauh amat! Berasa ada pulau di antara kita," tegur Andra menarik tangan Agatha agar kembali dekat dengannya.
"Iiiiih...," tolak Agatha melepaskan paksa tangan Andra dari lengannya. "Noh lihat! Ada Mak Lampir memerhatikan kita, sudah seperti singa siap mengamuk," tuding Agatha menatap wajah Chelsea sudah mengeras dan tatapannya pun penuh kekesalan terhadapnya.
Andra hanya tersenyum miring dan menghiraukannya.
"Nggak peduli! Nggak penting! Emang dia yang ngasih nyawa kita? Ngapain takut? Takut tuh sama Allah, bukan sama manusia," ujar Andra mencolek hidung mancung Agatha pelan.
Hal itu membuat bara api di hati Chelsea semakin membar. Seluruh tubuhnya terasa panas, dan ingin rasanya dia memisahkan Andra dan Agatha saat itu juga. Ambisinya untuk memiliki Andra, membutakan mata hatinya dan Chelsea pun miskin kepedulian antar sesama teman. Apakah rasa yang dimiliki Chelsea kepada Andra itu cinta, atau hanya sekadar ambisi belaka? Entahlah, yang pasti Chelsea tidak suka melihat Andra dekat dengan wanita lain, apalagi Chelsea selama ini menganggap Agatha sebagai saingannya di sekolahan itu. Meski Agatha tak merasa Chelsea adalah saingannya.
"Dra, jaga jarak gih! Lagi males berantem sama Chelsea," ujar Agatha mendorong Andra agar menjauhinya.
Namun Andra menolak, dia justru merangkul bahu Agatha dan berjalan semakin mendekati Chelsea dan teman-temannya yang berdiri di depan tangga, bergaya sok penguasa.
"Kenapa? Lo takut sama Chelsea ya, Queen? Jangan takut, kan ada King di sini," ucap Andra percaya diri, membusungkan dadanya ke depan dan menepuk dadanya bangga, dengan senyuman lebar di bibirnya.
"King? Kingkong maksud lo?" cibir Agatha diiringi kekehan kecilnya.
"Enak aja kalau ngomong! Bibirnya minta..."
"Minta apa?" sahut Agatha cepat memotong ucapan Andra.
"Minta dicium!"
"Iiisssh, dasar omes!" Agatha mendorong pipi Andra menjauhi dirinya.
"Biarin! Sini gue cium bibir lo." Andra memonyongkan bibirnya ke arah Agatha, namun Agatha menahan rahangnya.
"Andraaaaa!!!! Iiiiih..., jangan begini! Ini di sekolahan, Dra," pekik Agatha menolak menjauhkan diri dari Andra.
Andra tertawa terbahak, dia menarik kepala Agatha pelan dan mengapitnya di bawah ketiak, sehingga dia memekik.
Perjalanan mereka semakin dekat dengan Chelsea, seolah Andra ingin mengalihkan perhatian Agatha agar tak mempedulikan Chelsea CS, dengan cara mengajaknya bercanda. Saat langkah mereka sampai di depan tangga, Chelsea pun menghadang mereka.
"Di sini tempat belajar keles! Bukan tempat orang pacaran!" sungut Chelsea, terkesan iri, berdiri di depan mereka sambil melipat tangannya di depan dada.
Andra menegakkan tubuhnya, menggenggam tangan Agatha erat, menghilangkan jarak di antara mereka.
"Lo kenapa sih Chel, sirik banget lihat orang bahagia? Lo kurang kerjaan ya? Kalau iya, noh di rumah gue kekurangan tenaga, lo bisa cuci baju gue, kalau nggak, ngosek kamar mandi juga boleh," ujar Andra asal.
Agatha menahan tawanya, bisa-bisanya si Andra berkata tega seperti itu pada Chelsea.
"Kenapa sih Dra, lo selalu aja bersikap jahat sama gue. Kapan sih, lo bisa menghargai gue," protes Chelsea kesal menghentakkan kaki kirinya ke lantai.
Andra menghela napas dalam, dia melirik Agatha.
"Queen, lo naik duluan sana! Biar mereka gue yang urus," titah Andra melepaskan tangannya.
"Ya udah, gue masuk duluan ya?" pamit Agatha.
"Belajar yang bener, jangan mikirin hal yang nggak penting," pesan Andra.
"Iya, bawel!"
Agatha pun menurut, dia melewati Chelsea begitu saja. Tatapan tak suka tetap saja tercipta dari mata Chelsea dan teman-temannya. Agatha bergidik, bagaimana nasibnya nanti saat di kelas, tanpa adanya Andra? Bisa-bisa Chelsea berulah dan membuat masalah dengannya. Agatha sebenarnya sudah malas menanggapi Chelsea yang seperti itu. Chelsea, jika di belakang Andra, selalu menyalahkan dan menyakiti Agatha. Jika di depan Andra saja, dia tak berani menyentuh Agatha.
"Lo maunya apa sih, Chel? Gue sudah berulang kali bilang kan, kalau gue nggak tertarik sama lo. Tapi kenapaaaaa... lo masih saja gangguin gue? Dan apa hubungannya, penolakan gue sama lo dan Agatha? Nggak ada, Chel!" sentak Andra menegaskan, berdiri berani di hadapan Chelsea.
Agatha mengintip dari balik tembok tikungan anak tangga menuju ke atas. Dari bawah memang tak terlihat, namun jika ada orang dari atas, dapat terlihat jelas. Agatha penasaran, apa yang akan dikatakan Andra kepada Chelsea, makanya, dia memutuskan untuk menguping dan mengintip.
"Tapi Dra, lo dari dulu juga sudah tahu kan kalau gue sukanya cuma sama lo? Dan gue nggak bisa berpaling ke orang lain. Gue nggak suka aja lihat lo dekat sama dia. Dan lo juga, apa sih bagusnya anak itu, sampai lo kukuh mempertahankan dia," kesal Chelsea tak mudah membujuk Andra untuk melihat ambisinya agar perasaannya terbalas oleh Andra.
Andra menghela napas dalam, harus bagaimana lagi berbicara dengan Chelsea mengenai hal ini. Sudah berkali-kali Andra mengatakannya, tapi sepertinya Chelsea tak paham juga.
"Terserah lo deh, Chel! Tapi, awas aja kalau sampai gue denger, apalagi lihat lo nyakitin Agatha, gue akan memberi pelajaran buat lo!" ancam Andra menunjuk tajam tepat di depan wajah Chelsea.
"Gue nggak takut! Kalau lo nggak bisa dekat sama gue, Agatha juga nggak akan bisa lagi dekat sama lo!" gertak Chelsea.
Agatha yang mendengarkan perdebatan mereka, menggelengkan kepala. Begitu keraskah hati Chelsea, sampai-sampai Andra saja tak dapat menghentikan ulahnya.
"Terserah lo! Capek gue ngomong sama batu! Kalau lo udah kena batunya, baru tahu rasa," ujar Andra meninggalkan Chelsea begitu saja masuk ke kelasnya yang kebetulan ruangannya berada di samping tangga.
Sebelum ketahuan Chelsea CS, Agatha pun melanjutkan langkahnya menuju ke kelas. Iri dan dengki menyelimuti hati Chelsea, hingga mata hatinya gelap.
***
Digo dan Sisi terus menatap keadaan rumah yang ada di depan mereka saat ini, terlihat sepi. Pagar besi bewarna putih, menjulang tinggi tertutup rapat. Terlihat dua seorang penjaga di dalam pos.
"Sayang, coba kamu telepon mama kamu," titah Digo mengawasi rumah tersebut dari dalam mobil.
Sisi langsung mengambil ponselnya dari tas selempangannya, lantas dia menghubungi Intan. Beberapa saat menunggu, akhirnya panggilan pun terjawab.
"Halo, Mama," sapa Sisi ketika teleponnya mendapat jawaban.
"Sisi..., kamu ke mana saja? Mama sangat mengkhawatirkanmu," tanya Intan terdengar sangat mencemaskan putri semata wayangnya itu.
"Maaf Ma, Sisi kemarin ninggalin Mama sendiri di dalam. Sekarang aku ada di depan rumah. Papa ada di rumah nggak, Ma?" tanya Sisi was-was dan takut jika Lopes melihatnya dan Digo, pasti dia akan marah besar pada mereka.
"Papa sedang pergi bersama Gio, dan beberapa orang. Entahlah siapa orang-orang itu, Mama tidak mengenalnya. Bersama siapa kamu, Sayang?" tanya Intan sambil berjalan mengendap-endap mendekati pintu gerbang kecil yang ada di belakang pos penjaga.
Ini kesempatan baginya untuk menghirup udara bebas dan memiliki ruang gerak, agar dapat keluar dari rumah. Apabila ada Lopes, Intan tak sedikitpun diizinkan keluar dari rumah, walaupun itu hanya di pelataran saja.
"Aku bersama Digo, Ma. Ceritanya panjang," jawab Sisi melihat Intan keluar dari pintu kecil samping gerbang utama.
Sisi membuka kaca mobil dan melambaikan tangannya ke arah Intan. Sepertinya Intan belum menyadari keberadaan putrinya, dia masih menoleh ke kanan dan kiri seperti orang yang sedang mencari-cari.
"Mama, lihat ke arah jam sembilan. Aku dan Digo di dalam mobil sedan warna hitam," ujar Sisi.
Intan langsung menoleh ke kirinya, dia baru menyadari keberadaan Sisi, lantas dia memutuskan sambungan teleponnya. Dia pun mendekati mobil yang dimaksud Sisi. Tak ingin ketahuan oleh penjaga suruhan Lopes, Intan segera masuk ke dalam mobil.
"Mama." Sisi membalikkan badan menggapai kedua tangan Intan yang kini sudah duduk di jok belakang. "Bagaimana keadaan Mama? Apa Papa kemarin menyakiti, Mama?" tanya Sisi meneliti keadaan Intan. Dia sangat mencemaskan keselamatan mamanya.
Sisi takut, kemarahan Lopes kemarin ditumpahkan kepada Intan. Karena, biasanya, jika Lopes sedang marah besar, sasaran amarahnya kalau tidak ke Intan pasti dirinya, walaupun mereka tidak ada sangkut pautnya dalam hal yang membuatnya marah.
"Alhamdulillah Mama nggak apa-apa, Sayang. Justru semalaman Mama nggak bisa tidur memikirkan kamu," jawab Intan mengelus sayang rambut Sisi.
Sisi menangis mencium kedua tangan Intan. Dia merasa bersalah karena sudah meninggalkan mamanya begitu saja. Digo mengelus punggung Sisi, agar perasaan kekasihnya lebih tenang.
"Terus, kamu semalam tidur di mana?" tanya Intan setelah Sisi berhenti menangis.
"Aku tidur di rumah Digo, Ma," jawab Sisi.
Intan langsung menatap Digo penuh selidik. Tatapan mencurigakan Intan, membuat debaran jantung Digo berjalan abnormal. Susah payah dia menelan ludahnya. Pasalnya, ini kali pertama Digo bertatap muka dengan Intan selama dia dekat dengan Sisi.
"Maaa..., keluarga Digo baik kok, mereka sudah mengenalku. Mereka juga mengizinkan aku bermalam di rumahnya, mengingat aku tidak memiliki tempat tujuan. Digo memiliki adik perempuan, jadi aku tidur bersamanya," jelas Sisi memahami tatapan curiga Intan kepada Digo.
Setelah mendengar penjelasan Sisi, tatapan Intan pun berubah lebih tenang dan kalem. Justru kini senyum tersungging di bibir tipisnya.
"Makasih ya, Nak Digo?" ucapnya tulus.
"Iya, Tante. Aku senang bisa membantu Sisi." Digo pun membalas melempar senyuman terbaiknya.
"Ma, aku takut mau pulang. Bagaimana nanti kalau Papa lihat aku di rumah, setelah kejadian kemarin malam. Pasti dia akan marah besar," keluh Sisi tak tenang dan hatinya pun gundah.
Digo mengelus kepalanya lembut dan dia juga menggenggam tangannya erat.
"Sayang, percayalah, Allah akan selalu melindungi kamu. Jangan pernah takut, apa pun yang akan dikatakan papa kamu, dengarkan, jangan membantah. Kalau kamu membantah, itu akan semakin membuat emosinya meluap-luap," nasihat Digo menyuntikkan kepercayaan dan semangat kepada Sisi.
Intan tersenyum senang, walau baru kali ini dia bertemu Digo, tapi dia dapat merasakan ketulusan cinta yang dimiliki lelaki berkulit putih itu untuk putrinya.
"Iya, aku akan berusaha," jawab Sisi.
"Kalau ada apa-apa kamu telepon aku ya? Aku pasti akan datang, kapan pun kamu membutuhkanku."
Sisi mengangguk dan menarik napasnya dalam, mengumpulkan kekuatan dan kepercayaan dirinya lagi.
"Nak Digo, maaf ya, Tante tidak bisa mengizinkan kamu masuk ke rumah. Soalnya penjagaan di rumah sangat ketat, kalau sampai papanya Sisi tahu, pasti dia akan marah," jelas Intan sungkan.
"Iya Tante, tidak apa-apa. Aku bisa mengerti dan memahami kondisi kalian. Pokoknya, Tante sama Sisi jangan khawatir ya? Semoga aku sama Papa cepat mendapat jalan keluar untuk masalah ini," jawab Digo tersenyum manis ke arah Intan.
Hati Intan terenyuh, baru kali ini, teman pria Sisi benar-benar tulus dan tak lari dari tanggung jawab. Dulu pernah ada yang mendekati Sisi, namun setelah mengetahui kenyataan yang mereka alami, pria itu pergi tanpa pesan dan seolah melarikan diri begitu saja.
"Nak Digo, apa Tante boleh bertanya sesuatu padamu?" ucap Intan terdengar serius dari tatapannya pun penuh dengan harapan.
"Iya, Tan. Silakan."
Digo dan Sisi pun tak kalah seriusnya menatap dan mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Intan.
"Setelah apa yang kamu ketahui dan lihat, apakah Nak Digo, masih memiliki niat untuk menjadikan Sisi wanita pilahan terakhirmu?"
Pertanyaan yang sangat dini jika mengingat hubungan mereka yang baru saja akan dimulai. Namun, kecemasan dan kekhawatiran seorang ibu, takut jika perasaan putrinya akan dipermainkan, wajar jika hal itu ditanyakan Intan kepada Digo.
"Maaaa... aku dan Digo bar..."
"Iya Tan! Aku yakin dan sangat yakin, kalau Sisi pilihan terakhirku. Dan aku berjanji demi, Mama, Papa, Agatha dan Tante, aku rela melakukan apa pun untuk Sisi. Walaupun aku yang akan terluka, asalkan dia bahagia, aku rela lahir dan batin, Tan," potong Digo sebelum Sisi melanjutkan ucapannya.
Saat mengatakan hal itu, Sisi merasakan ketulusan dan kejujuran dari sorotan mata hitam Digo. Air mata haru menggantung di pelupuknya, begitu juga dengan Intan. Dia merasa jika ucapan Digo itu benar-benar serius.
"Apa hukuman yang akan Tante berikan, jika sampai kamu bohong," desak Intan.
Digo menatap ke dalam manik mata Sisi dan dia juga menggenggam erat tangannya. Pandangan mereka pun terkunci.
"Papa tidak pernah mengajarkanku ingkar janji. Jadi, Tante jangan khawatir, aku pasti akan selalu menepatinya," ujar Digo sepenuh hati.
Sisi tak mampu lagi berkata-kata, ternyata pria yang tulus mencintainya selama ini, sangatlah dekat dengannya. Bahkan pria inilah yang selalu menolong dan membantunya saat di kampus. Dia pun langsung berhamburan ke pelukan Digo, merasakan ketulusan cinta yang dia miliki.
Intan ikut berbahagia untuk putrinya, dia berharap, semoga Digo adalah pria yang tepat untuk Sisi. Pria yang dapat membawa Sisi pergi jauh dari penjara kehidupan Lopes. Dia sudah cukup tersiksa, melihat Sisi selama ini harus mengikuti aturan dan perintah Lopes. Dia bukan anak kecil yang masih polos, dia sudah dewasa dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri.
"Oh iya, Tan." Digo meregangkan pelukan Sisi dan menatap Intan yang sedari tadi memerhatikan mereka. "Bagaimana rencana pindahan kalian keluar negeri? Dulu Sisi pernah bercerita tentang hal itu," tanya Digo tak rela jika harus jauh dari kekasihnya.
Intan menghela napas berat dan menyandarkan tubuhnya lesu.
"Entahlah Digo, Tante juga bingung dengan jalan pikiran papanya Sisi. Dulu saat mengetahui kondisi perusahaan sudah di ujung tanduk, dia memutuskan untuk mengajak kami semua pindah ke luar negeri. Tapi, setelah beberapa waktu lalu dia berbincang dengan keluarga Gio, pikirannya berubah lagi. Dia malah ingin menjodohkan Sisi dengan Gio. Tante juga bingung, apa yang sebenarnya dia mau," jelas Intan sedih merasakan hidup keluarganya yang tak memiliki pedoman dan pegangan, hingga kini keluarga mereka terasa terombang-ambing tak memilki pendirian.
Intan merasakan hal, semenjak perusahaan keluarga mereka hampir bangkrut, Lopes berubah kasar dan tidak memikirkan perasaannya dan Sisi lagi. Semua keputusan dia ambil sepihak, tanpa ada musyawarah dengan keluarga yang lain.
##########
Ciyeeeeee... lama menunggu ya? Hehehe
Sabar ya? Aku masih kehilangan mood untuk membaca, menulis dan lain-lain. Maunya males-malesan. Hahaha
Semoga saja, pembaca GENERASI nggak kabur. Terima kasih yang mau bersabar, memberikan vote dan komentarnya. Semoga semakin ke sini, ceritanya semakin jelas dan menuju ke konflik itu yang sangat menjengkelkan. Hehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top