DIGO AND SISI

Digo memarkirkan mobilnya, seperti biasa. Saat dia keluar dari mobil, tak sengaja ternyata mobilnya bersebelahan dengan mobil Sisi. Sisi keluar dari mobil, dan langsung menyapa Digo dengan senyum terbaiknya. Jantung Digo berdetak tak karuan, apalagi saat Sisi mendekatinya.

"Hai Digo?" sapanya ramah.

"Hai Si," balas Digo melambaikan tangan gugup.

Digo menghela napas dalam, menetralkan perasaannya. Sudah dua tahun lamanya dia selalu mencoba mencari perhatian dari Sisi, namun gadis itu sepertinya terlalu cuek. Jadi kode yang selalu Digo berikan kepada Sisi, dianggapnya biasa saja. Dari mengirimkan bunga setiap hari di atas meja Sisi, Digo pun pernah melakukan hal itu. Namun Sisi menghiraukan perhatian spesial itu dan tak sedikit pun menunjukkan simpatinya.

"Lo sudah belajar kan Dig?" tanya Sisi saat mereka berjalan bersama menuju ke kelas.

Meski perasaannya tak karuan, Digo berusaha biasa saja. Dia menahan gejolak rasa yang teramat kuat untuk Sisi. Dia tersenyum dan mengangguk. Entah mengapa seorang Digo yang hiperaktif dan bahkan pecicilan jika bersama teman-temannya, namun saat bersama Sisi, dia mati kutu, sikapnya bisa berubah 180°, menjadi lebih sopan dan pendiam. Mungkin, karena Sisi juga gadis yang cuek dan bahkan dia juga tidak terlalu ambil pusing dengan kehidupan di sekitarnya.

"Si, kapan lo mau pengajuan skripsi?" tanya Digo saat mereka masuk di dalam kelas.

Entah kebetulan atau memang sudah takdir, sejak awal mereka kuliah, keduanya dipertemukan di kelas yang sama. Sisi sudah menganggap Digo sebagai teman baiknya, karena baginya Digo adalah cowok yang baik, bahkan perhatian. Tapi Sisi belum menyadari perasaan yang Digo miliki.

"Insya Allah, setelah ujian. Lo sendiri?" tanya Sisi balik meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di bangkunya.

Digo duduk di bangku belakang tempat duduk Sisi, memang itu tempatnya.

"Sama, gue juga kayaknya habis ujian," sahut Digo tak hentinya menatap Sisi yang berparas cantik, berkulit putih, gemulai dan anggun. Tipe Digo banget.

"Setelah lulus lo mau kerja di mana Dig?" tanya Sisi kali ini memutar tubuhnya menghadap Digo.

"Gue mau bantu di perusahaan Papa dulu. Yaaaa... hitung-hitung belajar mengembangkan bisnis keluarga, kalau diizinkan sih, pengennya bisnis sendiri," jelas Digo dibalas senyuman manis dari bibir merah Sisi yang selalu membuat Digo mabuk kepayang.

"Nggak ada niatan buat lanjut ambil S2?" Sisi terus mengajak Digo mengobrol, entah apa niatannya seperti itu. Namun Digo merasa senang karena Sisi menanyakan rencana masa depannya.

"Ada sih, tapi belum tahu mau melanjutkan di mana. Mungkin setelah dua tahun gue bantu di perusahaan Papa, baru nanti gue akan melanjutkan S2. Ya... hitung-hitung nabung buat kuliah sendiri," ujar Digo bersemangat menjelaskan rencana masa depannya.

"Kan memang syarat sebelum mengambil S2, harus punya pengalaman kerja minimal dua tahun. Ada-ada saja lo," seru Sisi membuat Digo tertawa kecil.

"Iya, ya? Kalau lo sendiri?" tanya balik Digo yang ingin mengetahui rencana masa depan Sisi.

Sisi menunduk menghela napasnya dalam. Dia mendongak menatap Digo, entahlah, tatapan itu terasa sedih bagi Digo.

"Gue akan ikut orang tua gue pindah ke Jerman setelah lulus dari sini, Dig. Mungkin, sebelum melanjutkan S2, gue akan membantu bisnis keluarga yang ada di sana. Karena kondisi perusahaan keluarga gue sekarang sedang memprihatinkan." Digo terkejut, apa yang sedang Sisi alami saat ini.

Karena selama ini, setahu Digo keluarga Sisi adalah pengusaha yang sukses dan terkenal diantara pebisnis di ASIA. Bahkan, perusahaan Ali saja masih di bawah satu tingkat dari perusahaan keluarganya Sisi.

"Kok bisa, Si?" desak Digo terkejut.

"Entahlah apa yang sebenarnya terjadi sama bisnis keluarga gue Dig. Tapi, yang gue denger, perusahaan memiliki hutang banyak di perusahaan lain. Sampai-sampai beberapa saham sudah di jual, bahkan ada yang disita negara, gara-gara kami belum membayar pajak. Gue bingung Dig," keluh kesah Sisi membuat Digo merasa iba.

Digo mengusap punggung Sisi pelan, agar Sisi dapat sabar menghadapi maslah yang saat ini sedang menghadang keluarganya. Namun saat mendengar Sisi akan pindah, itu artinya, dia tak akan lagi bisa melihat Sisi, hal itu membuat hati Digo tak rela untuk jauh dengan Sisi, gadis yang sudah dia puja selama ini.

"Sabar ya Si, gue yakin kok, pasti Papa lo bisa menghadapi cobaan ini. Andai gue bisa membantu Si, pasti gue akan bantu. Lo tahu sendiri, gue belum punya apa-apa sekarang Si. Perusahaan saja masih dipegang Papa dan gue baru diajari beberapa pekerjaan yang menyangkut bisnis kami." Digo menunduk menyesal karena tak dapat membantu Sisi kali ini.

Sisi mengelus lengan Digo, itu membuat desiran darah Digo menghangat tersalur keseluruh tubuh.

Sisi tersenyum sangat manis dan berkata, "Makasih Dig, lo baik banget sama gue. Dalam keadaan gue seperti ini saja, cuma lo yang masih mau berteman sama gue. Nggak seperti yang lain, saat gue masih memiliki semuanya, mereka mendekat, setelah tahu keluarga gue hampir bangkrut satu per satu menjauh."

'Itu karena gue tulus mencintai lo Si, gue nggak memandang lo dari keluarga siapa dan bagaimana. Yang jelas gue tahu lo gadis baik-baik dan dari kalangan keluarga yang baik-baik juga.' Digo hanya membatin, tak mampu dia mengungkapkan isi hantinya langsung kepada Sisi.

"Santai saja Si, gue nggak mikirin hal itu kok. Siapa pun boleh berteman 'kan?" tukas Digo yang Sisi jawab dengan anggukan kepala.

"Makasih ya Dig," ucapnya bahagia dan tulus. "Oh iya Dig, sebelum gue pergi, lo mau kan menemani gue keliling? Yaaaa... maksud gue, daripada gue sendiri jalan-jalan, lebih asyik kalau ada temennya," jelas Sisi agar Digo tidak salah paham dengan ajakannya itu.

"Wah, dengan senang hati Si. Pasti bakalan gue turutin ke mana pun tempat yang mau lo kunjungi. Jangankan keliling Indonesia, keliling dunia pun gue jabanin, asal lo mau jadi wifi gue. Biar internet gue selalu konek sama lo," seloroh Digo yang membuat Sisi terhibur hingga tertawa.

Tawa Sisi menjadi kebahagian tersendiri untuk Digo. Melihatnya tertawa, bahkan melihat bibirnya tertarik ke atas saja menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Digo.

"Bisa aja lo bercandanya, Dig. Sudah ah, bikin gue melting," sahut Sisi memutar tubuhnya menghadap ke depan.

'Gue serius Si, gue pengen menjadikan lo istri gue, tapi gimana caranya bilang itu ke lo? Gue bingung mau mengungkapkan perasaan ini ke lo Si.' Digo masih saja memperhatikan Sisi yang sudah mengeluarkan buku tebalnya dan kini dia sedang membacanya.

***

"Si, duduk dulu," pinta Digo setelah mengajak Sisi masuk ke dalam rumah.

Tadi setelah mereka pulang dari kampus, ban mobil Sisi bocor di jalan dan tiba-tiba mesin mobilnya pun mati. Tak sengaja Digo melewati jalan di mana Sisi sedang kebingungan mencari bantuan. Alhasil, Digo menelepon derek untuk membawa mobil Sisi ke bengkel dan Sisi nebeng dengannya.

"Iya Dig, makasih," ucap Sisi malu-malu dan sungkan sembari duduk di sofa ruang tamu rumah Digo.

Pasalnya, memang baru kali ini Sisi main ke rumah cowok, apalagi ke rumah Digo.

"Gue ganti baju dulu ya? Habis itu, gue antar lo pulang. Nggak apa-apa kan, Si?" tanya Digo memastikan bahwa Sisi tak keberatan menunggunya berganti baju karena kausnya kotor. Tadi, Digo sempat mengotak-atik mesin mobil Sisi sebelum menelepon derek.

"Iya Dig, santai aja. Gue nggak buru-buru kok," jawab Sisi dengan senyuman terbaiknya.

"Oke, gue tingal dulu sebentar ya?" Digo berlari cepat menuju ke kamarnya.

Saat Sisi sedang menyibukkan diri membaca majalah di ruang tamu, sembari menunggu Digo, Agatha dan Prilly masuk. Sisi langsung berdiri menunduk menyapa mereka sopan.

"Siang Tante," sapa Sisi ramah.

Prilly melepas kacamata hitamnya, melihat Sisi dari atas hingga bawah. Cantik, itulah kesan pertama yang ditangkap Prilly dari Sisi.

"Kak Sisi ya?" tebak Agatha menunjuk Sisi.

Sisi mengangguk. "Iya, bener. Kok tahu nama Kakak? Memangnya kita pernah ketemu sebelumnya ya?" tanya Sisi heran.

Agatha mendekati Sisi dan mengulurkan tangannya. "Kenalin Kak, aku adiknya Kak Digo."

Sisi menerima tangan Agatha dengan baik. "Oh, kamu kalau nggak salah namanya Agatha ya? Bener nggak sih? Maaf kalau salah," ucap Sisi tersipu malu setelah mengatakan itu.

"Bener banget, Kak. Pasti Kak Digo sering cerita tentang aku ya? Apa aja yang dia ceritakan? Dia nggak membuka aib aku ke Kakak 'kan?" Sisi menahan tawanya hingga bibirnya tersenyum lebar sembari menggeleng.

Agatha mengajak Sisi duduk melupakan seseorang yang sedari tadi memperhatikan mereka.

"Nggak Kok, Kak Digo cuma cerita, kalau adiknya itu cantik tapi bandel," ujar Sisi terkekeh kecil sampai menutupi mulutnya malu.

"Yaaaa 'kan? Itu mah sama aja mengumbar aib," rengek Agatha mengerucutkan bibirnya.

"Ehem!!!" Prilly sengaja berdehem menyadarkan dua gadis berbeda generasi yang sudah asyik mengobrol, bahwa di ruangan itu masih ada dirinya.

Agatha dan Sisi langsung tersadar, terutama Agatha, dia langsung tersenyum sok manis menampakkan wajah polosnya tanpa berdosa menyengir kepada sang mama.

"Eh Mama, masih di situ?" tanya Agatha polos.

"Kamu pikir?" geram Prilly menatap Agatha hingga mengeraskan wajah.

"Agatha pikir patung Mam," seloroh Agatha yang tak lagi membuat Prilly kaget, memang anak bontotnya seperti itu.

"Kamu nanti yang Mama kutuk jadi batu. Mau?" Prilly merasa gemas jika Agatha selalu menggodanya.

Anak ini selalu saja bisa membuat Prilly kesal, namun juga terkadang membuatnya bangga. Agatha adalah paket terlengkap baginya.

"Jangan dong Mam, entar Mama nggak lagi punya anak secantik Agatha loh? Emang Mama mau nangis darah karena menyesal udah ngutuk Agatha jadi batu?" bantah Agatha.

"Terserah kamu-lah Nak, Mama capek selalu berdebat sama kamu." Prilly mendekati Sisi dan duduk di sampingnya.

Prilly mengelus kepala Sisi, dia terpesona dengan kecantikan gadis itu. Wajahnya meneduhkan, bahkan saat dia tersenyum, hatinya sudah tertarik pada gadis ini.

"Siapa nama kamu Sayang?" tanya Prilly yang ingin berkenalan langsung dengan gadis cantik di depannya ini.

"Sisi, Tante," jawab Sisi malu-malu.

"Ih, Mama amnesia, tadi 'kan aku sudah nyebut nama Kak Sisi. Masih saja ditanya," sela Agatha membuat Prilly harus mengelus dada menghadapi anak bontotnya itu.

"Kak Sisi tumben main ke sini? Memang mau ngapain sama Kak Digo?" tanya Agatha polos menatap Sisi hingga memiringkan wajahnya lugu.

"Kepo!!!" sahut Digo sebelum Sisi menjawab. Digo yang baru saja datang sudah lebih fresh dan rapi daripada tadi.

"Yeeeee... nggak apa-apa dong tanya. Iya 'kan Kak Sisi?" tukas Agatha dijawab anggukan kepala malu-malu oleh Sisi.

"Mama baru pulang ya?" tanya Digo menyalami Prilly dan mencium tangannya.

"Iya, tuh adik kamu katanya tadi di sekolahan berantem lagi. Minta dijemput," adu Prilly sedikit kesal kepada Agatha karena hasil laporan seorang guru BK.

"Kenapa lagi sih?" tanya Digo yang kini ikut duduk besama mereka.

"Eh tunggu, kok ini belum ada minumnya? Nggak minta tolong Bi Inah buatkan minuman kamu, Digo?" sela Prilly sebelum Agatha menjawab pertanyaan sang kakak.

"Eh iya, maaf Mam, lupa," ucap Digo menyengir sambil menggaruk tengkuknya. "Bi!!!" panggil Digo kepada seorang ART.

Tak berapa lama seorang ART menghampiri. "Iya Den?"

"Tolong buatkan minum ya, Bi?" pinta Digo sopan.

Meskipun Bi Inah hanya seorang ART, namun Ali dan Prilly selalu mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk selalu menghormati orang yang lebih tua dari mereka.

"Baik, Den," jawab ART tadi sopan.

"Oh iya Bi, tolong kue lapis legitnya sama kue bronisnya bawa ke sini ya?" imbuh Prilly yang tadi sempat membuat kue bronis, sedangkan kue lapisnya oleh-oleh saat Ali pulang dari Surabaya kemarin.

"Baik Nyonya." ART tadi kembali ke dapur menyiapkan pesanan majikannya.

"Jelaskan sama Kakak, kenapa lagi? Kok kamu sampai berurusan sama guru BK?" tanya Digo mengingatkan Agatha agar menjelaskan sesuatu padanya.

Agatha melirik Prilly, takut untuk menjawab masalah yang sebenarnya. "Nganu Kak, mmm... itu... si Chelsea berulah lagi. Ngatain Agatha suka ngetek Mama."

Prilly menoleh menatap Agatha penuh selidik. Dia mencium sesuatu yang tidak beres dengan Agatha.

"Yakin, cuma masalah itu?" desak Prilly.

"Yakin Mama... udah ah! Agatha mau naik ke kamar dulu. Cape." Untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut dari Prilly, akhirnya Agatha memilih untuk naik ke kamarnya.

Digo tertawa keras, dia sudah dapat menebak apa yang sebenarnya terjadi. Meskipun mereka sering berantem layaknya adik dan kakak pada umumnya, namun Digo selalu mengetahui tentang adiknya itu. Walaupun Agatha tak mengatakan kepada orangtua mereka, Digo bisa lebih tahu terlebih dulu, karena dia selalu mendesak agar Agatha bercerita apa pun kepadanya. Mereka juga berbagi rahasia, yang belum siap mereka bagi kepada Ali dan Prilly.

"Ada apa sih?" tanya Prilly dibuat bingung dengan tingkah kedua anak mereka, tak hanya Prilly, Sisi pun sampai mengerutkan dahinya, menatap Digo yang sampai tertawa seperti itu.

"Nggak ada apa-apa Mam. Tanyakan sendiri nanti sama Agatha. Digo nggak ikut-ikutan soal itu." Digo mengangkat tangannya tanda menyerah.

"Kalian ini, selalu saja bikin Mama pusing," ucap Prilly kesal.

"Ya udah deh Mam, entar juga tahu sendiri kalau sudah waktunya. Udah ah, Digo mau antar Sisi pulang dulu. Kasihan, tadi ban mobilnya kempes dan tiba-tiba mesinnya juga mati di jalan," jelas Digo beranjak dari duduknya dan menjabat tangan Prilly agar dapat dia cium.

"Tante, Sisi pulang dulu ya?" pamit Sisi ikut mencium tangan Prilly.

"Eh, tunggu sebentar. Minumnya ditunggu dulu, kasihan Bi Inah sudah capek-capek membuatkan," cegah Prilly sebelum mereka pergi.

"Oh iya, ya Mam. Sampai lupa." Digo kembali duduk sedangkan Sisi menunduk malu kerena tidak jadi pulang, padahal sudah berpamitan.

"Sisi, pacarnya Digo?" tanya Prilly yang sudah dari tadi penasaran ingin mengetahui hubungan mereka.

Karena selama ini, Digo tidak pernah mengajak teman ceweknya main ke rumah dan baru kali ini membawa teman ceweknya datang ke rumah. Sisi dan Digo saling menatap, sedangkan Prilly menunggu penjelasan mereka.

##########

Nah loh? Mau jawab apa kalian? Hihihihihi
Pasti Sisi malu banget ya? Udah pamitan nggak jadi pulang. Aku juga pernah mengalami hal seperti itu. Hahahahaha lol

Makasih ya sudah mengikuti sampai di sini. Makasih untuk vote dan komentarnya. Semoga tidak mengecewakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top