[Game] Mimpi yang Bukan Mimpi
Yuhuuu! I'm back. Ehehehe ...
Kali ini aku bawain semacam drabble dengan tema horor dan creepy (niatnya). Tulisan ini adalah hasil dari game yang tadi malam dilaksanakan oleh anggota gen 3.
Game apa tuh?
Sambung kalimat, keren 'kan?
Jadi kami, anggota gen 3, secara berurutan masing-masing melemparkan kalimat dengan empat kata. Kalinat ini harus saling menyambung dan sesuai dengan tema horor + creepy (entah ini sudah horor apa belum, drabblenya. Anggap aja begitu lah ya).
Nah, setelah selama satu jam, akhirnya terkumpul beberapa kalimat yang lumayan memiliki alur. Dan tugas selanjutnya yaitu masing-masing melengkapi kumpulan kalimat itu menjadi sebuah drabble yang utuh. Jadi, inilah hasil karya dari sudut pandangku.
Silakan dinikmati~
*kayak bakal nikmat aja lagi, #plak
-----#####-----
Aku menghitung irama jantungnya. Seluruh tubuhku terasa kram seperti tanpa darah. Saat mata itu mulai menatapku dengan sangat tajam, membuat bulu kudukku merinding. Rasanya jantungku ingin meledak, Sulit rasanya untuk bernafas, Keringat mulai membasahi tubuhku, Jantungku berdetak lebih cepat. Sosok itu mencekik leherku, Membuatku kesulitan untuk bernapas, Kukunya menembus ke dagingku Tiba-tiba saja darah mengalir.
"Akankah aku akan mati?" batinku. Bersamaan dengan tekanan tangannya di leherku, bau amis menyeruak keluar. Kuku tajamnya menyobek epidermis kulit. Aku meringis merasakan sensasi rasa sakit disana. Teramat sakit, hingga tidak kuat aku terbangun. Menatap robekan besar pada luka yang barusan terjadi. Terasa perih hingga tulang.
"Adakah yang bisa menolongku?" Dalam hati aku berharap datangnya seseorang bak pahlawan yang akan menyelamatkan nyawaku dari sosok di depanku saat ini.
Ya, aku tahu. Ia tak membunuh, ia menyiksaku. Menyiksaku, dengan cara tak kasat mata. Menyiksaku perlahan bersamaan dengan mentalku yang semakin hancur. Entah siapa sosok itu, Hanya bayangan yang terlihat.
Tubuh sempurna seorang lelaki, Walau mimpi, dia nyata. Ia kemudian menyeringai, Udara panas menyapu wajahku. Dan kulihat sosoknya berdiri. Aku berlari sekuat tenaga, Matanya merah menyala, menyeramkan. Kucoba lari walau mustahil. Menembus malam yang gelap. Namun, kakiku sudah melemah karena tak sanggup lagi menahan ketakutanku.
"Aku ingin segera mati!" pekikku yang lagi-lagi hanya dalam hati. Entah sudah berapa kali aku berteriak sekuat tenaga, tapi pada akhirnya teriakanku hanya di dalam hati. Apa aku mendadak bisu? Apa pita suaraku rusak? Kenapa suaraku tak keluar?
"Ya, Tuhan! Jika ini mimpi, tolong sadarkan aku segera," pintaku sepeuh hati. Aku benar-benar tak kuat jika harus mengalami mimpi ini.
Aku menatap sosok di depanku. Ya, dia pacarku. Sosok yang sedari tadi mengejar dan menyiksaku adalah pacarku. Aku sadar kekasihku kerasukan. Kurasakan cengkeramannya di lenganku, Tubuhku terhuyung ke belakang, Dorongannya teramat kuat, hingga membuat tubuhku jatuh berguling-guling. Rasanya tulangku ingin patah. Sosok besar menarikku kasar, lalu menghempaskanku hingga terpental.
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku menyerang balik? Aku sudah tak memiliki tenaga untuk itu, dan aku juga tak sanggup jika harus kabur. Dengan putus asa aku memikirkan opsi utk hidup. " Sayang, jangan bunuh aku," pintaku padanya. Berharap kekasihku yang saat ini bukan kekasihku sedikit iba melihatku.
Ia berbisik di telingaku. "Merasa pantas hidup, ya?" Bulu kudukku kembali meremang. Seketika kurasakan aliran darah di wajahku berhenti. Inikah sosok yang kukenal?
Bibirku bergetar menahan tangis. Aku menangis, jariku diiris. Rasa sakitnya membuat kepalaku berdenyut. Air mataku jatuh bercampur dengan tetesan darah di lantai. "Ini yang dulu kau ... rencanakan sejak malam itu?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku benar-benar ketakutan.
Kekasihku terkekeh. Sepertinya ia merasa lucu mendengar pertanyaanku. "Apa kau tidak mencintaiku? Bukankah dulu kau bilang kau tak 'kan menyakitiku?" ucapku di sela tangis. Hatiku patah. Aku kecewa, ia mengingkari janjinya.
"Lupakan! Akan kuhabisi kau!" bentaknya. Ia lalu mengambil sebuah kapak dipojok.
"Sadarlah, ini aku cintamu," pekikku histeris. Aku sangat takut melihat sorot mata haus darahnya.
"Apa aku bersalah padamu?" tanyaku lagi. Aku berusaha mengulur waktu. Aku menangis menjadi-jadi, sengaja agar ada orang di luar sana yang mendengar suaraku dan menyelamatkanku. Walaupun aku tahu, peluang untuk hal itu amat tipis.
Dia kembali mengabaikan tangisku.
"Jangan sentuh aku, Brengsek!" hardikku dengan suara bergetar. Kali ini aku mencoba membentaknya. Barangkali ia sedikit takut dengan bentakan penuh gemetar dariku. "Kau bukan lagi laki-laki," ucapku serak. Sepertinya suaraku sebentar lagi akan habis. "Bunuh aku seperti kemauanmu!" Aku mencoba memprovokasinya.
Air mataku mengalir deras darah. Dia menyunggingkan senyum sinis. Tiba-tiba ada seseorang yang menghantam pukulan di kepalanya. Matanya membelalak, amat mengerikan. Aku memekik tertahan melihatnya. Aku menoleh ke arah orang yang membuatnya tersungkur. Ternyata yang memukul adalah ayahku. Kulihat ayahku berduel dengannya. Aku meringkuk ketakutan di pojok ruangan.
"Ini tidak bisa dibiarkan," pikirku. Dengan sekuat tenaga kuberlari sambil berusaha tidak melihat belakang. Aku tahu tujuanku. Aku harus mencari pertolongan. Aku harus menyelamatkan ayahku.
Setelah merasa cukup jauh berlari, aku berhenti. Bagaimana keadaan ayah sekarang? Masih bernafas tetapi sekarat. Kulihat dari kejauhan terkapar. Ingin kembali, tetapi menakutkan, cukup banyak darah bersimbah, suara aneh mulai terdengar.
Sebuah sinar terang menyilaukan mataku. Rasa sakit menyerang bagian belakang kepalaku dengan hebat. Aku berteriak karena tak dapa menahan sakitnya. Sayup-sayup di sela teriakanku terdengar suara lembut lain.
"Jen ...."
Telingaku menajam, teriakanku seketika berhenti. Aku kenal suara ini.
"Jenna ...." Suara lembut itu terdengar lagi.
"Ibu?" gumamku pelan.
"Iya, Nak. Ibu di sini," suaranya semakin jelas di telingaku.
"Ibu! Ibu di mana, Bu? Tolong Ayah, Bu!" Aku berteriak panik. Tak kutemui sosoknya di sekitarku. Yang kulihat hanya gelap. Sangat gelap.
"Apa maksudmu, Jenna?" Dari suaranya aku tahu, Ibuku bingung.
"Ibu! Di mana, Bu? Kenapa gelap sekali?" panikku.
Bletak!
Sebuah jitakan mendarat mulus di ubun-ubun kepalaku. Aku meringis merasakan sakitnya. Bersamaan dengan itu suara lembut tadi terdengar menyeramkan. "Bangun, Jenna. Buka matamu biar tak gelap. Sudah cukup igauanmu. Sekarang saatnya kau pergi ke sekolah."
Aku terdiam. Ah, benar. Daritadi aku tak membuka mataku. Aku terkekeh sambil membuka mataku. Kudapati wajah lembut nan meneduhkan itu di depanku. "Untunglah, semua ini hanya mimpi," batinku.
Ibuku lalu beranjak menuju pintu. Sebelum ia menghilang di balik sana, tanpa sengaja aku melontarkan pertanyaan yang ternyata jawabannya membuat darahku seketika berhenti mengalir. "Ayah mana, Bu?"
"Ayahmu belum pulang. Sejak pergi menjemputmu kemarin malam," jawabnya dengan wajah pucat pasi.
--End--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top