[Cerpen] Delapan Belas Jam

"Kau buat hari bagai mimpi
Seolah kau buat aku tak lagi sendiri
Tapi layaknya semua mimpi
Ku terbangun bersamaan datangnya Sang Pagi."

(Terhapus Pagi - Fabian Winandi)

#####

Aku menatap langit biru. Membiarkan air yang membasahi tubuh meresap hingga ke dalam hatiku. Berharap ia mampu menghapus sakit yang ada di sana. Perih. Bahkan semakin perih. Perlahan aku merasakan air mataku menetes. Ah, aku seorang laki-laki. Tak seharusnya aku menangis, 'kan?

"Hei!"

Sayup-sayup aku mendengar sebuah suara di kejauhan. Suara seorang wanita. Aluna kah? Pikirku. Aku terkekeh, menertawakan diriku sendiri. Begitu patah hatinya kah aku? Sampai berharap ia akan mengejarku sampai tempat ini.

Aku semakin menenggelamkan diriku ke dalam air laut. Sambil terus berharap dinginnya dapat menyembuhkan hatiku. Konon, kata orang tua dulu, air garam bisa mempercepat penyembuhan luka. Walau aku tidak yakin bisa menyembuhkan luka dalam hatiku.

"Hei!"

Suara itu terdengar lagi. Kali ini sangat jelas dan lebih nyaring. Aku menenggelamkan diriku lebih dalam sambil memejamkan mata erat. Berharap suara itu bisa menghilang dari otakku. Tapi semakin aku menenggelamkan diriku, maka suara itu semakin jelas dan tampak seperti semakin dekat.

Aku merasakan aliran air di sekitarku berubah, bersamaan dengan suara air terusik di sekitarku. Aku membuka mataku. Sebuah tangan menempel di rambutku dengan secepat kilat. Ada rasa sakit di sana, seperti sebuah tarikan kuat.

"Hei! Sadarlah!" suara nyaring sampai di telingaku . Sedikit memekakkan, walaupun aku yakin saat ini ada air yang menyumbat telingaku.

"Apa kau mau mati? Apa kau bodoh? Berenang di saat ombak sedang tinggi," gerutunya sambil tetap tak melepaskan jambakan pada rambutku.

"Ah! Sakit!" pekikku.

Gadis berwajah bulat dengan rambut hitam legam sebahu itu melepas jambakannya. Dengan wajah tanpa rasa bersalah ia melanjutkan omelannya, "apa kau benar-benar mau mati?"

"Ya. Aku benar-benar ingin menghilang dari dunia ini!" ucapku keras. Aku kesal dengan sikap sok tahunya. Siapa juga yang mau mati? Aku hanya mau menyembuhkan luka, batinku.

"Ah, begitu. Maaf sudah mengganggumu," ucapnya sembari pergi.

Aku mendengus kesal. Dasar! Siapa sih dia? Sok tahu sekali, mengganggu ritual penyembuhanku, gerutuku.

Tepat saat baru saja aku menyelesaikan gerutuanku, gadis itu berbalik. Aku mengambil kuda-kuda, berjaga-jaga jika ia menjambakku lagi.

"A-apa?" ucapku terbata. Kenapa aku terbata? Apa aku takut padanya? Ah, pasti karena dingin.

"Tidak. Aku hanya mau memberitahumu saja, jika kau berniat menghilang dari dunia ini, coba pikirkan sekali lagi. Barangkali di luar sana ada yang menantimu dengan penuh harap."

Ajaib! Dengan satu nasehat itu saja, rasa perih di hatiku seakan menguap, lalu hilang entah ke mana. Tanpa menyisakan bekas sekali pun. Dengan sendirinya kakiku melangkah mengikuti gadis ajaib itu. Apa ini? Kenapa aku mengikutinya? Pikirku.

Gadis itu menoleh ke arahku dengan sedikit bingung. "Kenapa kau mengikutiku? Bukankah kau ingin menghilang?" tanyanya sambil menatap tajam. "Jangan mengikutiku!" sambungnya dingin.

Aku menatap matanya. Ada kesedihan yang dalam di sana. Entah kenapa aku seakan merasa tertarik untuk dekat dengan gadis ajaib itu. Aku lalu mengangkat kedua bahuku. "Naluri," ucapku.

Begitulah pertemuan kami. Aku jatuh cinta padanya. Pada gadis yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya. Secepat itu? Memang. Bahkan tepat setelah aku patah hati karena Aluna. Aku juga heran dengan hatiku. Benar kata orang, hati itu makhluk yang paling sulit ditebak. Buktinya aku tetap jatuh cinta pada gadis itu, walaupun hanya dalam waktu delapan belas jam.

***

Itu yang kupikirkan beberapa jam yang lalu. Tidak dengan sekarang.

"Ternyata kau benar-benar bodoh," ucapnya sarkas.

"Tidak," jawabku enteng. Aku melihat jam di tanganku. "Pukul sepuluh malam. Berarti sudah sekitar sepuluh jam yang lalu aku jatuh cinta padamu," lanjutku, yang langsung dibalas tatapan dingin olehnya.

"Aku sudah bertunangan dengan seseorang, dan akan menikah esok," jawabnya dengan sorot mata dingin.

Aku hanya tersenyum miris. "Jangan salahkan aku, salahkan hatiku." Aku lalu duduk tepat di samping Adinda, gadis yang baru saja ku temui beberapa jam yang lalu. "Dengan tidak tahu malunya ia jatuh cinta padamu, tepat setelah patah hati karena ditinggal menikah oleh Aluna. Dan sekarang ia patah hati lagi karena jatuh cinta pada tunangan orang yang akan menikah besok," sambungku sambil tersenyum getir. Berusaha menghilangkan rasa perih yang semakin menjadi-jadi. Sedih sekali kisah percintaanku hingga harus mengalami dua kali patah hati hanya dalam waktu kurang dari 18 jam.

"Yah, itu risiko untukmu. Mencintai milik orang lain." Gadis itu lalu beranjak dari duduknya. "Toh, aku sudah bilang jangan mengikuti sedari awal."

"Tunggu dulu!" cegahku saat melihat ia hendak beranjak pergi.

"Apa lagi?" tanyanya menahan kesal. Entah ia kesal karena apa. Padahal sebenarnya ia tidak dirugikan apapun oleh pernyataan cintaku.

"Bukankah kau hanya akan semakin merasa sakit jikq aku berlama-lama di sini?" sambungnya tegas.

"Ck, kenapa kau kejam sekali? Toh hanya aku yang akan merasakan sakit. Setidaknya biarkan aku tidur di dekatmu. Dengan begitu kisah kita akan terhapus pagi, dan tersisa seperti mimpi," ucapku asal. Aku hanya tak mau melihatnya pergi secepat ini. Biarkanlah aku merasakan sedikit kebahagiaan setidaknya delapan jam lagi.

"Baiklah," putusnya. Adinda lalu kembali duduk di sampingku. Berdiam diri dengan tenang.

Sebenarnya aku cukup terkejut dengan keputusannya. Tapi aku tak mau ambil pusing, toh kisah ini benar-benar akan terhapus ketika pagi.

"Jangan berpikiran aneh. Aku hanya tidak mau merasa bersalah karena membuatmu jatuh cinta padaku nantinya. Anggaplah ini sebagai kompensasi karena menambah warna di hidupku sebelum menjadi milik orang lain esok pagi," racaunya.

"Yakin? Kau tidak sedang berusaha mencari alasan untuk melarikan diri dari pernikahanmu, 'kan?" ejekku asal.

Aku menangkap raut terkejut di wajahnya. Apa ini? Apa tebakanku benar? Hahaha, percintaan memang bukan sebuah hal yang mudah.

"Apa kau tak mencintainya?" tebakku lagi.

Adinda menghela napas. Gadis itu kemudian memejamkan matanya. Tampaknya ia sedang menata hati. "Yah, aku sekarang tak lagi mengerti apa arti cinta. Yang aku tahu, aku harus menjadi istrinya jika ingin semuanya baik-baik saja," sahutnya.

Gadis itu lalu membenarkan posisi duduknya, berusaha mencari tempat ternyaman untuk menjemput pagi.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Tak ada niat memperpanjang perdebatan. Aku ingin menikmati saat manis ini. Biarlah sakitnya kupikirkan nanti. Toh semua ini akan terhapus pagi, lalu menjadi mimpi paling aneh.

***

Aku menatap semburat kekuningan di ujung laut. Sinar keemasan yang terpantul di air laut menambah keindahan pemandangan saat ini. Beberapa burung terbang berkelompok menyambut Sang Matahari. Sayup-sayup aku mendengar suara beberapa nelayan bersahut-sahutan. Mereka saling beriringan menuju perahu-perahu yang berjejer di bibir pantai.

Aku menoleh ke samping. Mencari sesuatu yang kutahu pasti tak mungkin berada di sana. Aku terkekeh menertawakan harapan bodohku. "Bodoh! Kenapa masih saja berharap dengan yang bukan milikmu?" gumamku pada diri sendiri.

Ya, Adinda sudah pergi. Ia tak ada di sini. Gadis itu benar-benar terhapus pagi.

Aku beranjak pergi, meninggalkan mimpi yang harus kurelakan. Berharap dapat menemui Adinda yang lain, yang tak akan terhapus pagi dan menjadi mimpi.

~¤End¤~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top