[9] Gemara
"Ya Tuhan, anak siapa sih ini!" pekik Arka barusan datang bersama dengan Gima. Gima tersenyum senang, melihat bocah gembul itu, "Ke mana aja sih, hem?" tanyanya mengangkat bocah itu. "Nggak ke mana-mana Abang," ujarnya memperlihatkan gigi kelincinya. Sangat imut, memang.
"Anak siapa sih ini," gemes Gima menciun pipi temben itu. "Ih, abang geli," tawanya menyembunyi wajahnya dicekukkan leher Gima.
Seorang gadis cantik berjalan menghampiri mereka. "Kalian udah datang," sapannya.
"Mama!" pekik sang bocah berontak ingin turun dari gendongan Gima. Arka tertawa melihat itu, karena tubuh gadis kecil itu didekap erat oleh Gima. "Nggak boleh turun," saut Gima dengan senyum mengejek. Gadis kecil tersebut merenggut, dia menoleh ke Arka.
"Abang Kaka," adunya meminta pertolongan. "Sini sama Abang," saut Arka menjulurkan tangannya. Dengan senang hati gadis itu beralih dari gendongan Gima ke gendongan Arka.
"Kalian berdua doang?" tanya Laras menatap kedua pemuda itu bergantian. Gima mengangguk dan melongos duduk di sofa.
"Nyaman nggak rumahnya?" tanya Gima memerhatikan ruangan yang tak terlalu besar itu, tapi lumayan nyaman baginya untuk ditempati.
"Nyaman, thanks ya udah bantuin gue," ujar Laras merasa tak enak hati.
"Sans aja Ras, kek sama siapa aja lo," saut Arka menimpali. Gima mengangguk, dia menatap figut foto yang tertempel di dinding ruangan tersebut. Sudut bibirnya tersenyum miring, "Lo masih mengharapin dia?" tanya Gima.
Tuk!
"Apaan sih Ka," dengkus Gima karena bahunya dipukul oleh Arka. "Ya, lo nanya nggak ngotak," ujarnya.
"Gue cuman nanya aja ogeb," sinis Gima.
Laras tersenyum sadu. Dia masih berharap, tapi apa boleh buat dia tak patut untuk dimiliki oleh siapapun, termaksud dia. Karena kecerobohan dia di masa lalu, dia menghadirkan seorang gadis tak berdosa, lantas bisakah dia memilikinya.
"Nggak usah dipikirkan, Ras. Si Gima lagi sedeng," saut Arka menghibur Laras yang mengelamun.
"Akh, nggak kok. Gue nggak ngarapin lagi. Karena Cantika udah lebih dari cukup bagi gue," ujar Laras tersenyum menatap putrinya yang sudah berumur tiga tahun itu. Ternyata waktu cepat berlalu.
"Baguslah," gumam Gima pelan.
"Ka yok," ajak Gima pasalnya pemuda itu masih asik bermain dengan Cantika.
"Yaudah, Abang Kaka sama Bang Gima pamit dulu ya. Baik-baik anak manis," pamit Arka mencium kedua pipi gembul Cantika. Cantika mengangguk sambil mengerjabkan matanya lucu.
"Kami pamit, lo baik-baik di sini," ujar Arka. Laras mengangguk, "Makasi dan hati-hati."
Mereka meninggalkan rumah itu, dengan Gima diboncengi Arka. "Langsung ke markas aja," suruh Gima menepuk bahu Arka. Pemuda itu tak menyaut dan langsung memacu kendaraan roda dua miliknya dengan kecepatan tinggi.
Sesampai di markas, keadaan sudah rame. Ya, memang hari ini mereka menyuruh semua anggota untuk berkumpul. "Bang, dari mana aja lo!" sapa Dafa membuat Arka terkejut.
"Nggagetin aja lo, Cil," seloroh Arka.
"Yuk, gabung," ajak Arka kepada pemuda yang lebih muda darinya itu.
Dafa mengangguk, mereka bergabung dengan yang lain. "Jadi teh gimana, lanjutannya?" tanya Arka datang-datang menimbrung saat Jade tengah berbicara. Jelas hal tersebut mendapat tatapan maut dari Jade. Arka cengegesan, dia beranjak duduk di dekat Gima yang tengah membolak-balik buku.
"Gema mana?" tanya Arka karena tidak melihat pemuda itu. Namun, Gima tidak mengindahkan Arka, dia sibuk dengan aktivitasnya sendiri. "Gim, gue nanya loh," decak Arka.
"Dari tadi gue sama siapa, lo kan. Mana gue tahu dia di mana," jawab Gima cuek.
"Kalian bisa diam nggak sih!" saut Jade menatap tajam kepada kedua pemuda itu, dari mereka berdua datang sudah ribut. "Tuh, si Arka," ujar Gima menyalahkan Arka.
"Iya, iya maap. Sok lanjutin," suruh Arka memutar bola mata malas.
***
"Mah, apa iya aku penyakitan?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Genara. Sontak Miranda meremas tangkai sendok dan garpu yang dia gunakan.
"Ara, siapa yang bilang begitu nak?" tanya Kevin-papanya Genara menatap putrinya.
Genara menatap Papa Kevin dengan pandangan sulit diartikan. "Bukannya itu kenyataannya Pah," gumamnya tersenyum tipis. Miranda dan Kevil saling pandang. "Dalam minggu ini, aku hampir setiap hari tidak sadarkan diri. Bukannya itu penyakit, apa Mama sama Papa menyembunyikan sesuatu dari aku?" tanya Genara.
"Ya Tuhan," gumam Miranda syok. Air matanya luruh, apa semakin parah?
Kevin terdiam, pikirannya kalut. Dia tidak siap untuk menerima keadaan seperti ini. Dia menatap sejenak Genara yang juga tengah menatap dirinya, tanpa mengatakan sepata kata apa pun, dia beranjak dari meja makan. Dan meninggalkan Miranda dan Genara.
Melihat papanya pergi, tambah membuat Genara percaya. Bahwa dirinya mengindap suatu penyakit. "Mah, Mama pasti tahu kan?" tanya Genara berharap mendapatkan jawaban.
Akan tetapi, lagi-lagi dirinya ditinggalkan. Miranda pergi tanpa mengakatan sesuatu.
"Arghh! Sebenarnya gue kenapa sih?" pekik Genara dengan suara tertahan. Apakah orang tuanya tak menyayanginya, hingga mereka cuek terhadap dirinya. Satu-satunya yang dapat dia andalkan di sini adalah Jade. Pasti pemuda itu mengetahui semuanya.
Dengan perasaan dongkol, marah, dan kecewa. Genara meninggalkan meja makan, dia balik kemarnya. Miranda melihat itu menangis dalam dekapan suaminya. Dia hanya takut, ketika putrinya mengetahui kebenarannya, membuat gadis itu hancur. Dia tidak ingin kehilangan Genara. Dan itu lah menjadi alasan Genara sering pindah-pindah sekolah, karena mereka kehilangan kata-kata untuk membuat alasan setiap Genara menanyakan perihal kenapa dengan dirinya. Dan dengan cara itulah setidaknya Genara melupakan sejenak kenapa dengan dirinya sebenarnya.
"Kita harus bagaimana, aku nggak mau kehilangan Ara Mas," lirih Miranda.
Pintu kamar Genara sedikit terbuka. Miranda mengintip ke dalam, ternyata putrinya tengah berkutat dengan laptop miliknya. Miranda tersenyum tipis, lantas masuk ke dalam.
"Ara," panggil Miranda membuat gadis itu menoleh. "Mama," ujarnya terkejut. Miranda tersenyum dan memanggil Genara agar duduk di sampingnya di atas ranjang.
"Gimana dengan sekolah kamu?" tanya Miranda. "Nggak ada masalah Mam," saut Genara tersenyum tipis. Melihat hal itu membuat Miranda merasa lega. Satu hal yang dia sukai dengan sikap putrinya, dia tidak mau berlarut-larut dalam keamaraahan atau kesedihannya.
"Mama boleh minta sesuatu dari Ara," pinta Miranda. Genara menatap sang Mama dengan alis berbekerut.
"Mah, are you okey?" tanya Genara melihat tiba-tiba Miranda menangis.
"Mama, okey sayang," gumamnya memeluk tubuh Genara.
"Mama kenapa?" tanya Genara merasa nyaman dalam dekapan itu. Miranda melepaskan pelukannya dan menatap putrinya lekat.
"Ara harus janji sama Mama," saut Miranda. "Ara harus janji, kalau Ara mau untuk sembuh," lanjutnya membuat Genara tersentak kaget.
"M-aksudnya Mama?" tanyanya dengan perasaan tak karuan, apa benar, asumsi-asumsinya semua kenyataan?
Miranda mengeluarkan selembar kertas dari saku piyamanya, memberikan kepada Genara. Genara langsung membacannya. Kertas itu jatuh begitu saja, tatapan Genara seketika kosong. Miranda langsung mendekap tubuh putrinya. "Ara harus janji, buat sembuh," ujarnya meredam tangisnya.
Genara tersenyum miring, ya. Kenyataan yang sangat menyakitkan. "A-aku janji bakal sembuh Mah," lirih Genara, tangis Genara pecah. Kesal, marah, dan sedih dengan kenyataan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top