[8] Gemara
Intan mencat-mencat dengan wajah merah padam. Sadari tadi dia mengomel panjang kali lebar menceramahi kedua pemuda yang tengah mengapit jalannya.
Arka melihat Intan bersama Jade dan Gema lantas menyusul mereka. "Lah kenapa lo?" tanya Arka berdiri tepat di hadapan Intan, menatap wajah merah padam dan kurang mengenakan itu. Tak lama menyusul Genara dengan Ruby.
"Nah ini anaknya!" omel Intan menarik tangan Genara dan tanpa mengindahkan orang di depannya. Hingga tubuh Arka hampir terjatuh.
Jade geleng-geleng kepala dibuatnya, tapi dia bersyukur temannya adiknya tulus berteman dengan Genara. "Ada apa sih?" tanya Arka menatap bingung.
"Gak ada," saut Jade tersenyum tipis menepuh bahu Arka dan menyusul ketiga gadis itu yanv sudah duduk di bangku kantin. Arka menatap Gema menuntut penjelasan, tapi pemuda itu hanya diam tanpa memperdulikan Arka.
Genara hanya diam, kupingnya panas karena mendapat serangan fajar dari Intan. "Ntan, panas kuping aku," adu Ruby memanyunkan bibirnya tak suka lantaran Intan tak henti-hentinya mengomeli Genara.
Genara mengangguk membenarkan ucapan Ruby. Intan menghela napas, dia menatap sinis kedua gadis itu. Genara tersenyum kecil, "Thank ya Ntan," gumamnya tulus.
Intan ikut tersenyum. "Ah, makin sayang gue sama kalian," ujarnya heboh beranjak merangkul Genara dan Ruby.
"Ehem, numpang makan," saut Arka dengan tampang lepengnya.
"Abang gue tadi Kak?" tanya Genara membuat Arka tersedak karena makanan yang barusan masuk ke dalam mulutnya.
"Apa, lo panggil gue apa tadi?" tanya Arka sudah agak mendingan. Tampangnya seperti syok berat.
"Ya, lo kan tuan dari pada gue," ujar Genara meringis sendiri, dia lantas melirik Intan yang juga tengah menatapnya cengong.
Arka mengangguk-anggukan kepalanya. Mulutnya sibuk mengunyah, "Ya, ya. Sekarang lo jadi adek gue ya," serunya tersenyun manis menatap Genara. Genara tergegung, dia tersenyum tipis lantas mengangguk.
"Ruby," saut Ruby baru menyuara. Dia mengerjabkan matanya lucu. Arka terkekeh, "Nara sama Ruby adeknya abang Arka."
"Asik, aku punya abang baru," seru Ruby senang. Genara terkekeh mengangguki apa yang dikatakn oleh Ruby.
"Lah, gue?" timbrung Intan menunjuk dirinya sendiri. Seketika wajah Arka memerah sampai daun telinganya.
"Lo jadi kakaknya mereka," saut Arka tersenyum manis.
"Buset!"
"Anjir lo!" omel Arka lantaran terkejut karena kaki kursi yang dia duduki sengaja ditendang oleh Gima.
"Kak Gima nggak boleh gitu," ujar Ruby menasehati pria itu. Wajah Gima memerah karena malu.
"Hehe, maaf," cengengesannya menyengir kuda.
"Eleh," ejek Arka membuat Gima mendengkus kesal.
"Ni makanan kalian," saut Jade datang beriringan dengan Gema dengan masing-masing nampan berisi penuh di tangan mereka.
"Makasi Abang, Kak Gema," saut Ruby menerima dengan senang.
"Makasi De, Ma," saut Intan berbinar menatap semangkok bakso tersebut.
"Terima kasih," gumam Genara melirik Gema kebetulan pria itu yang memberikan makanan.
Semua kusyuk dengan makanan masing-masing. Kebetulan Arka sudah lebih dahulu siap makan dia memerhatikan Genara.
"Lengan lo kenapa Ra, berdarah?" saut Arka bingung dan khawatir dalam waktu bersamaan. Semua mata tertuju ke arah Genara. Genara melirik lengan kanannya. Ternyata lukanya kembali berdarah dan merembes ke lengan switer yang dia kenakan.
"Ini nggak ada apa yang mau menyuara, sebenarnya ada apa?" tanya Arka menyelisik kedua pemuda yang hanya diam menatap Genara khawatir.
"Ra kenapa bisa luka kayak gitu?" tanya Gima merasa tak beres.
"Ra, are you okey?" tanya Intan khawatir pasalnya Genara hanya diam menayap lurus ke Jade.
Genara menatap Jade yang kebetulan duduk bersebrangan dengan dirinya. Dari raut wajah Genara, gadis itu kebingungan dan dari sorot matanya terpancar ketakutan.
Ya, Genara fobian terhadap darah. Tenggorokannya terasa tercekik, saluran pernapasannya terasa sempit, dan kegelapan menghampirinya untuk sekian kalinya.
"RA!!"
***
Gema terduduk di depan ranjangnya. Kepalanya menunduk dalam, tubuhnya saat ini bergetar hebat. Di luaran sana hujan deras ditambah petir menambah kegusaran di hati Gema. Gema, dirinya fobia terhadapat halilintar, kejadian masa lalu menjadikan trauma hebat baginya.
Ketuka pintu dari luar tak dihiraukannya sama sekali. "Abang," panggil Bunda Fayra membuat Gema terisak. Tangisnya sadari tadi ditahan akhirnya dikeluarkan juga.
Bunda Fayra melihat putranya ketakutan langsung mendekap tubuh yang bergetar itu. Yang mengetahui ini hanyalah Bunda dan Ayah Gema.
"Bun, takut," cicitnya mendekat erat tubuh bundanya.
"Ada Bunda saya. Abang nggak boleh takut." Hibur Bunda Fayra mengelus rambut Gema dengan lembut. "Gema, tatap Bunda nak," pinta Bunda Fayra.
Gema menurut dia sedikit mendongkakkan kepalanya. Dan menatap wajah wanita yang melahirkan dirinya ke dunia ini. "Gema nggak boleh takut, di luar hanya petir. Nggak apa-apa sayang," ujarnya menenangkan Gema. Fayra kasian jika putranya harus dirundung ketakutan terus-menerus, pasalnya dia dan suaminya sama-sama tidak mengetahui penyebab Gema takut akan halilintar.
"Bunda temanin tidur ya," usul Bunda Fayra. Gema mengangguk kecil, "Bunda jangan pergi ya," gumamnya. Bunda Fayra mengangguk dan mencium dahi Gema. "Bunda nggak akan ke mana-mana."
Jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Mata dan wajah Genara masih segar. Gadis itu sama sekali belum memejamkan mata. Setelah selesai belajar tadi, Genara hanya berdiam diri duduk di bangku belajar sambil memandangi ke arah luar jendela. Hujan dan petir masih saling bersahutan, pikirannya menerawang, mencoba mengingat-ingat memori yang sempat atau mungkin terlupakan olehnya.
"Sebenarnya aku ini kenapa?" Pertanyaan itu sering dia lontarkan untuk dirinya. Akan tetapi, tak ada satupun jawaban yang dia dapatkan. Memorinya bagaikan kaset rusak yang sulit diperbaiki.
Genara hanya bisa menghela napas gusar. Semakin dia pikirkan, kepalanya semakin sakit dan kegelapan selalu menjemputnya. Genara melirik ke lengan kanannya, siang tadi lukanya kembali dijahit. Kepalanya mendadak pusing, dirinya capek, bolehkan sekali saja mengeluh karena keadaan.
Dan dirinya butuh pelampiasan atas semua sakit yang selalu menghantam dirinya. "Tuhan rencana apa yang kau siapakan untukku?" gumam Genara merebahkan kepalanya di atas meja belajar.
Genara masih betah memandangi hujan di luaran sana. Pikirannya tiba-tiba mengarah ke pemuda yang akhir-akhir ini sering mengusik isi kepalanya. Rasanya hujan-petir-dia memiliki keterkaitan yang erat. Entahlah, dia merasa ada sesuatu yang terjadi dikala hujan dan petir yang bersahutan, tapi dirinya sama sekali tidak mengingatnya.
"Pleas, sekali saja," gumam Genara memejamkan matanya, rasanya kepalanya mau pecah. Dia mati-matian untuk mengingat kilas masa lalu, tapi sakit dengan kuatnya menghantam isi kepala Genara. Jika diibaratkan saat ini isi kepala Genara adalah kabal pecah yang siap untuk diledakkan.
Kesadarannya lagi-lagi direnggut paksa. Kegelapan selalu menang, menyisakan Genara tertidur dalam diam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top