[6] Genara

Genara dan Ruby menatap heran pria yang tengah mencak-mencak di hadapan mereka. "Bang Jade kenapa sih?" tanya Ruby polos. Genara memangku Tidi dipangkuannnya itu mengedikkan bahunya cuek.

"Ini gara-gara kamu sih!" Frustasinya mendudukan bobotnya di sofa single.

"Hah?" Wajah Ruby ketara kagetnya. "Kenapa malah sekolah di tempat Abang sih By?" Pertanyaan itu membuat otak Ruby loading seketika.

"Kan-"

"Emang Abang yang punya sekolah?" tanya Genara menatap Jade. Jade menggeleng. "Bukan itu, masalahnya nanti Abang susah jagain kalian," sautnya gusar menyampaikan ketakutan selama ini dia sembunyikan.

"Musuh Abang banyak," lanjutnya lirih.

"Emang Abang nggak temanan aja sama musuh Abang, biar nggak musuhan terus," ujar Ruby polos. Genara dan Jade cengong seketika.

"Polos banget, kakak gue," batin Genara prihatin. Ruby seumuran dengan Jade.

Jade tersenyum kecut. Sudahlah dirinya capek harus berhadapan dengan gadis itu.

"Bang, Black Rose bakal muncak ya, ikut dong," ujar Genara tersenyum merayu.

"Dari siapa kamu tahu?" tanya Jade bingung pasalnya anak-anak belum ada membahasnya lebih lanjut.

"Dari Intan, Intan dari Ka Arka," jawabnya.

"Boleh ya, boleh. Pleasee." Rayu Genara memales seperti anak kecil.

"Ngg-"

"Ajak aja mereka Bang, itung-itung liburan," saut Miranda datang dari arah dapur dan membawa cemilan kesukaan anak-anaknya.

"Tapi Ma?" Helaan napas akhirnya memenangkan percakapan mereka.

"Yeee, ikut-ikut welee," saut Genara berseru senang dan bertos kemenangan bersama Ruby karena bisa ikut.

"Nggak usah pikirkan apa yang belum tentu terjadi. Kalian kan ke sana mau senang-senang," ujar Miranda menenangkan anak laki-lakinya.

"Baiklah," ujar Jade pasrah. Karena dia tidak berani membantah sama sekali kepada wanita yang dia sayangi itu.

"Dan untuk Ara sama Ruby harus nurut sama Abang," pesan Miranda kepada kedua gadis itu.

"Siap Mam!" seru mereka berbarengan.

"Tapi-"

"Nggak ada tapi-tapian lagi Abang!" Jade mengangguk lesu, baiklah dia akan menuruti kemauan kedua perempuan itu.

"Mama udah tahu kalau Abang masuk geng-gengan gitu?" tanya Genara penasaran. Miranda mengangguk, "Papa juga," saut wanita itu tersenyun kepada putrinya.

"Sekali Abang maupun kamu nggak melampui batas, Mama dan Papa mempersilakan," jelasnya. Genara mengangguk paham, dia melirik Jade. Pria itu tersenyum bangga lebih tepatnya mengledek Genara.

"Emang Bang Jade masuk geng gitu?" tanya Ruby menimpali dengan wajah polosnya.

Genara yang duduk disamping Ruby menepuk dahinya gemes. Serasa dia ingin membuat Ruby ke rawa-rawa. "Ma, Abang mau ngumpul sama teman," pamit Jade bangkit.

"Iya, ingat waktu," pesan Miranda sebelum Jade pergi. Jade mengangguk singkat, sebelum dia pergi dia sempat mencium pipi Miranda dan puncak kepala Genara. Kebiasaannya dari kecil.

"Abang belum jawab pertanyaan Ruby loh!" ujar gadis itu sedikit berteriak.

Jade mengibaskan tangannya, enggan menjawab pertanyaan itu yang nyatanya mereka sadari tadi tengah membahas itu. Miranda terkekeh, kepolosan anak kakaknya membuat siapa saja harus memiliki kesabaran yang ekstra.

"Bang Jade nggak asik," dengkusnya mengambil paksa Tidi yang berada dipangkuan Genara.

"Ruby ihh," pekik Genara tidak terima boneka kesayangannya direbut.

"Bodo amat ih, Bang Jade rese ditambah kamu," omelnya mengeratkan pelukannya pada boneka itu. Miranda tersenyum, obat lelahnya dari capeknya bekerja adalah anak-anaknya.

"Lah! Iss ini punya aku." Genara kembali merebut Tidi dan menatap sinis Ruby. Pipi gadis itu mengembung dengan wajah memerah.

"Jangan ribut terus, Mama mau ke kamar," saut Miranda melerai. "Aku juga," saut Genara. Ruby menyebikkan bibirnya kesal. Karena ditinggal begitu saja.

***

"

"Sorry gue telat."

"Yoi, sans mas bro!" saut Arka asik main game tak lupa umpatan-umpatan yang terlontar dari mulutnya.

"Lo dari mana aja?" tanya Gima datang dengan semangkuk mie kuah. Asapnya menguap menyerambat ke udara, baunya menyengat mengunggah selera.

"Bagi dong Ma," saut Arka bangkit dari duduknya berpindah duduk di dekat pemuda itu.

"Nggak-nggak, bikin sendiri sanaa," ujar Gima menepis tangan Arka.

Arka bergumam pelan, "Pelit lo," gerutunya memanyumkan bibirnya tak suka.

"Monyong, jijik gue." Gema bergigik ngeri.

"Eh, lo belum jawab pertanyaan gue. Dari mana aja lo?" tanya Gima kepada Jade.

Jade melirik sekilas ke arah Gima. "Rumah," sautnya singkat.
Gima mangangguk-anggukan kepalanya mengerti.

"Btw, kalian ngajak siapa ntar ke puncak?" tanya Arka kembali fokus memainkan gamenya.

"Emang jadi?" tanya Jade menatap kedua makhluk no akhlak itu.

"JADI LAH!" seru Gima tersenyum bangga. Kalau tidak ada dia mana mungkin acara beginian terancang.

"Gue mau ngajak Intan and dia mau," ujar Arka tersenyum-senyum mengingat gadis itu.

"Buset, grecep banget lo," seru Gima tak menyangka. Akhirnya dua anak manusia itu bersatu juga.

"Lo gimana De?" tanya Arka mengingat pria itu betah sendirian dan anti berdekatan dengan cewek.

"Adek-adek gue," sautnya gusar.

Gima dan Arka ber-oh ria. Eh, tunggu-tunggu? "Bukannya adek lo Nara, kenapa adek-adek?" tanya Arka diangguki Gima. Anzf

"Nara sama Ruby," jawab Jade.

"Eh?"

"Anjirr, huk!"

Jade menghela napas. "Lo kebiasaan banget sih!" omelnya memukul tengkuk Gima.

"Lo sih ngomong nggak ngotak," ujarnya meminum segelas air dalam sekali tegukkan. Jade memutar malas, hayo lah salahnya di sini apa coba?

"Benaran, Ruby adek lo juga?" tanya Arka menyelidik. Jade mengangguk, "Tepatnya adek sepupu," sautnya.

Arka kembali ber-oh. "Si Gema mana?" tanyanya pasalnya tak melihat batang hidup pemuda itu dari tadi.

"Nggak tahu gue, tuh anak sering ngilang nggak jelas," saut Gima heran dengan sikap abangnya itu.

"Btw, Jade. Gue minta nomor adek lo dong, Ruby," ujar Gima tampang memales.

"Hee, nggak salah tuh. Jomblo karatan tertarik ama cewek," ledek Arka.

"Yee, syirik aja lo. Iri bilang boss," balas Gima dengan senyum mengejek.

"Nggak sekalian lo minta nomor adek yang satunya, si Nara."

"Mana berani gue, kayaknya abang gue ada rasa sama Nara," jelas Gima hanya menebak-nebak, tapi kalau benaran mah tidak masalah juga baginya.

Jade geleng-geleng kepala dibuatnya. "Usaha sendiri bro, gue nggak bantu," sautnya menepuk bahu Gima.

"Yahh, lo nggak setia kawan," runtuknya.

"Mampus!" ledek Arka tertawa bahagia.

"Gue mau gabung sama yang lain dulu." Jade bangkit dan meninggalkan kedua pemuda itu.

"Bantuin gue napa, suruh si Intan," pinta Gima menyuruh Arka agar bisa bekerjasama mendapatkan nomor gadis itu.

"No, no, no, Gima," ujarnya kembali memainkan gamenya. Gima menyebikkan bibirnya, ahh menyebalkan.

Dia menyandarkan tubuhnya ke belakang. Menerawang, bagaimana cara biar nggak canggung berdekatan dengan cewek. Wajah Gima nampak frustasi, dia mengerutu dalam hati menyumpahi Arka yang tidak mau membantunya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top