[4] Gemara

Intan meneguk salivanya, bingung harus berekspresi bagaimana. Pasalnya saat ini dia dengan Genara terjebak diantara anggota Black Rose yang notabe cowok ganteng-ganteng di sekolah mereka.

"Lo kenapa Ntan, sakit?" tanya Arka menatap gadis itu lekat, pasalnya wajahnya memerah.

Intan menggeleng. "Nggak," saut Intan cepat dan menyeruput minumnya.

Gima yang duduk di samping Arka tersedak karena makanannya. "Kebiasaan banget sih lo!" tegur memukul-mukul punggung Gima.

"Salahin aja tuh Arka," gumamnya mengelap mulutnya setelah menyeruput minumnya.

"Lah, kok gue?" protes Arka nggak terima. Hubungannya sama dirinya apa coba?

Gima melirik Intan yang tengah menatap Arka. Senyumnya mengembung dan tawanya menyembur begitu saja. Yang lain saling menatap, ada apa dengan Gima?

"Lo kesambet Ma?" tanya Arka bergigik ngeri, bangku yang awalnya berdekatan sengaja dia jauhkan sedikit lantaran takut jika Gima benar-benar kesambet.

"Ehem, nggak!" Dehemnya menetralkan raut wajahnya.

"Owalah paham gue," celetuk Jeno tiba-tiba membuat semua mata tertuju ke arahnya. "Nah," ujar Gima bertos ria dengan Jeno akhirnya ada juga yang peka dengan keadaan.

Genara yang dari tadi menatap drama tidak jelas itu menghela napas lelah. "Udah selesai Ntan?" tanya Genara, Intan meletakkan sendok di atas piring. "Udah, yuk!" ujarnya.

"Eh, kalian mau ke mana?" tanya Gima menatap kedua gadis itu yang sudah berdiri.

Genara menatap Gima datar. "Kelas," sautnya berbalik dan berjalan bergendengan dengan Intan meninggalkan gerombolan cowok-cowok itu.

"Triplek banget adek lo," celetuk Gima melirik Jade. Jade mengedikkan bahunya tanda tidak tahu.

"Lo diam aja dari tadi, sariawan?" celetuk Arka kepada Gema yang asik mengaduk-aduk minumannya.

Decitan kursi mengalihkan netra semuanya. "Eh, ketua lo mau ke mana?" tanya Arsen.

"Kelas," jawabnya cuek dan berbalik meninggalkan mereka semua.

Gima yang mendengar yang terucap dari mulut Gema merasa devaju. "Ah, sama saja mereka. Jodoh kali ya," gusarnya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Maksud lo?" tanya Jade bingung.

"Gemara tuh," ujarnya menyandarkan sepenuhnya punggungnya ke sandaran kursi sambil berpangku tangan.

"Artan juga tuh," saut Jeno menyeletuk. Gima mengangkat tangannya dan memberikan jempol kepada Jeno.

Arka yang berada di tengah-tengah melirik kedua pemuda itu. "Kode-kode segala ya elah," gusarnya tidak paham dengan maksud kedua manusia itu.

Jade berdiri dan menepuk bahu Arka. "Yang sabar bro," kekehnya dan hendak beranjak pergi.

"Jangan ada yang bolos kalian!" Peringatan Jade kepada beberpa anggota yang sedang berkumpul.

"Aman mas bro!" saut Arsen mengacungkan jempol dianggukin oleh Jeno.

"Gue duluan!"

"Gila," decak Arka pusing memikirkan semuanya.

"Dasar ogeb," celetuk Gima pelan.

"Anjir lo!" geram Gima karena kepalanya ditoer oleh Arka dan dia kabur begitu saja.

***

Jam tiga lewat lima belas, lima belas menit yang lalu bell pulang telah berbunyi. Dengan gusar Genara menunggu bis umum yang lewat di halte depan sekolah, hari ini dia tidak pulang bersama Jade lantaran pria itu tengah ada urusan penting katanya. Sebenarnya Jade menawarkan Genara untuk ikut dengannya, tapi Genara lah yang menolak.

"Ra pulang sama gue aja yuk!" ajak Zakia teman sekelas Genara menawarkan tumpangan, kebetulan dia membawa mobil ke sekolah.

"Eh, nggak usah Ki, gue nunggu bokap," saut Genara berbohong. "Oh, gitu. Gue duluan gak apa-apa ya," pamitnya.

"Iya, hati-hati," balas Genara tersenyum tipis.

Sudah banyak tumpangan yang ditawarkan kepada Genara sadari tadi, tapi semua itu ditolak karena merasa tak enak.

Bunyi klason motor yang persis berhenti di hadapan  Genara membuat gadis itu terbelonjak kaget. "Lo mau pulang, yuk!" ajaknya menaikkan kaca helmnya. Mata elang itu menatap Genara. "Duluan aja makasi," tolak Genara mengalihkan pandangan dari mata elang itu.

"Percuma lo tungguin bis, datangnya palingan ntar jam setengah lima-an," jelas Gema menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kekarnya.

"Gue nungguin Jade," saut Genara tersenyum kecut.

Gema menghela napas atas kekerasan kepala Genara. "Cepatan," gumamnya. Genara mendengkus dongkul, dia memegang bahu Gema dan naik ke atas motor besar itu.

"Pegangan," suruh Gema. Namun, Genara memilih memegang bahu Gema. Kaca helmnya kembali diturunkan, senyun kemenangan tercetak manis di wajah Gema. Entah kenapa rasa senang selalu menghapirinya apalagi ketika membuat gadis yang tengah dia boncangi bt setengah mati.

"Awas aja lo ngebut!"

Kendaraan roda dua itu mulai berjalan. Melaju dengan stabilnya, namun tiba-tiba motor  itu mengrem mendadak membuat dahi Genara kepetok dengan helm bagian belakang Gema.

"Iss," ringisnya merasakan denyutan di dahinya. "Lo nggak apa-apa?" tanya Gema memberhentikan motornya dan menatap Genara lewat kaca spion  motor.

"Gak apa-apa," saut Genara dengan wajah memerah. "Sorry," ujar Gema mesih menatap gadis itu yang mengaduh kesakitan.

"Jalan," pinta Genara menepuk bahu Gema. Pria itu mengangguk. Kali ini Gema lebih memerhatikan jalan supaya kejadia tersebut tidak terjadi untuk kedua kalinya.

"Btw, lo udah lama temanan sama Jade?" tanya Genara melirik mata elang Gema dari kaca spion. Kebetulan pria itu tidak menutup kaca helmnya.

"Dari kecil," saut Gema. Genara mengerjabkan matanya. What? Dari kecil?

"Kok bisa?" tanya Genara bingung. Gema terkekeh kecil, "Pelupa," ujar Gema. Genara memukul punggung Gema, "Mana ada!" dengkusnya tak suka.

"Lo lagi nggak becanda kan?" tanya Genara sekali lagi. Pria itu mengedikkan bahunya cuek.

"Ngeselin," gumam Genara memalingkan wajahnya memutus  kontak mata mereka.

Tak lama mereka akhirnya sampai juga di depan kediaman keluarga Emerld. "Makasi," ujar Genara.

"Jade sudah pulang?" tanyanya menatap motor pria itu sudah terpakir di halaman rumah.

Genara mengangguk. "Mau mampir?" tawarnya. Gema terdiam kemudian mengangguk, menerima tawaran tersebut. Kebulan sekali dia ingin membicarakan sesuatu dengan pria tersebut.

Genara lebih dahulu memasuki rumah dan diikuti oleh Gema di belakangnya. "Bang, Gema," panggil Genara kebetulan melihat Jade tengah duduk di meja bar dapur.

Jade menoleh ke sumber suara. "Eh, lo Ma," sapanya.

Karena tak ada kepentingan lagi. Genara meninggalkan kedua pria itu, dan naik ke lantai dua.

"Huaa, kangen kasur," gumamnya memeluk bantal gulingnya. Entah kenapa hari ini cukup melelahkan baginya, walaupun dirasa setiap hari dia lelah dengan aktivitas yang dia lakukan.

Dia menelentangkan tubuhnya sambil menatap langit-langit kamar. Air matanya jatuh dari sudut matanya, dadanya begitu sesak membuat dirinya kesusahan sekedar untuk menghirup oksigen.

"Lemah," gumamnya memejamkan matanya dan kesadarannya pun hilang digantikan kegelapan.

"Untuk beberapa saat gue belum bisa turun," ujar Jade dengan tanpang lesu. Gema mengangguk paham, alasan dibalik ketidak bisaan Jade.

"It's okey, ntar Jeno kalau nggak Arsen yang akan turun untuk balapan," saut Gema.

"Thanks Ma," ujar Jade  menghela napas lega.

"Gue pamit!"

"Ya."








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top