[3] Gemara
Decitan antara aspal dengan ban motor membuat Genara meringis seketika. Ide konyolnya membuat dirinya terjebak di jalan yang lumayan lengan, tapi diramaikan oleh anak-anak motor.
"Jade awas aja lo!" gerutu Genara kepada sang kakak. Dia tak habis pikir, seorang Jade Raqael Emerld yang kelihatan anak kalem dan baik-baik bergabung dengan anak-anak berandalan. Sebenarnya tidak masalah, tapi mau tidak mau pemikiran seorang Gemara itu terlalu overthiking.
"Nyusul ke sana atau nggak ya?" gumam menimbang-nimbang keputusan.
"Hei, lo ngapain di sini?" Tepukkan di bahunya membuat Genara terbelalak kaget. Dia langsung berbalik mendapati pria jakung tengah menatapnya dengan pandangan bertanya.
"G-ue ...."
"Bahaya, pulang!" serunya berbalik badan hendak meninggalkan Genara.
"Tap—"
Pria itu adalah Gema. Dari awal dia sudah melihat Genara di area ini. Entah apa yang dicari gadis itu sampai-sampai nyasar di daerah yang bisa dikatakan rawan ini.
Gema berdecak kesal. Dia kembali berhadapan dengan Genara. Tanpa aba-aba dia menarik tangan Genara agar gadis itu mengikuti dirinya.
"He, lo mau bawa gue ke mana?" protes Genara berusaha melepaskan gengaman tangannya dari tangan Gema.
"Pulang!" desisnya menatap Genara tajam. Genara yang mendapat tatapan nyalang itu seketika nyalinya ciut seketika.
"Tapi Jade—"
"Dia udah besar, nggak usah lo pikirkan," saut Gema tersenyum miring.
Genara mengerutu dalam hati, tiba-tiba tangannya kembali ditarik dan hampir saja dirinya tersungkur ke depan jika menyimbangi keseimbangan.
"Lo bisa jalan pelan-pelan nggak sih?" gerutu Genara susah untuk menyamakan langkahnya dengan Gema.
Gema hanya diam, menghiraukan ocehan gadis di belakangnya itu. Hingga mereka sampai di pinggir jalan raya. "Lo tadi ke sini naik apa?" tanya Gema tanpa melirik Genara yang tengah memerhatikan kendaraan yang berlalu lalang.
"Taxi," jawab Genara singkat.
"Tunggu di sini sebentar!" tegas Gema menjauh membuat Genara menatapnya bingung.
Tanpa memeperdulikan Gema di ujung sana. Genara kembali asik dengan dunianya. Melihat jalanan malam yang dilalui oleh kendaraan.
"Ayuk," ujarnya tiba-tiba sudah berada di depan Genara dengan menuntun motor.
"Ke mana?" tanya Genara lagi. Gema menghela napas, "Pulang," sautnya singkat.
Genara berdecak, tapi menuruti perkataan Gema. "Pegangan!"
"Lo mau modus ya?" selidik Genara memukul bahu Gema.
Gema tidak menyaut, dia menjalankan motornya membelah keramain jalanan malam. Tak ada obrolan yang terlontar dari sepasang remeja tersebut. Pegangan pada jeket kulit semakin mengerat, Genara hanya bisa berucap dalam hati pasalnya Gema melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
Seketika motor berhenti barulah Genara bisa menghela napas lega. Dia melirik Gema lewat kaca spion dengan tajam. "Lo mau ngajak mati!"
Gema merotasikan bola matanya jengah. "Buktinya lo masih hidupkan?" Pongahnya.
Mendengar ledekan itu membuat Genara mengerutu habis. "Au ah, gelap," dengkusnya berbalik meninggalkan Gema.
"Makasi!" ujar Gema setengah berteriak.
"Iya, sama-sama!" balas Genara setengah memekik lantaran kesal.
***
Jarum jam persis menunjuk keangka dua belas. Terik matahari yang menyengat membuat peluh keringat membanjiri tubuh siswa/i XII IPA I.
"Jeno bagi minum lo dong!" teriak Arsen berselonjoran kaki di bawah pohon yang lumayan rindang.
"Ogah, beli sana!" Sekali tegukan setengah botol air mineral itu kandas seketika. Arsen yang melihat itu meneguk ludahnya merasakan segarnya air itu membasahi kerongkongannya.
"Nih!" Dengan sengaja Jeno melemparkan botol kosong itu ke wajah Arsen.
"Kampret lo, Jeniiii!" umpat Arsen mengusap wajahnya. Anak-anak yang melihat itu sontak tertawa. Gema yang duduk tak berjauhan dari mereka hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah absruk anggotanya itu.
"Ngantin yuk Ra, haus gue," ajak Intan membuka tutup botolnya dan menuangkan ke bawah, tapi airnya sudah tidak ada setetespun ke luar.
"Yuk," ujar Genara bangkit dan menepuk sedikit bagian celana belakangnya lantaran kotor.
Saat melirik ke arah Gema tatapan Genara dan Gema tak sengaja bertamu. Gema melayangkan tatapan bertanya, sedangkan Genara memutar bola mata malas dan langsung memutus kontak mata mereka. Baiklah, Genara masih merasa jengkel dengan kejadian semalam.
Bahkan tidak tanggung-tanggung bukannya Jade-kakaknya yang dimarahi. Malahan dirinya lah yang kena, dan yang paling menjengkelkan lagi adalah ketika Jade membela Gema karena membantu Genara untuk pulang. Oke, bolehkan Genara mengumpat siang hari bolong ini?
"Masam banget wajah lo," celetuk Intan berjalan beriringan meninggalkan lapangan.
"Nggak, capek aja," alabi Genara tersenyum kecut.
Intan mangut-mangut. "Btw, gimana kesannya hari kedua sekolah di sini?" tanya Intan mulai antusias siap mendengarkan cerita Genara.
Genara sontak menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Kesannya ya? Ah, itu membingunkan untuk dijelaskan oleh seorang Genara. "Eum, gimana ya. Sebenarnya belum ada kesan apa-apa sih," sautnya jujur. Mendengar hal itu sontak membuat Intan tertawa.
"Kesan sama teman sebangku lo, gimana tuh?" tanya Intan, seketika wajah raut Genara masam seketika.
"Nggak usah jawab, gue udah tahu," saut Intan tertawa geli. Melihat interaksi Gema dan Genara di dalam kelas bisa digambarkan bahwa kepribadian mereka yang bertolak belakang, dan saling menjengkelkan. Apalagi pas jam kedua tadi, pada mata pelajaran Seni Budaya, entah apa yang mereka berdua ributkan hingga menjadi pusat perhatian di kelas.
Genara mendengkus, baiklah. Balik kepertemuan awal, emang baiknya mereka tak saling tahu menahu. Arghh, Gema emang kampret!
"Gema sebenarnya sih baik, tapi menjengkelkan," saut Genara diangguki oleh Intan. Genara mulai menceritakan semua kejadian semalam yang dia lalui, dari mulai mengikuti Jade, dan berakhir diantrin pulang oleh Gema pulang ke rumah. Hal itu sontak membuat Intan tercengang.
"Wait, wait ... berarti lo adiknya Jade?" tanya Intan bingung setelah mendengar cerita Genara.
Genara menggangguk. "Kandung?" tanya Intan lagi. Lagi-lagi Genara menganggukkan kepalanya mengiyakan pertanyaan Intan.
"Gue lompat kelas waktu SMP, umur gue sama dia cuma beda dua tahun," jelas Genara. Intan mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Dia kemudian berdecak kagum. "Keren, pintar banget lo!" puji Intan antusias.
Genara menghela napas, sudahlah dia bukan maniak pujian. Setiap orang memuji Genara pasti ada rasa risih menyelimuti dirinya. "Sudahlah lupain," gumam Genara kepada Intan.
"And, satu lagi gue mau nanya, dari awal kenapa lo nggak satu sekolah aja sama Jade?" tanya Intan penasaran, pasalnya kenapa harus sekarang mereka satu sekolah kenapa nggak dari kelas sepuluh saja.
"Nggak tau, nggak kepikiran," saut Genara bingung harus menjelaskan apa. Intan mengangguk paham walau jawaban itu membingungkan baginya. Tapi ya sudah, bukankah itu bukan urusan dirinya?
"Ehem, bisa jangan halangin jalan," pinta seseorang membuat kedua gadis itu menoleh ke belakang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top