[1] Gemara


Langkah kakinya membawa ke gedung bertingkat tiga, hembusan napas lelah berulang kali terdengar. Untuk kesekian kalinya dia harus beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang baru yang kadang membuat dirinya muak.

"It's okey, Ra," gumamnya tersenyum kecut dan melangkah membelah keramaian.

Gadis itu adalah Genara Ghisyaqela Emerld, nama yang cantik begitu juga dengan parasnya yang sungguh menawan. Hari ini merupakan hari pertama dia bersekolah, tepatnya bersekolah di sekolah baru SMA Galaksi. Untuk ketiga kalinya dia pindah membuat Genara sendiri jengkel, ini bukan semata-mata karena keingginan dirinya.

Akan tetapi, semua ini adalah keinginan orang tuanya, dengan dahlil berbagai alasan yang tidak masuk akal bagi Genara yang mereka sampaikan.

Karena baru pertama kali menginjakkan kaki di sekolah barunya, membuat Genara kesusahan untuk sekedar mencari di mana ruang guru berada.

"Eum, maaf Kak. Boleh tanya, ruang guru di mana ya?" tanyanya kepada seorang gadis yang mungkin sebaya dengan dirinya.

Gadis itu melirik penampilan Genara cukup lama. "Anak baru?" tanyanya balik. Genara mengangguk tanda respon.

"Yuk, gue antarin!" ajaknya semangat menarik tangan Genara.

"Astaga, gue kira galak," gumam Genara mengikuti langkah gadis itu walau sedikit terburu-buru.

"Nah, ini ruang guru. Btw, Gue Intan," sautnya menjulurkan tangannya sebagai salam perkenalan.

"Nara," balas Genara tersenyum ramah menyambut uluran tanggan itu.

"Terima kasih ya," ujar Genara sebelum memasuki ruang guru.

Intan mengangguk, berhubung bell masuk sudah berbunyi dia pamit dan kembali ke kelasnya.

"Nggak buruk," gumam Genara.

***

"Kelas kamu dua belas ipa satu ya." Genara mengangguk mengerti, setelah semua urusannya selesai di ruangan tersebut kakinya membawanya ke gedung tingkat dua yang berada disayap kiri dari gedung utama sekolah tersebut. Koridor sudah sepi, hanya beberapa siswa yang berlalu lalang dengan kesibukan masing-masing.

"Di mana sih kelasnya?" gumam Genara celingak-celingukkan memerhatikan papa kelas setiap kelas yang dia lewati.

"Cari apa sih lo?" tanya sesorang dari arah belakang, karena sadari tadi dia memerhatikan gadis di depannya tengah mencari sesuatu, hal tersebut membuat Genara terkejut. Dia menoleh ke belakang dan mendapati pria jakung dengan penampilan yang sedikit urak-urakkan.

Baju di keluarkan, kancing baju bagian atas tanpa dikancingin hingga menampakkan baju kaos hitamnya, dan wajahnya sedikit lebam-lebam.

"Heloo, lo cari apa?" tanyanya lagi membuat Genara mendengkus.

"Dua belas ipa satu," balas Genara singkat. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti.

Dia berjalan melewati Genara membuat gadis itu mengerutu dalam hati. "Oke, sabar Ra," batinnya jengkel.

"Ikutin gue," ujarnya sedikit berteriak.

Genara menjerit, sedikit kesal, dan jengkel. Namun, dirinya tetap mengikuti pria itu dari pada seperti anak hilang di tengah-tengah koridor sepi ini.

"Lantai dua," gumam Genara mengingat kelasnya berada. Setelah acara perkenalan singkat sebagai anak baru, akhirnya dirinya duduk juga dibangku dan sialnya malah sebangku dengan pria yang menunjukkan kelasnya tadi.

"Btw, thanks," gumam Genara masih bisa di dengar oleh teman sebangkunya.

Tak ada respon. Waktu berjalan dengan cepatnya, beberapa menit lalu bell istirahat telah berbunyi. Hal tersebut membuat Genara menggerutu, apa dia harus ke kantin? Itu adalah sebuah ide buruk, statusnya sebagai anak baru pasti akan banyak yang melirik dirinya, dan tentunya hal tersebut membuat dirinya risih setengah mati. Atau tetap tinggal di kelas? Ah, sama saja sebenarnya. Dirinya benar-benar risih apalagi pria jakung yang menjadi teman sebangkunya malahan tidur dari jam pelajaran kedua tadi.

Manik mata Genara bergerak liar sambil menggigit ujung jempolnya, memikirkan apa yang seharusnya dia lakukan.

"Bisa nggak lo bangun, trus pergi ke luar," gumam Genara pelan. Akan tetapi, melihat wajah damai itu membuat Genara sedikit iba.

"Arghh, sial banget sih. Baru hari pertama udah gini," gerutunya dalam hati.

"Ra, lo nggak ngantin?" tanya seorang siswi barusan masuk.

"Eum, nggak," ringis Genara bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin kan, kalau bilang risih apalagi nggak ada teman ngantin?

Gadis itu manggut-manggut tanda mengerti. "Btw, kalau lo risih duduk sama Gema, tukaran aja sama yang lain," ujarnya membuat Genara melirik pria itu.

"Oh, namanya Gema, Batu Mulia," gumam Genara dalam hati.

"Dia emang gitu, molor mulu kalau belajar, tapi ya Ra. Otaknya mah encer," seru gadis itu iri.

Gadis itu adalah Intan, gadis yang membantu Genara saat mencari ruang guru pagi tadi. "Eum, gitu ya," saut Genara seadaanya, bingung harus merespon  bagaimana.

"Lo di sini nggak usah canggung-canggung, anak-anak pada welcome banget kok. Kalau ada apa-apa ngomong aja sama gue atau yang lain, kan kita teman," sautnya tersenyum lebar. Genara tersenyum canggung, "Btw, makasi ya Ntan," ujar Genara tulus.

"Pas istirahat kedua, lo harus ikut ya. Gue antarin sekeliling sekolah sambil perkenalan."

"Iya, siap kok," balas Genara semangat, dia butuh itu. Mengingat dia cukup buta arah apalagi ditempat baru.

Mendengar obrolan dekat dengan gendang telinganya membuat Gema terusik dari tidurnya. Hal pertama yang dia lihat saat kelopak matanya terbuka adalah wajah Genara dari samping. Diam-diam dia cukup lama memandangi wajah itu. "Cantik juga," batinnya.

Puas memandangi, Gema meneggakan tubuhnya, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil berpangku tangan. Sontak obrolan kedua gadis itu terhenti.

"Kenapa berhenti?" tanyanya. Intan melirik Genara, begitupun sebaliknya.

"Lo ganggu aja sih, ke luar gih!" usir Intan blak-blakan membuat Genara menjerit heran.

"Eum," gumam Gema nggak jelas, tapi pria berprawatakkan tinggi itu menurut.

Setelah pria itu hilang dari pandangan membuat Intan menatap Genara dengan tampang geli. "Kenapa, Ra?"

"Lo nggak takut sama dia?"

"Buat apa gue takut sama dia, toh dia juga manusia, sama-sama makan nasi," seloroh Intan terbahak.

"Jangan terkecoh sama tampilannya, cover boleh jelek, tapi isinya malahan masyallah," jelasnya sambil tersenyum-senyum menerawang akan sosok Gema.

Genara bergigik ngeri. Sudahlah dirinya berjanji tidak akan ngepoin orang yang bernama Gema, ingat itu.
"Awas ntar ketinggian, jatuhnya sakit," saut Genara membuat Intan berkelik kesal.

"Ganggu aja, lagi banyangin calon imam," runtuknya. Genara tertawa geli, melihat ekspresi Intan.

"Ngantin yuk, mumpung dua puluh menit lagi!" ajak Intan.

"Boleh deh," saut Genara menerima ajakan tersebut. Sekarang tidak ada alasan lagi untuk malas ke kantin, udah ada temannya.

"Sebenarnya gue risih," saut Genara disela-sela perjalanan mereka.

"Why?" Intan sampai bingung dengan apa yang diucapkan teman barunya itu.

"Jadi pusat perhatian Ntan," desis Genara pelan. Sontak Intan tertawa kecil, "Wajar dong, lo kan cantik. Bahkan menyerupai dewi, sempurna," saut Intan terkagum-kagum, makanya saat pagi tadi, ketika Genara bertanya soal di mana keberadaan ruang guru, membuat dirinya terkejut, bukan berarti dia tidak pernah bertemu gadis  yang sangat cantik, tapi penampilan Genara sungguh menawan dan bersinar.

Genara mengdekus kesal. "Nggak ada yang sempurna, Ntan," kilahnya.

"Nih, gue nemuin," sanggahnya tertawa karena wajah Genara memerah.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top