YON
Ketika kilauan cahaya cantik membuatmu kagum. Sang bayangan gelap sibuk menebalkan pekat di belakang tubuhmu.
***
"Nggak semuanya baik, di setiap negara juga ada sisi negatifnya." Rambut ikalnya diikat menjadi satu ke belakang. "Kamu baru pertama kali ke sini, sih. Makanya belum pernah liat sisi negatifnya, kan?" Rose meletakkan ponsel Athaya yang baru saja ia install aplikasi Muslim Pro, agar gadis itu lebih mudah melihat kapan masuk waktu salat, adzan, lokasi rumah makan islam dan lain-lain yang dia butuhkan selama ada di Jepang.
Athaya mengangguk, tangannya sibuk membersihkan debu yang menempel di pintu kaca yang terhubung dengan balkon, menggunakan kemoceng Zayra. "Yah, aku juga baru ke beberapa tempat saja selama perjalanan. Yang kulihat cuma para pekerja sama anak kecil pergi bekerja sama sekolah."
"Itu sebabnya, Tha." Rose menutup koper Athaya, yang ia yakini pakaian gadis itu sudah tertata semua di lemari kayu apatonya. "Sering-sering deh keluar rumah buat liat dunia luar."
"Nggak boleh sering-sering juga lah, Ros," Zayra menegur temannya itu sebelum menekan tombol penyedot debu yang ia bawa dari kamarnya. "Athaya juga perlu hemat sama kayak kamu. Kalau sudah punya pekerjaan nyaman plus, gajinya pun nyaman. Baru boleh sering-sering pergi liat dunia luar. Masih ditanggung Kakek aja sok-sok-an pergi liat dunia."
Rose yang mendengarkan Zayra hanya mampu mencebikkan bibir. Berteman kurang lebih enam tahun, membuatnya perlahan kebal akan omelan temannya itu. Sebentar lagi ia akan lulus dengan gelar magister, rencananya akan kembali ke Indonesia tapi tidak tahu akan bekerja apa.
"Kenapa nggak coba lamar kerja di kantor kakekku saja?" Athaya mengusulkan sebuah ide.
"Eh, bener juga, sih." Zayra menghentikan aktifitas menyedotnya. Ia lantas mengambil posisi di antara Rose dan Athaya yang duduk di atas kasur. "Aku bisa rekomendasiin kamu sama Kakek, tapi biasanya dari departemen sudah rekomendasiin kamu di beberapa perusahaan Jepang, sih, Rose. Jadi nggak perlu dipikirkan lagi."
Perempuan yang menumpu wajahnya dengan kedua tangan mendesah panjang. "Tapi maunya aku kerja di Indonesia, Zay. Deket sama Paman Indra."
Dua jam yang lalu, mereka masih lengkap berkumpul di kamar Athaya. Sambil merapikan kamar gadis itu, Rose juga melempar kegelisahannya tentang pekerjaan setelah wisuda, berharap mendapat solusi dari masalah yang membelitnya. Karena ia juga tidak mau terus tinggal di negara orang sendirian, juga tak mau harus kembali ke Inggris, mencari pekerjaan di sana, dan tinggal di kota yang seolah-olah asing untuk dirinya sendiri.
Bagaimanapun caranya, ia harus tinggal di Indonesia! Dekat dengan sang Paman yang sudah merawatnya dari kecil.
Sehabis salat isya, Athaya berjalan sendirian menyusuri kota Higashimurayama di malam hari. Masih pukul sembilan. Namun, perutnya meronta-ronta minta diisi lagi. Yang Athaya tahu, sebelum ke apato tadi, ia melewati sebuah minimarket di sekitar jalan raya. Mungkin ada roti halal atau indomie goreng yang bisa ia makan.
Berbekal GPS di gawainya, Athaya memberanikan keluar sendiri. Ia sudah mencari tempat makanan halal di sekitar apato di aplikasi Muslim Pro yang Rose installkan untuknya, namun ternyata letaknya cukup jauh. Jadilah, Athaya mencari lokasi minimarket paling dekat.
"Alhamdulillah sampai. Untung nggak nyasar," serunya begitu memasuki minimarket.
Namanya minimarket, yang pasti ukurannya tidak terlalu luas. Pernah ke indomart atau alfamart di Indonesia, kan? Kira-kira luasnya seperti itu. Di dalam menjual beberapa snack, sabun cuci, minuman, ah sama deh seperti di indomart!
Sayangnya, di rak-rak itu hanya dipajang produk bertuliskan bahasa Jepang. Produk Indonesia yang ada cuma Indomie goreng juga tolak angin. Tidak apalah, lumayan. Setidaknya ia tahu jika dua produk ini halal untuk dikonsumsi.
Athaya lalu membawa beberapa mie itu ke arah kasir. Total harga pun muncul di layar kecil berbentuk persegi panjang. Namun, Athaya malah mematung cukup lama di depan kasir.
"Ojou-san?" Laki-laki yang berdiri di belakang meja kasir nampak kebingungan karena Athaya belum juga mengulurkan uang.
Sama halnya dengan Athaya yang bingung harus bagaimana membayarnya, karena ia juga lupa tidak menukarkan uang saat di bandara tadi. Harusnya kamu minjem uang sama Zayra dulu, Tha!
Dengan gestur ragu-ragu, ia bertanya pada mas kasir. "Anata wa rupia o ukeireru koto ga dekimasu ka?".
Si penjaga kasir agak kebingungan. Ia mengusap tengkuk lehernya sambil menyengir, seolah paham dan tidak paham. Jadi bagaimana sekarang ini?
"Permisi, total harganya jadi 320 yen." Suara renyah itu berasal dari laki-laki yang mengantri di belakang. Ajaib sekali karena orang ini bisa berbahasa Indonesia.
Athaya tersenyum antara bersyukur dan ragu. Ia membalikkan badan, lalu menatap pria yang tinggi menjulang, Athaya hanya sampai bahunya saja. Tidak lebih, sangat miris memang menjadi orang pendek.
"Bisa bantu saya?" katanya ragu-ragu. "Bisa tanyakan, toko ini menerima uang rupiah tidak?"
Sebelah alis hitam lebatnya dinaikkan, tanpa banyak basa-basi orang itu maju selangkah, pria asing itu mulai berbicara menggunakan bahasa Jepang yang fasih. Kalau dilihat dari perawakannya, ia orang Indonesia tulen. Matanya lebar, hidungnya pun pas tidak terlalu mancung, bibir semerah buah jambu, kulit kuning langsat, di tangannya ditumbuhi rambut halus. Baik dan tampan. Athaya sempat berpikir jika pria ini imamable sekali.
Athaya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Astaghfirullah, sadar, sadar, Tha. Ia menepuki kedua pipinya bersamaan.
"Halo? Kamu nggak apa-apa?"
"Ah, iya. Saya nggak apa-apa. Jadi mereka bisa nerima uang rupiah?"
Pria itu menggeleng, wajahnya agak murung. "Sayangnya di sini nggak nerima uang rupiah."
"Oh ... begitu." Raut muka Athaya ikut sedih. Gagal sudah acara mengisi perutnya yang lapar. Padahal sudah berjalan sampai sejauh ini. "Ya sudah kalau gitu. Hmm, bisa minta tolong bilangin ke Mas itu kalau saya nggak jadi beli ini?"
"Bisa, sih." Pria asing itu meringis sambil mengusap bagian belakang lehernya. "Atau mau kita tukeran uang aja? Maaf, dompet kamu?"
"O-oh, iya." Tanpa pikir panjang Athaya memberikan dompet kuningnya, yang disambut oleh si pria.
"Harganya tiga ratus dua puluh yen, jadi sekitar tiga puluh ribu. Nah, aku ambil uang dua puluh sama sepuluhnya, ya. Lalu...." Ia mengeluarkan juga dompet kulitnya. "Ini uang saya, saya bayarkan. Jadi impas, kan?"
Ah, semudah itu. Athaya mengangguk semangat. Ternyata ada juga orang yang mau menolongnya dari kelaparan.
"Terima kasih! Maaf merepotkan. Kalau gitu saya pergi dulu, ya!" katanya dengan riang. Begitu plastik belanjaan sudah di tangan, Athaya melesat pergi dari minimarket.
"E-eh, Mbak! Tunggu!"
***
Bau harum mie goreng yang agak aneh, menyeruak dari dapur apato Athaya. Ternyata sama dengan baunya, rasanya pun sedikit tidak biasa di lidah. Meski agak kecewa, Athaya tak mungkin membuangnya. Eman-eman, mubazir.
"Yang penting kenyang, deh." Ia tetap melanjutkan makan ditemani acara komedi di televisi berbahasa Jepang. Sesekali ia tertawa karena pembawa acara yang bertingkah lucu.
"Oh, iya. Tadi uangnya kepake tiga puluh ribu. Berarti di dompet sisa berapa, ya." Tangannya merogoh-rogoh tas yang diletakkan di atas kasur. Beralih lagi ke bawah selimut. Karena tidak menemukan di mana pun, Athaya bangun dan mengecek seluruh tempat.
"Di mana?! Astaghfirullah, dompetku?!" Gadis itu sudah mengacak-acak isi kamarnya, tapi dompetnya tetap tidak ditemukan. "Pikir, Tha. Pikir. Tadi kamu naruhnya di mana?" Ia menggumam, mondar mandir, menggigit ibu jari.
"Maaf, boleh saya pinjam dompetnya?"
Sekilas bayangan muncul di benaknya.
"O-oh, iya."
Lalu gambaran waktu ia memberikan dompetnya pada priaasing itu terlintas lagi. Athaya mendesah berlebihan. Ternyata penyakit pelupanyatidak pernah hilang.
***
Note/footnote:
*Ojou-san = Nona
*Anata wa rupia o ukeireru koto ga dekimasu ka? = Apakah kamu menerima uang rupiah?
***
Assalamu'alaikum, semua❤
Terima kasih sudah mampir dan membaca bab 4: YON.😘
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen, ya😆
Berjumpa lagi di part berikutnya~
Mata ashita!
.
.
.
Salam rindu, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top