SAN

Manusia tak bisa sendiri. Ketika kamu lahir, banyak orang yang turut membantu, pun ketika ajal menjemput.Mereka semua yang mengurusmu hingga ke liang lahat.

***

"Kalian itu keterlaluan!" Perempuan dengan rambut seperti mie bersedekap, ia duduk bersila di atas tatami dengan pipi yang digembungkan, mirip ikan kembung di film Finding Nemo.

"Lagian kamu ada-ada aja sih, Rose. Mau ngasih kejutan tapi caranya serem gitu." Zayra membela diri. Tangannya terus sibuk membersihkan lantai kayu di dapur yang masih tersisa noda merah di mana-mana. "Sudah tahu nggak bisa masak. Masih aja maksa-maksain masak. Gini nih akibatnya."

Rose, gadis dengan rambut ikalnya semakin merajuk. Bibirnya dimajukan beberapa senti dan berguling-guling di atas tatami kamar Athaya. Membuat Athaya tidak bisa untuk tidak tertawa.

Satu jam yang lalu, saat Athaya dan Zayra belum sampai di apato, Rose lebih dulu masuk menggunakan kunci kamar Athaya yang ia pinjam dari Zayra. Perempuan berkerudung biru tua itu sudah curiga awalnya, tetapi ketika menyebutkan kata 'surprise' di tengah-tengah kalimatnya. Zayra terpaksa mengiakan permintaan Rose.

Akan tetapi, bukannya terkejut karena terharu atau senang, perempuan itu malah membuat dua orang gadis jatuh pingsan karena penampakannya yang mengerikan. Bahkan Zayra sampai lupa jika itu dia.

Apa yang Rose lakukan di dapur sebenarnya, ingin menyiapkan makan siang enak dari ikan tuna. Setelah membeli tuna segar di pasar dekat apato, tomat, cabai, saus, dan beberapa bumbu masak lainnya. Ia bergegas ke apato Athaya. Meletakkan semua isi belanjaannya dalam plastik berwarna putih di atas pantry, lalu menyiapkan alat tempur berupa pisau, panci, spatula dan lain-lain.

Rose memulai dengan memotong buah tomat lebih dulu. Gerakannya masih kaku, sehingga tomat yang dipotong pun beragam bentuknya, ada yang tebal dan tipis. Beralih pada tuna, Rose malah kebingungan harus seperti apa ia memotongnya. Dicincang? Atau dibelah-belah saja sesuai keinginan?

Ah, potong saja sesuai keinginan. Tidak ada waktu untuk memikirkan bentuk yang menarik, yang penting adalah rasanya! Sayangnya, karena kurang berhati-hati, ia malah melukai jarinya sendiri.

"Jadi itu darah kamu atau ikannya?" Athaya bertanya khawatir.

"Darah si Ikan. Waktu itu karena panik, aku langsung lari mau ke kamar. Trus ikannya kesenggol, jatuh deh ke lantai."

"Yang di pisau?" Zayra mencium cairan berwarna merah pekat pada pisau yang akan ia cuci.

"Oh, itu obat merah." Rose menyengir. "Kalian keburu dateng, sih. Jadi obat merahnya tumpah deh ke pisaunya."

Zayra menghela napas saat matanya menangkap botol obat merah yang diletakkan di dekat wastafel. Pantas saja banyak noda merah berceceran, lah isi dari botol obat merahnya saja sudah kosong melompong begini.

"Lain kali hati-hati, Rose. Kamu bisa ngabisin uang jajan sebulan cuma karena kecerobohan kamu sendiri. Inget Mom sama Daddy kamu, tuh."

"Iya, iya. Cerewet banget," katanya dengan aksen British-nya.

Mia Roselli, wanita 24 tahun dengan kulitnya yang cokelat stunning akibat sering terpapar sinar matahari. Hobi surfing membuat Rose sering pergi ke banyak pantai di Indonesia dengan teman-teman satu komunitasnya. Ciri lain yaitu, bibir merahnya yang penuh. Jangan lupakan rambut keritingnya yang terlihat seperti mie goreng. Rose keturunan asli Inggris, tetapi ia diasuh oleh pamannya di Indonesia sejak umur 12 tahun karena alasan yang malas untuk ia sebutkan. Sesekali pulang ke Inggris saat hari besar seperti natal atau pun tahun baru.

Itu sebabnya Rose sama sekali tidak kesulitan berbicara dalam bahasa Indonesia.

"Kamu keturunan asli Inggris tapi punya paman orang Indonesia?" tanya Athaya bingung.

Rose menggigit kripik kentang yang diambilnya di atas meja lalu mengangguk semangat. "Iya! Bisa dibilang, dia bukan paman asliku, sih ... tapi paman angkat?"

"Paman angkat?"

"Yeah, Mom dan Dad kenal Paman Indra waktu bulan madu ke Yogya. Mereka sangat akrab. Hubungan orang tuaku dengan Paman Indra juga nggak keputus sampai aku segede ini."

"Bisa sepercaya itu? Yang dititipkan anaknya loh. Sama orang yang baru dikenal juga. Ya kalau Paman Indra memang bener baik. Kalau enggak?"

"Tapi kenyataannya Paman Indra baik." Rose tertawa kecil. "Udahlah, Tha. Lagian sudah lama berlalu, biarkan itu jadi kisah dari sebagian perjalanan hidupku." Ia mengambil lagi satu kripik kentang lalu menggigitnya.

"Daripada itu, harusnya kamu lebih banyak belajar. Di negara baru ini kita punya etika yang berbeda dengan di Indonesia."

"Nah, bener apa kata Rose." Zayra ikut bergabung, pekerjaan mencucinya sudah selesai, saatnya memberitahu Athaya mengenai beberapa peraturan yang harus sepupunya itu biasakan selama tinggal di Jepang.

"Kamu inget nggak tadi waktu makan bento di taman?"

Athaya tampak berpikir, lalu menggumam pelan. "Iya, inget. Kenapa?"

Zayra tersenyum. "Harusnya telur yang kamu gigit tadi, nggak boleh dikembalikan ke kotak nasinya lagi. Itu nggak sopan, Tha."

Kedua mata Athaya melebar. "Loh? Harus dihabiskan dalam satu hap?"

"Nggak satu hap juga nggak apa-apa kok. Cuma makanan yang sudah digigit jangan diletakkan lagi di kotak bento. Terus tadi nasi obento yang aku bawa nggak kamu habisin semua, kan?"

Athaya sedikit menundukkan kepalanya. "Itu juga nggak sopan?"

"Iya, makanan yang sudah tersaji harus dihabiskan sampai nggak bersisa. Tapi, yah nggak apa-apa. Tadi aku sempet liat orang yang lewat terus tatapannya agak sinis ke arah kamu. Mungkin dia agak ilfeel."

Ah, Athaya baru menyadari kesalahannya. Ia bahkan tidak memperhatikan sekitar. Seharunya sebelum pergi ke Jepang, ia juga belajar tentang etika sopan santun di negara ini.

"Maaf, Zay. Aku nggak tahu," katanya dengan nada bersalah.

Zayra mengulas sebuah senyum lagi, begitu pula Rose yang duduk di seberang Athaya. "Nggak apa-apa, Tha. Namanya juga orang baru. In syaa Allah mereka bisa maklum kok."

"Iya, Tha. Yang penting kamu sudah tahu. Jangan dilakukan lagi, ya!" tambah Rose diiringi kerlingan matanya.

"Kalau mau makan juga biasanya bilang 'ittadakimasu' artinya selamat makan, tapi kalau kita bertiga yang makan di dalam sini lebih baik nggak usah."

"Cuma kalau makan di luar aja?"

"Iya, atau diajak makan orang Jepang," timpal Rose.

Ternyata banyak peraturan yang harus Athaya pelajari selain bahasa Jepang. Tentang etika ini lebih rumit daripada huruf hiragana dan katagana, karena sangkut pautnya dengan kebiasaan. Yang jika salah, akan dicap tidak sopan dan terkesan tidak menghargai budaya Jepang yang sudah turun temurun ada.

"Kalau bahasa Jepang nggak perlu dipikirin, Tha. Pake bahasa isyarat mereka juga pasti ngerti." Rose terkekeh geli ketika Athaya mengeluarkan buku yang katanya bisa membuat orang fasih berbahasa Jepang dalam sehari.

"Sekedar informasi, Rose. Athaya sudah lulus Noken di tingkat N3. Jadi, menurutku buku itu cuma dia bawa sebagai bahan bacaan aja." Zayra mengakhiri kalimatnya dengan kerlingan mata yang Athaya balas seulas senyum. Sementara Rose hanya menganga tak percaya, gadis polos ini? Serius?

"Oh iya. Sampah juga punya aturan cara membuangnya, Tha. Terlebih di apato ini yang sangat mengutamakan kebersihan. Di mana-mana diletakkan pemberitahuan tentang jenis sampah dan cara membuangnya. Contoh seperti kotak susu yang harus dibersihkan isinya dulu menggunakan air, baru setelah itu dibuang pada tempatnya." Zayra terus berceloteh banyak hal, yang seharusnya diketahui Athaya ketika tinggal di negara ini.

***

Assalamu'alaikum, semua❤

Terima kasih sudah mampir dan membaca bab 3: SAN.😘

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen, ya😆

Berjumpa lagi di part berikutnya~

Mata ashita!

.
.
.

Salam sayang, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top