Prolog
Mungkin, hari ini manusia bisa berencana apa yang akan terjadi ke depannya pada hidup mereka. Mungkin, manusia bisa menerka-nerka seperti apakah kisah kehidupan mereka setelahnya. Namun sayang, terkadang rencana dan terkaan yang kita buat, tak selamanya sama dengan apa yang diinginkan Tuhan.
***
Kamis, 26 Januari 20xx
Hujan deras membasahi aspalan Jalan Raya Jombang. Bau asap bercampur bau tanah menyeruak, diguyur oleh air yang seolah tidak mau berhenti turun dari langit.
Sepuluh menit sebelum kejadian, di Jalan Gatot Subroto, Jombang.
"Mas, lebih baik kita menepi saja. Bahaya menyetir di tengah hujan seperti ini."
Ucapannya tidak digubris. Entah karena terlalu fokus atau ia tahu hari ini adalah terakhir kalinya menarik napas, Ibrahim terus menekan pedal gasnya. "Tolong, Mi. Abi sedang fokus."
Syaki membeku, jantungnya saling memburu, sementara mulutnya tak henti membaca doa agar ia dan suaminya bisa sampai di rumah dengan selamat.
Jakarta, sepuluh menit sebelum kabar datang. Di rumah Athaya.
"Wa mā kāna linafsin an tamụta illā bi'iżnillāhi kitābam mu'ajjalā, wa may yurid ṡawābad-dun-yā nu'tihī min-hā, wa may yurid ṡawābal-ākhirati nu'tihī min-hā, wa sanajzisy-syākirīn." Suaranya mengalun indah di telinga orang yang mendengarkan. Bi Inah pun menutup mata, menikmati keindahan suara milik Athaya yang masih sempat ia dengarkan.
"Bi, kenapa malah senyum-senyum?" Athaya menyentuh punggung tangan wanita paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga Hafizd.
"Lek, habisnya bagus bener suara Non Atha. Ayu nan merdu, mirip sama yang punya," puji Bi Inah, membuat semburat merah di kedua pipi gadis berusia 23 tahun tersebut.
"Bi Inah tahu nggak, arti dari ayat ini?"
Bi Inah menggeleng. "Memangnya ini surat apa, Non?"
Athaya tersenyum ramah. "Ini surat Al-Imran, surat yang menceritakan tentang keluarga Imran."
Kening Bi Inah mengerut, ia meringis lalu tersenyum agak malu. "Pak Imran tetangga sebelah kita, ya, Non?"
Athaya terkejut, selaras kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Ah, Bibi! Ada-ada saja ini!" katanya, seraya memeluk wanita tua yang duduk di sampingnya itu.
Bi Inah membalas pelukan Athaya. "Lek habisnya Bibi nggak tahu keluarga Imran yang dimaksud selain tetangga sebelah."
"Maksud saya keluarga Imran di masa lalu, Bi. Keluarga yang nantinya melahirkan utusan-utusan Allah, salah satunya kisah kelahiran Nabi Isa alaihissalam. Nabi sebelum Nabi Muhammad itu loh, Bi. Bi Inah tau, kan?"
Seruan panjang keluar dari bibir Bi Inah, ia lantas mengangguk-anggukkan kepalanya sedikit mengerti.
"Nah, ayat yang saya baca barusan Al-Imran ayat 145. Ayat ini diturunkan karena beberapa pasukan muslim mundur ketika Perang Uhud sedang berlangsung. Allah secara langsung menegur mereka yang berbondong-bondong melarikan diri dari medan perang. 'Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.' Ayat ini mengingatkan kita. Mau seperti apa pun menghindari kematian, jika sudah sampai waktunya, mereka pasti akan mati. Namun, jika belum bahkan dalam peperangan sekali pun mereka pasti akan tetap hidup."
Lagi-lagi perempuan lanjut di dekatnya itu berseru. Lalu bergidik ngeri. "Non Atha ngomong kematian. Bibi jadi merinding dengernya."
Athaya menarik ujung bibirnya. Ia juga merasakan hal sama, merinding. Sedari membaca ayat pertama surat ini, pikirannya tak pernah lepas dari sosok Syaki dan Ibrahim yang belum kunjung memberikan kabar. Bayangan di kepalanya berkejaran dengan perasaan gelisah yang membikinnya tidak tenang.
Enam jam sebelum kabar itu datang, di Pondok Pesantren Putri Tebu Ireng.
"Enaknya tadi yang dikunjungi Abi sama umminya." Salah seorang anak perempuan berkerudung putih sepinggang menyenggol bahu temannya yang mengantri ambil makan malam.
Rikhna mendelik ke arah Fahriz, wajahnya menandakan tidak suka dengan godaan gadis itu, yang kerap kali habis dijenguk oleh kedua orang tuanya. "Kalau cuma mau ngejek, mending anti diem aja, Riz."
"Halah, gitu aja ngambek." Fahriz tertawa kecil. "Tapi Mbak sing ayu itu nggak ikut, ya?"
Rikhna memutar bola matanya. "Mbak Atha pasti lagi berduaan sama Mas Albab," ucapnya beriringan dengan embusan napas.
Bukannya ingin suudzon pada saudara sendiri, namun sudah pasti alasan Athaya tidak datang menjenguknya karena Albab merengek minta ditemani mengurus pekerjaannya. Kadang Rikhna kesal, sebenarnya saudara Athaya itu dirinya atau laki-laki itu, sih?
Pandangan gadis berusia 18 tahun itu beralih pada jendela besar yang ada di kantin ponpes. Di luar sedang hujan. Lengkap dengan angin dan petir yang menjilat-jilat. Bagaimana keadaan Abi dan umminya saat ini? Apa mereka sudah sampai atau masih berteduh di suatu tempat?
"Rikhna! Rikh, giliran kamu!" Fahriz mendorong tubuhnya dari belakang, menyebabkan perempuan di depannya tersentak kaget.
"Yee, malah melamun. Cepetan, Rikh! Sudah lapar cacing-cacing ini!"
"Astaghfirullah, Riz! Anti berisik banget, sih!"
Fahriz mencebikkan bibirnya, menatap punggung Rihkna yang mulai berjalan ke arah dapur kantin. Semenjak Abi-Ummi pulang, perasaan mengganjal terus bercokol di hatinya. Tepat saat ia akan mengambil piring yang sudah tersedia nasi dan lauk, sebuah petir berkilat di kaca dekat dapur dan melepaskan pegangan Rikhna pada piringnya.
Semua santri putri yang ada di kantin beristighfar sambil menutup kedua telinga, kala bunyi guntur yang cukup besar menyusul. Namun, ada satu santri yang bereaksi berbeda. Ia menatap nanar ke arah jatah makanan yang sudah terjatuh di lantai.
Astaghfirullah, sepertinya nggak akan ada makan malam buatku hari ini.
Di mobil tua Ibrahim, pukul 22.55 WIB.
Bisa jadi sudah berpuluh-puluh kali Syaki menyeka kaca mobil bagian depan yang mengembun akibat perbedaan suhu udara di luar dan dalam. Mobil Amenity tua yang mereka tumpangi tak bisa menyalakan pendingin. Alat itu sudah lama rusak dan mustahil memperbaikinya lagi agar hidup.
Kanebo setengah basah yang diolesi sampo terus ia usapkan. Berharap kabut di kaca dapat dihilangkan. Sementara sang suami masih menatap susah payah pada jalanan di depan.
Tepat ketika ia akan membelokkan setir mobil untuk menghidari lubang ke sisi jalan yang lain, sebuah truk pasir kosong berwarna kuning melaju ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
"Mas! Awas!" Syaki dan Ibrahim memekik histeris, tanpa sadar pria itu membelokkan lagi setirnya ke arah lain, menerobos pembatas jalan, kemudian melaju tidak seimbang menabrak sebuah pohon besar yang tumbuh.
Dada Syaki dihimpit oleh bagian depan mobil yang membuatnya sesak. Darah mengalir dari kepalanya, membuat pening luar biasa. Matanya mulai mengabur, yang bisa ditangkap hanya bayang-bayang Ibrahim yang terluka di balik kemudi, setelah itu Syaki menutup matanya perlahan, dibawa oleh kegelapan yang menyelimutinya.
Di rumah Athaya, 23.07 WIB
Sudah lama ia menunggu. Entah berapa jam Athaya habiskan. Pada sujud salat witir terakhirnya, secara tiba-tiba air mata gadis itu mengalir. Tanpa henti, hatinya terasa diiris, bayangan kedua orang tuanya terus tergambar seperti sebuah video yang sedang ia tonton.
"Ada apa ini, Yaa Allah? Kenapa Abi dan Ummi selalu muncul di pikiran hamba?" batinnya.
Athaya sebenarnya tidak ingin berganti dari posisinya, namun ia harus tetap menyelesaikan salat ini. Tak bisa terputus pada sujud saja. Bi Inah yang memperhatikan majikannya dari jauh terlihat sedikit cemas.
Tidak lama, bel rumah berbunyi. Bi Inah bergegas ke ruang depan untuk membukakan pintu, mungkin itu Ibuk sama Bapak, pikirnya demikian. Akan tetapi setelah ia membuka pintu, sosok laki-laki tegap dengan tubuh basah kuyup, gemetar menatapnya dengan pandangan kesedihan yang amat mendalam. "Mas Albab?"
Laki-laki yang dipanggil Albab berusaha tersenyum. "Athaya ada, Bi?"
Belum juga menjawab, Bi Inah sudah panik, gelagapan melihat sahabat majikannya itu dengan penampilan acak-acakan seolah habis diterjang tornado. Mau mengizinkan masuk rumah jadi basah semua, dibiarkan berdiri di luar begini, ia tidak tega.
"Bi? Ada tamu, ya?" Athaya muncul dari ruang tengah, masih dengan mukena yang ia gunakan. Ketika manik keduanya bertemu, Albab menyunggingkan sebuah senyuman.
"Loh, Albab?" Athaya berlari kecil ke arahnya. "Kamu ngapain? Kok bisa basah kuyup gini? Habis main hujan-hujanan, ya?" goda Athaya diiringi tawa kecil.
Tawa yang menjadikan Albab tak pernah tega untuk menyampaikan kabar itu padanya.
"Tha, abi sama ummi kamu kecelakaan."
Gelak tawa itu menghilang. Athaya mematung. Matanya hanya terpaku pada sosok yang baru saja berkata jika....
"Kamu barusan bilang apa?"
"Tha—"
"Albab, jangan bercanda!"
"Tha, dengerin aku—"
"Kamu bohong, kan?" Suaranya bergetar. "Kamu bohong, kan? Kenapa harus bercanda hal kayak gitu, Albab?!"
"Aku juga ingin, Tha. Aku juga ingin yang tadi kudengar itu cuma kebohongan. Tapi ... sekeras apa pun aku menolak, itu adalah kenyatannya."
Athaya masih belum banyak bereaksi, selain mengunci pandangan Albab. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, hanya butuh satu dorongan untuk membuatnya mengalir.
"A-Abi," ucapnya terbata-bata. Meski takut untuk mendengar kenyataan selanjutnya, Athaya ingin tahu bagaimana kondisi kedua orang tuanya sekarang. Athaya menguatkan diri. "A-Abi sama Ummi?"
Mata elang Albab melunak, ia menutup matanya. Kalimat itu sangat berat ia ucapkan meski sudah di ujung lidah.
"Abi dan Ummi kamu nggak bisa diselamatkan."
***
Assalamu'alaikum, semua❤
Terima kasih sudah mampir dan membaca cerita pembuka ini.😘
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen, ya😆
Berjumpa lagi di part berikutnya~
Mata ashita!
.
.
.
Salam sayang, bawelia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top