ICHI

"Bukan melarikan diri. Namun, ini adalah caraku menenangkan hati."

***

"Semua keperluan kamu sudah dibawa?" tanya pria tua dengan tongkatnya, dan ini sudah pertanyaannya yang kesepuluh atau mungkin lebih.

Athaya menampilkan seulas senyum. "Sudah, Kek. In syaa Allah tidak ada satu barang terlupa. Lagian ada Zayra di sana. Kalau Athaya butuh sesuatu bisa minta tolong Zayra."

Hermawan mengembuskan napas berat. Ia sebenarnya tidak pernah setuju dengan keputusan cucunya tersebut. Waktu cepat berlalu, membuat cucu-cucu kesayangannya, satu per satu pergi meninggalkan rumah untuk mencari kehidupan baru.

Siapa yang bilang punya banyak anak dan cucu tidak akan membuat rumah sepi? Pada kenyataannya, seiring waktu berlalu mereka tumbuh besar kemudian pergi meninggalkan rumah dan akan sibuk dengan kegiatan sendiri-sendiri.

"Kamu nggak di Indonesia saja? Temani Kakek di rumah biar nggak kesepian. Rasanya rumah jadi lengang. Percuma Kakek bangun rumah besar kalau penghuninya cuma Kakek saja." Ada nada sedih dalam suara berat Hermawan.

Hal ini yang selalu sukses membuat hati Athaya bimbang untuk pergi dari Indonesia.

"Kek," panggil Albab sembari menyentuh pundak Hermawan dari belakang. Ia menyadari perubahan raut wajah Athaya yang kembali ragu atas pilihannya, maka sebisa mungkin laki-laki itu akan membantu sahabat kecilnya terbebas dari bujukan sang Kakek. "Kan di sini ada Albab, ada Rikhna, Romi, Aisya, Puput. Ada Gladis juga. Kakek nggak sendirian. Kita bakal sering ke rumah biar Kakek nggak kesepian.

"Jadi, biarkan Athaya meneruskan studinya dulu di Jepang, ya? Eman-eman 'kan, kalau ditolak? Nanti Athaya dan Zayra bakal balik ke Indonesia kalau studi mereka sudah selesai. Iya 'kan, Tha?" Albab mengedipkan sebelah matanya pada gadis itu.

"Buener banget yang Albab bilang barusan. Cuma dua tahun kok. Setelah wis-sudah, Aku bakal balik ke Indonesia lagi, Kakek nggak usah khawatir, ya?" Athaya mengusap sayang lengan Hermawan, mengatakan jika dia akan baik-baik saja lewat sentuhan itu.

Sementara Albab menahan tawanya dengan menutup mulut. "Tuuuh, kan. Apa yang Albab bilang? Jadi Kakek nggak perlu khawatir, ya? Lagian anak seperti Athaya itu mana betah di negara orang lama-lama. Nanti juga dia pulang sambil teriak-teriak nggak mau ke sana lagi."

Otaknya kembali mengingat kejadian saat Athaya diajak ngobrol oleh orang asing—orang German—yang mereka temui di Candi Borobudur, Yogyakarta. Saat itu umur Athaya masih lima tahun, karena tidak tahu harus menjawab apa ketika salah seorang turis berpakaian serba mini itu bertanya namanya, juga karena postur tubuh mereka yang terbilang cukup tinggi, Athaya malah kabur ke pelukan umminya sambil menangis terisak.

"Albab, ish!" Tangannya mencubit lengan laki-laki itu hingga empunya mengaduh kesakitan. Wajah Athaya memerah berkat godaan Albab yang mengingatkannya pada kejadian memalukan waktu itu.

"Astaghfirullah, kalian ini...." Hermawan berseru takzim. Usia keduanya memang sudah terbilang dewasa, tapi kelakuannya jauh sekali dari perilaku dewasa. Yah, setidaknya melihat Athaya yang ceria melenyapkan sedikit rasa khawatir yang sempat Hermawan rasakan beberapa hari yang lalu.

"Ya sudah sana. Nanti pesawatnya nggak berangkat-berangkat gara-gara nungguin kamu. Jaga diri ya, Nak. Jangan makan sembarangan."

"Siap, Komandan!" Athaya langsung menyalimi Hermawan. Sebelum ia pergi menjauh, gadis itu masih sempat memberikan original heart finger pose dengan dua ibu jari dan tulunjuk yang dibetuk menyerupai hati. Lalu menggaruk kepalanya dengan cengiran malu-malu.

Hermawan dan Albab tertawa, tak habis pikir dengan tingkah Athaya barusan.

"Kita pulang, Kek?"

"Yah, lebih baik kita cepat pulang."

"Siap! Silakan, Kakek duluan." Albab memberikan jalan layaknya seorang buttler.

"Haduh, Kakek bingung sama kelakuan anak muda zaman sekarang."

Pria tua itu berjalan lebih dulu, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya terus mengoceh tentang tingkah anak muda zaman now. Tiba-tiba saja sebuah notifikasi LINE masuk ke ponsel Albab.

Athaya Bawel: Makasih atas bantuannya mas bro. :))

Athaya Bawel: Tolong jagain kakek, ya. Nanti aku bawain oleh-oleh.

Athaya Bawel send a sticker

Tanpa sadar, Albab tersenyum senang.

Ulul Albab: Ekhm, yang dapet beasiswa kayanya sombong amat

Ulul Albab: Wkwkwkwk

Athaya Bawel send a sticker

Athaya Bawel: Halah, kalau kamu gak sibuk sama kerjaan juga bisa dapet.

Athaya Bawel send a sticker

Dan selanjutnya pesan itu hanya berisi spam stiker yang Athaya kirimkan, hingga masuk ke dalam pesawat.

***

"Tolong non aktifkan handphone-nya ya, Bu." Salah seorang pramugari menegur penumpang yang masih mengoceh dengan telponnya. Tampaknya ia sedang bertengkar dengan sang suami, karena beberapa kali meneriakkan kalimat 'minta cerai'.

Sayangnya, bukan menuruti. Si Ibu berpakaian serba merah dengan riasan wajah menornya malah menghardik si Pramugari. "Heh! Mbak itu nggak tahu masalah saya! Saya sedang telepon dengan suami saya! Pergi deh sebelum saya adukan Mbak ke maskapai Mbak! Bosnya maskapai ini kenalan saya. Mbak mau dipecat dari pekerjaan sebagai pramugari?"

Si Mbak Pramugari menghirup napas dalam-dalam. Pekerjaan terberatnya selain harus terbang ke sana-ke mari tanpa henti, juga meladeni penumpang keras kepala seperti ibu ini. Tak jarang juga mereka mendapat perlakuan kasar karena menegur sebuah kesalahan.

"Sudah deh, Mbak! Saya itu sudah berkali-kali ke luar negeri! Sudah hafal peraturan itu! Atau mbaknya memang ingin dipecat, iya?" Wanita itu tetap tidak mau mengalah.

"Permisi?" Tiba-tiba saja muncul gadis dengan hijab motif bunga berwarna coklat mengganggu drama di atas pesawat itu. "Saya baru masuk tadi. Trus denger ribut-ribut. Ada apa, ya?" tanyanya pura-pura tidak tahu kejadian detailnya.

Si wanita menor tadi mendelik ke arah Athaya. "Nggak ada urusannya ya sama Mbak! Nggak usah nambah-nambah masalah!"

Athaya terkejut dengan jawaban sinis sang ibu, ia kemudian tersenyum ramah. "Loh, tentu ada urusannya dong, Bu. Mohon maaf nih sebelumnya, tapi saya ini juga penumpang pesawat ini. Tuh, di belakang dan samping ibu juga sama-sama penumpang. Mohon maaaaaf sekali. Hanya saja ini bukan pesawat pribadi Ibu, penumpang yang lain merasa terusik waktu Ibu teriak-teriak. Apalagi sampai membentak Mbak Pramugari yang cantik ini."

Suasana pesawat menjadi lengang. Entah karena ucapan Athaya barusan atau karena pesawat yang akan lepas landas, ia pun tak tahu. Berbeda dengan raut si ibu yang merah padam. Pasti otaknya tidak lengang.

"Jadi maksud kamu saya harus bawa pesawat pribadi?"

"Oh, bukan." Athaya meringis. "Maksud saya, di sini kita itu sama, Bu. Sama-sama penumpang pesawat ini. Dari pada membuat keributan dan membesarkan diri seolah ini pesawat pribadi Ibu, dan yang lainnya hanya 'numpang' lebih baik Ibu berdoa supaya bisa sampai tujuan dengan selamat."

Gigi si Wanita bergemelutuk. "Saya itu ke Jepang mau menenangkan diri! Bukan malah mendapat ceramah dari kamu!"

"Berarti tujuan kita sama dong? Saya yakin yang lain pun juga pergi karena alasan sama. Nggak mau kan, mencelakai semua orang di pesawat ini karena keegoisan Ibu yang nggak nurutin aturan?"

"Bener tuh, Bu!"

"Iya bener! Masa sering pergi ke luar negeri, tapi peraturan aja dilanggar!"

"Sering atau baru pertama kali naik pesawat?"

Penumpang lain yang awalnya diam saja, ikut menimpali. Manusia itu, kalau nggak ada yang berani negur duluan dia pun akan diam saja tidak berani membela. Baru setelah salah satu maju, yang lain jadi ikut keroyokan.

Ibu yang tadinya masih menyauti teguran halus dari pramugari dan Athaya akhirnya bungkam. Meski mulutnya masih berkomat kamit, misuh-misuh tidak terima, tapi pada akhirnya ia mematikan telepon genggamnya sesuai teguran tadi.

"Terima kasih ya, Mbak." Si Pramugari tersenyum tulus.

Athaya pun membalas dengan tersenyum ramah. "Nggak masalah, Mbak. Saya ke tempat duduk dulu."

"Silakan."

Dalam sepanjang perjalanannnya, pikiran Athaya melayang pada kejadian empat bulan yang lalu. Ketika Abi dan umminya harus pergi beristirahat lebih dulu. Ia mondar mandir menemui tamu yang datang. Sambil tersenyum ia bercerita tentang kejadian seadanya, walaupun bibirnya bergetar. Selalu ingin menangis ketika mengingat orang tuanya.

Selepas empat puluh hari, Athaya mulai menunjukkan kesedihannya. Ia mengurung diri di kamar. Tidak ingin keluar, bahkan untuk sekadar makan. Yang terdengar dari dalam kamar hanya lantunan ayat suci Alquran tanpa henti.

"Non, ini Bi Inah bikinin ayam kecap kesukaan Non Atha. Makan dulu, ya?" Tidak ada jawaban. Jadi Bi Inah pun masuk karena pintu juga tidak dikunci.

Di atas kasur Athaya, gadis itu tidur dengan air mata yang mengering di kedua pipi. Sebagai orang yang mengurusi majikannya dari kecil, Bi Inah tidak pernah tega melihat Athaya larut dalam kesedihan seperti sekarang ini. Apa pun akan ia lakukan agar Athaya kembali ceria.

"Ummi, Abi," gadis itu mengigau.

"Iya, Non. Bibi di sini." Bi Inah memegangi telapak tangan Athaya. Dahinya mengernyit ketika menemukan ada sesuatu yang janggal. Tangannya yang lain menyentuh kening Athaya.

"Astaghfirullah, Non Atha!" Bi Inah terpekik panik. "Badan Non panas sekali!"

Wanita itu lantas bangkit dari duduknya. "Sebentar, ya, Non. Bibi panggilkan tuan besar dulu." Ia pun menghilang di balik pintu.

Kesadaran Athaya sebenarnya masih tersisa beberapa persen. Hanya saja sangat sulit baginya membuka mata. Semuanya gelap, yang ia lihat hanya bayangan Ummi dan Abi yang memanggil-manggil minta untuk ditemani. "As-tagh-fi-rullah," Athaya terbata. Ini pasti ulah syaiton yang coba menggangguku, ia membatin.

Dan di detik berikutnya Athaya sudah hilang kesadaran sepenuhnya akibat nyeri yang ia rasakan di kepala.

"Tha, kamu sudah sadar?"

Objek yang pertama Athaya temui ketika membuka mata adalah pria tua dengan rambut beruban, duduk di dekat brangkar. Lalu, dinding berwarna putih dan biru yang mengelilinginya.

"Ini di mana, Kek?" Ia mencoba menerka.

"Rumah sakit, badan kamu panas banget jadi Kakek bawa kamu ke sini."

Ah, pantas saja Athaya merasa asing. Ia sedang dirawat rupanya. Pandangannya kemudian mengarah pada jendela yang terletak di seberang kasur rumah sakit. "Sudah larut, ya?"

Hermawan menggeleng. "Belum, baru isya, Nak."

Athaya berseru paham.

"Gimana keadaan kamu? Sudah baikan?"

"Alhamdulillah, Kek. Cuma kepala aja agak sakit."

Lagi-lagi Hermawan mengangguk takzim. "Bentar lagi Kakek pulang. Kamu ditemani Rikhna dulu, ya? Dia masih ambil baju di rum—"

"Rikhna udah datang." Gadis berpakaian ala anak ponpes itu masuk menggebrak pintu. Dari ujung atas sampai bawah terlihat sederhana tanpa motif. "Kakek ditunggu Mas Albab di luar."

"Albab?" Athaya yang pertama kali menanggapi.

Ini yang paling Rikhna tak suka, ketika menyebutkan nama orang itu di depan kakaknya. Malas, gadis itu memutar bola matanya. "Ya, Mas Albab. Udah giiih, Kakek pulang sekarang. Nanti kalau kakek sakit malah repot semua."

Hermawan mengangkat sebelah alisnya. "Rikhna, kamu ngusir Kakek?"

"Ih, bukan! Tapi ini untuk kemaslahatan bersama! Ayok, Rikhna anter ke depan!"

Rikhna itu memang sedikit jutek. Ia tak segan-segan mengatakan ketidaksukaannya lewat nada ketika berbicara atau raut wajah yang terang-terangan ditunjukkan. Dan yang Hermawan juga keluarga Athaya tahu, Rikhna hanya bersikap begitu ketika bertemu dengan Albab.

"Ya sudah, kakek pulang dulu. Athaya jangan lupa makan, Nak. Rikhna, jaga Mbak kamu baik-baik."

"Ah, nggak usah Kakek bilang juga Rikhna pasti jagain Mbak Atha. Gih, gih!"

Selepas mengantarkan Hermawan ke depan. Rikhna kembali masuk, lalu menghempaskan dirinya di atas kursi dekat ranjang Athaya. "Heran deh, bisa-bisanya orang yang sok tegar waktu Abi sama Ummi meninggal malah paling lama larut dalam kesedihan setelah acara empat puluh hari?" sindirnya tajam sembari melipat kedua tangan di dada.

"Mbak tahu 'kan, berlarut-larut dalam kesedihan itu nggak baik? Itu cuma ngundang setan buat godain iman kita. Ummi sama Abi juga pasti nggak suka," cerocosnya lagi tanpa jeda. "Lagian ya, lulusan terbaik Pondok Pesantren Tebu Ireng, menghadapi kegiatan berat di ponpes aja bisa masa menghadapi kenyataan aja nggak bisa?"

Nggak semudah berbicara, Rikh. Athaya menjawab dalam hati.

"Nggak gampang, kan? Aku juga tahu, Mbak. Ini juga sama-sama nggak gampang buatku," ucapnya dengan nada suara mulai bergetar lalu melanjutkan, "tapi kita harus menghadapinya sama-sama. Abi sama Ummi sudah nggak ada, dan kita masih hidup. Apa yang harus kita lakukan buat mereka?"

Athaya membisu di tempatnya. Ia memang tak pernah bisa membuka suara ketika Rikhna mulai berceloteh. Gadis ini lupa jika bukan cuma dirinya yang merasa terluka.

Melihat kakaknya yang tidak akan merespon ucapannya. Rikhna melemparkan sebuah brosur ke perut Athaya.

"Apa ini?"

"Brosur. Pemberitahuan beasiswa magister di Jepang. Yang aku tahu Mbak dari dulu pengen banget ke sana. Coba ikut itu, kali aja bisa bikin Mbak kembali tenang."

"Mbak sudah melakukan hal yang membuat tenan—"

"Apa? Dengan mengurung diri di kamar dan mengaji tanpa henti? Mbak, Mbak itu manusia biasa. Mbak nggak bisa terus-terusan ngurung diri di kamar atau rumah. Meski benar mengaji, salat, dan mendekatkan diri pada Allah adalah cara terbaik menenangkan diri. Mbak tetep butuh udara segar, supaya setan nggak terus bikin Mbak memikirkan Abi-Ummi." Napasnya memburu, Rikhna kadang kesal pada sikap egois kakaknya. "Ke Jepang sambil mengagumi dan merenungi kebesaran Allah juga bisa disebut mendekatkan diri, kan? Jadi apa salahnya jika sedikit menghibur hati?"

"Tapi, Rikh, ini sama saja dengan Mbak—"

"Melarikan diri?" Rikhna langsung memotong. "Ini bukan melaikan diri, coba pikir jika ini adalah cara Mbak menenangkan hati."

Athaya tidak lagi berani membantah, susah payah ia menelan salivanya sendiri sambil membatin. Orang ponpes kasih makan adiknya apa, sih? Kok bisa-bisanya kadar nyolotnya kayak gini?

Lelah meluapkan emosinya, gadis berusia 18 tahun itu berjalan mengambil box yang sengaja disembunyikan di balik jaket dan tas selempangnya. Ia lantas membuka tutup kotak itu, hingga bau ayam goreng memenuhi seisi ruangan.

"Nih, Mbak Atha makan dulu. Udah aku beliin pas ke sini tadi."

Berbeda dengan Rikhna yang santai membuka nasi, Athaya malah bingung karena ia pasti belum boleh makan makanan cepat saji. "Ini nggak apa-apa emang? Dokter Adrian nggak bakal marah?"

Rikhna mendecih sebelum berujar. "Dokter itu ya, ngelarang ini ngelarang itu, tapi minta pasiennya cepet sembuh dengan minum bahan kimia. Ya, gimana mau sehat kalau badan isinya bubur hambar sama obat doang? Sekolah lama-lama cuma buat nyuruh pasiennya makan bubur hambar, anak SD juga bisa!"

"Oh, jadi maksud kamu, saya setara dengan anak SD?" Suara yang amat familier di telinga Rikhna menggema di ruangan itu.

Sial, sial! Pasti kena omel lagi ini!

"Rikhna masih inget saya, kan?"

Rikhna memutar badannya. "Selamat malam, Dokter Adrian. Siap! Saya masih ingat. Wiiih, sekarang Dokter tambah tampan, ya! Tambah gemuk lagi. Nggak kayak Kakak saya, sudah kurus, disuruh makan bubur lagi. Jadi saya bawain ka-ef-ci biar kakak saya gemuk kayak dokter!"

Dokter Adrian tersenyum penuh arti hingga matanya hanya membentuk garis melengkung. "Wah, perhatian sekali. Kalau gitu, yuk! Rikhna ikut dokter dulu. Kotak ka-ef-ci-nya dibawa juga, ya. Athaya jangan lupa bubur dan obatnya dimakan. Dokter pinjem adiknya dulu, ya?"

Ah, bisa Athaya pastikan jika Rikhna tidak akan selamat dari omelan Dokter Adrian. Baguslah, ini namanya impas.

***

Assalamu'alaikum, semua❤

Terima kasih sudah mampir dan membaca bab satu: ICHI😘

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen, ya😆

Berjumpa lagi di part berikutnya~

Mata ashita!

.
.
.

Salam rindu, bawelia-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top