TIDAK ADA SALAHNYA BERHARAP BUKAN?
Bolak-balik mengurus iklan game dengan orang marketing bernama Rega Lukas, belum pernah sekali pun Jasmine bertemu Didi di sini. Bertemu secara kebetulan tentu saja. Jasmine jelas tidak punya alasan untuk menemuinya. Tidak ada urusan pekerjaan yang bisa membuatnya bertemu Didi. Oh, tapi bukankah laki-laki itu sudah tidak bekerja di sini lagi? Karena akan menikahi teman sekantornya.
Tapi, beberapa malam lalu Jasmine sempat melihatnya di gerai piza di dekat kantornya. Meski pindah perusahaan, mungkin laki-laki itu tetap bekerja di sekitar sini. Tidak ada salahnya kan berharap? Lagi pula hanya berharap berpapasan. Tidak ada yang dirugikan.
Sudah hampir jam enam dan hujan belum juga reda. Jasmine mengamati kondisi di luar dari dinding kaca di lobi Maxima. Sambil menyesali keputusannya meninggalkan payung di kantor. Tasnya sudah terlalu berat untuk menampung satu payung. Siapa sangka pembicaraannya dengan Rega bisa sampai sore begini.
"Jasmine." Suara Kana menghentikan kegiatan Jasmine mencari ponsel di dalam tas, berencana untuk memanggil Uber. Meski tahu saat hujan seperti ini waktu tunggunya lebih lama.
Jasmine menoleh ke arah datangnya suara sambil tersenyum. Senyumnya mendadak hilang melihat siapa yang berdiri di samping Kana. Pasangan sempurna yang membuat iri itu muncul lagi di depannya. Memang Jasmine ingin melihat Sexy Didi. Tapi bukan begini caranya. Inilah akibat berdoa dengan tidak spesifik. Lain kali doanya harus diralat: berpapasan dengan Didi, sendiri.
"Mau balik ke kantor?" tanya Kana ketika dekat dengan Jasmine.
Jasmine menggeleng. "Pulang."
"Ke?" Kana malah duduk di samping Jasmine.
Jasmine menyebutkan alamatnya dan reaksi Kana membuat Jasmine mengerjapkan mata tidak percaya.
"Ya sudah bareng kita saja, Jas. Searah ini," kata Kana sebelum tersenyum dan bicara—dengan lembut—kepada calon suaminya. "Didi, kamu ambil mobil, ya. Kita tunggu di sini."
Memang si Seksi hanya mengangguk, tapi tampak tidak keberatan sama sekali saat berjalan meninggalkan mereka. Mata Jasmine mengikuti Sexy Didi yang keluar dari lobi setelah meminjam payung yang disediakan di dekat pintu masuk. Laki-laki itu pasti sangat mencintai Kana karena mau melakukan apa saja untuknya. Dalam hatinya diam-diam Jasmine berharap suatu saat akan ada laki-laki yang mencintainya seperti itu.
"Ayo, kita tunggu di depan, Jas," ajak Kana.
Jasmine mengikuti Kana keluar dari lobi untuk berdiri sebentar di sana. Kalau dapat tumpangan dan tidak perlu lama-lama menunggu Uber di hari hujan begini, Jasmine tidak menolak. Mobil hitam milik Didi berhenti tepat di depan Jasmine dan Kana berdiri.
"Kamu di depan ya, Jas." Kana sudah lebih dulu membuka pintu belakang.
"Eh?" Jasmine menoleh ke arah Kana, memastikan bahwa apa yang didengarnya benar.
"Aku turun di dekat sini kok. Biar nggak ribet pindah-pindah tempat duduk. Hujan ini."
Jasmine terpaksa duduk di jok depan, di sebelah laki-laki yang tidak memedulikan keberadaan Jasmine. Karena Kana langsung sibuk menelepon begitu pantatnya menyentuh kursi, yang dilakukan Jasmine hanya diam dan memperhatikan deretan gedung perkantoran melalui kaca jendela. Jasmine sudah kapok mengajak bicara calon suami Kana yang seksi ini, jawabannya tidak ada seksi-seksinya.
"Aku duluan, ya," pamit Kana ketika mobil Dinar sudah berhenti lagi di sebuah gedung tidak jauh dari Maxima.
Tidak ada lagi suara manusia yang terdengar setelah Kana turun. Jasmine memilih diam dan sesekali melirik laki-laki di sampingnya. Mimpi apa tadi malam, sampai dia mendapatkan durian runtuh, bisa satu mobil dengan si seksi.
Kenapa Kana membiarkan calon suaminya berduaan bersamaku begini, hati Jasmine mulai bertanya-tanya. Apa Kana tidak menganggapnya sebagai ancaman yang berbahaya, yang mungkin bisa merebut calon suaminya ini, Jasmine langsung meringis memikirkan ini. Apalah dia dibandingkan Kana sampai bisa membuat laki-laki seksi ini berpaling padanya?
"Mampir dulu, ya." Tanpa menunggu tanggapan Jasmine, Dinar membelokkan mobilnya ke sebuah mal.
Jasmine hanya mengangguk, Dinar melihat atau tidak, dia tidak tahu. Dia hanya diam mengekori Dinar turun dari mobil dan mengikuti langkah-langkah lebar Dinar dengan susah payah.
"Jangan cepat-cepat!" Jasmine sedikit berteriak kepada Dinar yang berjalan beberapa langkah di depannya.
"Lambat." Dinar berhenti dan menoleh ke belakang.
"Aku susah jalan." Sepatu setinggi tujuh centimeternya tidak bersahabat dipakai jalan cepat.
"Benda ini ...." Dinar menunjuk sepatu Jasmine. "Kalau malah menyusahkan, kenapa dipakai?" Tapi, meski terganggu, Dinar memperlambat jalannya.
"Orang tinggi mana ngerti." Jasmine menggerutu, kalau tidak pakai sepatu setinggi ini, dia akan kelihatan sangat pendek di sebelah Dinar.
Tunggu, kenapa dia peduli pada penampilannya di samping Dinar?
"Height is not an issue here." Dinar mendengar gerutuan wanita itu.
Dasar tidak paham mode, kali ini Jasmine menggerutu dalam hati. Sebenarnya Jasmine bisa pulang dan memanggil taksi dari depan sana. Tapi kapan lagi Jasmine punya kesempatan berlama-lama memandang Sexy Didi? Hari ini, laki-laki ini makin terlihat seksi dengan rambut-rambut yang akan tumbuh di rahangnya. Sepertinya dia tidak sempat bercukur. Jasmine membayangkan bagaimana rasanya bakal rambut itu menggesek pipinya ketika mereka berciuman.
Setengah melamun Jasmine mengikuti Dinar masuk ke supermarket di lantai upper ground. Laki-laki itu membeli banyak kopi kaleng. Dan makanan-makanan instan seperti spageti dan pasta, juga makanan beku seperti samosa dan ebi fry. Daripada hanya bengong, Jasmine ikut memasukkan sosis ayam dan cokelat bubuk favoritnya ke dalam troli yang sedang didorong Dinar. Apa mereka terlihat seperti pasangan muda berbahagia dan dimabuk cinta sehingga grocery shopping saja dilakukan bersama?
Dinar membayar semua belanjaan mereka, walaupun Jasmine bersikeras untuk membayar belanjaannya secara terpisah. Jasmine batal mendebat ketika melihat antrean di belakang mereka cukup panjang. Dengan satu tangan membawa kantong plastik putih, Dinar tidak sabar dan menarik tangan Jasmine yang semakin lambat berjalan. Sementara itu Jasmine hanya bisa berusaha meredakan debaran di dadanya. Tangan besar Dinar yang melingkupi tangannya terasa sempurna sekali. Hangat dan kuat.
Tapi, ini tangan calon suami orang, Jasmine. Kepalanya memberi peringatan.
Dinar baru melepaskan tangannya ketika mereka berada di eskalator naik.
"You are blushing." Dinar mengamati wajah Jasmine.
"No." Jasmine memalingkan wajah. Jasmine ingin memukul wajahnya sendiri, bagaimana mungkin wanita dewasa sepertinya bisa merona hanya karena dipegang tangannya?
"Iya." Kapan terakhir kali Dinar membuat seorang wanita tersipu? Tiga belas tahun yang lalu? Dinar menggelengkan kepala, mencegah dirinya mengingat kembali masa-masa itu.
"Berisik." Jasmine berusaha menghilangkan kegugupannya.
Dinar masuk ke restoran, atau bistro, atau tempat makan, atau apa pun itu yang pertama kali tertangkap matanya. Tanpa membicarakan dulu dengan Jasmine. Restoran all you can eat. Sepertinya wanita itu tidak keberatan karena masih mengikutinya. Sambil tersipu. Aneh sekali. Dinar tidak merasa melakukan apa-apa padanya, kenapa dia tersipu.
Dalam mode zombi, Jasmine mengambil piring dan mengisinya dengan kentang. Tidak penting lagi dia makan apa malam ini. Yang penting dia bisa merasakan bagaimana makan ditemani oleh si seksi ini. Jasmine tidak akan konsentrasi makan karena sibuk memperhatikan bagaimana Dinar makan. Baik sekali Kana mengizinkannya sedikit mengobati patah hati, karena tertutup sudah kesempatan memiliki si seksi ini.
"Sorry, aku makannya lama." Jasmine merasa tidak enak karena Dinar selesai makan lebih dulu dan harus menunggu Jasmine.
"Jalan lambat, makan lambat."
Gumaman Dinar masih bisa ditangkap telinga Jasmine. Membuat Jasmine ingin menusukkan garpunya ke mata Dinar. Walaupun piringnya belum bersih, Jasmine memutuskan menyudahi makannya. Hilang nafsu makannya karena sindiran laki-laki yang duduk di depannya ini. "Kenapa memangnya? Ini sudah di luar jam kerja. Santai sedikit kenapa."
"Karena tidak semua orang punya kesempatan untuk bersantai," jawab Dinar.
Dinar bergerak untuk membayar dan tanpa mengatakan apa-apa berlalu dari sana. Tidak mengatakan apa-apa kepada Jasmine lebih tepatnya, yang tergesa menyusulnya keluar.
"Aku mau mampir ke situ." Jasmine menunjuk toko buku di samping kanannya saat mereka meninggalkan restoran.
"Mau beli buku tips mengisi waktu luang supaya bermanfaat?"
Jasmine menghela napas panjang, kenapa cupid—jika benar-benar ada—menembakkan panahnya saat Jasmine bertemu laki-laki ini di kedai kopi? Bagaimana mungkin Jasmine bisa menyukai laki-laki ini? Memang laki-laki ini seksi. Tapi, mulutnya pedas.
Ditambah lagi laki-laki ini sudah punya calon istri yang cantik jelita.
***
"Sosis?" Dinar memasukkan belanjaannya ke dalam kulkas dan tidak merasa membeli sosis.
"Punya cewek lambat tadi. Jalan lambat, makan lambat, mikir lambat." Dinar memisahkan belanjaan miliknya dan milik Jasmine.
Buku? Dinar mengamati buku yang dibeli wanita itu, yang tadi dimasukkan ke kantong plastik besar di tangan Dinar. Cerita roman terjemahan. Bergambar laki-laki tampan memakai three piece suits. Tampak seperti gym junkie di mata Dinar.
Menurut buku yang sedang dipegangnya ini, pasti laki-laki dituntut untuk menjadi sempurna. As a man he's questioning, "Who in the world has this quality?"
Dinar memasukkan kembali novel itu ke dalam kantong plastik, buku-buku roman seperti ini membuat wanita mempunyai ekspektasi yang tidak nyata tentang lelaki.
"There is no prince charming, Darling." Dinar berjalan mengambil ponselnya di kamar.
Tangannya mencari nama Kana di buku telepon.
"Ada nomor telepon temanmu yang tadi?" Dinar langsung bertanya ketika Kana menerima panggilannya.
"Ada. Kenapa? Kenapa? Mau PDKT ya?" Suara Kana terdengar sangat antusias.
"Ada bukunya yang ketinggalan." Dinar menjawab dengan santai, sudah biasa menghadapi sikap Kana yang seperti itu.
"Menurutmu Jasmine gimana, Didi?"
"Jasmine?" Dinar mengerutkan keningnya.
"Temenku yang tadi." Kana menjelaskan.
"Oh. Lambat." Hanya ini kesan yang didapat Dinar.
"Maksudnya?"
Dinar tidak ada waktu, tidak ada keinginan, untuk menjawab pertanyaan Kana. "Kamu beri tahu dia, Kan, bukunya ketinggalan di mobilku. Sudah ya, aku banyak pekerjaan."
Tidak lama setelahnya, Dinar sudah bisa membaca pesan masuk dari Kana. Nomor telepon cewek lambat yang tadi. Jasmine. Nama yang cantik. Seperti pemiliknya.
Sebelum Dinar menulis pesan untuk Jasmine, Kana mengirim pesan lagi.
Kamu ingat gimana aku berhasil nyomblangin Alen dan kakakku?
Damn! Dinar mengumpat dalam hati. Dia dan wanita lambat tadi? Tidak akan pernah terjadi.
***
Hari ini harus ditandai. Another day that she had a best day of her life. Tiga jam bersama Sexy Didi. Memang tidak sia-sia mengikuti saran Bu Raya untuk rajin-rajin datang ke Maxima. Semaksimal mungkin mengakomodasi kebutuhan Rega dan timnya. Tiga jam Jasmine menikmati Sexy Didi untuk dirinya sendiri. Tidak ada Kana yang cantik yang membuatnya hilang kepercayaan diri.
Jasmine berguling ke tepi kasur untuk mengambil ponsel yang bergetar di meja.
Barangmu ketinggalan. Besok ambil di kantor.
Jasmine membaca SMS masuk di ponselnya. Apa orang zaman sekarang kalau mengirim SMS tidak pakai basa-basi? Tidak pakai salam pula. Dan parahnya tidak menulis nama. Tidak sopan.
Barang apa?
"Astaga." Jasmine menepuk keningnya. Sosis, cokelat, dan bukunya tertinggal di mobil Didi. Begini kalau Jasmine sibuk mencuri-curi pandang sambil melamun. Sampai lupa ketinggalan belanjaan ketika Dinar menurunkannya di depan rumah.
Sorry. Tadi buru-buru. Jam berapa aku ambil?
Meski begitu, nasib baik sepertinya masih terus berlanjut. Sekarang dia punya nomor ponsel si seksi tanpa harus susah-susah meminta. Ketinggalan barang belanjaan ada untungnya juga. Satu per satu doanya—yang tidak spesifik—terkabul.
Tapi dia sudah akan menikah, Jas. Jasmine mendesah dan membuka SMS baru yang masuk ke ponselnya. Tentu saja balasan dari si Seksi, yang membuat Jasmine tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
Terserah.
Jasmine terperangah membaca balasan dari Sexy Didi. Apa-apaan ini? Dia sudah berusaha mengirim SMS baik-baik dan dibalas seperti ini. Hanya satu kata.
Jam 21.00?
Sekalian saja dikerjain, gerutu Jasmine. Apa laki-laki itu akan mau menunggu sampai jam sembilan malam? Tentu tidak. Pasti balasannya lebih memuaskan.
OK.
Dua huruf yang tertera di layar ponselnya membuat Jasmine semakin mendelik. Astaga! Kenapa bisa ada laki-laki seperti ini di dunia ini? Apa dia tidak tahu kalau SMS, mau satu kata atau sepuluh kata, tarifnya sama? Cara berkomunikasinya payah sekali. This thing kills relationship. Wait! Relationship?
"Wake up, Jasmine! Dia calon istri orang!" Jasmine menepuk pipinya sendiri.
Bagaimana mungkin Kana bisa tahan berhubungan dengan orang seperti ini?
Jasmine mengingat-ingat, selama bersama Kana, laki-laki itu hampir tidak pernah bersuara. Astaga! Tapi pasti menyenangkan punya pasangan yang diam dan tenang mendengarkan setiap kita bicara. Mungkin itu pertimbangan Kana. Selain seksi dan tampan. Cerdas, kalau dia software engineer seperti Kana.
Jodoh banget mereka berdua, gerutu Jasmine dalam hati.
Jasmine sedang menimbang-nimbang untuk mengubah jam sembilan malam menjadi jam lima sore. Tapi demi mendapatkan balasan SMS tidak manusiawi seperti itu, Jasmine memilih membiarkannya saja. Apa yang terjadi terjadilah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top