KITA TIDAK BISA MENEBAK AKAN BERJODOH DENGAN SIAPA

Pernah membayangkan di mana dan bagaimana orang bertemu dengan belahan jiwanya? Kadang kejadiannya tidak sama dengan yang kita angankan. Takdir punya kebijakan sendiri. Yang tidak bisa diintervensi. Pertemuan tersebut bisa terjadi di tempat tidak terduga atau dengan cara yang tidak disangka-sangka. Jasmine selalu percaya itu dan tidak pernah khawatir meski sampai pada usianya yang sekarang—minggu lalu ulang tahunnya yang kedua puluh lima—dia belum juga bertemu laki-laki yang bisa membuatnya jatuh cinta.

Ketika berdiri di toko buku, Jasmine tidak bisa menahan diri untuk tidak menengok ke balik punggungnya. Siapa tahu ada laki-laki yang sama-sama tertarik dengan judul buku di tangannya, lalu mereka melanjutkan diskusi di luar, sambil menikmati segelas latte. Atau saat di lorong supermarket, saat mereka—dia dan laki-laki impiannya—menyukai jenis biskuit yang sama. Tetapi, itu tidak pernah terjadi selama ini. Semua orang selalu tampak buru-buru dan tidak ada waktu untuk bercakap-cakap dengan orang asing.

Apakah sekarang dia sedang berada dalam 'waktu dan tempat' yang tidak diduga itu? Jasmine tidak bisa melepaskan pandangan dari sesosok laki-laki yang baru saja mendorong pintu kaca. Di atas pahanya, Jasmine menyilangkan jari dan berharap ada sedikit keajaiban untuknya di dalam kedai kopi mungil yang sedang penuh orang ini.

"Kosong?"

"I-iya ...." Jasmine tergagap menjawab pertanyaan dari laki-laki yang sedari tadi menarik perhatiannya.

Jasmine memperhatikan laki-laki yang menarik kursi lalu duduk tepat di depannya. Hanya terhalang meja kayu bundar berdiameter tidak lebih dari satu meter.

Jasmine mengerjapkan matanya berkali-kali. Ingin memastikan bahwa laki-laki yang duduk di depannya ini adalah benar laki-laki yang sudah dia perhatikan sejak tadi, sejak laki-laki ini mendorong pintu kaca.Jasmine mendesah dalam hati menatap laki-laki itu. Laki-laki berkacamata yang sedang menggulung lengan kemeja hitamnya, yang pas menempel di tubuhnya. Bentuk tubuhnya membayang dengan jelas, membuat Jasmine menahan napasnya. Rambutnya tidak terlalu rapi. Sialnya, malah membuatnya terlihat seksi di mata Jasmine.

Wajah laki-laki itu serius sekali saat menggerakkan jari di layar ponselnya. Seperti sedang memikirkan apakah kode peluncur rudal akan dieksekusi sekarang atau menunggu lima menit lagi. Bagaimana mungkin ada orang seperti ini? Sudah ikut duduk di meja orang lain, tapi tidak berbasa-basi. Dalam dunia Jasmine, hal seperti ini tergolong tidak sopan.

Tetapi, lagi-lagi, kita tidak bisa menebak kita akan berjodoh dengan orang yang seperti apa. Mungkin mereka memiliki pandangan hidup yang berbeda dengan kita.

Biasanya Jasmine tidak suka ada orang asing bergabung di mejanya. Tapi, kali ini, Jasmine tidak ingin protes atau mengusirnya. Kapan lagi Jasmine bisa menatap wajah rupawan seperti ini dalam jarak sangat dekat? Lagipula kedai kopi ini sedang ramai sekali. Kalau diperhatikan, memang hanya Jasmine yang tidak punya teman duduk.

"Maaf." Tidak tahu mendapat keberanian dari mana, Jasmine mencoba mengajak laki-laki itu bicara. Daripada laki-laki seseksi itu dibiarkan menganggur begitu saja.

"Ya?" Hanya sebentar laki-laki berkacamata itu mengangkat wajahnya, lalu kembali menunduk dan fokus pada ponselnya.

Pantas saja orang lebih memilih untuk mencari jodoh online, karena semua orang lebih banyak menghabiskan waktu bersama ponsel. Jasmine ingin tertawa. Apa hanya dia satu-satunya orang yang tersisa yang tidak menggunakan teknologi untuk bertemu dengan pasangan? Are we doomed to the life of technology where we use social media and filtered-photographs to attract our potential soulmates?

"Apa anda bekerja di sini?" Pertanyaan bodoh. Jasmine memaki dirinya sendiri, yang memilih pertanyaan konyol.

"Saya tidak bisa bikin kopi." Jawaban laki-laki tersebut membuat Jasmine sukses melongo. Tidak ada ekspresi apa pun di wajahnya.

Jawaban laki-laki itu tadi lelucon atau bukan, Jasmine tidak bisa membedakan.

"Maksud saya, apa anda bekerja di gedung ini?" Sambil menahan tawa Jasmine memperjelas pertanyaannya. Bertanya-tanya dalam hati, dia atau laki-laki ini yang bodoh.

"Ya." Hanya ini yang didapat Jasmine sebagai jawaban.

Wow! Jasmine bertepuk tangan dalam hati karena, meski hanya satu kata, dia tetap mendapat tanggapan. Tidak diabaikan sudah bisa dikategorikan sebagai sukses. Tetapi Jasmine belum puas. Langkah awalnya tidak boleh dibiarkan sia-sia begitu saja. Setidaknya Jasmine harus tahu nama laki-laki ini. Hal terbaik yang mungkin bisa dia dapatkan dari calon teman barunya ini. Karena tidak mungkin dia minta nomor teleponnya sekarang. Terlalu cepat.

Tahu nama sepertinya cukup. Sisanya tinggal mengandalkan kemampuan untuk stalking di media sosial. Saat akan membuka mulut dan melemparkan satu pertanyaan maha penting itu, sebuah suara merdu mendahului Jasmine.

"Didi."

Suara wanita. Mata Jasmine terbelalak menyaksikan wanita itu menyentuh pundak si laki-laki seksi lalu duduk di kursi di sisi kanannya. Yang membuat Jasmine ingin mengeluh, si laki-laki seksi tersenyum lembut sambil menyodorkan gelas minuman. Oh, Tuhan! Meski tahu lelaki itu tidak tersenyum kepadanya, Jasmine tetap merasa meleleh di kursinya.

"Ke minimarket sebentar, ya." Suara halus dan merdu itu kembali terdengar. Laki-laki mana yang tidak akan menurut kalau kekasihnya meminta dengan suara seksi seperti itu? Menguras lautan pun juga akan dilakukan.

Yang bisa dilakukan Jasmine adalah mengeluh dalam hati, bertanya kenapa Tuhan menciptakan wanita sesempurna itu. That woman is effortlessly flawless. Rambut hitamnya panjang dan mengikal dengan bagus di ujungnya. Hidungnya mancung. Matanya bulat, lebar dan bening. Kulitnya tampak lembut seperti mentega. Tinggi badan dan bentuk tubuhnya tanpa cela. Suaranya lembut. Wanita itu tersenyum kepada Jasmine. Ramah dan tulus. Siapa saja yang melihat senyumnya, pasti akan ikut tersenyum juga. Tidak terkecuali Jasmine.

"Kamu sama temenmu?" tanyanya sambil menyelipkan rambut ke balik telinga. Gerakan sederhana itu semakin menambah kesempurnaannya.

"Nope. Let's go," jawab si seksi.

Lagi-lagi, terpaksa Jasmine harus menyaksikan adegan manis di depannya, yang membuat siapa saja yang melihatnya iri setengah mati. Si laki-laki seksi membantu si wanita cantik berdiri dari duduknya dan membawakan minumannya. Jika laki-laki seksi itu mengenakan kemeja hitam yang membalut tubuh sempurnanya dan celana abu-abu membungkus kaki panjangnya, wanita cantik itu memakai terusan kerja pas badan selutut berwarna abu-abu dan blazer berwarna hitam. Janjian sebelum berangkat? Atau mereka selalu membeli baju bersama? Apa pun itu, mereka adalah pasangan yang sempurna. Sangat sempurna. Seolah mereka baru keluar dari majalah mode, memamerkan office outfit yang akan populer tahun depan.

Saat Jasmine mengerjapkan mata, kedua orang itu sudah menghilang dari pandangannya. Baru sempat mendengar laki-laki itu mengucapkan sepatah dua patah kata, Jasmine sudah harus patah hati. Jasmine meratapi nasib buruknya. The moment—the very moment—she'd been waiting on meeting the love of the life is finally over.

***

"Normalnya, ya, normalnya," Kana menekankan, "Cowok itu langsung nyamber kalau ada cewek cantik di depannya. Apalagi cewek cantiknya sendirian begitu." Dia tidak tahan mengomentari sikap Dinar yang tidak memedulikan sekitarnya, tidak memedulikan rezeki di depannya, justru sibuk mengelus-elus ponselnya. Hanya untuk main game! Laki-laki waras mana yang melewatkan kesempatan yang disodorkan Tuhan untuk berkenalan dengan wanita cantik tanpa harus melakukan usaha lebih?

"Maksudmu aku tidak normal?" Dinar tidak terima dengan pernyataan Kana.

"Siapa tahu." Kana menjawab sekenanya.

"Aku bukan tidak tertarik pada wanita, aku hanya ...."

"Tidak mau merepotkan hidupku dengan berurusan dengan wanita." Kana memotong kalimat Dinar dan Dinar tertawa.

"Sebenarnya aku juga malas berurusan sama kamu, Kana. Tapi, kamu selalu keras kepala minta diurus." Dinar menekan tombol di samping pintu lift, lalu menyandarkan punggung pada dinding. Lift naik menuju lantai mereka.

"Ya sudah, kita nggak perlu berteman lagi. Sini balikin undanganku." Kana menadahkan tangannya tepat di muka Dinar.

"Aku berteman dengan calon suamimu." Itu sudah cukup untuk menjadi alasan menghadiri pernikahan Kana. Dinar melenggang meninggalkan Kana saat pintu terbuka.

"Umurmu sudah tiga puluh, Didi. Seharusnya kamu mulai cari calon istri. Jadi perjaka tua baru tahu rasa." Kana tidak menyerah dan mengejar Dinar hingga ke depan ruangannya.

"Kata siapa aku masih perjaka?" Dinar menghadap Kana sambil tersenyum penuh arti.

"Ya, Tuhan! Kukira kamu adalah satu-satunya laki-laki yang kukenal yang masih ... alim."

"Kenapa? Calon suamimu tidak perjaka lagi, ya?" Sejak punya calon suami dan tobat dari mempermainkan hati laki-laki, Kana semakin sering menyuruh Dinar untuk segera mencari calon istri. Bukan pacar lagi. Tetapi, calon istri.

Dinar bukan tidak pernah memikirkan mengenai pasangan dan pernikahan. Suatu saat juga Dinar perlu menikah, punya keluarga sendiri, punya anak dan hidup bahagia selamanya. Tetapi sekarang, dengan seringnya dia bekerja sampai larut malam dan menghabiskan hari-hari membosankan di depan komputer, dia masih belum menemukan waktu yang tepat untuk mencari wanita baik-baik yang bisa dinikahinya di luar sana. Kana menyuruhnya menikahi salah seorang wanita lajang—siapa saja boleh—di gedung ini, yang hanya dijawab dengan tawa oleh Dinar.

Kalau sudah ketemu, Dinar juga belum tentu bisa membagi waktu. Bagaimana kalau wanita tersebut tidak bisa memahami pekerjaan Dinar? Menuntut Dinar harus selalu bersamanya selama tiga jam dalam sehari setiap hari? Memaksa Dinar untuk memilih kegiatan normal saat akhir pekan? Merepotkan sekali.

"Kamu pikir cari calon istri gampang? Asal comot saja? Ya, kalau dapatnya seperti kamu. Cantik, pintar cari uang sendiri, masih wanita lagi." Beruntung sekali laki-laki yang akan menikah dengan Kana. Kekurangan Kana hanya satu. Mulutnya terlalu banyak bicara.

Seandainya nanti Dinar punya keinginan untuk mencari pasangan, dia akan mencari wanita paling pendiam di muka bumi ini. Tidak peduli kalau dia harus pergi ke Siberia untuk menemukannya. Orang yang banyak bicara hanya akan membuat hidupnya tidak tenang.

"Jangan mengharap dapat perawan, kalau kamu sudah nggak perjaka," balas Kana.

"Dinar nggak perjaka? Kawin sama apa? CPU?" Fasa ikut bergabung mengejek Dinar.

Dinar angkat tangan kalau gerombolan si berat—anak buahnya—mulai bersatu, pasti mereka memihak Kana. Mereka bertiga tertawa keras melihat wajah masam Dinar.

"Paling tidak, tidak khawatir kena penyakit kelamin." Dinar menjawab asal. Bisa gila lama-lama kalau terlalu banyak berkumpul dengan mereka.

"Tapi penyakit jiwa," sahut Kana.

"Lagian kalau Dinar mau kawin juga di mana? Di ruang server?" Manal ikut bersuara.

"Kalian mulai berani melawan atasan. Deadline maju jadi hari ini. Kumpulkan sebelum ganti hari." Dinar memasang wajah garangnya, mencoba mengancam anak buahnya.

"Aww, Bos ... Deadline melepas keperjakaan kapan?" Manal bertanya, tidak ambil pusing dengan ancaman atasannya.

"Nanti kalau gajah bisa terbang," jawab Dinar sebelum masuk ke ruangannya.

Dinar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah anak buahnya. Umurnya bisa bertambah sepuluh tahun hanya karena menghadapi mereka saja.

"Eh, Dinar." Kepala Kana muncul di celah pintu. "Kamu bisa coba online dating."

Dinar tertawa. Online dating. Is our generation always in a rush? Does everything have to be based off of technology? Karena dia adalah seorang software engineer, maka sudah pasti jawabannya adalah iya. Sebagian besar aspek hidup manusia sudah diambil-alih oleh software. Tetapi, untuk pasangan hidup, Dinar tidak akan membiarkan algoritma yang memutuskan siapa yang tepat untuknya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top