DIA YANG TIDAK BISA HILANG DARI KEPALA

Dinar mematikan komputer dan membereskan mejanya. Sudah jam segini sebaiknya langsung pulang saja. Sedari tadi juga Dinar tidak bekerja, hanya membuang waktunya dengan main Minecraft. Karena kebodohannya sendiri. Yang mengiyakan permintaan Jasmine untuk bertemu jam sembilan malam. Siapa yang menyangka kalau wanita itu serius. Membuat Dinar bertanya-tanya apa wanita itu software engineer juga, yang tidak mau beranjak kalau tidak bisa menemukan satu bug yang tersisa, meski sudah jam sembilan malam.

Jasmine memberi tahu kalau sudah sampai di lobi Maxima dan menunggu Dinar di sana. Tepat jam sembilan malam. Salah satu kriteria wanita yang diinginkan Dinar. Tepat waktu.

"Sudah mau balik?"

Dinar mengangguk menjawab pertanyaan Alen ketika melewati mejanya.

"Bareng ke bawah."

Dinar berjalan menuju lift dan menahan pintunya saat Alen bergegas masuk.

"Ada masalah?" tanya Dinar ketika lift yang membawa mereka meluncur turun. Kalau tidak butuh konsentrasi tinggi, biasanya Alen tidak tinggal di kantor sampai malam.

"Istriku ada pameran malam ini."

Teman-temannya tinggal di kantor sampai malam hanya karena istri mereka sedang tidak di rumah. Dinar tinggal di kantor sampai malam karena tidak punya pasangan. Pasangan. Kenapa belakangan kata tersebut sering muncul dalam pikirannya?

Sudah ada Jasmine duduk di sofa hitam di lobi saat pintu lift terbuka. Bukan duduk, lebih tepatnya wanita itu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, kepalanya terkulai ke kanan dan matanya tampak terpejam. Astaga! Apa yang dipikirkan cewek lambat itu sampai tidur di sini? Memangnya dia tidak takut digerayangi orang?

Sambil menggelengkan kepala, Dinar mempercepat langkah mendekati Jasmine.

"Bangun. Hei."

Jasmine merasa lengannya diguncang, tapi kepala dan tubuhnya terasa tidak mau bergerak. Lemas dan berat.

"Demam." Dinar menyentuh lengan Jasmine yang tidak tertutup lengan baju. "Kamu sakit? Jasmine? Hei?"

"Uuunngghhh ...." Jasmine hanya menggumam tidak jelas dan tetap memejamkan mata.

"Al, tolong ambil mobilku." Dinar melempar kunci mobilnya kepada Alen yang berdiri di mengamati mereka.

"Siapa ini?" Alen menunjuk Jasmine yang terkulai lemas di sofa.

"Panjang ceritanya. Cepat!" Dinar mengibaskan tangannya, menyuruh Alen bergegas. "Kalau sakit kenapa ke sini?"

"Janji ...." Jasmine menjawab lemah.

"Silly." Dinar menggerutu. "Bisa jalan?"

Jasmine hanya mengangguk menjawab pertanyaan Dinar dan Dinar membimbingnya untuk berdiri dan berjalan.

"Hati-hati."

Karena Jasmine terus oleng, Dinar memutuskan untuk mengangkat tubuh Jasmine sampai berdiri. Lalu melingkarkan lengannya ke pinggang Jasmine, sehingga wanita itu bisa menyandarkan tubuhnya dengan nyaman di lengan Dinar.

Tanpa membantah, Jasmine meletakkan kepalanya yang berat di dada Dinar. Sebenarnya akan lebih mudah kalau Dinar membopong Jasmine. Tapi sepertinya itu tidak sopan. Dinar memapah Jasmine, berjalan pelan ke depan. Mobil Dinar sudah menunggu di sana.

"Thanks." Dinar menepuk bahu Alen dan sebelum Alen sempat bertanya, Dinar menyibukkan diri. Membantu Jasmine masuk dan duduk, dan berlari untuk segera duduk di balik kemudi.

***

Dinar menuju Unit Gawat Darurat di rumah sakit yang paling dekat dengan kantornya. Kali ini, karena tidak sabar, Dinar menggendong Jasmine masuk. Perawat menyuruhnya menidurkan Jasmine di salah satu tempat tidur. Sambil menunggu dokter datang, Dinar harus mengisi data-data Jasmine terlebih dahulu. Dinar menatap form isian dan tidak tahu harus menulis apa. Nama? Tanggal lahir? Usia? Alamat? Dia tidak tahu. Otaknya berpikir dengan cepat. Lalu Dinar berjalan ke mobilnya dan mengambil kartu identitas di dompet Jasmine.

Urusan isi-mengisi sudah terselesaikan. Dan Dinar tidak bisa menahan diri untuk tidak meneliti identitas Jasmine. Umurnya masih dua puluh lima tahun, Dinar mengamati KTP di tangannya. Lebih muda daripada Kana. Juga Dinar menandai alamat Jasmine di Maps di ponselnya. Karena dia harus mengantar wanita ini pulang.

Dinar melangkah mendekati tempat tidur Jasmine ketika perawat memanggilnya dan mendengarkan penjelasan dokter—atau setengah mendengarkan karena mengamati wajah Jasmine yang, damn, baru dia menyadari wanita itu cantik sekali—mengenai flu berat yang diderita Jasmine. Karena lelah dan daya tahan tubuh buruk di tengah cuaca yang tidak tentu hujan atau panas ini. Obat dan surat istirahat bisa diambil setelah melunasi biaya periksa. Dinar hanya mengangguk dan tidak bisa mencegah dirinya untuk menyentuh kening Jasmine. Menyingkirkan anak-anak rambut dari wajah Jasmine.

Lembut.

Damn, Dinar! Periksa suhunya!

Baru kali ini Dinar punya kesempatan untuk mengamati wajah Jasmine pada jarak sangat dekat. Kulitnya bersih sekali. Bulu matanya lentik. Yang paling sempurna adalah bibirnya—penuh. Meski sekarang terlihat kering, tapi Dinar tetap ingin merasakan bagaimana lembutnya bibir tersebut saat bersentuhan dengan bibirnya.

***

Sudah hampir tengah malam ketika Dinar selesai mengantar Jasmine dan bercakap-cakap sebentar dengan ibunya. Diawasi oleh kakak laki-laki Jasmine yang menatapnya curiga sepanjang waktu. Kalau tidak ada ibu Jasmine, mungkin Dinar sudah dipancung oleh kakak Jasmine. Siapa pun juga akan marah kalau adik perempuannya—yang cantik—digendong oleh laki-laki hampir tengah malam begini.

Tidak perlu memikirkan Jasmine lagi. Urusan mereka sudah berakhir. Sekarang Dinar perlu makan. Tidak ada pilihan lain selain restoran cepat saji 24 jam yang bisa didatanginya. Makanan yang membuatnya cepat mati. Tapi, mau bagaimana lagi. Lebih baik dia mati nanti ketika semua racun sudah bertumpuk di tubuhnya, daripada mati kelaparan sekarang. Dinar masih ingin tidur dulu, dengan perut penuh, malam ini.

Sekelilingnya masih ramai. Orang-orang hobi sekali makan karbohidrat jam segini. Untuk Dinar, segumpal nasi malam ini harus dibayar dengan berolahraga satu jam penuh besok. Segerombolan anak muda sedang tertawa di depan sebuah laptop. Selebihnya didominasi pasangan lak-laki dan perempuan duduk berdua—bahkan ada yang saling menyuapi suiran ayam.

Apa semua orang di dunia ini gampang mendapatkan kekasih? Getting a date is a mysterious thing. Ada orang yang mudah saja melakukannya—sampai ganti pacar seperti membayar tagihan listrik. Sebulan sekali. Ada yang sampai mati, satu kali pun tidak bisa melakukannya. Sepertinya dirinya termasuk golongan kedua ini. Dinar melanjutkan makannya tanpa banyak berpikir, hari ini sudah terlalu panjang untuknya.

Karena Jasmine.

Wanita yang wajahnya tidak bisa hilang dari kepala Dinar.

***

Jasmine terbangun dan mengernyitkan kening dengan bingung. Ingatan terakhirnya, tadi malam dia sedang berada di lobi Maxima untuk mengambil buku yang tertinggal di mobil Dinar. Kenapa sekarang dia sudah ada di sini, di kamarnya sendiri?

Kepalanya sakit sekali saat dia mencoba bangun dan duduk.

Sakit. Jasmine tahu dirinya sedang sakit karena tadi malam dia menggigil hebat.

"Jasmine." Ibunya masuk ke kamar lalu memeriksa suhu tubuhnya.

"Kok aku bisa pulang, Ma?" tanya Jasmine dengan bingung.

"Temanmu mengantarmu pulang tadi malam." Ibunya menjelaskan. "Kemarin pagi Mama sudah bilang tidak usah masuk. Malah pulang malam. Ke mana saja sampai semalam itu?"

"Janjian sama teman." Yang dia tidak tahu siapa namanya.

"Dinar," kata ibunya.

"Dinar?" Jasmine membeo.

"Iya. Apa dia pacarmu? Tadi malam dia mengantarmu ke dokter dan pulang."

"Oh, aku belum menelepon kantor." Urusan ini jauh lebih penting.

"Jasmine."

"Bukan pacar, Ma. Dia sudah mau menikah." Apa reaksi ibunya, kalau tahu anak wanitanya begitu putus asa sampai menginginkan calon suami orang lain? Jasmine tidak ingin tahu. "Kemarin aku ada urusan di kantornya ...."

"Malam-malam begitu?" potong ibunya.

"Kepalaku pusing, Ma." Jasmine memilih untuk memejamkan mata daripada menanggapi kecurigaan ibunya.

"Mama ambilkan makan dulu."

Jasmine tidak menjawab dan menggunakan waktunya untuk menelepon atasannya. Ada pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini dan atasannya harus mendistribusikan kepada dua teman Jasmine jika ingin tetap selesai tepat waktu.

Jasmine bicara sambil memandang langit-langit kamarnya. Memikirkan misteri orang bernama Dinar yang tadi disebutkan ibunya. Dinar. Dinar ... Dinar ... Din ... Di ... Didi? Apa saja yang dia katakan kepada Bu Raya dan apa yang dikatakan oleh atasannya itu kepadanya, Jasmine tidak begitu memperhatikan.

"Istirahat saja, Jas. Kamu bisa istirahat tiga hari, menurut surat sakit," kata atasannya. "Lagi pula kalau kamu masuk, nanti nular."

"Surat sakit? "

"Iya, Jasmine. Satpam di depan tadi menyerahkan surat sakitmu. Sudah, istirahat, ya."

"Terima kasih, Bu."

Surat sakit? Jasmine mencari nama Sexy di ponselnya setelah selesai bicara dengan Bu Raya. Untung punya nomornya.

Hi, Morning. Ini Jasmine. Maaf semalam merepotkan. Terima kasih untuk bantuannya. Biaya dokternya berapa ya? Juga rekeningmu, biar kutransfer.

"Ma, tolong bilang Julian makasih sudah ngantar surat sakit," kata Jasmine ketika ibunya masuk membawa mangkuk dan gelas. Pasti kakaknya yang mengirimkan.

"Surat sakit apa? Di dalam plastik obat tidak ada surat sakit." Ibunya membantunya duduk dan menyuruhnya minum. "Habiskan dulu makanannya."

Jasmine meletakkan ponselnya sambil memakan sup jagung yang disiapkan ibunya. Menunggu balasan SMS dari Didi. Atau Dinar. Jika itu nama aslinya. Mungkin laki-laki itu juga yang mengantarkan surat sakitnya ke kantor.

Apa dia harus menghubungi Kana? Supaya Kana bisa meneruskan terima kasih Jasmine kepada calon suaminya. Tapi, tidak. Bisa-bisa mereka bertengkar dan membatalkan pernikahan. Calon suami mana yang mengurusi wanita lain malam-malam seperti itu?

Setengah jam kemudian balasan itu datang dan Jasmine melompat mengambil ponselnya.

Anytime.

Lagi-lagi hanya satu kata balasan yang diterima Jasmine. Membuat Jasmine mengerang putus asa. Siapa saja di dunia ini yang pernah merasakan hal seperti ini, kan? Jasmine menghabiskan satu jam untuk menyusun SMS yang sempurna, tapi hanya dibalas dengan satu kata. This feeling sucks, doesn't it? Dinar seperti tidak ingin bicara dengannya. Dinar tidak suka bicara dengannya.

***

"Hari ini Dinar yang traktir." Alen langsung menunjuk wajah Dinar ketika mereka semua selesai memesan makanan. Get together seperti ini adalah tradisi setiap kali mereka menyelesaikan satu project, yang diterima tanpa keluhan.

"Bukannya jadwalmu?" Dinar menyipitkan mata, mereka selalu bergantian membayar acara get together mereka dan rasanya kali ini giliran Alen.

"Perayaan, Bos!" Alen menyeringai.

"Aku tidak ulang tahun." Minggu lalu dia sudah membayari mereka makan, di tempat yang jauh lebih mahal daripada di sini. Memang pilihan tempat makan disesuaikan kemampuan finansial masing-masing orang yang dapat giliran mentraktir. Seikhlasnya. Tapi tetap saja, Dinar tidak rela membayari mereka makan dua kali bulan ini.

"Perayaan Dinar melepas status single." Kalimat Alen ini langsung membuat Kana, Manal, dan Fasa memandangnya antusias. Semua menunggu lanjutan cerita Alen.

"Dia punya pacar. Yang kapan hari nunggu sampai ketiduran di lobi itu. Kurang cinta apa lagi sampai nunggu orang yang jam kerjanya nggak jelas seperti kita," lanjut Alen.

"Itu bukan ketiduran. Itu demam. Sakit." Dinar mengoreksi. "Dan dia bukan pacarku," desisnya mengancam Alen dengan tatapan mata agar tidak meneruskan ocehannya.

"Belum punya istri, terus yang rela nunggu sampai tersiksa begitu apa namanya? Sahabat?" Alasan Alen disambut tawa oleh semuanya. "Lagian ya, janjian sama cewek itu ya, jam tujuh lah, atau jam enam. Dinar parah, hampir jam sepuluh, mana ceweknya disuruh datang ke kantor."

"Kasihan ya, cewek itu suka sama robot seperti ini." Manal menggelengkan kepalanya.

"Makanya kalian jangan putus asa." Alen menasihati Fasa dan Manal, yang lebih muda darinya. "Meski hidup kalian menyedihkan begitu, masih ada cewek cantik yang mau menerima. Dinar buktinya."

"Masih ada cewek sempurna seperti itu di dunia? Kukira cuma mitos," Fasa bersuara.

"Hei!" Kana berteriak tidak terima. "Aku ini apa?"

Yang lain, kecuali Dinar, tertawa.

Kana tersenyum dan bertanya, "Siapa sih, Di?"

Dinar mendesah, anak ini kalau belum mau menikah, bisa diciumnya saat ini juga. Senyumnya itu bisa membuat laki-laki waras lupa pada dunia.

"Temanmu. Yang lambat itu."

"Loh, aku kenal? Siapa?" Senyum Kana semakin lebar. Wanita ini selalu berpikir bahwa dia punya bakat menjodohkan dalam darahnya.

"Jasmine." Terpaksa Dinar menjawab, sebelum Kana mengejar kebenaran sepanjang makan malam mereka.

Kenapa nama Jasmine terasa menyenangkan saat diucapkan?

"Dia manis banget, ya? Baik juga." Kana mengemukakan pendapatnya. "Dia nggak punya pacar. Aku berniat ngenalin dia sama salah satu dari kalian. Tapi kayaknya dia milih kamu."

"Astaga, dia itu masih terlalu muda," keluhnya frustrasi karena dirinya dijadikan sebagai bahan obrolan malam ini. "Prioritas hidupnya pasti lebih banyak."

"Berapa umurnya?" tanya Alen sambil mengatur piring-piring yang baru datang.

"Dua puluh tiga. Atau dua puluh lima." Asal saja Dinar menjawab.

"Sudah dalam tahap saling mengenal pribadi, ya." Kana menatap Dinar penuh arti.

"Terserah kalianlah." Dinar menggigit pizanya. Kali ini bukan piza Amerika yang terbuat dari roti bantat dan toping nanas layu. Juga bukan makan di restoran piza cepat saji, tapi benar-benar makan di restoran Italia.

Mengenal pribadi apa? Dinar hanya mengintip KTP-nya. Tanpa izin pula.

Meja mereka mulai sepi. Memang sangat mengagumkan gerombolan si berat ini. Mereka hanya diam saat di depan komputer, saat berhadapan dengan cewek, dan saat makan.

"Dinar lebih tinggi daripada aku ...." Dinar mendengarkan Manal membahas soal tinggi badan ketika sudah menyelesaikan pizanya.

"Dinar pernah nelan pohon kelapa makanya seperti itu," Kana mulai mengejek Dinar.

"Waktu tidur malam, aku dengar suara tulangku yang sedang tumbuh," Dinar menimpali sambil bercanda.

"Berasa jalan sama tiang listrik kalau sama dia." Kana terkikik dan Fasa terbahak di sebelahnya. "Makanya aku nggak pacaran sama dia."

"Pacarmu lebih tinggi daripada aku." Akhirnya Dinar lagi yang di-bully. Dia bos apa bukan bagi mereka? Tidak ada hormat-hormatnya.

"Tapi ceweknya pendek, pas dipeluk sama Dinar cuma sedada. Dia nggak pakai sepatu ajaib seperti Kana itu." Kali ini Alen yang bicara.

"Itu tujuannya orang menemukan high heels, untuk membantu wanita-wanita pendek menambah kepercayaan diri." Kana langsung bereaksi.

"Aku tidak mempermasalahkan tinggi badan." Bagi Dinar sepatu seperti itu merepotkan. Membuat Jasmine berjalan semakin lambat dengan sepatu yang tingginya menyentuh langit itu.

"Puh, yang jatuh cinta," celetuk Manal, membuat Dinar memilih diam, daripada salah komentar dan di-bully semakin panjang. "Segalanya pasti sempurna."

Lebih baik dia mengingat bagaimana rasanya bersentuhan dengan Jasmine yang lembut dan wangi. Wangi seperti jasmine. Nama itu sesuai sekali untuk wanita itu. Dinar mengingat betapa kecilnya Jasmine di pelukannya kemarin. Kecil tapi kuat. Seperti bunga melati. Yang hadir menguatkan saat semua orang berduka karena seseorang yang mereka cintai meninggal. Kecil tapi indah. Yang hadir menambah makna saat semua orang bahagia di hari pernikahan mereka. Rasanya dia bisa menyembunyikan tubuh kecil itu dari dunia hanya dengan menggunakan lengannya. Dan gampang saja baginya untuk membopong tubuh wanita itu ke Ruang Gawat Darurat. Ringan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top