CINTA BISA MEMBUAT SESEORANG TIDAK WARAS

Jasmine terpaksa menyeret tubuhnya untuk membuka pintu rumah. Hari Minggu yang rencananya akan dirayakan dengan bangun siang, harus diganggu oleh bunyi bel pintu rumahnya. Ke mana orangtuanya dan Julian? Masih pagi kenapa rumah sudah kosong seperti ini?

"Ngeselin bener, sih," gerutu Jasmine sambil membuka pintu.

Jasmine langsung mundur satu langkah begitu melihat siapa yang berdiri di depannya.

Ada pangeran dari negeri dongeng di depan pintunya di Minggu pagi. Pangeran tampan yang memakai lounge suits single buttoned warna hitam yang tidak dikancingkan dan kemeja berwarna pale blue. The suits fits his body perfectly well. Jasmine langsung menunduk mengamati bajunya. Piyama pudar berwarna merah muda bergambar stroberi. Ditambah umur bajunya sudah lima tahun dan ada noda bekas liurnya. Plus, rambut bangun tidurnya yang tidak disisir. No, this is not meeting-guy look.

Jasmine mengacak rambutnya frustrasi, kenapa dia selalu bertemu Dinar dalam kondisi memalukan? Dunia ini tidak adil dalam berkonspirasi mengatur pertemuannya dengan Dinar. Begitu Jasmine sudah cantik dan duduk makan malam bersama Dinar, ada monster jahat mengacaukan segalanya. Kalau seperti ini terus, bagaimana dia bisa membuat Dinar terpesona? Tidakkah dunia menginginkan dia bahagia dengan laki-laki yang dia sukai?

"Ngapain ke sini?" Laki-laki ini benar-benar seenaknya sendiri. Setelah menghilang tanpa kabar, sekarang muncul di depan matanya tanpa merasa bersalah. Apa susahnya mengirim satu WhatsApp memberi tahu kalau dia baik-baik saja? Apa dia pikir Jasmine tidak mengkhawatirkannya? Dua malam Jasmine sulit tidur hanya karena takut Dinar melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya seperti malam saat dia menangis itu. Apa yang lebih buruk daripada mengiris jari? Menyayat nadi.

"Pernikahan Kana." Dinar menjawab dengan santai.

Walaupun kesal, Jasmine lega Dinar berdiri di sini tidak kurang suatu apa. Tidak ada sisa kesedihan di wajahnya. Tidak ada luka fisik di tubuhnya. Di mata Jasmine, Dinar pagi ini sempurna.

"Memangnya aku diundang?" Jasmine berencana datang, tapi nanti, tidak sepagi ini juga. Baru jam sepuluh pagi. Katering mungkin baru datang.

"Kalau tidak diundang, undanganku kita pakai berdua." Itu bukan masalah bagi Dinar.

"Maksudmu, kamu ingin kita datang bareng?" tanya Jasmine keki. Kenapa tidak langsung saja mengajak Jasmine sebagai pasangannya? Dasar laki-laki ini.

"Itu sudah ngerti."

"Gimana kalau aku nggak mau?" Jasmine tidak akan membuat ini mudah.

"Apa alasannya?"

"Aku masih ngantuk." Jasmine memberi alasan yang pertama melintas di kepalanya.

"Tidur. Kita pergi setelah kamu bangun. Aku tunggu di situ." Dinar menunjuk kursi besi berwarna putih di teras rumah Jasmine.

"Aku bangun besok pagi."

"Kutunggu sampai besok pagi."

"Pestanya besok sudah selesai."

"Tidak masalah. Tetap bisa datang ke rumah Kana untuk memberi selamat." Dinar duduk di kursi besi putih, tempat yang akan digunakannya untuk menunggu, sambil mengeluarkan ponsel. Apa Jasmine pikir dia tidak tahan duduk seharian dan sendirian? Dia malah menyukainya. Perlengkapannya komplit di mobil. Ada laptop dan tablet.

Jasmine mengembuskan napas dengan keras. Kalau begini bisa-bisa Jasmine yang dimarahi ibunya kalau ibunya datang nanti dan melihat Dinar duduk manis di kursi teras mereka. Setelah mengentakkan kaki dengan dramatis, Jasmine meninggalkan Dinar, dan dia berani bertaruh laki-laki itu sekarang tersenyum penuh kemenangan ketika Jasmine berteriak menyuruhnya menunggu.

***

Jasmine sengaja memperlambat persiapannya. Mandi lama, mengeringkan rambut lama, memilih baju lama, dan berlama-lama memasang make up. Sekalian saja membuktikan tuduhan Dinar bahwa Jasmine adalah cewek serba lambat. Paling tidak Dinar harus menunggu satu jam. Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Jasmine yang menunggu Dinar menghubunginya selama tiga kali dua puluh empat jam.

Jasmine bahkan sempat membuka tutorial di YouTube untuk membantu penampilannya siang ini. Dia memilih simple, pretty, and stunning updo di rambutnya. Disisakan anak rambutnya di sisi kanan dan kiri. Jasmine suka memperlihatkan lehernya. Karena Jasmine ingat tadi Dinar memakai kemeja biru muda pucat, Jasmine memilih gaun chiffon berwarna navy blue yang dilapisi lace dengan warna senada. And the killer high heels.

Sebelum keluar dari rumah dan menghadapi Dinar, Jasmine menarik napas tiga kali. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa penampilannya siang ini cukup pantas untuk berdiri di samping Dinar, yang tanpa berusaha saja selalu terlihat luar biasa.

"Ayo." Jasmine menghampiri Dinar yang masih duduk di kursi. Tidak tampak bosan walaupun menunggu lama. Membuat Jasmine menyesal, sudah mempercepat dandannya hanya karena kasihan Dinar bosan menunggu.

"Halo!" Karena Dinar tetap duduk Jasmine melambaikan tangan di depan wajahnya.

"God, help me." Dinar mengerang.

"Huh?" Jasmine berdebar-debar karena Dinar tidak melepaskan pandangan sejak tadi.

"Cantik." Dinar bangkit dari tempat duduknya.

"Baru tahu?" Jasmine mencoba menyembunyikan pipinya yang pasti memerah sekarang. Gila! Padahal Dinar mengatakannya dengan sangat biasa saja, seperti mengomentari cuaca yang panas, tidak ada nada-nada merayu dalam suaranya. Tapi pipi Jasmine panas sekali sekarang.

"Kalau ada yang memuji, bilang terima kasih." Dinar berhenti di depan Jasmine sebelum meninggalkan Jasmine, berjalan menuju mobilnya.

Panas di pipi Jasmine langsung menghilang. Jasmine memutar bola mata, sedikit aneh kalau Dinar bersikap manis padanya. Terimalah nasib, Jas, salahmu menyukai laki-laki seperti ini, otaknya mengolok-olok hatinya.

"Dinar," panggil Jasmine ketika Dinar sudah dua langkah di depannya.

"Hmm?" Dinar berhenti dan menoleh ke belakang.

Jasmine berjalan mendekati Dinar lalu mengaitkan tangannya di lengan Dinar. Di saat seperti ini Jasmine berterima kasih kepada heels dua belas centimeter yang membuatnya tidak terlalu pendek berdekatan dengan Dinar. Meski dia harus meringis kesakitan selama beberapa jam ke depan. But beauty equals pain, no?

"Aku sudah siap." Jasmine tersenyum sambil mendongakkan kepalanya, matanya bertatapan dengan Dinar yang juga sedang menatapnya.

Dinar mengangguk tanpa suara.

Damn! Is there anything more beautiful than this adorable little angel? Dinar hanya bisa mengerang dalam hati.

***

Jasmine menyentuhkan telapak tangan kanannya ke telapak tangan Dinar. Seperti yang sudah diperkirakan, Dinar menangkap tangannya dan menggenggamnya ketika masuk ke gedung tempat pesta pernikahan Kana. Kalau bukan Jasmine dulu yang memancing-mancing seperti ini, Dinar tidak akan berinisiatif menggandeng tangannya. Kapan lagi dia bisa pamer kepada setiap orang bahwa laki-laki paling tampan dan seksi di sini datang bersamanya?

Jasmine tidak mengenal satu pun tamu yang ada di sini. Jadi Jasmine bersyukur dia datang bersama Dinar, setidaknya dia tidak tampak seperti orang bodoh. Mungkin ini terakhir kali dia datang ke pesta bersama laki-laki seksi seperti yang sedang menggandengnya ini. Sambil tersenyum puas, matanya menebar tatapan 'he's mine' kepada sekelompok wanita yang tampak mengamati Dinar dengan tertarik.

"Mau ketemu Kana dulu atau makan dulu?"

"Makan." Jasmine sudah lapar karena tidak makan sejak pagi dan ini sudah hampir jam makan siang.

"Dinar bawa cewek!" Dua orang laki-laki menghentikan langkah Dinar dan Jasmine yang akan menuju meja hidangan. "Apa gajah bisa terbang sekarang?"

"Hidup kok sial begini, di kantor, di sini, ketemunya kalian lagi, kalian lagi," kata Dinar dengan sinis. "Ini kenalkan. Namanya Manal dan itu Fasa. Teman di kantor." Dinar menunjuk Manal dan Fasa bergantian, mengenalkannya pada Jasmine.

Jasmine melepaskan tangannya dari genggaman Dinar, mengulurkan tangannya dan bersalaman dengan mereka sambil menyebutkan nama. Tidak lupa tersenyum.

"Biasa saja salamannya," tegur Dinar ketika anak buahnya berlama-lama menggenggam tangan Jasmine.

Jasmine kembali tersenyum samar saat merasakan lengan Dinar memeluk pinggangnya, menarik Jasmine lebih merapat kepadanya. Dia suka ketika laki-laki bersikap seperti ini. Teritorial. Tidak ingin laki-laki lain menyentuh kekasihnya.

Kekasih? Jasmine ingin memukul kepalanya.

"Maklum nggak pernah pegang tangan cewek. Beda rasanya sama pegang mouse, lebih anget," jawab Fasa sambil tertawa.

"Hei, Sa, nanti kalau cewek di dunia ini sudah habis, kita gimana?" Manal bertanya kepada Fasa dengan sedih dan Jasmine tertawa melihatnya.

"Kalian kawin saja berdua," sahut Dinar.

"Najis! Mending aku mengabdikan diriku sepenuhnya untuk menciptakan software pemberantas korupsi dan mafia anggaran." Fasa bergidik ngeri mendengar usul atasannya.

Jasmine tertawa lagi melihat teman-teman Dinar bercanda seperti itu. Hari ini dia melihat bagian hidup Dinar yang lain. Dinar yang tertawa lepas. Setelah membandingkan dengan Dinar yang menangis beberapa hari yang lalu, Jasmine lebih menyukai Dinar yang seperti ini.

"Beda ya ketawanya, kalau cewek beneran." Manal memasang wajah terpesona ketika Jasmine tertawa, membuat Jasmine semakin tertawa. "Jasmine, apa Dinar pernah membuatmu tertawa seperti ini?"

Dengan terpaksa Jasmine menggeleng. Karena memang begitu, Dinar belum pernah membuatnya tertawa. Membuat frustrasi dan kesal saja selama ini.

"Aku selalu available, kalau kamu berubah selera."

"Back off." Sementara Dinar sibuk menyuruh mereka menyingkir.

Dan diabaikan. "Girls love funny guys."

"Dinar," panggil Jasmine saat Dinar masih tertawa bersama teman-temannya. Dinar yang tertawa lepas tetap seksi. Sama seksinya seperti saat dia sedang serius dan sinis.

"Kenapa?" Dinar mengalihkan perhatiannya kepada Jasmine.

"Jadi makan?" Jasmine mengingatkan tujuan awal mereka.

"Mau makan apa?"

Jasmine baru akan menjawab tapi sudah didahului oleh Fasa. "Bos berubah!"

"Kita aja nggak pernah ditanya kayak gitu. Dikasih junk food, lagi junk food lagi, biar kita cepat mati." Kali ini Manal bersuara.

"Kalian pakai rok dulu, nanti kutanya." Dinar menanggapi perkataan anak buahnya yang tidak penting itu.

"Bos nggak suka sama yang pakai sarung sekarang." Fasa pura-pura merana, membuat Dinar melotot ke arahnya. "Sukanya sama yang pakai rok."

"Ayo makan. Mereka tidak baik untukmu." Dinar membimbing Jasmine meninggalkan Fasa dan Manal yang masih tertawa.

Tidak ada pasangan yang lebih serasi selain Fasa dan Manal di dunia ini.

"Temen-temenmu lucu," komentar Jasmine ketika memakan saladnya.

"Lucu? Mereka berbahaya. Kalau ketemu mereka di mana saja, cepat sembunyi." Dinar melepaskan pelukannya di pinggang Jasmine, lalu mengusap sudut bibir Jasmine yang terkena salad dressing.

Setelah menemani Jasmine makan—Jasmine suka dengan macaroon berwarna hijau di meja tadi—Dinar membawa Jasmine mendekati Kana dan suaminya yang sedang mengobrol dengan Alen dan istrinya. Tatapan penuh kemenangan di wajah Kana—yang berhasil menjodohkan lagi salah satu temannya—memang menyebalkan. Tetapi, Dinar akan menerimanya, menerima segala ejekan teman-temannya, selama dia bisa bersama Jasmine lebih lama lagi hari ini.

***

Jika orang berpikir mendekati Dinar akan lebih mudah setelah laki-laki itu mengizinkan Jasmine bersentuhan dengannya—bergandengan tangan bisa dihitung bersentuhan, kan?—saat menghadiri pernikahan Kana kemarin, well, mereka salah besar. Kenyataannya sangat sulit mencari celah bagi Jasmine untuk mendekat kepada Dinar. Jasmine tidak habis pikir bagaimana mungkin ada laki-laki yang memilih menghabiskan waktu bersama komputer daripada bersama manusia. Bersama dirinya.

Setelah pesta pernikahan Kana, memang komunikasi Jasmine dan Dinar baik, ada saja setiap hari yang bisa dibicarakan oleh mereka. Tapi, hanya melalui telepon. Jasmine sedikit tidak tahan dengan cara berkomunikasi seperti ini. Demi apa pun di dunia ini, mereka hidup di kota yang sama, bagaimana mungkin mereka tidak pernah bertemu? Kantor Dinar hanya berjarak selemparan batu dari kantor tempat Jasmine bekerja.

Sore ini, karena sudah gemas sekali, Jasmine memutuskan untuk menghubungi Dinar.

"Di kantor. Kenapa?" tanya Dinar saat Jasmine menanyakan posisinya.

"Aku mau ... ketemu." Jasmine menjawab ragu-ragu.

"Ada apa memangnya?" Dinar selalu memerlukan alasan untuk segala sesuatu.

"Ya mau ketemu aja, memang harus ada alasannya?" Jasmine malas mengarang alasan.

"Sekarang?"

"Iya." Jasmine agak lelah dengan Dinar, the detailed communicator.

"Kamu ke kantorku saja, mau?" Dinar menawarkan.

"Ya udah, tapi kamu jemput aku di lobi!" Jasmine memutuskan. Daripada tidak bertemu sama sekali. Tidak apa-apa mengeluarkan tenaga untuk bertemu Dinar.

Setelah pamitan pada teman setimnya, Debbie, Jasmine mengemasi semua snack yang dia miliki di meja dan memasukkan ke dalam tas. Perutnya sudah lapar dan dia yakin Dinar tidak akan meninggalkan kantor untuk menemaninya makan sebelum matahari tenggelam.

"Dia itu vampir atau apa," keluh Jasmine ketika keluar dari lift. Kantor Dinar dekat dan dia memilih untuk berjalan kaki.

Saat Jasmine sampai di lobi Maxima, Dinar sudah menunggunya. Berdiri menyandar di tembok di sebelah kanan lift. Tanpa banyak bicara, langsung mengajak Jasmine naik.

Tebak apa yang mereka lakukan di dalam ruangan Dinar? Sama sekali di luar dugaan Jasmine. Benar-benar menyebalkan laki-laki ini.

"Tunggu satu jam, ya." Dinar menyuruh Jasmine duduk di sofa hitam.

Selama satu jam, Dinar sama sekali tidak melepaskan matanya dari komputer di depannya. Sementara Jasmine mati gaya tidak tahu harus berbuat apa. Bosan membuka-buka Twitter dengan ponselnya, membuka-buka majalah di bawah meja di depannya—yang semuanya majalah komputer, dan mencoba mengintip apa yang dikerjakan Dinar—hanya layar putih yang sedang menampilkan barisan huruf-huruf aneh dengan sangat cepat. Jasmine sampai senam-senam di ruangan Dinar dan itu sama sekali tidak bisa mengalihkan perhatian Dinar dari layar komputernya.

Mendatangi kantor Dinar di sore hari, setelah jam kerja Jasmine berakhir, sepertinya bisa menjadi alternatif untuk bisa bertemu Dinar. Agar tidak mati bosan, Jasmine bisa membawa novel dan snack ke sini. Jasmine akan membiarkan Dinar mengerjakan apa pun yang sedang dikerjakannya, sementara Jasmine duduk di sofa sambil membaca buku. Dengan begitu mau tidak mau mereka akan bersama saat Dinar mengantarnya pulang.

Cinta benar-benar bikin orang jadi nggak waras, kata Jasmine kepada dirinya sendiri.

Bagi Jasmine, laki-laki yang tidak ada perhatian-perhatiannya ini, yang bernama Dinar ini, adalah laki-laki yang sempurna. Meski tidak persis seperti yang dia angankan—karena kebanyakan membaca novel-novel roman. Laki-laki sempurna di sana digambarkan kaya raya, biasanya CEO, atlet, atau old money, bertubuh tinggi, tampan, misterius dan tidak ketinggalan eight-pack dan v-shape di bagian bawah perut, mengendarai mobil mahal keluaran terbaru atau punya jet pribadi. Jasmine tidak tahu Dinar itu seberapa kaya, tidak tahu apakah Dinar punya mobil lain selain SUV-nya itu. Kalau banyak teman-teman wanitanya yang menyukai laki-laki gaul, eksis di mana-mana memamerkan kemesraan mereka, membanjiri mereka dengan puja-puji yang melambungkan hati, she falls for this geeky and tight-lip Dinar.

Di saat orang lain berpikir bahwa orang-orang seperti Dinar membosankan—Jasmine berani bertaruh Dinar pasti cerdas—atau anti sosial—Jasmine malah bisa memahami bahwa Dinar tidak terlalu suka keramaian, and she finds geek is sexy. Geeky Dinar is sexy. And that's totally okay, there are people who don't realize that being geek and smart is sexy.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top