BERHENTILAH MEMBERINYA HARAPAN
"Kamu terbiasa hidup sendiri, Di. Coba beri kesempatan orang lain untuk masuk ke dalam hidupmu." Kana sudah lelah dengan sikap Dinar yang tidak juga mau menerima kehadiran Jasmine sebagai orang terdekatnya. Sore ini Kana menggeretnya untuk minum kopi di gerai di sayap kanan lobi.
"Aku juga punya teman. Kamu, gerombolan si berat." Dia bukan orang yang anti sosial.
"Itu hanya di permukaan saja, Di. Di antara kita siapa yang tahu masa lalumu, kamu berasal dari mana. Bahkan kami nggak kenal dengan orang tuamu. Kalian kenal kakakku, kalian sering datang ke rumah orangtua Fasa di Bali. Tapi, kami nggak tahu apa-apa tentang dirimu.
"Dinar yang kita kenal adalah Dinar andalan Maxima, yang bikin Maxima bangkrut kalau keluar dari sini, orang hebat yang membuat semua orang di sini langsung angkat topi hanya karena mendengar namanya. Hanya begitu."
Masa lalu? Dinar sudah meninggalkan masa lalunya yang sangat menyakitkan di belakang. Hidupnya amat memalukan saat itu sehingga Dinar tidak mau orang mengetahuinya.
"Kamu perlu orang lain untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan, menjadi tempat dan alasanmu pulang, to comfort your hard day, to ease your pain, to spend the rest of your life with, meneruskan garis keturunan keluargamu, semua itu nggak bisa kamu lakukan sendiri. Kenapa kamu nggak mencoba memberi kesempatan kepada seseorang, Di?"
"Jasmine masih sangat muda." Dinar beralasan.
Saat seumur Jasmine, Dinar baru lulus dari Eidgenössische Technische Hochschule Zürich, institut terbaik ketiga di Eropa yang terkenal itu. Dinar pergi ke Zurich dengan beasiwa FCS for Foreign Students dari pemerintah Switzerland. Kesempatan bersekolah di ETH Zurich, tempat idolanya Albert Einstein dulu bersekolah, tidak disia-siakan oleh Dinar.
Zurich adalah tempatnya memulai kehidupan baru, di mana Dinar membentuk karakter dirinya yang baru, menjadi Dinar yang sekarang. Tidak ada seorang pun yang mengetahui masa lalu Dinar. Tidak ada seorang pun yang mengatai Dinar pembunuh. Masa lalunya tertutup rapat. Karakter orang-orang di Zurich yang cenderung suka menyendiri dan tidak peduli dengan orang lain membuat segalanya lebih mudah, Dinar hanya perlu fokus pada dirinya sendiri. He set up a goal: IT genius. Hal yang membuatnya lebih banyak berinteraksi dengan komputer daripada manusia.
Dinar bekerja di sebuah start up company di Zurich sambil berusaha menembus ketatnya persaingan untuk bekerja di Google. Tiga tahun bekerja untuk Google, Dinar memutuskan kembali ke negara ini, meninggalkan semua kehidupan nyamannya di sana. Sudah cukup banyak koneksi yang dimilikinya—banyak IT company di Zurich—yang memungkinkan Dinar tetap mendapat penghasilan—bekerja sebagai software developer jarak jauh—walaupun sudah tidak tinggal di Zurich.
Dinar tidak merasa ada yang kurang dari hidupnya, sampai dia menyadari teman-teman seusianya, seperti Alen dan Fritdjof, menikah dan hidup bahagia dengan pasangannya.
"Kalau kamu nggak menginginkan Jasmine, berhentilah memberinya harapan. Carilah wanita lain yang kamu inginkan. Yang menurutmu layak untuk berbagi hidup denganmu." Kana menyentuh lengan Dinar sekilas sebelum meninggalkan Dinar berpikir sendiri.
Tidak mau dengan Jasmine?
Hidup Dinar jauh lebih manusiawi sejak bertemu Jasmine. Jasmine yang sering muncul di ruangannya setelah jam lima sore membuat Dinar mempercepat jam kerjanya—yang biasanya sampai jam sepuluh malam—menjadi sampai jam enam atau jam tujuh. Karena Dinar tidak bisa konsentrasi pada apa pun yang sedang dia kerjakan jika Jasmine beredar di sekelilingnya. Matanya secara otomatis akan mengikuti ke mana wanita itu bergerak.
Dulu, gempa bumi pun tidak akan membuat Dinar rela meninggalkan layar komputernya. Semua berubah ketika ada Jasmine. Kadang-kadang saat dia sudah dekat dengan deadline, hatinya terbelah antara melarang Jasmine untuk datang agar pekerjaannya cepat selesai dan menginginkan Jasmine datang, karena Dinar sangat merindukannya setelah hampir dua puluh jam berpisah dengannya. Berkat Jasmine pula Dinar merasakan kembali bahwa semua perasaan-perasaan negatif seperti ketakutan, kesedihan, kecemasan bisa dihilangkan hanya dengan sebuah pelukan.
Jasmine tidak layak bersamanya? Hell. Malah Jasmine terlalu baik untuknya.
Hanya saja Dinar memiliki ketakutan yang tidak ingin dia bagi dengan orang lain. Terutama Jasmine. Yang sudah pernah melihatnya menangis. Kebahagiaan dan cinta bagi Dinar hanyalah sebuah mimpi. Termasuk Jasmine, yang datang menawarkan kebahagiaan, dan mungkin juga cinta. Sayangnya, meski berusaha, Dinar tidak bisa menolak kehadirannya. Hidup yang dijalaninya, yang sepi dan kelam ini, mulai kembali berwarna. Di antara berbagai perasaan yang timbul saat bersama Jasmine, sebuah peringatan mengganggu pikirannya.
Dinar takut Jasmine, seperti semua kebahagiaan yang pernah dia miliki, hanyalah sebuah mimpi indah, singgah sebentar dalam hidupnya, lalu menghilang tanpa ada buktinya. Hanya kenangan akan mimpi itu yang dia punya saat dia terjaga. Apakah dia akan cukup dengan seperti itu saja?
Damn! Dia menulis barisan kode program panjang untuk membuat software yang membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia dan membantu mereka mengambil keputusan. Tapi saat ini, saat Dinar sedang menghadapi masalah, masalah paling besar dalam sejarah umat manusia—cinta—apa yang harus dia lakukan? Apa ada algoritma yang bisa membantunya memberikan solusi terbaik untuk masalah ini?
***
"Dinar di Brunei." Kana memberi tahu saat mereka janjian makan siang.
"Melarikan diri?" Kalau tidak memiliki perasaan yang sama dengan Jasmine tidak apa-apa. Tidak perlu menghindar sampai sejauh itu juga. Bukankah Jasmine yang seharusnya malu karena mengemis cinta dan ditinggalkan begitu saja?
"Dinar jadi manusia gua lagi sekarang."
"Maksudnya?" Jasmine tidak mengerti.
"Dia mulai hidup seperti dulu lagi. Di depan komputer melulu."
"Bukannya memang seperti itu?" Ini sama sekali tidak aneh di telinga Jasmine.
"Nggak. Dia lumayan terlihat seperti manusia normal saat sama kamu. Mana pernah Dinar pulang jam tujuh, kalau bukan sama kamu itu." Kana tertawa.
"Kenapa aku harus jatuh cinta sama orang yang susah didapatkan begitu?" Setelah semua yang dia lakukan, sejak pertama bertemu Dinar sampai kejadian minggu lalu—ketika Jasmine mengakui perasaaannya—lalu yang didapat Jasmine hanya kabar bahwa Dinar tidak lagi tinggal di sini.
"Bukankah kamu sudah jalan sama Dinar, Jas? Apa yang nggak bisa kamu dapatkan?"
"Dinar nggak menyukaiku," kata Jasmine.
"Hah?!" Kana membuka mulut dengan dramatis. "Dinar mencintaimu. Ya ampun, Jas! Dinar banyak mengubah kebiasaan-kebiasannya, pulang kerja bareng dengan orang normal, makan di jam orang-orang normal makan, lainnya kamu lebih tahu, supaya bisa menghabiskan waktu sama kamu. Tidak gampang mengubah kebiasaan yang selama ini sudah nyaman kita lakukan. Sesuatu yang membuat orang rela meninggalkan kebiasaannya demi orang lain, itu namanya cinta."
"Dinar nggak pernah bilang menyukaiku. Aku bahkan nggak tahu apa nama hubungan kami. Dinar nggak pernah memberi status pada hubungan kami, Kan."
"Selama Dinar nggak mendekati cewek lain, selama Dinar bersamamu, selama itu juga dia berkomitmen sama kamu. Calon suamiku nggak pernah memintaku jadi pacarnya. Karena, kita sama-sama paham bahwa ... hubungan kami ekslusif."
"Kalau dia menyukaiku, dia nggak akan pergi ...." Jasmine kembali murung.
"Bukannya kamu yang nggak ingin ketemu dia, Jas? Kamu memintanya untuk tidak menemuimu kalau belum sanggup menyatakan perasaannya padamu? Sebelum kamu bingung dari mana aku tahu, Dinar yang cerita padaku."
"Kenapa dia nggak jalan sama sesama programmer aja? Sepertinya mereka akan lebih bisa saling memahami." Buktinya komunikasi antara Dinar dan Kana berjalan lebih baik.
"Nggak perlu menjadi seperti Dinar untuk bisa memahami Dinar, Jas. Memangnya kalau Dinar minta kamu jadi pacarnya, lalu apa yang akan kamu lakukan? Pamer di media sosial?" Kana tertawa geli.
"Lalu aku harus gimana, Kan?" Apa lagi yang bisa dia lakukan agar merasa aman?
"Ya nggak gimana-gimana, tunggu saja nanti Dinar juga pulang."
"Kalau dia ketemu wanita lain di Brunei?"
"Mana ada wanita khilaf selain kamu di dunia ini, Jas?"
"Oh iya, Kan. Aku pernah pergi sama Dinar, terus ada ibu-ibu yang datang dan bilang Dinar pembunuh ...." Jasmine teringat sesuatu untuk ditanyakan kepada Kana.
"Pembunuh?" Kana memastikan, takut salah dengar.
"Apa Dinar pernah membunuh orang, Kan?"
"Dinar pasti dipenjara sekarang kalau membunuh orang." Jawaban realistis dari Kana. "Kenapa kamu nggak tanya? Kalau ada yang ingin kamu ketahui tentang Dinar, tanya langsung sama Dinar, jangan sampai kamu dengar dari orang lain." Kana memberi saran.
"Ya, waktu itu aku dan Dinar belum sampai tahap itu. Hubungan kami belum dalam. Kupikir kalau Dinar sudah nyaman, dia akan cerita." Tapi ternyata tidak.
"Tapi, Jas, kalau Dinar cerita tentang kejadian itu, apa kamu akan tetap mau bersamanya, seburuk apa pun kenyataannya?" Pertanyaan Kana membuat Jasmine tertegun.
***
Selama hampir dua minggu di Brunei Darussalam, hanya dari Kana—melalui Skype atau WhatsApp—Dinar tahu kabar tentang Jasmine. Juga sesekali dari Julian, kakak Jasmine. Setelah satu kali bertemu kakak Jasmine pada salah satu malam saat mengantar Jasmine pulang, Dinar dan Julian memiliki sesuatu yang bisa dibicarakan: game. Padahal kalau ingat waktu pertama kali bertemu Julian dulu, saat menggendong Jasmine yang sedang sakit, laki-laki itu seperti sedang memegang kapak yang siap memenggal kepala Dinar.
"Bilang saja pada Jasmine kalau kamu mencintainya." Kana memaksa dengan tidak sabar. "Itu akan membuat hubungan kalian aman."
"Kurasa aku belum siap untuk itu." Dinar benar-benar tidak siap untuk berkomitmen. Saat ini. Dan tidak tahu bagaimana nanti. Menjanjikan hal seperti itu kepada Jasmine terdengar tidak adil. Tidak saat Dinar tidak sungguh-sungguh menjalaninya.
"Kenapa?" Kana tidak mengerti.
Ada beberapa alasan. "Kalau Jasmine berharap aku menikah dengannya nanti ...."
"Ya memang itu tujuannya sejak awal, supaya kamu punya pasangan sehidup semati, jangan jadi mentah lagi," potong Kana. "Okelah kalau kamu belum ingin menikah. Jasmine nggak meminta itu sekarang, kan? Kalian punya waktu beberapa tahun untuk berpikir. Memangnya kenapa sih, Di? Kenapa kamu berat bener mau pacaran aja? Apa pernah sakit hati?"
"Iya." Dinar mengangguk.
"Karena apa? Mantan pacar kamu pernah selingkuh? Alasan klasik laki-laki yang memilih tidak percaya cinta. Basi." Kana mendengus.
"Bukan." Dinar menarik napas sebelum membuka mulut. "Ibuku meninggal saat aku masih kecil, Kan. Aku bahkan tidak terlalu ingat bagaimana hidup kami dulu. Ayahku mencintai ibuku, sangat mencintainya. Dan setelah ibu meninggal, aku tidak hanya kehilangan seorang ibu, tapi aku kehilangan ayah juga.
"Ayahku hidup, tapi aku selalu melihat ayahku yang kehilangan semangat hidup. Semangat ayahku ikut hilang bersama dengan nyawa ibuku. Sejak itu aku tidak pernah lagi melihat ayah yang kukagumi, yang kuidolakan sejak kecil. Aku kehilangan ibu dan aku memerlukan ayahku. Tapi, aku tidak mendapatkannya. Karena ayahku sendiri perlu bantuan...." Dinar tidak ingin menyebut kata itu. Dokter jiwa. Tidak. Ayahnya bukan orang gila.
"... Uh, bantuan ... profesional. Sepanjang hidupnya ayahku perlu bantuan profesional. Cinta menghancurkan hidup ayahku. Hidup kami. Aku tidak pernah paham lagi apa itu cinta. Akibat yang kulihat hanya ayahku yang melamun, keluar masuk rumah sakit jiwa."
Hati Dinar hancur ketika kehilangan cinta ibunya saat umurnya baru enam tahun. Lalu dia dipaksa menjalani hidup dengan melihat kondisi ayahnya yang semakin memburuk karena tidak sanggup meneruskan hidup tanpa istri tercinta. Hidup ayahnya dihabiskan dengan keluar masuk rehabilitasi. Betapa cinta itu pada akhirnya menghancurkan hidup ayahnya, ayahnya yang terlalu mencintai ibunya.
Dinar kembali kehilangan cinta sang ayah ketika umurnya hampir sembilan belas tahun. Setelah ayahnya menyatakan tidak mau lagi melihat wajah Dinar, walaupun Dinar mengais kakinya dan meminta maaf. Menurut ayahnya, Dinar sudah mencoreng nama baik keluarga mereka.
"I am so sorry." Kana ikut menyesal.
Dinar menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Akhirnya ada satu orang yang mengetahui masa lalunya. Masa lalu yang dia sembunyikan dengan rapat dalam tembok kukuh yang dibangunnya sejak di Zurich. Tidak ada orang yang boleh masuk ke dalam kotak kenangan itu. Dan tidak pernah dia biarkan isi kotak itu merembes keluar.
"Semua sudah berlalu." Dinar mengangkat bahu.
"Lalu, ini apa hubungannya dengan Jasmine?" Terlalu lama mengurusi pasangan ini membuat Kana kehilangan kemampuan berpikir dan ikut bodoh seperti mereka.
"Kalau aku mencintai Jasmine dan terjadi apa-apa padanya, aku akan mengalami apa yang dialami ayahku bukan? Aku tidak mau ... menjadi seperti itu karena cinta." Dan anak. Kalau mereka punya anak dan harus kehilangan seorang ibu, tentu anak itu akan mengalami hal yang sama. "Aku tidak mau itu semua terjadi lagi. Aku tidak bisa kehilangan lebih banyak orang yang kucintai." Perasaan sukanya pada Jasmine saat ini sudah semakin membesar dan bisa terus bertambah besar. Atau mungkin dia sudah jatuh cinta. Sudah terlanjur mencintai Jasmine. Itu berpotensi merusak dirinya suatu saat nanti.
"Dinar, Dinar ... hidup tidak akan bahagia kalau membayangkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Itu seperti kamu tidak pernah pergi ke pantai, karena selalu berpikir mungkin nanti di sana hujan. Rugi berangkat jauh-jauh dari rumah. Lebih baik tiduran di rumah saja daripada capek-capek pergi liburan tidak maksimal, liburan gagal. Apa yang kamu dapat? Foto pantai yang di-upload orang di Instagram? Cerita orang-orang tentang asyiknya surfing?
"Kamu tidak akan pernah tahu rasanya menginjak pasir pantai. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya kakimu tersapu ombak. Sama saja dengan kamu tidak mau mencintai dan memberi kesempatan orang untuk mencintaimu, yang kamu dapat cuma cerita-cerita picisan tentang cinta. Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasa yang sebenarnya. Kamu hanya akan bisa sinis dan berusaha menutup telinga."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top