APA KAMU MENCINTAIKU?
Bukan Dinar tidak menarik. Sebaliknya. Kalau Dinar banyak keluar rumah, akan banyak wanita akan mengakui Dinar tampan—with a pair of wayfarer glasses. Kacamata seperti bukan alat bantu melihat, tapi salah satu bagian dari Dinar yang bertugas menyempurnakan penampilannya. Dan penelitian menunjukkan bahwa orang yang memakai kacamata tebal dianggap lebih cerdas. Siapa yang tidak suka dengan laki-laki seperti itu? Secara fisik oke, otaknya jangan ditanya lagi.
Otakku bener-bener nggak waras, Jasmine tertawa sendiri, dengan keras, lalu melirik Dinar yang sama sekali tidak mengangkat kepalanya mendengar Jasmine tertawa.
Jasmine mengamati Dinar yang sedang serius bekerja. Sesekali kening laki-laki itu mengerut, kadang-kadang Dinar tersenyum, menghela napas, mengumpat, bertopang dagu di mejanya, mengetuk-ngetukkan jarinya, meletakkan tangannya di belakang kepala. Banyak ekspresi di wajah Dinar ketika laki-laki itu sedang bekerja. Dan Jasmine suka sekali mengamati ekspresi wajah Dinar yang berganti-ganti seperti itu. Dinar lebih ekspresif di depan komputer daripada di depan manusia.
Jasmine menyukai laki-laki yang mempunyai passion dalam hidupnya. Dinar dengan segala kecintaannya pada pekerjaannya—ya, hidup Dinar untuk pemrograman, bukan untuk Jasmine. Dinar dengan segala perhatian yang terpusat pada pekerjaannya—ya, perhatian Dinar untuk pemrograman, bukan Jasmine.
"Dinar," panggil Jasmine ketika akhirnya Dinar bangkit dari duduknya. "Pinjam laptopnya, buat internet." Jasmine berjalan mendekati meja Dinar.
"Duduk sini." Dinar melambaikan tangan.
Jasmine duduk dan Dinar berdiri di belakangnya, mengulurkan tangan dan membantu Jasmine membuka browser. Kepala Dinar tepat berada di samping kepala Jasmine. Tanpa sengaja, mata Jasmine menangkap wallpaper di laptop Dinar.
"Gambar apa tadi?" Jasmine menggerakkan tangan Dinar yang sedang memegang mouse, mengarahkan pointer ke pojok kanan laptop.
Ya Tuhan!
"Dinar! Ganti wallpaper-nya!" Mata Jasmine melotot. Gambarnya adalah foto Jasmine yang sedang tertidur di mobil Dinar sepulang dari pesta Kana. Mulut Jasmine terbuka di foto itu, kepalanya terkulai ke kanan. Foto paling jelek yang pernah dilihat Jasmine.
"Tidak ada foto lain." Dinar menolak menggantinya.
"Ya sudah, foto sekarang." Astaga! Bagaimana kalau ada orang melihat foto Jasmine yang 'nggak banget' itu?
"Coba kamu hadap sini," kata Dinar.
Jasmine mengikuti perintah Dinar, memutar wajahnya menghadap Dinar.
"Kenapa?" Jasmine berbisik, menatap khawatir Dinar yang diam saja.
"Foto itu tidak jelek. You are beautiful in every way," bisik Dinar yang juga tengah menatapnya.
Sebelum Jasmine mengerjapkan mata—karena tidak percaya—bibir Dinar sudah menempel di bibirnya. Jasmine baru akan menikmati ciuman pertama mereka ketika dia mendengar suara shutter camera berbunyi sebanyak tiga kali. Tergesa Jasmine menarik wajahnya dan menengok ke sumber suara. Kepalanya dan kepala Dinar dengan bibir saling menempel sudah terpampang di layar laptop. Jasmine tidak tahu kapan Dinar membuka aplikasi kamera, bukankah tadi Dinar sedang berbisik bilang Jasmine cantik?
Bagaimana bisa Dinar menggerakkan mouse tanpa melihat layar? Oh, God! She forgets that computer is his significant other. Bahkan Dinar lebih mengenal komputer daripada mengenal Jasmine.
"Nice picture." Dinar menatap puas gambar hasil bidikan kamera laptopnya. Sedetik kemudian wallpaper sudah berganti dengan foto baru itu.
"Dinaaaaaaaaaaaaar!" Menyisakan Jasmine yang menjerit putus asa.
***
Sudah berapa jam berlalu sejak ciuman pertama mereka? Jasmine tersenyum sambil menyentuh bibirnya. Dua puluh empat jam. Dan dia masih bisa mengingat rasanya. Saat Dinar menyampaikan segalanya lewat ciuman singkat itu. Jasmine tahu, meski Dinar tidak pernah mengungkapkan, Dinar tertarik padanya. After all, friends don't kiss, right?
Tadi malam Dinar mengajaknya makan malam dan berjalan kaki sebentar sambil menunggu makanan di perut mereka turun. Jasmine menanyakan beberapa hal dan mengetahui lebih banyak mengenai Dinar. Bahwa Dinar merantau di sini, tidak ada satu pun keluarganya yang tinggal di kota ini. Dinar tidak menjawab ketika Jasmine bertanya kenapa laki-laki luar biasa sepertinya tidak punya pacar dan lebih sering duduk sendirian di depan komputer.
Jasmine membelalakkan mata melihat siapa yang meneleponnya sore ini. Dinar? Padahal Jasmine tidak meneleponnya seharian ini. Ya ya ya, memang ini kejadian langka. Dinar tidak pernah menelepon Jasmine lebih dulu. Dia menelepon Jasmine hanya jika menemukan panggilan tak terjawab dari Jasmine di ponselnya. Ah, sudahlah, Jasmine tidak peduli dan tersenyum senang menerima panggilan itu. Dengan begini dia tahu bahwa Dinar juga memikirkannya.
"Halo." Dengan riang Jasmine menyapa.
"Kamu bisa ke sini?" tanya Dinar, dan seperti biasa tanpa basa-basi.
"Sekarang?" Jasmine melirik jam yang melingkar di tangan kirinya.
"Iya. Aku perlu bantuan," jawab Dinar.
Jasmine mengiyakan, sudah jam enam juga, sudah lewat dari jam pulang. Dari semua orang di dunia ini, Dinar meneleponnya saat memerlukan bantuan. Dia sudah naik level menjadi salah satu orang yang dipercaya dan bisa diandalkan, bukan?
Ke sini yang dimaksud Dinar adalah ke kantor laki-laki itu. Jasmine sudah hafal habitat Dinar. Dinar hanya akan berada di apartemennya dari jam sepuluh malam sampai jam tujuh pagi, selebihnya di kantor. Sambil menahan senyum lebarnya, Jasmine mengemasi barang-barangnya dan bersiap menuju kantor Dinar.
***
"Duduk di situ." Dinar meminta Jasmine duduk di sofa hitam ketika Jasmine sudah sampai di ruangannya. Jasmine mengerutkan kening, tetapi tetap duduk, mengikuti permintaan Dinar.
"Geser sedikit duduknya," perintah Dinar lagi.
Jasmine beringsut ke kanan.
"Sampai ujung sana, Jasmine."
Jasmine mendecakkan lidah, lalu pindah ke tempat yang dimau Dinar. Setelah Jasmine duduk dengan rapi, Dinar menjatuhkan pantatnya di samping kiri Jasmine. Lalu merebahkan tubuhnya dan meletakkan kepalanya di paha Jasmine. Kepalanya membelakangi perut Jasmine.
"Hei!" Tegur Jasmine yang kaget dengan apa yang dilakukan Dinar. Terakhir kali dia ingat, hubungan mereka belum sampai sejauh ini. Ini terlalu ... intimate?
Dinar tidak mengatakan apa-apa, malah meraih tangan kanan Jasmine dan meletakkan di kepalanya. Sambil menggelengkan kepala, Jasmine menyentuh rambut tebal Dinar. Tanpa diperintah, dengan sendirinya tangan Jasmine sudah membelai rambut Dinar. Jasmine baru akan bertanya apa Dinar sakit, tapi melihat napas Dinar yang teratur dan matanya yang terpejam, Jasmine mengurungkan niatnya.
"Jadi aku disuruh ke sini buat jadi bantal," gumam Jasmine, sikap seenaknya Dinar ini benar-benar luar biasa. Baru kali ini ada orang yang memerintahnya ini itu lalu mengabaikan kehadirannya begitu saja.
Jasmine mengamati wajah Dinar yang sedang tertidur pulas di pangkuannya. Hidung Dinar panjang, bulu matanya tebal-tebal seperti bulu mata gajah. Pelan-pelan Jasmine menggerakkan jarinya menyusuri rahang Dinar.
"Aku suka kamu. Tapi aku nggak tahu siapa yang kamu sukai," bisik Jasmine.
***
Dinar membuka mata dan melihat kepala Jasmine sudah terkulai di sandaran sofa. Setelah matanya benar-benar terbuka, Dinar duduk dan menarik Jasmine yang sedang tertidur ke pelukannya. Diaturnya posisi kepala Jasmine agar nyaman bersandar di dadanya. Sesaat Jasmine bergerak gelisah dalam pelukan Dinar dan Dinar mengelus rambut Jasmine dan mencium pelipis Jasmine, "Sshh, I am here."
Jasmine kembali tenang, tangan kanan Jasmine memeluk perut Dinar. Dinar meletakkan pipinya di puncak kepala Jasmine. Sore ini adalah tidur paling nyenyak yang bisa didapat Dinar dalam seminggu ini. Tanpa bantuan obat tidur. Kenyamanan saat bersama Jasmine semakin dia rasakan setiap kali Jasmine menemuinya setelah wanita itu selesai bekerja dan duduk diam menemani Dinar bekerja. Tadi Jasmine tidak juga muncul ketika sudah jam enam dan Dinar sudah sangat ingin melihatnya, lalu memutuskan untuk menelepon Jasmine.
Kepala Jasmine bergerak-gerak, membuat Dinar menjauhkan kepalanya dari kepala Jasmine.
"Sudah bangun?" Dinar tertawa kecil melihat Jasmine tampak kebingungan.
Jasmine menggeleng, kembali menyurukkan kepalanya ke dada Dinar.
"Ayo pulang." Ajakan Dinar juga dijawab dengan gelengan kepala lagi oleh Jasmine.
"Aku masih mau di sini," kata Jasmine.
"Mau di kantor sampai pagi?"
"Mau di sini ...." Jasmine mengusap dada Dinar dengan telapak tangannya.
"Awas tangan kamu, Jasmine. Jangan memancingku berbuat hal-hal menyenangkan di sini." Dinar memperingatkan sambil tertawa. Dia juga tidak keberatan berpelukan sepanjang malam dengan Jasmine. Sudah berapa lama dia tidak mendapatkan pelukan dari seseorang? Sudah berapa lama dia tidak merasakan ini? Merindukan seseorang sampai tidak bisa tidak melihatnya barang sehari saja. Tidak bisa tidak mencium dan memeluknya barang sebentar saja. Sangat lama sekali. Dan Dinar lebih menyukai ini. Menyukai menghabiskan hari dengan menghirup wangi Jasmine.
"Berbuat apa?" Jasmine menghentikan usapannya lalu kembali memeluk perut Dinar.
"Aku belum mau dipecat kalau ketahuan berbuat itu di sini." Dinar tertawa, lalu setengah memaksa Jasmine untuk berdiri.
Jasmine menggembungkan pipinya sebagai bentuk protes, membuat Dinar tertawa lalu menepuk pipi Jasmine. Bibir Jasmine mengerucut setelah mengembuskan napas dengan dramatis dan Dinar tidak bisa menahan diri untuk tidak menciumnya.
"Kalau kamu melakukan itu, Dinar, aku nggak tahu harus bagaimana untuk mencegah diriku untuk nggak jatuh cinta ...." Jasmine melepaskan diri dari pelukan Dinar.
***
Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhirnya dengan Dinar. Jasmine berjalan pelan menyusuri trotoar di bawah gerimis sore ini. Orang-orang bergegas mencari tempat berteduh atau mengembangkan payung. Sedangkan Jasmine tidak ambil pusing, hanya mengangkat tangan kanannya, membuka lebar telapak tangannya. Sela-sela jarinya yang kosong, selama ini diisi jari-jari Dinar. Jari-jari besar Dinar terasa tepat berada di sana.
Jasmine menyentuh bibirnya. Masih mengingat ciuman terakhirnya dengan Dinar. Meski mereka sudah sangat dekat, terlalu dekat, Dinar tidak pernah mengatakan apa-apa. Tidak pernah menyinggung cinta dalam setiap percakapan mereka.
Jasmine terus berjalan. Sendirian di bawah hujan. Bisa dibilang, Dinar adalah orang paling bodoh yang pernah ditemui Jasmine. Tidak bisakah dia berpikir bahwa Jasmine sudah sangat mempermudah jalannya? Banyak laki-laki di luar sana yang harus menebak-nebak apakah wanita yang disukai memiliki perasaan yang sama. Jelas Dinar tidak perlu melakukan itu. Karena Jasmine sudah menunjukkan perasaan itu. Terang-terangan. Gamblang.
Tapi, mungkin Dinar tidak menyukainya.
Jasmine mengingat hari-hari yang dilalui dengan duduk seperti orang bodoh hanya karena ingin bertemu Dinar. Hanya Dinar. Jasmine menerima bahwa Dinar lebih memprioritaskan komputer dan kode-kode program daripada dirinya. She loves him unconditionally and makes him feel good when he's with her. Namun, sehebat apa pun seorang laki-laki, jika dia tidak mau berkomitmen padanya lantas apa gunanya?
Sampai di titik ini saja sudah begini menyakitkan. Apa Dinar pikir Jasmine akan rela menghabiskan seluruh hidupnya dengan membuang-buang waktu pada hal tidak berguna seperti itu? Duduk menunggui Dinar bekerja sedangkan dirinya sendiri tidak mendapat apa-apa. Semakin lama rasa sakit itu akan semakin bertambah, sampai pada saatnya nanti mungkin akan bisa membunuhnya.
Jasmine menghentikan langkahnya di depan gedung tempat Dinar bekerja. Sejenak ditatapnya gedung itu, pasti ada Dinar di lantai lima. Tersenyum pahit, Jasmine melanjutkan langkahnya. Tidak ada gunanya lagi pergi ke sana. Jasmine sudah berhenti mengunjungi Dinar dan Dinar sama sekali tidak mencarinya. Meskipun Jasmine sama sekali tidak keberatan melakukan semua kunjungan itu, duduk bosan sampai Dinar menyelesaikan semua pekerjaannya, karena dia mencintai Dinar.
Sederhana saja. Dia bahagia melakukannya. Bahagia setiap kali Dinar membalas pesan yang dikirimnya, walaupun Jasmine harus menunggu lama. Juga, Jasmine bahagia ketika Dinar meneleponnya segera setelah melihat ada panggilan tak terjawab Jasmine di ponselnya, bahagia karena Dinar setuju bertemu kapan pun Jasmine mau, bahagia hanya dengan menghabiskan waktu bersamanya.
Tapi, kali ini Jasmine merasa tidak cukup dengan itu semua. Dia ingin memilikinya. Ingin memiliki Dinar hanya untuknya. Ingin Dinar mengatakan dan meyakinkan bahwa Jasmine bisa memilikinya. Bukankah cinta memang egois? Kita menginginkan orang yang kita cinta hanya untuk diri kita sendiri. Tidak ingin membagi dengan siapa pun juga.
Dengan hubungan mereka sekarang, Jasmine tidak akan bisa berbuat apa-apa jika ada orang lain masuk ke dalam hidup mereka. Jika ada wanita yang merebut Dinar darinya, Jasmine tidak akan bisa berbuat banyak, karena memang Jasmine bukan siapa-siapa. Tidak memiliki kedudukan apa-apa. Jika dipikir-pikir, investasi perasaan ini merugikan baginya.
"Jasmine."
Ada Dinar dan mobilnya berhenti di bahu jalan.
"Kenapa kamu hujan-hujan?"
Jasmine tidak menjawab. Hanya berjalan mendekat dan masuk ke mobil Dinar. Tidak peduli kalau tubuh basahnya membasahi jok mobil mahal milik Dinar.
Dinar melepas kemejanya, menyisakan tubuhnya yang dibalut kaus v-neck tipis berwarna putih. Pelan Dinar mengelap wajah Jasmine dengan hati-hati menggunakan kemejanya, seolah takut tangannya bisa melukai wajah Jasmine. Lain kali dia harus punya tisu di mobilnya. Masih dengan kemejanya, Dinar juga mengeringkan rambut Jasmine.
"Apa yang kamu lakukan?" Jasmine menatap lurus pada jalanan di depannya.
"Kepalamu bisa sakit kalau ini tidak dikeringkan." Dinar menghentikan gerakannya mengusap kepala Jasmine.
"Apa yang kamu lakukan padaku?" ulang Jasmine.
"Kamu bicara apa?" Dinar tidak mengerti.
"Apa kamu ... mencintaiku?" Tidak perlu menyimpan pertanyaan ini lebih lama lagi.
"Kenapa tiba-tiba ...."
"Apa kamu pernah mempunyai perasaan itu?" Jasmine menuntut jawaban pasti dari Dinar. "Tidak? Jadi berhentilah ... Berhentilah melakukan ini kalau kamu tidak memiliki perasaan seperti itu, perasaan cinta itu ... padaku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top