AKU INGIN MENGAJAKMU MAKAN MALAM

Sementara teman-temannya sibuk membicarakan sex position, Dinar semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Punya pacar bertubuh mungil? Mereka pasti akan terlihat luar biasa saat berjalan bersama. They'd make cute couple. Dinar membayangkan sedang merangkul wanita itu, lalu wanita itu mengangkat kepalanya untuk bicara dengannya. Kemudian Dinar akan menunduk dan mata mereka bertatapan. Posisi yang sempurna. Saat wanita itu membuka mulutnya, Dinar tidak akan tahan untuk tidak menciumnya.

Satu lagi bayangan menyenangkan melintas di kepalanya, Jasmine yang mungil memakai kemeja atau t-shirt miliknya, baju yang kebesaran itu pasti akan seksi sekali menutupi pantat bulatnya. Damn! What am I thinking? Dinar mengumpat dalam hati.

Dinar berusaha menghabiskan sisa malam dengan mengikuti percakapan teman-temannya. Menyuruh kepalanya untuk tidak mengingat Jasmine.

***

Saat sebuah undangan berwarna hijau mint mendarat di mejanya beberapa hari yang lalu, Jasmine langsung memasukkan ke dalam tas tanpa membukanya. Karena tidak sanggup melihat nama Dinar tertulis di sana, bersama dengan nama Kana. Luka di hatinya sudah menganga, tidak perlu ditaburi garam lagi.

Sepertinya dia akan memilih untuk tidak datang. Nanti dia akan mengarang alasan kalau Kana bertanya. Ponselnya berbunyi dan nama orang terakhir yang ingin dia ajak bicara muncul di sana. Apa dia harus mengabaikan? Tapi tidak. Meski dia tidak rela Dinar menikah dengan Kana, tapi Jasmine mengakui Kana teman yang menyenangkan.

"Halo," sapa Jasmine.

"Jangan lupa datang, Jas." Kana langsung mewanti-wanti. "Aku mau ngenalin kamu sama temen-temenku, nih."

"Ya, aku pasti datang." Ya sudahlah, que sera sera. Whatever will be, will be. Apa yang terjadi terjadilah. Patah hati ya patah hati saja, daripada harus mengabaikan undangan dari teman sebaik Kana.

"Itu di mana, sih?" Jasmine membongkar tasnya dan mencari undangan pernikahan Kana. Setidaknya dia harus membaca untuk tahu di mana lokasi pestanya. Dengan menahan napas dibukanya undangan pernikahan dengan pita putih itu.

"Fritdjof Møller?" Tanpa sadar Jasmine bersuara. Nama mempelai pria tidak ada Dinar-dinarnya. Huh? Jasmine membolak-balik undangan tersebut. Tidak ada foto pengantin di undangan itu. Jadi Jasmine tidak bisa mengecek wajah laki-laki bernama Møller itu. Apa wajahnya sama dengan wajah Dinar?

"Apa undanganku baru sampai?" tanya Kana.

"Fritdjøf ini nama calon suamimu?" Jasmine mengabaikan pertanyaan Kana dan memilih untuk mencari kebenaran.

"Iya. Kamu kenal, Jas?"

"Eh? Nggak. Itu ... kukira kamu ... menikah sama Dinar ...." Sedetik kemudian Jasmine mendengar Kana tertawa sangat keras. Kenapa teman barunya—yang dia anggap menyenangkan—ternyata menyebalkan begini?

"Ya ampun, Jas! Baru kali ini ada yang menyangka aku pacaran sama Dinar. Baru kamu saja." Kana masih tetap tertawa.

Baru dia saja? Jasmine rasa seisi kedai kopi waktu itu pasti berpikiran sama dengannya.

"Kamu suka sama Dinar ya, Jas?" tanya Kana setelah tawanya reda.

"Nggak." Jasmine buru-buru menjawab.

"Padahal Dinar bilang dia naksir kamu." Suara Kana terdengar ... kecewa?

Benarkah apa yang baru saja dia dengar? Dinar suka padanya? Jasmine merasa jantungnya berhenti berdetak. "Serius?"

Suara tawa Kana semakin kencang. "Hahahaha, kena kamu, Jasmine."

Sedangkan Jasmine sibuk menyesali kebodohannya. Bisa-bisanya dia menanggapi dengan terlalu bahagia. Tidak mungkin Dinar menyukainya. Selama bertemu dengannya, yang hanya dua kali itu, she didn't show a good impression. Grocery shopping date—boleh tidak itu dianggap date?—yang berakhir dengan barang belanjaannya tertinggal karena Jasmine kebanyakan melamun. Pertemuan kedua malah lebih buruk, Jasmine hampir pingsan di lobi Maxima. Apa tidak bisa dia bertemu Dinar dalam kondisi normal? Saat dia sedang cantik dan sempurna?

"Kamu bilang kamu menikah dengan teman sekantormu."

"Memang. Tapi teman sekantorku nggak hanya Dinar, kan?"

"Right." Jasmine masih merasa malu perasaannya bisa ditebak semudah itu.

"Berjuanglah, Jas. Sudah nggak zamannya cewek nunggu." Kana memberi saran.

"Tapi aku ...." Berusaha bagaimana? Jasmine tidak tahu. Tidak berpengalaman.

"Sudah dulu ya, Jas. Aku ada meeting sama pujaanmu. Mau salam nggak?" goda Kana.

"Oke." Jasmine menjawab lemah sebelum mereka mengakhiri panggilan.

Jadi Kana bukan pacarnya si Seksi. Jasmine tersenyum sendiri. This is freaking good. It feels like she won't stop smiling. Kalau tidak ingat sedang di kantor, mungkin dia sudah menari-nari karena terlalu bahagia. Hari-harinya yang serasa digayuti mendung kelabu, kini sudah kembali terang benderang.

Apa kata Kana tadi? Make a move? Jasmine mendengus, SMS saja dibalas hanya dengan satu kata. Sekarang Jasmine sudah jarang ke Maxima karena urusannya dengan orang marketing di sana hampir selesai. Semakin tidak ada kesempatan untuk bertemu Dinar. Sangat mudah memang untuk menaruh hati pada seseorang. Yang sulit adalah membuat orang itu merasakan hal yang sama. Come to think about it, why do people call it a crush? Because that's how you feel when they don't feel the same way in return. What is it called when your crush likes you back? Imagination.

***

Seperti kata Kana, she should make a move. Tidak ada salahnya untuk mencoba. Setelah memantapkan hati, Jasmine menelepon ponsel Dinar. Hatinya berdebar-debar memikirkan apa yang akan dia katakan saat Dinar menjawab panggilannya.

Tidak ada jawaban.

Jasmine mengulangi sekali lagi. Memang sudah hampir tengah malam, sebenarnya agak tidak sopan menelepon jam segini. Jasmine tahu itu. Tapi, rasa penasaran mengalahkan semua. Dia tidak akan bisa tidur kalau belum mencoba.

Jasmine mengetik pesan di WhatsApp, setelah diperhatikan lebih lanjut, Jasmine menemukan bahwa nomor ponsel Dinar adalah nomor yang digunakan untuk WhatsApp juga.

Sudah tidur?

Sambil menunggu jawaban dari Dinar, seperti orang bodoh Jasmine mengamati gambar profil WhatsApp Dinar. Foto laki-laki memakai sky jacket berwarna merah. Juga gator dengan warna senada yang menutup setengah mukanya hingga ke bawah mata. Laki-laki di foto tersebut memakai beanie yang berwarna sama juga. Goggle hitam menutupi mata. Wajahnya tidak terlihat sama sekali. Seperti Spiderman. Latarnya langit biru dan hamparan salju putih. Jasmine memeriksa status WhatsAppnya. Berbunyi I was born to code. Sama sekali tidak menarik.

Sampai Jasmine tertidur tiga puluh menit kemudian, tidak ada balasan masuk ke ponselnya.

***

Sudah pukul tiga pagi ketika Dinar mematikan laptop. Satu malam lagi dihabiskan di depan komputer, lagi-lagi sendiri. Meski kali ini bukan untuk programming. Tapi, brainstorming untuk ide startup yang dikemukakan teman kuliahnya. Dinar tertarik lagi untuk co-founding. Mungkin aplikasi itu bisa dipakai di Indonesia untuk uji coba, mengingat jumlah penduduknya lebih banyak dari Switzerland. Tidak masalah berapa uang yang dihasilkan. Atau tidak dihasilkan. Menciptakan sesuatu yang bermanfaat selalu menyenangkan.

Uang lagi. Hanya karena mengejar itu, hidupnya selama ini terasa berputar pada tiga hal. Eat, sleep, and code. Dinar melemparkan dirinya ke tempat tidur. Hah! Bagaimana rasanya hidup pada zaman sebelum komputer ditemukan? Pasti lebih sederhana. Memory was something that you lost with age. An application was for employment. A program was for TV show. A web was a spider's home. And a virus was the flu.

Dinar memeriksa ponselnya sebelum memejamkan mata. Meski tahu bahwa notifikasinya hanya dari grup-grup WhatsApp. Tapi, ada yang lain malam ini.

"Jasmine?" Kenapa cewek lambat itu meneleponnya sebelum hampir tengah malam. Mengirim WhatsApp juga. Apa Jasmine mencari sosisnya? Sudah dibuang karena membusuk di mobil.

Alarm Dinar di ponsel berbunyi. Jam tidur, tulisan di layarnya. Tidak perlu alarm untuk membuat matanya terbuka sebelum pukul delapan pagi nanti. Normal people need alarm to remember time to wake up. He needs alarm to remember time to sleep. Hidupnya lebih banyak dihabiskan dengan terjaga, tidurnya hanya sebentar saja. Dinar tidak ingat kapan terakhir kali hidup normal. Seperti orang-orang pada umumnya.

Setelah memutuskan untuk menelepon Jasmine besok pagi, oke, nanti pagi karena ini sudah jam tiga, Dinar memejamkan mata. Sebagai orang beradab, sudah seharusnya dia menelepon balik kalau menemukan panggilan yang tidak terjawab di ponselnya. Apalagi kalau yang menelepon wanita manis seperti Jasmine. Laki-laki cerdas tidak akan mengabaikan kesempatan seperti itu, kan? Paling tidak, daftar riwayat hidupnya bisa sedikit lebih layak untuk diceritakan di masa depan nanti. Bahwa dia pernah menelepon wanita selain Kana.

***

"Halo." Telinganya menangkap suara Jasmine.

Menepati janji pada dirinya sendiri, Dinar menelepon Jasmine pagi ini.

"Ada apa?" Dinar langsung menuju pokok masalah.

"Ya ampun! Aku telepon tadi malam dan baru ditelepon balik pagi ini?"

"Ada apa?" Dinar tidak menghiraukan protes Jasmine. Wanita dan drama. Selalu seperti itu. Lagi pula telepon Jasmine masuk ketika hampir tengah malam. Wajar kalau Dinar meneleponnya lain hari.

"Apa hari ini kamu sibuk?" tanya Jasmine.

"Iya." Jawaban yang sudah pasti.

"After office hours, sibuk?"

"Iya." Tanpa ragu Dinar menjawab.

"Kapan kamu nggak sibuk?"

"Tidak pernah." Dinar juga tidak ingat kapan terakhir kali dia punya waktu luang sampai tidak tahu harus melakukan apa. Sepertinya belum pernah.

"Aku mau ketemu, tapi kalau kamu sibuk ...."

"Kamu ingin aku meluangkan waktu?" Dinar menekankan pada dua kata terakhir.

"Iya."

Dinar mendecakkan lidah. Begitu saja berbelit-belit, pembicaraan dibawa ke mana-mana. Apa susahnya langsung meminta. "Ada apa?"

"Kamu sudah bilang ada apa tiga kali pagi ini. Aku boleh dapat payung cantik?"

"Ada perlu apa kamu mau ketemu?" Dinar memperbaiki kalimatnya.

"Harus ada alasannya? Apa aku harus janjian juga lewat resepsionis? Aku mau berterima kasih saja, mungkin aku bisa mentraktirmu makan." Dinar memang menolongnya saat lemas di Maxima dulu, tapi di sisi lain, Jasmine kesal dengan tingkah menyebalkan laki-laki ini.

"Sebenarnya tidak perlu mentraktirku, tapi kalau kamu memaksa ... oke, kapan?" Bergaul dengan selain anggota si berat sepertinya tidak terlalu buruk. Atau malah bagus untuk menjaga kewarasannya. Lagi pula, makan malam dengan wanita cantik dan pemberani tidak ada ruginya. Iya, Jasmine pemberani karena mau memulai berteman dengannya lebih dulu.

Berteman? Dinar tertawa dalam hati. Kapan terakhir kali ada wanita yang mau berteman dengannya? Selain Kana, tentu saja.

"Nanti. Jam tujuh?" tawar Jasmine.

"Oke."

"Kamu nggak usah jemput aku, kita ketemu di sana. Aku WhatsApp tempatnya."

"Aku tidak menawarkan untuk menjem ...."

"See you there then." Jasmine memotong dan mengakhiri panggilan.

Wanita itu benar-benar ujian untuknya. Kalau lulus, apa yang akan dia dapatkan? Apa yang dia harapkan sebagai hadiahnya? Hati Jasmine?

"Did she just ask me out?" Dinar meletakkan kembali ponselnya. Sangat ingin sekali Dinar mengetik di Google apa saja kriteria kencan.

Tapi, lupakan dulu masalah Jasmine yang mengajaknya berkencan. Kamar mandi sudah menunggu dan dia tidak boleh terlambat ke kantor pagi ini. Atau dia akan membuat Jasmine menunggu karena tidak bisa pulang cepat.

***

Ada hal-hal yang tidak disukai Dinar dalam hidup ini, seperti tidak bisa mengingat nama orang setelah berkenalan, buku-buku best-seller yang difilmkan lalu penerbit mencetak ulang bukunya dengan cover bergambar aktor dan aktrisnya—merusak imajinasi saja, ketika masuk ke supermarket dan tidak menemukan apa yang dicarinya lalu keluar dengan tangan kosong lalu otaknya berpikir bahwa sekuriti pasti menganggapnya pengutil, dan yang paling tidak disukainya adalah situasi seperti sekarang. Pekerjaannya sudah hampir selesai ketika keinginannya untuk pergi ke toilet tidak bisa dihindarkan lagi. Dinar enggan meninggalkan tempat duduknya karena tidak ada yang bisa menjamin saat kembali dari toilet nanti, he won't lose the train of thought.

Sudah lewat dari jam enam sore ketika Dinar mematikan komputer dan masuk ke mobil. Sore ini dia harus pulang cepat karena Jasmine menyuruhnya pergi ke restoran yang jauh dari kantornya. Sepertinya wanita itu mempunyai hobi menyulitkan diri sendiri. Restoran di dekat sini banyak, kenapa harus repot-repot menyetir selama hampir satu jam.

Sabar. Sabar. Selama perjalanan menuju tempat yang dimaksud Jasmine, Dinar merapalkan mantra agar tidak memutar balik mobilnya dan kembali ke kantor, meneruskan pekerjaannya yang tertunda.

Dinar bernapas lega ketika menemukan tempatnya. Setelah memarkirkan mobil, Dinar berjalan sambil memperhatikan bangunan di depannya. Tidak ada yang menarik, hanya sebuah rumah makan tua. Atau kuno. Apa pun. Seperti itu.

Matanya menyapu ruangan dan menemukan Jasmine duduk di meja di tengah ruangan, persis di samping jalur masuk. Wanita itu melambaikan tangan dengan semangat dan tersenyum lebar ketika melihatnya.

"Menyusahkan diri sendiri itu prinsip hidupmu, ya?" sindir Dinar ketika menarik kursi di depan wanita itu. Awas saja kalau makanan di sini tidak enak.

"Maksudnya?" Jasmine bertanya tidak mengerti.

Laki-laki ini bukan bertanya, "Sudah lama?" Atau, "Sorry, udah nunggu," malah langsung bermuka masam begitu. Apa tidak pernah diajari basa-basi oleh orangtuanya?

"Makan saja kenapa harus sejauh ini?" Tangan Dinar sibuk membuka-buka buku menu. Setelah menyetir jauh, perutnya menjerit minta diisi.

"Terserah aku. Aku yang traktir." Jasmine mengangkat bahu. "Lagi pula kalau keberatan kenapa nggak bilang sejak tadi siang."

Kali ini giliran Dinar yang tidak mau mengakui bahwa dia tidak tahu restoran ini ada di mana, dia baru menyadari ketika memasukkan ke GPS. "Lebih baik aku makan sendiri."

Jasmine memilih untuk tidak memberikan tanggapan apa-apa. Daripada semakin kesal karena mendengarkan kalimat-kalimat pedas Dinar. Mata Jasmine sibuk memperhatikan laki-laki berkacamata di depannya, yang tidak pernah dia bayangkan, akan duduk lagi satu meja dengannya.

"Kamu nggak bawa bukuku?" Tadi Jasmine sudah mengirim WhatsApp untuk mengingatkan Dinar agar membawakan bukunya, yang tertinggal di mobil Dinar.

"Aku belum selesai baca." Dinar menutup buku menu, dengan cepat sudah bisa memutuskan akan makan apa.

"Kamu ... baca?" Mata Jasmine membulat. "Apa kamu suka novel romance?"

"No." Dinar menjawab apa adanya. Buku yang dia baca sejauh ini hanya buku-buku yang berkaitan dengan teknologi informasi. Itu juga lebih banyak menggunakan e-reader.

"Kalau gitu kenapa baca? Kembalikan!"

"Aku jadi tahu dari mana kamu bersikap tidak masuk akal seperti ini, kamu mencontek tokoh-tokoh wanita dalam buku-buku semacam itu." Dinar memiringkan kepalanya sedikit, mengejek Jasmine.

"Buku-buku semacam itu?" Jasmine tidak terima ini. "Kamu meremehkan buku romance, ya? Padahal kamu nggak tahu proses di balik penulisan buku semacam itu."

"Aku tidak bilang menulis buku itu mudah." Dinar dengan tenang menjawab. Pendidikan seorang penulis, penelitian yang dilakukan, lingkungan yang membentuk cara berpikir, dan lain-lain semua berkelindan untuk membentuk satu buah buku. Tidak peduli buku tebal tentang pemrograman yang menemaninya selama kuliah, buku trivia perang dunia, sampai buku cerita yang disukai oleh Jasmine. "Buku semacam itu membuat wanita menjadi demanding." Tanpa membacanya juga Dinar bisa tahu.

"Cewek perlu cerita roman itu, sama dengan cowok suka porn." Tidak akan dia izinkan siapa pun menghina bacaannya.

"Apa laki-laki menirukan yang dilakukan porn stars?"

"Aku juga nggak meniru siapa-siapa dari buku semacam itu."

"Kamu membaca cerita semacam itu untuk mendapatkan apa yang tidak bisa kamu dapatkan di dunia nyata. Misalnya kamu tidak bisa memacari jutawan di sini lalu ...."

Jasmine mengangkat alis, menunggu Dinar melanjutkan kalimatnya. Tapi Dinar menghentikan pendapatnya ketika seorang wanita mendekat ke arahnya.

Wajah Dinar mendadak pias. Waktu tiba-tiba berhenti berputar, jantungnya berhenti berdetak. Suara hak sepatu wanita itu yang beradu dengan lantai terasa seperti hitungan mundur dari sekelompok regu tembak yang akan mengeksekusi hukuman mati. Udara di sekelilingnya tidak bisa dihirup lagi. Kalau mungkin, Dinar lebih memilih mati daripada berada dalam situasi seperti ini. Situasi yang diharapkan­nya tak pernah terjadi.

Jasmine mengamati wanita yang berdiri di samping meja mereka. Berambut pendek, memakai sepatu hak tinggi, dan gaun berwarna hitam. Wanita ini terlalu tua untuk diasumsikan sebagai pacar atau mantan pacar Dinar. Mata Jasmine berpindah pada Dinar yang mengepalkan tangannya kuat-kuat di atas meja. Seolah menahan emosi yang siap meledak keluar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top