Love 1: Namamu Seperti Bunga, Karena Kau Memang Begitu!

            Kyoto, pertengahan zaman edo.

Jeritan mengawali malam itu, dengan bunyi sabetan samurai yang menyakitkan. Beberapa orang hanya berdiri tegap, kaku dengan kaki mereka yang mengakar di tanah. Tak ada yang bisa menghentikan adegan mengerikan itu. Mereka terdiam di sana, seolah-olah sebagai penonton yang tak ada gunanya. Mereka hanya saksi bisu dari kebiadaban rezim pemerintah zaman edo.

Sebenarnya, pembunuh itu tidak bersalah. Mereka hanya menjalankan tugas, sebagai salah satu syarat agar keluarga mereka bisa makan. Namun, apa pun alasannya... membunuh keluarga lain yang tak bersalah adalah perbuatan yang sangat kejam.

"Hentikan! Hentikaan! Ayaaah!" Anak bungsu keluarga mereka menjerit kencang, menangis, dan meraung di malam selarut itu. Tak ada yang bisa menghiburnya, atau sekadar menghentikan tangisnya. Hiburan pun tak muncul sama sekali.

Ayahnya tergeletak bersimbah darah, dengan leher teriris pedang.

"Inilah yang akan terjadi kalau kalian berani bermain-main di belakang kami! Mulai sekarang, kucabut gelar kalian sebagai bangsawan, dan statusmu adalah budak!"

Vonis itu terdengar menyakitkan di telinga, namun tak ada yang bisa melakukan sesuatu untuk membantu. Mulai sekarang... status keluarga itu adalah budak. Dan... hanya ada satu-satunya cara agar mereka tetap hidup. Berpisah. Dan dijual.

Anak bungsu keluarga itu cukup beruntung, setidaknya sampai saat ini. Karena setelah itu... beberapa orang membawanya pergi, memisahkannya dari kakak sulungnya. Mereka terpisah. Anak bungsu itu dibeli oleh seseorang, seseorang yang sangat anggun. Lalu wanita itu membawa anak bungsu itu ke sebuah tempat bernama okiya, sebuah tempat di mana kecantikan ditumbuhkan sejak kecil.

Lalu... wanita yang disapa dengan sebutan Okaa-san tersebut memberi anak bungsu itu nama baru.

Hana. Artinya bunga. Meskipun anak bungsu itu lelaki.

Kisah baru Hana dimulai dari tempat itu...

***

Keluarga Hanazawa dibunuh oleh pembunuh bayaran yang diperintah oleh pemerintahan rezim zaman itu. Mereka dituduh berkhianat. Padahal... ayah Hana hanya membawa pesan dari seseorang yang tidak diketahui. Hari di mana mereka dieksekusi, hari itulah mereka sadar bahwa mereka dijebak. Hana selamat karena dia tidak tahu apa pun, sementara kakak sulungnya juga mengatakan tidak tahu. Ibu dan ayahnya tidak dapat diselamatkan. Mereka berdua meninggal di depan mata Hana.

Setelah keluarga Hanazawa dinyatakan statusnya sebagai budak, keluarga kecil mereka terpisah. Hana dilelang pada perdagangan budak, dan seseorang muncul menyelamatkan hidupnya. Seorang pemilik okiya, Okaa-san yang terkenal pada masa itu. Meski dia wanita, namun kiprahnya tidak dapat diragukan. Karena itulah... ketika jemari wanita itu menunjuk Hana, hari itu juga Hana resmi menjadi miliknya.

Okaa-san mempekerjakan Hana sebagai pelayan. Selain membersihkan okiya, Hana juga punya tugas mempersiapkan keperluan para geisha. Meski tidak semuanya karena para geisha sudah mendapatkan pelayan pribadi, namun Hana punya tugas untuk memastikan para geisha mendapatkan apa yang mereka butuhkan.

"Hana! Hana!" Teriakan seorang geisha terdengar. Arumi berteriak, separuh memanggil. Hana menoleh cepat. Sapu di tangannya dia letakkan sebentar.

"Ada apa, Arumi-san?"

Arumi memekik. Hana menunduk dengan wajah lembut. Dia begitu bersyukur sudah ditampung di tempat ini. Okaa-san sangat baik padanya meski wanita elegan itu tak banyak bicara.

"Bantu aku!"

Hana mengangguk. Ketika kalimat itu muncul, artinya Hana harus melakukan banyak hal. Salah satunya adalah dengan menyiapkan keperluan geisha. Arumi adalah salah satu geisha di tempat ini. Arumi bahkan lebih dulu tinggal di okiya dibanding Hana.

"Apa yang Anda butuhkan, Arumi-san?"

Arumi menyebutkan beberapa peralatannya untuk berhias. Hana mengangguk mengerti, lalu melangkah mengikuti. Hana tersenyum, melangkah di belakang Arumi. Okaa-san memperhatikan mereka.

"Kenapa dia begitu menarik perhatian Anda, Haruko-sama?" Pelayan pribadi Haruko bertanya pelan. Pelayan itu begitu peka dengan perubahan ekspresi Haruko. Sebagai pemilik okiya ini, wanita itu sudah bertemu dengan banyak geisha dan maiko. Dengan kecantikan dan sikap mereka, Haruko jelas punya andil besar.

Namun ini kali pertama Haruko begitu meletakkan perhatiannya terhadap seseorang. Belum pernah Haruko begitu fokus dengan seseorang.

"Kautahu kenapa aku memberinya nama Hana?" Haruko mengajukan pertanyaan. Pelayannya menghela napas, menggeleng bingung.

"Tidak tahu, Haruko-sama..."

"Pertama kali aku melihatnya... anak itu sedang berdiri di bawah pohon sakura. Hari itu musim semi."

Pelayannya menggaruk tengkuknya bingung. "Apa Haruko-sama pernah melihatnya sebelum pelelangan budak itu?"

Haruko mengangguk. "Aku melihatnya."

"Eh?"

"Sebelum pelelangan itu, aku pernah melihatnya. Ketika dia masih kecil. Waktu itu dia mengenakan kimono yang sangat cantik..."

"Eh?"

"Sekilas kukira aku melihat maiko yang kuinginkan selama hidupku..."

"Haruko-sama..."

"Lalu aku sadar dia adalah lelaki. Dia indah..."

"Benar, Haruko-sama..."

"Dia tumbuh dengan begitu menakjubkan."

"Saya setuju, Haruko-sama..."

"Bahkan melebihi ekspektasiku. Lebih menawan daripada maiko ataupun geisha yang pernah kutemui. Sayangnya... dia lelaki. Dan juga pelayan tempat ini."

Pelayan itu menghela napas. Tuannya sedang mengagumi sesuatu yang mungkin terlalu mustahil untuk diwujudkan. Lagi pula... lagi pula... siapa yang tidak bisa mematuhi apa yang wanita ini katakan?

Hana seharusnya mematuhi semua perintah tuannya. Hana adalah budak yang dibeli waktu itu, dan Hana tak punya hak untuk menolak. Sayangnya Haruko tidak akan pernah memaksa apa pun. Menjadi geisha bukan karena dipaksa. Itu adalah panggilan dari hati. Kalau memang Hana tak berkenan, maka Haruko tidak akan pernah melakukannya.

Hana melangkah pelan. Jemari lentiknya menata rambut Ayumi. Dari jauh Haruko memperhatikan mereka. Meskipun Hana hanya bertugas untuk membersihkan okiya, namun sebenarnya sudah lama sekali ada banyak mata yang mengawasi anak itu.

Menjadikan Hana seorang geisha bukan hal yang mustahil meskipun anak itu adalah lelaki. Geisha pertama adalah seorang lelaki, yang sudah terkenal di antara para geisha dengan sebutan taikomochi. Seorang lelaki pun sanggup melakukannya.

"Haruko-sama... aku mengantarkan sebuah pesan." Seseorang datang. Tukang pos membawa pesan lagi. Kali ini dengan amplop berwarna merah jambu, dengan aroma yang sangat wangi.

Ada beberapa kemungkinan. Pertama, itu adalah surat dari seorang pejabat yang pernah mampir. Lalu mungkin saja dia jatuh cinta pada tempat ini. Tak sekali dua kali Haruko mendapatkan pesan seperti ini. Terkadang ucapan terima kasih, atau terkadang berisi pujian dan hadiah.

Lalu kemungkinan kedua, bisa saja itu surat cinta untuk salah satu geisha yang pernah menemani pelanggan. Mereka ingin bertemu dan membuat janji lagi. Atau kemungkinan lain... bisa jadi... ada seseorang yang berniat serius dengan salah satu geisha-nya dan mencoba meminta waktu Haruko untuk melamar.

Sekarang... kemungkinan-kemungkinan itu tertepis sempurna.

Surat itu hanya berisi beberapa kalimat saja, namun sayangnya surat itu begitu sakti hingga membuat jantung Haruko berdegup kencang.

Untuk Haruko-san yang sangat kuhormati...

Pertama kalinya aku mampir ke tempatmu, saat itulah aku merasakan hangatnya sebuah rumah. Lalu... aku melihatnya. Dia tidak mengenakan kimono. Hanya pakaian pelayan yang membungkus tubuhnya. Dia tidak berdandan. Dia lelaki, aku tahu. Namun... entah kenapa jantungku berdegup kencang ketika melihatnya. Bisakah aku mengenalnya?

Haruko hampir memekik.

Ini kali kesekian dia mendapatkan surat, dan beberapa kali pula surat ini berisi tentang permohonan yang sangat sulit dia kabulkan. Haruko tidak tahu kenapa lelaki itu begitu menarik perhatian. Meski memang tubuhnya menarik. Ramping seperti wanita. Garis wajahnya tidak setegas kebanyakan lelaki. Matanya bening, mengedip dengan menawan terkadang. Bibirnya berwarna merah seperti mawar yang baru dipetik dari tangkainya. Gerak tubuhnya selembut sakura yang tertiup angin.

Setelah sekian lama anak itu tinggal di okiya, akhirnya pubertas menghampirinya. Haruko takut, benar-benar takut. Hana bukan geisha di okiya, dan jelas Haruko tidak bisa mengikatnya dengan aturan dan perlindungan.

Karena itulah...

Haruko menerapkan sebuah aturan yang sangat keras. Tidak boleh ada hubungan intim dengan pelayan. Menyentuh pelayan tidak diperbolehkan.

"Apa yang akan Haruko-sama lakukan?"

Haruko memijat ujung hidungnya. Hana sudah selesai dengan tugasnya. Haruko memberi isyarat pada pelayannya agar memanggil Hana. Pelayannya mengangguk, lalu membawa Hana ke hadapannya.

"Iya, Okaa-san?"

Haruko menghela napas. Jemarinya bergerak, lalu menyentuh dagu Hana sesaat. Lihatlah kesempurnaan ini! Tidak heran begitu banyak lelaki yang tertarik padanya.

"Bagaimana kabarmu hari ini?"

Hana tersenyum, lalu mengangguk pias.

"Saya baik-baik saja, Okaa-san."

"Apa banyak orang yang mengganggumu akhir-akhir ini?"

Hana mengerjap. "Okaa-san..."

"Aku sudah tahu."

"Maafkan saya, Okaa-san..."

"Kenapa kau meminta maaf?"

"Karena saya tidak bisa menjaga diri..."

"Bukan kau yang bersalah, Hana. Kau tahu kenapa kuberi nama Hana padamu?"

Hana menggeleng pelan.

"Karena bunga selalu indah, dan tidak pernah bersalah..."

***

Berbagai desas-desus sudah mulai tersebar dengan sangat tak enak. Kabar tentang pelayan okiya yang juga bisa melayani tamu akhirnya terdengar. Haruko memijat pelipisnya gemas. Dia tidak tahan lagi. Lalu dengan kekuasaannya di tempat itu, Haruko menerapkan peraturan baru.

Hana tidak boleh lagi menampakkan diri ketika para geisha sedang menemani tamu. Hana mengerti. Okaa-san melakukan itu untuk melindunginya. Hana hanya boleh melayani salah satu geisha hanya ketika siang hari, ketika mereka sedang belajar bersama.

Haruko masih menerima surat demi surat yang bertanya tentang Hana. Namun sekali lagi... Haruko berkata dan mengumumkan peraturan baru di okiya. Tidak ada yang boleh menyentuh pelayannya.

Hana membersihkan halaman belakang di malam hari, ketika dingin sedang menerpa, dan para geisha sedang sibuk dengan tamunya. Hanya Hana yang sendiri, menyapu di halaman belakang. Hana mendengar gelak tawa mereka, godaan para tamu... namun dia tidak bisa melihat mereka.

"Kenapa wajahmu terlihat sedih, Hana?" Salah satu pelayan bertanya. Usianya sudah tua, dan beliau adalah senior di tempat ini.

"Machiko-san..." Hana tersenyum.

"Ada yang merisaukanmu?"

"Sedikit..."

"Ceritakanlah padaku!"

Hana menggeleng pelan. Dia tidak ingin membuat orang lain bingung karenanya. Ini hanya masalah sepele, dan dia tidak boleh merepotkan orang karenanya. Hana tersenyum lembut, lalu membuka mulut.

"Aku dilarang mengunjungi geisha ketika mereka melayani tamu..."

Machiko tersenyum lembut.

"Jelas kau memang harus menjauh."

Hana menunduk. "Apa karena aku hanyalah seorang pelayan, Machiko-san?"

Machiko terkejut dengan sifat pesimis anak ini. Dia menggeleng, lalu menyentuh kedua pipi Hana.

"Kau bukan 'hanya', Hana. Haruko-sama melakukan ini semua untukmu. Kau tahu berapa banyak lelaki yang bisa saja jatuh ke pelukanmu kalau kau mau?"

Hana menunduk malu. "Okaa-san sudah mengatakan itu berkali-kali padaku."

"Menjadi seorang geisha tidak semudah itu, Hana. Karena itulah... Haruko-sama melakukan ini untuk melindungimu."

Hana menunduk.

"Aku tertarik..."

"Eh?"

"Dengan geisha... Aku tertarik dengan seni yang mereka pelajari. Aku senang melihatnya..."

Machiko memekik. "Kau menyukainya?"

"Iya, Machiko-san. Aku ingin bermain musik, membaca puisi, merangkai bunga, melukis..."

Machiko tersenyum.

"Kau adalah bunga, yang dijaga dengan sangat baik oleh Haruko-sama."

Hana jujur pada Machiko, namun dia tidak bisa mengungkapkan kejujurannya pada Haruko. Dia takut kalau Haruko melarangnya untuk belajar. Karena Haruko punya banyak alasan, termasuk menjauhkannya dari sentuhan lelaki-lelaki yang datang ke okiya. Hana tertarik dengan seni yang ditampilkan oleh para geisha. Di balik kekagumannya, Hana hanya ingin mempelajarinya sebagai balas budi atas apa yang sudah dilakukan oleh Haruko terhadapnya.

TBC

Ganti diksi lagi... :v

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top