10. Cupid

Hari berganti hari, hingga tiba waktunya beberapa minggu kemudian perjuangan Gavi untuk mendekati Lea masih berlanjut. Berbagai cara terlah ia lakukan, sampai dirinya mengikuti semua unit kegiatan mahasiswa yang Lea ikuti. Kelompok pembelajaran yang Lea ikuti Gavi bergabung juga. Namun, dari semua itu tidak pernah satu patah kata pun Gavi dapatkan dari Lea.

Hari itu hujan turun lumayan deras. Gavi yang sehari-harinya menjadi sangat produktif jadi hanya bisa bertemu dengan Alvyn dan Kilik sebentar saja.

"Auditorium?" tanya Alvyn yang baru selesai mandi.

"Iya, astaga, harus sampai kapan ini aku membuntuti gadis itu." Gavi merasa bahwa tindakannya ini hanya sia-sia.

"Sebentar lagi ujian akhir, kau harus berhasil dengan tantanganmu." Alvyn berkata seraya mengenakan pakaiannya.

"Hmmm, aku pergi dulu," ucap Gavi seraya membuka pintu kamar kemudian melangkah ke luar.

Sambil menutup pintu kamar, Alvyn menimpali. "Jika kau bertemu dengan Kilik di luar, beri tahu dia kalau aku menunggunya di perpustakaan."

Gavi hanya mengacungkan tanda 'oke' di tangannya. Kegiatan yang akan dilaksanakan di auditorium adalah perlombaan debat. Gavi sendiri menjadi juri di acara tersebut. Dirinya mengenakan tuxedo hitam yang rapi. Lelaki tampan itu jelas menarik perhatian setiap orang yang dilewatinya.

Sesampainya di auditorium Gavi masih tidak menemukan Kilik. Dirinya sekali lagi mengedarkan pandangan untuk memastikan apakah ada sahabatnya itu di sekitar sana.

"Gav," sapa Leo. "Ayo, acara sudah mau mulai."

Tidak hanya Gavi yang menjadi juri perlombaan debat, Leo dan Lea pun menjadi bagiannya. Di sinilah, Gavi akan mendengar Lea untuk memberikan sambutan mewakili juri. Lea sudah tidak menghindar apabila ada Gavi di dekatnya, tetapi gadis itu masih belum mau untuk berbicara langsung dengan Gavi. Leo yang menjadi jembatan antara keduanya.

Acara dimulai dengan template, seperti sambutan ketua pelaksana, pembimbing, presiden mahasiswa, sampai sambutan perwakilan juri. Gavi terkesima melihat Lea yang ternyata bisa bicara di depan banyak orang dengan sangat lancar.

Tidak hanya cantik dan manis, perkataan Lea yang dibumbui motivasi sangatlah inspiratif. Gavi memandangi gadis tersebut dari kursi meja di mana dirinya duduk. Menoleh sesekali ke arah Leo yang tersenyum bangga melihat Lea di podium.

"Cantik, kan?" tanya Leo seraya berbisik pada Gavi.

"Namanya wanita pasti cantik." Gavi yang tidak ingin terpancing oleh perkataan presiden mahasiswa itu menjauhkan telinganya dari Leo.

"Allecia, menurutmu dia cantik juga?" Leo menggoda Gavi.

"Sst, diam," perintah Gavi. Leo tertawa tanpa suara seraya kembali ke tempatnya semula.

Posisi tempat duduk juri adalah Gavi di ujung kanan, di tengah Leo, dan di ujung kiri ada Lea. Jelas posisi ini berubah dari pengarahan awal. Lea tidak mau duduk tepat di samping Gavi dan meminta Leo untuk bertukar tempat.

Setelah selesai acara, Gavi sudah tidak melihat Lea di sekitarnya. Semua orang yang riuh di ruangan keluar auditorium secara bersamaan. Perut keroncongan Gavi berbunyi, ia menyantap kudapan yang diberikan panitia untuk juri.

Seraya menunggu ruang auditorium kosong, Gavi berbincang dengan Leo. "Heh, presiden. Jujur padaku, kau buka pacar Lea, kan?" Gavi bertanya dengan curiga.

"Aku pacarnya, kok. Satu kampus sudah tahu soal itu. Kami berpacaran sejak masih duduk di bangku sekolah menengah, jadi memang terlihat seperti tidak pacaran karena sudah lama." Leo menjelaskan dengan gamblang.

"Bohong, Leo adalah sepupu Lea, mengaku-ngaku kau." Tiba-tiba seorang gadis menggeret kursi dan duduk di hadapan Gavi dan Leo.

"Allecia!" Leo menarik rambut Allecia. "Sok tahu, ya."

"Aw, aw, Lea sendiri yang bilang padaku." Allecia mencoba melepaskan tangan Leo.

"Hey, hey, sudah, tidak penting juga." Gavi melerai keduanya dengan satu tangannya masih memegang kudapan yang sudah berganti.

Sejujurnya Gavi menyesal karena dirinya tidak membawa tas atau kantong plastik untuk membungkus semua kudapan yang enak itu. Setelah berpamitan dengan Leo dan Allecia yang belum selesia terkait pertikaian yang baru saja terjadi, dirinya pergi ke perpustakaan untuk sekadar mencari Alvyn dan Kilik.

Gedung perpustakaan terletak bekebalikan dengan posisi auditorium. Orang-orang yang melihat Gavi lewat pasti melirik dirinya dan membicarakannya secara berbisik. Hal yang menjadi nyentrik dari diri Gavi adalah tuxedo yang ia pakai, itu adalah tuxedo yang hanya digunakan oleh ras Vampire.

Gavi menempelkan kartu tanda mahasiswanya di sebuah alat untuk masuk ke perpustakaan. Tempat yang dipenuhi dengan buku itu cukup nyaman. Tempat duduk di sana memiliki bantal, ada beberapa kursi meja kantor yang dilengkapi oleh komputer, dan bahkan ada bean bag sofa yang tersedia untuk kenyamanan mahasiswa membaca di sana.

Sistem keamanan perpustakaan sangat ketat, meskipun tidak ada penjaga berbentuk manusia, di perpustakaan itu menggunakan robot dan scan diri. Sebelum masuk ke perpustakaan semua mahasiswa harus menyimpan tasnya di sebuah loker, hanya boleh membawa barang seperlunya saja. Apabila mahasiswa mencoba mengambil buku di sana tanpa QR code, maka sistem akan berbunyi menandakan ada pencuri.

Gavi masuk, karena dirinya tidak membawa apa pun, jadi tidak perlu repot membuka loker. Suasana hening ala perpustakaan sudah terasa, dengan dinginnya ruangan tersebut membuat siapa pun yang tidak tahan membaca akan tertidur. Kasus mahasiswa tertidur di perpustakaan sudah menjadi hal yang umum.

Berjalan perlahan sambil melihat-lihat sekitar, Gavi mencoba mencari Alvyn dan Kilik. Ketika Gavi melewati sederetan rak buku, ia melihat di ujung tempat duduk yang ada komputernya ada satu tempat pensil dan buku yang tidak asing baginya.

Gavi menghampiri meja tersebut dan melihat ada nama yang tertulis di bukunya.

"Gavi? Namaku? Bukanya ini adalah tempat pensil milik ...." Gavi terhentak ketika menyadari seseorang berjalan keluar dari toilet, dirinya langsung bersembuyi di balik rak buku.

Tidak cukup mengejutkan dari apa yang ada di buku tersebut, melihat fakta bawa Lea lah yang duduk di sana membuat Gavi memelotot. Lea kembali membaca sebuah buku, dan bersandar di kursi.

"Heh, apakah profesimu sekarang menjadi penguntit?" Seseorang menepuk pundak Gavi dari belakang.

"Astaga, Alvyn." Jantung Gavi sudah hampir copot dua kali dalam kurun waktu satu menit itu.

"Kau lihat siapa? Oh ... Lea, kenapa tidak kau dekati saja ke sana?" tanya Alvyn yang berpura-pura sibuk mencari buku.

"Kau duduk di mana, sih? Aku mencarimu. Kilik mana?" Gavi mengalihkan pandangannya menuju Alvyn.

"Ayo," ajak Alvyn.

Keduanya bergegas menuju balkon perpustakaan. Kilik sudah ada di sana sambil mencatat. Tugas mereka sebenarnya sangat banyak, tetapi Alvyn yang sifatnya terlalu santai masih menunggu Kilik selesai lalu menconteknya. Sedangkan Gavi, dirinya sudah selesai dan sudah dikumpulkan.

Tidak ada yang spesial dari balkon perpustakaan yang konsepnya semacam cafe. Hanya kekurangannya tidak ada vanding machine di sana. Lantai di balkon perpustakaan menggunakan karpet hijau, dan dindingnya terdapat tumbuhan merambat yang membuat kesan elegan. Meskipun di bilang balkon, tetapi sudah dipastikan ketika hujan tidak akan basah, karena terdapat satu atap yang terbuat dari kaca yang lebarnya melebihi luas lantai balkon.

"Gavi, kan kau masih belum sempat untuk berbicara dengan Lea, begitu pun aku dan Kilik. Nah, bagaimana kalau kau mencoba berkomunikasi melalui tulisan." Alvyn mengusulkan ide seraya duduk.

"Tulisan? Maksudmu aku mengirim surat anonim padanya, begitu?" tanya Gavi. Alvyn mengangguk. "Tidak, itu ide buruk."

Gavi menatap ke dalam ruangan dan ternyata Lea masih terlihat dari luar sana. Dirinya tersenyum sedikit. Semangat dalam dirinya untuk mendekati Lea menjadi lebih kuat, karena ada satu hal lagi selain kasus Bailey yang membuatnya ingin dekat dengan gadis dingin itu.

"Lea ... menarik."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top