09. Challenge Begins
Tatapan tajam sangat panas datang dari seorang yang berdiri tegak memegang knop pintu. Leo menyatukan alisnya, ia menatap Gavi, Alvyn, dan Kilik satu per satu bergantian. Sesekali giginya digertakan secara samar. Pakaian Leo saat itu cukup rapi, mengenakan setelan jas berwarna putih.
"Eh, Leo, betapa sopannya kau tidak mengetuk pintu kamar kami terlebih dahulu." Gavi melepaskan jabatan tangannya. Ia langsung berdiri dan mendekati pria rambut cokelat itu.
"Pintu ini tidak tertutup rapat dan aku mendengar kalian ribut-ribut tertawa sangat keras, jadi aku mengeceknya." Leo yang tidak gerun dengan gayanya yang congkak.
"Kau mau ke mana, Leo? Rapi sekali." Kilik mencoba mengalihkan percakapan Gavi dan Leo yang mulai memanas.
"Ada pelantikan ketua unit kegiatan mahasiswa anggar, aku harus hadir," jelasnya. "Lain kali, tutup pintu rapa-rapat dan jangan berisik." Leo membalikan badan dan berjalan menjauh dari kamar ketiga Vampire itu.
Gavi, Alvyn, dan Kilik tidak bergeming. Ketiganya masih menatap pintu yang terbuka lebar.
"Kalian sudah sarapan?" tanya Gavi memecah keheningan.
"Sudah, tadi sembari ke sini," ujar Alvyn enteng. Tubuhnya seolah tertarik magnet sehingga beberapa detik kemudian dirinya sudah kembali terbenam di kasur empuknya.
"Memang sialan kalian." Gavi yang masih menggunakan piyama ungu belang hitamnya itu berjalan keluar kamar dan menutup pintu dari luar.
Gavi akan pergi ke kantin untuk sekadar sarapan. Tepat sekali, Gavi sarapan di jam makan siang.
Suasana kantin saat itu sangat ramai, mahasiswa dari berbagai program studi ada di sana. Tidak ada yang Gavi kenal sampai dirinya melihat sejumput rambut merah muda yang diikat mancung ke atas.
"Allecia!" panggil Gavi.
Gadis itu menoleh. "Oh, Gavi. Sini."
Di mana ada Allecia di situ juga ada Lea. Gadis yang semula tertawa kini menjadi cemberut. Gavi masih keheranan dengan ini semua, tingkah laku Lea mengapa sangat aneh ketika berada di dekatnya. Semacam takut, benci, dan marah bercampur menjadi satu perasaan yang menggumpal di hati Lea.
"Tidak masalah aku duduk di sini?" Posisi Gavi sudah ada di hadapan Lea dan Allecia.
"Tentu! Ya, kan, Lea?" Allecia menyenggol tubuh Lea yang tidak ingin menatap wajah Gavi itu. "Hey, mau ke mana kau? Gavi, duluan, ya." Allecia mengejar Lea yang dengan tiba-tiba meninggalkan sepiring spaghetti yang masih banyak.
"Astaga, bagaimana aku bisa berbicara dengan orang aneh seperti itu!" Gavi berteriak dalam hati. Dirinya merasa tidak akan sanggup menjalankan tantangan ini.
"Hai, Vampire." Seseorang menyapa Gavi dan duduk di tempat bekas Lea dan Allecia. Gavi mendengar itu memelotot. "Haha, bercanda. Gavi, apa warna dasar kulitmu memang pucat pasi seperti orang mati, begitu?"
"Jika kau mau mencari ribut denganku, jangan sekarang. Aku sedang lapar." Gavi duduk dengan pasrah di depan orang itu. "Leo, kau ...."
Pria itu mengangkatkan kedua alisnya. "Hmmm?"
"Eh, tidak jadi. Bisa aku minta tolong untuk pesankan aku roti jagung dan telur dadar? Banyak sekali orang di sana, aku akan mati kelaparan. Kau presiden mah ...." Belum selesai Gavi berbicara, sepiring roti jagung dan telur dadar sudah hadir di hadapannya.
"Terima kasih," ujar Leo manis pada pelayan perempuan yang tengah tersipu. "Aku tahu menu yang biasa kau pesan di sini, sudah ku pesankan, makanlah, sebelum kau mati."
Meskipun merasa heran, Gavi memakan makanan itu dengan lahap. "Terima kasih," ucap Gavi yang mulutnya masih penuh dengan kunyahan yang belum ditelan.
"Telan dulu, kau hobi menyiksa diri ternyata," omel Leo.
Keduanya melanjutkan makan siang dan 'sarapan' mereka masing-masing. Tidak lama selesai mereka masih duduk terdiam di tempat sambil sesekali mengorek-ngorek giginya menggunakan tusuk gigi.
"Oh, ya, Gavi. Aku tahu siapa yang meletakan bawang putih itu di tas Bailey." Tiba-tiba Leo membuka pembicaraan.
Gavi memelotot. "Tahu dari mana kau?"
"Lea, pacarku. Dia mengatakan kalau yang meletakan bawang itu adalah Alvyn." Leo mengatakan kalimat itu sambil sesekali menenggak teh hijaunya.
"Alvyn? Haha, tidak mungkin." Gavi tertawa hambar. Dirinya kemudian berpikir terkait alasan Lea menuduh Alvyn sebagai pelaku.
"Entah, terkadang Lea suka bergunjing juga. Gav, aku duluan, ya. Pelantikan jam satu siang." Leo beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Gavi sendirian dengan segunung pikiran.
Gavi tidak kembali ke kamarnya, melainkan menuju taman kampus. Dirinya berjalan perlahan sembari memikirkan semua hal yang ada di pikirannya saat ini.
"Leo mencurigakan karena dia selalu mengungkit-ungkit persoalan Vampire."
"Lea mencurigakan karena dia selalu menaruh kebencian pada aku, Alvyn, Kilik, dan Bailey."
"Allecia mencurigakan karena dia sahabat Lea."
"Alvyn? Hmmm, dia malah berpotensi untuk mencuri Choco daripada membuat Bailey celaka."
Hati dan pikiran Gavi sedang bergulat. Ia menikmati itu sambil berjalan mengitari air mancur dengan air bersih yang keluar dari setiap lubang di patung buku di tengah air mancur itu. Tingkahnya yang terus berulang ini justru malah menjadikan pikiran Gavi kosong, ia melamun sambil berjalan.
"Hey, Hey, Gavi." Seseorang menarik baju Gavi yang terus berjalan.
"Hah?" Nyawa Gavi belum sepenuhnya terkumpul. Ia melihat dua orang dengan es krim di tangannya.
"Apa kau mulai ... gila?" tanya Kilik.
"Kau salah, Kilik. Gavi sudah gila sejak lama, tenang saja." Lelucon Alvyn membuat dirinya dan Kilik tertawa. Satu temannya yang masih mengumpulkan nyawa itu terdiam.
"Kau tahu, Vyn. Ada yang menuduh kau memasukan bawang ke dalam tas Bailey," ujar Gavi kemudian.
"Hah? Aku? Aku memasukan bawang ke tas Bai? Kalau begitu aku lebih dulu yang copot tangannya, Gav." Tidak ada yang salah dengan jawaban Alvyn.
Pada saat kejadian berlangsung Alvyn dan Kilik tidak mengenakan sarung tangan, hanya Gavi yang menggunakan. Posisi Gavi saat itu tidak pernah dekat dengan Bailey jadi tidak ada waktu untuk memasukan bawang ke tasnya.
"Siapa yang bilang?" tanya Kilik.
"Lea, tetapi dia tidak bilang langsung padaku, dia bilang pada Leo." Gavi mendekati bangku taman dan duduk di sana.
"Hey, ayolah. Leo masuk ke dalam daftar orang yang kita curigai juga, kan?" tanya Alvyn yang menyusul Gavi dibelakangnya.
"Tidak salah, kemudian dia menguping kita juga tadi," terang Kilik seraya duduk di bawah karena bangku taman hanya cukup untuk dua orang.
Lagi-lagi mereka kehilangan ide terkait kasus ini. Es krim yang di makan oleh Alvyn sudah habis, dirinya memakan satu lagi yang harusnya diberikan pada Gavi.
Sampai sore mereka bertiga hanya melamun dengan pikiran mereka masing-masing. Tidak ada satu pun dari mereka yang bisa telepati, jadi tidak ada yang tahu isi pikiran masing-masing.
Kemampuan dasar yang akan dipelajari untuk tugas akhir perkuliahan mereka di Juvenile Academy adalah telepati dan telekinesis, sehingga mereka bertiga masih belum mempelajarinya.
Waktu libur Gavi, Alvyn, dan Kilik setelah dipikir-pikir hanya terbuang sia-sia. Hampir setengah hari yang mereka lakukan adalah melamun, menuduh seseorang, dan sisanya tidur kecuali Kilik.
"Bagaimana perkembanganmu dengan Lea?" tanya Alvyn ketika mereka berjalan pulang ke asrama.
"Tidak baik, sudah jelas gadis itu membenciku." Gavi menggulirkan bola matanya.
"Haha, kau harus berusaha sekuat tenaga, Saudara," Alvyn merangkul Gavi yang di ikuti oleh Kilik.
"Sudah lama kita tidak bermain polo air. Besok malam berenang, yuk?" ajak Kilik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top