08. Truth or Dare

Pagi buta itu, Kilik membangunkan Alvyn dengan paksa. Dirinya yang tidak tidur pun mendapatkan kabar buruk terkait perkembangan kesehatan Bailey dari rumah sakit. Dengan tertatih-tatih karena masih mengantuk, di belakang, Alvyn berlari mengikuti Kilik. Terdengar suara jeritan tangis ketika keduanya sampai di dekat rumah sakit kampus. Suara itu cukup familiar bagi mereka.

"Bailey?" tanya Alvyn tertegun.

Kilik mengangguk, keduanya membuka pintu ruangan tempat Bailey dirawat. Sudah ada kepala asrama, suster, dan Leo juga di dalam sana. Pemandangan mengerikan di luar dugaan pun mereka saksikan. Tangan Bailey yang semula ditutupi oleh perban, kini sudah terrobek habis sampai putus. Darah berceceran ke mana-mana. Gadis itu tidak berhenti menangis karena kesakitan.

"Sebegitu parahnya, kah? Alergi yang diderita Bailey?" Leo mendekati Alvyn yang mulutnya masih menganga di depan pintu terbuka lebar.

"A-aku tidak tahu juga." Alvyn menggeleng perlahan, mulutnya kaku tidak bisa berkata apa-apa. Ia benar-benar syok.

"Sepertinya ini bukan alergi biasa, aku baru tahu ada kasus alergi bawang putih yang bisa membuat efek sebegitu parahnya. Aneh sekali." Leo menyipitkan matanya lalu melirik ke arah Alvyn dan Kilik. "Kan?"

"Tidak ... ini tidak bisa dibiarkan, lebih baik kita memulangkan dia, kau sudah menghubungi keluarganya, Barney?" Suara wanita tegas terdengar dari seberang tempat tidur Bailey.

Wanita itu sedang mengobrol dengan seseorang yang diketahui namanya Barney lewat telepon. Percakapan yang cukup intens terjadi di sana, sesekali nada bicara Mrs. Eva meninggi karena panik. Alvyn sudah menduga bahwa temannya ini jelas tidak akan meneruskan pertukaran pelajar, Bailey terpaksa harus pulang karena insiden mengerikan yang terjadi padanya kemarin siang.

"Mrs. Eva? Mungkin ini akan membantu anda." Kilik mendekati wanita yang diketahui sebagai kepala asrama perempuan di Normal Alexandria University. Ia segera memberikan sebuah secarik kertas bertuliskan angka-angka yang dirangkai menjadi nomor telepon.

Situasi yang sebenarnya terjadi adalah ketika Kilik tidak tidur akibat pertaruhan dirinya dengan kantuk Choco, ia berniat untuk menjaga Bailey di rumah sakit. Lelaki rambut putih panjang itu berjalan sendirian melewati lorong. Tidak lama setelah Kilik memasuki ruangan Bailey, ia pun terkejut mendapati keadaan temannya yang makin memburuk itu kemudian melaporkan hal tersebut kepada suster.

Laporan Kilik pun ditanggapi dengan serius oleh sang suster, ia langsung diperintahkan untuk menghubungi kepala asrama. Kilik berlari secepat mungkin menuju kantor asrama perempuan, hingga akhirnya bertemu dengan Mrs. Eva tepat ketika wanita tersebut hendak keluar dari kantornya. Setelah Kilik menceritakan ulang terkait apa yang ia temukan, lelaki itu pun disuruh untuk mencari nomor telepon pihak Juvenile Academy yang bisa dihubungi.

"Terima kasih," ujar Mrs. Eva seraya mengelap keringat di keningnya. "Bailey harus dirujuk ke rumah sakit besar, ambulan akan segera datang."

"Oh, ya. Di mana temanmu yang satu lagi?" Leo yang berdiri tepat di samping Alvyn kembali bertanya dengan nada seolah mengejek.

"Dia kurang sehat, jadi kami biarkan tidur," jawab Alvyn seraya menjauh dari Leo dan mendekat ke arah Kilik. "Orang itu mengganggu sekali," bisik Alvyn.

"Biarkan saja." Mata Kilik kini tertuju tajam ke arah Bailey yang masih merintih tidak berdaya. Tangisannya melemah karena kelelahan.

-ooo-

Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Gavi terbangun seorang diri di kamar asrama. Kepalanya sangat pusing seolah berdenyut akibat pingsan semalam. Matanya kembali mengeluarkan darah yang langsung dilap menggunakan tisu. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tetapi tidak mendapati Alvyn dan Kilik di mana pun.

"Kemana bocah-bocah itu?" Gavi bergumam seraya beranjak dan membereskan tempat tidurnya.

Tidak lama kemudian, pintu kamar pun terbuka. Alvyn dengan wajah mengantuk langsung berjalan ke tempat tidur lalu membenamkan dirinya di kasur. Tanpa aba-aba bahkan menyapa Gavi, Vampire Escapologist itu langsung tertidur.

"Bailey pulang." Kilik berucap sambil memberikan sepotong roti sobek keju ke arah Gavi.

"Pulang? Maksudmu?" Gavi yang masih melipat selimut itu pun meraih pemberian Kilik.

"Ya, lukanya sangat parah, tangan dia sampai putus akibat luka tersebut." Kilik duduk di kursi meja belajarnya.

"Hey! Kau sudah sehat? Kudengar kau sakit semalam." Pintu kamar yang tidak tertutup menjadikan celah Leo untuk menyapa Gavi. Tidak menunggu balasan dari Gavi, pria tinggi itu pun berlalu menuju kamarnya.

Kilik dengan cepat berjalan kembali untuk menutup pintu. "Leo bersama kami."

"Tunggu, Bailey pulang ke akademi?" tanya Gavi memastikan seraya memiringkan kepalanya ke samping.

Kilik mengangguk pasti. "Tetapi dia dibawa ke rumah sakit besar terlebih dahulu untuk penanganan lebih lanjut."

Gavi masih belum paham dengan situasi sebenarnya. Kepalanya yang masih pusing ditambah semakin terganggu dengan suara ngorok Alvyn bagaikan babi. Satu bantal akhirnya di lempar untuk menutupi kepala Alvyn dengan mulut menganga.

"Pihak Juvenile Academy sudah datang tadi, Profesor Vincent. Beliau sudah mengurusnya dengan baik, jadi tidak perlu khawartir." Kilik melanjutkan informasinya dan kembali duduk di meja belajarnya, pandangannya masih menuju ke arah Gavi. Ia kini terlihat khawatir karena Gavi sempat terkena kontak dengan bawang putih juga kemarin. "Kau benar baik-baik saja, Gavi?"

Lelaki itu pun mengangguk cepat kemudian menghela napas panjang. "Lalu, mengapa kalian tidak membangunkanku?"

"Bagaimana bisa kami membangunkan orang pingsan. Sudah yang terpenting adalah identitas kita masih aman, mereka sama sekali tidak mencurigai kita." Kilik mencari sesuatu di laci mejanya. "Profesor Vincent menangani semuanya dengan baik."

Gavi menaikan sebelah alisnya. "Leo?"

"Sebenarnya ia bertindak mencurigakan, tetapi ... tidak, dia tidak curiga." Satu pil berwarna merah kini berada di tangan Kilik. Pil itu berguna untuk kesehatan dirinya yang tidak akan tidur untuk waktu beberapa minggu.

"Kau tidak mencurigai siapa pun yang melakukan hal itu pada Bailey?" tanya Gavi yang kini duduk di samping Kilik.

"Hmmm, sebenarnya Leo mencurigakan, tetapi pacarnya lebih mencurigakan, sih." Seraya menenggak satu gelas air, pil pun masuk ke mulut Kilik.

"Huahh!" Gavi dan Kilik sedikit tersentak mendengar suara itu. Alvyn sudah dalam posisi duduk menghadap tembok. "Kalian berisik sekali, astaga. Aku mau tidur."

"Heh, lagi pula sekarang sudah siang. Kau koala atau apa, hah?" Gavi menimpali perkataan Alvyn sambil melempar pensil yang ada di meja belajar Kilik.

"Aku Vampire, kau lupa?" ucap Alvyn, ia pun memposisikan tubuhnya menghadap Gavi dan Kilik.

Percakapan kembali berlanjut. Gavi tetap dengan pendiriannya bahwa Lea-lah yang melakukannya. Namun, Kilik dan Alvyn masih menimbang-nimbang dengan fakta bahwa Leo dan Allecia pun berpotensi untuk melakukan itu.

Jika mereka terus membicarakan hal ini, jelas tidak akan ada ujungnya. Tidak ada bukti kuat untuk menunjuk siapa tersangka yang konkrit atas perlakuan keji ini. Bahkan pihak Normal Alexandria University pun benar-benar menutup rapat kasus ini untuk tidak mencoreng nama baik kampus.

"Truth or Dare, bagaimana jika kita melakukan permainan itu?" tawar Alvyn.

"Untuk?" Kilik tidak mendapat poin dari perkataan Alvyn tersebut.

"Aku mencurigai Leo, kau mencurigai Allecia, dan Gavi mencurigai Lea. Ini berlaku untuk kita bertiga. Jadi siapa yang kalah nanti harus memilih—." Belum selesai dengan perkataan Alvyn, Gavi langsung memotongnya.

"Memperdalam kasus ini sampai ketemu siapa pelakunya atau mengungkapkan jati diri kita yang sebenarnya," sambung Gavi.

"Benar." Acungan jempol Alvyn terlalu dekat dengan wajah Gavi.

"Bukankah lebih baik untuk kita bersama-sama menyelidikinya?" Kilik masih belum ada di pihak kedua temannya.

"Ayolah, kita perlu fokus pada perkuliahan kita juga, jangan sampai terganggu," jelas Alvyn kembali duduk di ujung kasurnya.

"Kemudian? Yang kalah jelas akan terganggu, kan?" Sekali lagi Kilik bertanya.

"Itu risikonya," ujar Alvyn. "Makanya jangan kalah."

Mereka bergeming untuk beberapa saat. Semuanya terlarut dengan pemikirannya masing-masing. Sebenarnya, semua ini terjadi atas rasa penasaran mereka bertiga saja. Tidak ada yang lebih kuat dari ego seorang dewasa muda usia dua puluhan awal.

Keheningan ini membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Mereka bertiga sepakat untuk melakukan permainan Truth or Dare. Sebagai pemicu awal, mereka akan bermain The Vampire Mahjong, yang kalah dari permainan tersebut akan memilih kejujuran atau tantangan.

The Vampire Mahjong adalah sebuah permainan tradisional ras Vampire menggunakan kartu. Darah yang diambil dari ujung telunjuk pemain akan diteteskan di atas kartu kosong. Selanjutnya, dipermukaan kartu tersebut akan muncul gambar semua rasi bintang. Hal itu terus di ulang secara bergiliran. Barang siapa yang mendapatkan gambar babi terlebih dahulu, dia yang kalah.

Permainan ini akan berlangsung lama. Sehingga keputusan yang tepat untuk mereka memainkannya di hari libur. Setiap Vampire yang sudah berumur tujuh belas tahun atau lebih pasti memiliki satu kartu kosong, jadi tidak perlu repot untuk membeli di toko sihir atau semacamnya. Kartu kosong tersebut selain digunakan untuk permainan The Vampire Mahjong, juga berfungsi sebagai identitas masing-masing Vampire yang ada di dunia.

"Mulai dariku," ujar Gavi.

Baru saja lelaki hidung mancung berkulit putih pucat berpakaian piyama ungu itu meneteskan darahnya, sebuah gambar babi sudah muncul di permukaan kartu. Alvyn dan Kilik langsung tertawa terbahak-bahak.

"Truth or dare? Hahaha." Secepat mungkin Alvyn melontarkan kata-kata kutukan itu sambil tertawa.

Wajah Gavi memerah, dirinya tidak terima dengan kegagalan yang tragis tersebut. "Sudah jelas dare!"

"Oke, Gavi. Kau harus menerima tantangan dari kami untuk mendekati Lea, membuatnya berbicara padamu dan mengorek informasi terkait kejahatan yang menimpa Bailey." Alvyn menjulurkan tangan dan kemudian Gavi menjabatnya. "Ingat, tidak sampai menjalin hubungan asrama."

"Apabila kau tidak berhasil sampai akhir semester nanti, maka setelah ujian akhir kau harus mengungkapkan jati dirimu yang sebenarnya," tambah Kilik yang kemudian tangannya ditumpuk di atas jabatan tangan Gavi dan Alvyn. Darah yang semula diteteskan di kartu kosong tersebut, dituangkan ke sela-sela jari mereka.

"Jati diri?" Leo membuka pintu kamar mereka yang ternyata masih tidak tertutup rapat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top