07. Offender
Memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk atas kejadian yang baru saja dialami oleh temannya, Gavi memiliki sebuah kecurigaan terhadap satu orang. Setelah mencoba mengorelasikan apa yang sejauh ini menurutnya janggal, ia akhirnya mendapati satu nama. Tidak lain dan tidak bukan dia adalah Lea. Meski sebenarnya belum ada bukti pasti yang mengarah ke gadis tersebut, Gavi cukup yakin dengan tebakannya itu. Ia terus menerus mengingat wajah masam Lea setiap kali menatap dirinya.
Gavi masih terduduk menunggu Bailey bangun dari tidurnya. Bersamaan dengan hal itu, tidak lama kemudian sekiranya selesai mata kuliah Astronomi, Alvyn dan Kilik pun datang membawa tas kedua temannya. Tidak ada rencana signifikan yang akan mereka lakukan setelah seluruh perkuliahan hari itu beres. Hari pertama ini benar-benar di luar dugaan keempatnya.
Alvyn menghampiri Gavi kemudian memberikan tas gendong hitam polos yang ia bawa. "Bagaimana keadaan Bai?"
"Tidak lebih baik dari tadi, lihat lengannya. Justru aku rasa itu malah memburuk." Gavi membuka selimut yang tadinya menutupi luka bakar Bailey. Terlihat dari sana, perban yang semula menutupi luka dengan sepenuhnya pun kini sudah memerah karena darah yang merembes dan sedikit bau.
"Seorang idiot mana yang menaruh benda terkutuk itu di tas Bailey, kurang ajar." Kilik mendekatkan wajahnya ke arah luka bakar Bailey yang masih berdenyut.
"Gav, maafkan kami, ya. Kami tidak mengenakan pelindung untuk menolongnya." Alvyn mencoba duduk di ujung ranjang medis Bailey.
"Tidak masalah, justru jika kalian ikut membantu lalu terkena bawang putih itu aku akan jauh lebih kerepotan, bodoh." Kalimat yang Gavi lontarkan ada benarnya juga.
Cukup lama mereka berbincang, Gavi juga sudah mengutarakan pendapatnya tentang kecurigaan siapa yang menaruh bawang putih itu di tas Bailey. Mendengar hal itu, Alvyn langsung membantahnya, ia tidak setuju terhadap dugaan Gavi. Berdasarkan cerita yang ia dengar dari sahabat Lea yakni Allecia, sangat tidak mungkin jika Lea melakukan hal itu. Apa lagi kepada orang yang tidak ia kenali.
"Meski gadis itu selalu menunjukkan gelagat aneh, sepertinya dia bukan tipe yang suka mencelakai orang-orang. Dengar, Gavi, dia adalah primadona kampus, dia seorang Puteri Universitas." Bersamaan dengan sanggahan yang diutarakan oleh Alvyn, di sisi lain Kilik mendengarkan dengan seksama seraya mengangguk-angguk kecil.
"Hmmm, tapi aku masih tidak mempercayai gadis itu." Mata Gavi menyipit.
Di tengah pembicaraan mereka bertiga, pintu ruangan tempat Bailey dirawat pun terbuka. Terlihat seorang Presiden Mahasiswa narsis itu datang sambil membawa setumpuk kertas yang kemudian diletakan di atas meja suster. Lelaki itu menoleh ke arah Gavi, Alvyn, dan Kilik dengan tatapan tajamnya. Leo mendekati mereka, kedua tangannya dilipat di depan dada.
"Bawang putih, ya? Bailey seperti Vampire saja alergi bawang putih." Leo tertawa ringan, dirinya mencoba mencairkan suasana karena melihat ekspresi ketiga mahasiswa pertukaran pelajar itu terlalu serius.
"Hey? Aku becanda. Walau di buku Sejarah Sihir Dunia dijelaskan bahwa Vampire itu ada, aku masih tidak percaya akan keberadaannya," sambung Leo sambil berjalan mendekat.
Perkataan yang Leo lontarkan justru menjadi lampu kuning bagi mereka bertiga. Seolah saling paham, ketiganya saling menatap canggung. Bola mata Gavi terbuka lebar mengikuti gerak-gerik sang Presiden Mahasiswa yang sedang berjalan mengambil kursi untuk bergabung duduk bersama mereka. Ketika Leo membalikkan badan, Alvyn langsung mencolek pundak Gavi.
"Eh, bagaimana bisa Lea mengusulkan banyak sekali laporan mingguan untuk mata kuliah astronomi?" Kilik memecah keheningan yang membuat situasi menjadi tidak nyaman.
"Haha, dia memang begitu, aku sebagai pacar sebenarnya keberatan juga, tetapi mau bagaimana lagi, kan?" Perkataan Leo yang terus memberikan validasi bahwa dirinya adalah pacar Lea, lama-kelamaan membuat Gavi muak juga.
"Apakah kau sangat perlu meletakkan kalimat 'aku sebagai pacar Lea' di setiap percakapan yang kau buat?" sindir Gavi sambil menarik selimut untuk menutupi luka Bailey lagi.
"Tidak juga, hanya saja aku mencurigai kalau-kalau ada seseorang yang suka pada kekasihku." Presiden mahasiswa itu menatap tajam Gavi. "Siapa tahu, kan?"
"Maksudmu aku?" Gavi bangkit dari duduknya karena geram, tetapi Alvyn langsung menggenggam erat tangan lelaki itu.
"Lalu, siapa lagi?" Leo pun meletakkan kembali kursi yang semula ia ambil, dirinya tidak jadi duduk bersama mereka. Lelaki rambut pirang tersebut berjalan menuju pintu keluar. "Oh, ya. Kirimkan data riwayat penyakit kalian berempat, agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi." Leo menutup pintu.
"Jika ini di wilayahku, aku bersumpah akan menusuk dia menggunakan lancing device-ku." Saking kesalnya, sampai-sampai gigi taring Gavi memanjang, manik matanya yang semula berwarna abu-abu berubah menjadi merah.
"Sejujurnya anak itu sejak awal kita datang sudah mencurigakan," ujar Alvyn.
Tidak lama dari perbincangan itu, suster yang tadi memberikan pertolongan pertama pada Bailey pun menyuruh ketiga laki-laki itu untuk pergi dari ruangan, dikarenakan rumah sakit akan tutup. Sedangkan, Bailey harus menjalani rawat inap di sana. Merasa tidak ada pilihan lain, mereka bertiga pun tidak bisa menolak dan langsung pergi meninggalkan Bailey dan sang suster sendirian.
Sebelum kembali ke asrama, Gavi dan kedua temannya duduk di bangku taman terlebih dahulu seraya menunggu sore tiba. Mereka masih tidak menyangka ada seseorang yang tega melakukan hal jahat semacam itu. Gavi menatap langit jingga dengan awan-awan tersusun secara abstrak. Beberapa ada yang berbentuk seperti gajah. Lukisan langit di sore itu tidak begitu cantik, gradasi warna jingga, merah, dan biru tua tidak terlalu sinkron.
"Jika tahu akan begini, jujur aku lebih baik menolak untuk ikut pertukaran pelajar ke Wilayah Human. Ini semua di luar dari ekspektasiku." Alvyn duduk di rerumputan sesekali mencabut beberapa rumput yang panjangnya tidak simetris. "Infrastruktur di sini memang lebih cantik dan maju, tetapi—."
"Sudah terlanjur," ujar Gavi memotong perkataan Alvyn. "Lagi pula percuma saja kita mengeluh."
"Maksud Leo tadi, bagaimana?" Kilik mencoba mengalihkan pembicaraan mereka. Ia pun sebenarnya sama kesalnya dengan yang lain, tetapi pemikiran Kilik dan Gavi ternyata serupa.
Sore itu hingga menjelang malam Gavi, Alvyn, dan Kilik memikirkan apa saja yang harus mereka tulis di draf kesehatan. Mereka pun berdiskusi dan memutuskan untu menulis alergi bawang putih pada format Bailey saja, tidak mungkin rasanya mereka menulis alergi bawang putih semua. Daftar itu Kilik yang pegang, karena Gavi masih lumayan kesal dengan perlakuan Leo. Gavi bukanlah tipe pendendam, tetapi jika dirinya dituduh semacam tadi, rasa ingin menghabisi orang itu akan meningkat.
Hari mulai gelap, mereka bertiga bergegas kembali ke asrama. Dengan niat membesuk Bailey nanti malam, ketiganya sudah merencanakan untuk membawa beberapa camilan. Namun, sesampainya mereka di depan pintu kamar, satu hal janggal pun kembali terjadi.
"Gavi!" Untungnya Alvyn menahan sahabatnya itu agar tidak terbentur ke lantai. Gavi pingsan.
-ooo-
"Lea, kelihatannya kau menghindari empat orang baru itu." Allecia meletakkan secangkir teh hijau yang masih hangat di meja belajar. "Kenapa? Ada yang membuatmu tidak nyaman?"
Di samping tempat duduk, Lea masih berkutat dengan bukunya. "Tidak apa."
"Ayolah, mereka seru. Mereka mau berbaur dengan kita." Kini tatapan Allecia berpaling menuju wajah imut Lea, tangannya mulai meraih rambut cokelat Lea kemudian mengepangnya. "Kau tidak biasanya begini."
"Hanya saja, aku tidak suka mereka." Jawaban Lea benar-benar membuat Allecia gemas.
"Alvyn, Kilik, dan satu orang lagi yang pendiam, Gavi. Mereka semua tampan, kelihatannya badan mereka juga bagus." Tidak sengaja rambut Lea tertarik. "Ups, maaf, haha."
"Sudah, sudah. Aku sedang tidak ingin dikepang." Lea yang risih pun segera menyingkirkan tangan Allecia dari rambut tebalnya.
Lea sedang mengerjakan laporan mingguan dari Profesor Arm tadi. Dirinya sangat tertarik dengan profesor duda muda tersebut. Baginya Profesor Arm adalah pria idaman dengan sikapnya yang ramah, susah ditebak, murah senyum dan yang paling penting adalah Profesor Arm selalu setuju dengan semua usulan Lea.
"Cia, kau lihat tadi? Kancing baju Profesor Arm terbuka di bagian dada. Ugh, aku salah tingkah dibuatnya." Gebrakan meja yang dilakukan oleh Lea membuat teman di sebelahnya terkejut.
"Astaga, untung tidak kusemburkan teh panas ini ke wajahmu," ujar Allecia seraya mengelap tetesan air yang hampir keluar dari mulutnya. "Aneh, kau tidak suka Alvyn dan kawan-kawannya tapi mendambakan si genit Arm itu? Memang beda kau, Lea," tambahnya.
Suasana hening seketika. Allecia melihat Lea yang senyum-senyum sendiri langsung menjitak kepalanya seraya beranjak. "Ingat, kau pacarnya Leo, ya."
"Hey, kutegaskan sekali lagi. Aku bukan pacarnya Leo, dia hanya sebatas sepupu. Jangan mengarang cerita yang tidak-tidak, Cia."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top