06. The Onion
Hari itu masih terus berlanjut hingga Gavi, Alvyn, Bailey, dan Kilik berjalan beriringan menuju menara bintang. Berdasarkan informasi yang Alvyn dapatkan dari Allecia, kelas astronomi sebenarnya tidak semengerikan yang dibayangkan. Justru mata kuliah inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh mahasiswi Magicology di Normal Alexandria University dengan alasan bahwa akan banyak mahasiswa jurusan lain yang bergabung di kelas itu dari unit kegiatan mahasiswa teleskop yang notabenenya adalah laki-laki.
Praktikum mata kuliah astronomi akan dilaksanakan pada hari itu. Ketika para mahasiswa memasuki menara bintang, seorang profesor sudah ada disana dengan satu fish bowl berisikan bola-bola putih yang di dalamnya ada kode warna. Masing-masing dari mahasiswa mengambil satu bola. Itu merupakan metode untuk pembagian kelompok.
"Baik. Semuanya sudah mendapatkan bola?" tanya Profesor Arm.
Profesor Arm diketahui sebagai satu-satunya dosen termuda di Normal Alexandria University. Ia masih berusia dua puluh lima tahun. Rambutnya berwarna cokelat terang serasi dengan manik mata cokelatnya. Gavi melihat bahwa Profesor Arm memiliki tinggi yang sama dengan dirinya. Kulitnya seputih susu dengan rahang tajam yang terukir rapi di bagian bawah pipi tirusnya.
"Sudah, Profesor." Semua mahasiswa menjawab serempak, mereka masih dalam keadaan berdiri.
"Silakan buka dan temukan rekan satu kelompok kalian." Profesor tersebut melangkah perlahan menuju mejanya.
Gavi membuka bola seukuran tutup botol itu. Dirinya mendapatkan kode warna hitam. Gavi menoleh ke samping mendapati Alvyn dengan kode warna biru langsung berbaur dengan anggota kelompok yang lain. Alvyn dan Kilik satu kelompok, sedangkan Gavi dan Bailey berpencar. Gavi melihat Lea menatap dirinya dengan tajam dari kejauhan, tatapan kebencian itu kembali ia rasakan.
Ragu-ragu Gavi berjalan dengan senyuman hambar menuju kerumunan yang ada di pojok belakang ruangan. "Apakah ini kelompok hitam?"
"Ah! Gavi, baguslah ... sini-sini, benar. Ini kelompok kode hitam." Leo sangat antusias karena di kelompok tersebut ada Lea juga.
"Halo, semuanya. Mohon kerja sam—." Belum selesai Gavi berkata, seseorang langsung memotong pembicaraannya.
"Profesor, saya dan Allecia bertukar kelompok." Tanpa basa-basi, Lea langsung pergi dari sana kemudian memaksa Allecia untuk bertukar tempat. Gadis itu merebut kode benda hijau milik sahabatnya.
"Lea, kau ada masalah denganku?" bisik Gavi kemudian yang sudah pasti tidak mungkin terdengar oleh Lea.
"Ada apa, Lea?" Profesor Arm yang menganak emaskan Lea pun selalu menyetujui keputusan mahasiswinya itu. Di sisi lain, Lea juga sudah menjadi ketua klub teleskop.
"Tidak, saya hanya bosan satu kelompok dengan Leo," ujar Lea singkat sambil cemberut.
Seisi ruangan tertawa seolah meledek Leo. Muka putih presiden itu pun memerah semacam kepiting rebus. Allecia yang sebelumnya Gavi sebut sebagai gumpalan pelangi itu pun datang menghampiri dengan senyuman ringan. Gavi melihat gadis tersebut sebenarnya sedikit tidak suka, karena terlalu banyak warna terang yang ia gunakan. Namun, karena Allecia tidak ada masalah dengan dirinya, jadi Gavi pun tidak terlalu ambil pusing.
"Baik, ada lagi yang ingin bertukar kelompok?" tanya Profesor diiringi acungan tangan dari Leo.
"Tidak bisa, Leo. Kau sudah ditolak oleh Lea," ejek seseorang dari kelompok kode warna hijau tempat di mana Lea berada.
"Tidak ada, ya? Baiklah, rasa-rasanya kita bisa memulai praktikum hari ini." Profesor Arm mengeluarkan satu gulung kertas berukuran A0.
Kelas berlangsung dengan kondusif pada awalnya. Tidak kaku seperti kelas sebelumnya, Astronomi memang mengusung tema pelajaran bermain sambil belajar. Tidak jarang mereka melakukan senda gurau di saat-saat tertentu.
Namun, hal itu justru berubah menjadi heboh ketika seorang perempuan berteriak sambil menangis dari baris paling depan. Bailey kesakitan ketika merogoh tasnya, tangannya tidak bisa keluar dari tas hitam miliknya tersebut. Gavi melihat ada yang tidak beres langsung berlari menghampiri Bailey yang masih menangis. Semua orang di sana hanya bisa terdiam dengan mimik muka kaget.
"Bai! Lepaskan tanganmu dari benda itu!" teriak Gavi.
Gavi menarik tangan temannya itu dari dalam tas. Kulit telapak tangan Bailey sudah meleleh selayaknya luka bakar. Gavi yang memang menggunakan sarung tangan ke mana-mana pun langsung mengeluarkan sumber masalah dari dalam tas Bailey.
"Siapa yang berani menaruh ini di tas Bailey? Hah!" Gavi sangat geram, tetapi dirinya tidak punya ide harus marah kepada siapa. "Bailey alergi bawang putih." Gavi yang semula mengacungkan bawang putih tersebut pun melemparnya jauh-jauh ke lantar dengan sekuat tenaga.
Melihat ada kekacauan di dalam kelasnya, Profesor Arm yang awalnya dikenal sebagai dosen yang bersahabat justru seolah tidak peduli malah diam dan menonton dari balik mejanya. Dirinya seolah menunggu drama di kelas berakhir dengan sendirinya. Alvyn dan Kilik pun hanya diam saja, mereka cenderung menjauh dari sana.
Bagi ras Vampire bawang putih merupakan satu kelemahan mereka yang tidak bisa dihindari. Sudah menjadi rahasia umum kalau kaum Vampire akan terbakar jika bersentuhan langsung dengan bawang putih. Ras Vampire di Light Vampo tidak memiliki masalah dengan matahari, maka pertaruhan nenek moyang mereka yang dibuat adalah titik lemah turunan ras Vampire selamanya terhadap bawang putih.
Tidak menunggu waktu yang lama, Gavi pun langsung meminta izin kepada Profesor Arm untuk membawa Bailey ke rumah sakit kampus, disusul dengan Alvyn dan Kilik di belakangnya. Profesor Arm hanya mengizinkan Gavi, sedangkan dua temannya yang lain harus tetap diam di kelas.
Gavi menggendong Bailey meski ukuran tubuh dirinya lebih kecil daripada si wanita tomboy itu. Namun, demi keselamatan temannya ini, Gavi sama sekali tidak keberatan. Rumah sakit kampus untungnya tidak terlalu jauh dari menara bitang. Hal yang perlu dilakukan Gavi adalah turun sampai lantai paling bawah kemudian sedikit berbelok ke kiri. Di sanalah rumah sakit kampus itu berada.
"Bertahanlah," ujar Gavi yang sesekali mengambil napas panjang untuk keseimbangan tubuhnya.
Ia mendapati Bailey yang kuat tersebut masih menangis tersedu-sedu. Darah yang ada di tangannya tidak jarang menetes ke lantai. Gavi sangat mengkhawatirkan Bailey, karena berdasarkan sepengetahuan dirinya, hampir tidak ada satu pun dari ras Vampire yang dapat bertahan hidup dari kutukan bawang putih. Efek samping dari terkenanya paparan bawang putih sama halnya dengan ras Manusia yang terkena gigitan anjing rabies.
Tidak lama kemudian, Gavi akhirnya sampai di rumah sakit. Dirinya langsung masuk dan meminta pertolongan kepada petugas yang ada di sana. Suster sangat terkejut ketika kulit tangan Bailey sudah mengelupas dengan luka bakar yang sudah memutih.
"Apa yang terjadi pada dia?" tanya suster seraya memberikan alkohol setitik demi setitik pada luka Bailey.
"Bawang putih, Bailey alergi bawang putih, kemudian dia tidak sengaja memegangnya. Benda itu entah bagaimana caranya bisa ada di tas milik Bailey." Gavi yang sedetik kemudian sadar ada tetesan darah ke lengannya pun segera berkaca pada cermin.
Gavi mendapati matanya mengeluarkan darah yang cukup banyak selayaknya air mata. Ia segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkannya tanpa memberi tahu suster yang masih sibuk mengurus Bailey. Gavi membuka sarung tangan kemudian mencuci sebelum ia membilas mukanya. Darah itu terus mengalir dari ujung ekor mata Gavi, rasanya sangat perih. Beberapa kali Gavi meringis kesakitan.
Lama Gavi di kamar mandi hingga suster pun mengetuk pintunya. "Nak, sedang apa kau di dalam?"
"T-tidak ada, aku sedang sakit perut." Gavi terpaksa harus berbohong, dirinya masih mencoba menghentikan darah tersebut dengan sedikit kesal.
Rasanya sudah cukup janggal dengan luka bakar di tangan Bailey hanya karena menyentuh bawang putih, akan lebih aneh lagi jika suster melihat kedua mata Gavi mengeluarkan darah. Suster itu berbicara dari balik pintu mengatakan bahwa dirinya sudah selesai mengurus luka Bailey kemudian hendak pergi ke ruang suster.
Sesaat kemudian Gavi keluar dari kamar mandi, membuka pintu dengan perlahan untuk memastikan tidak ada siapa pun di dalam ruangan. Gavi melihat Bailey yang berbaring dengan perban melapisi tangannya. Gavi mendekati temannya itu untuk mendiskusikan perihal apa yang telah terjadi.
"Sebelumnya aku minta maaf, Bailey. Kau tahu sendiri aku tidak bisa menyembuhkan seseorang dari kutukan bawang putih." Sebelum Gavi duduk, ia mengambil air hangat dari dispenser untuk Bailey.
"Tidak apa, Gav. Aku paham, justru aku yang harusnya berterima kasih karena kamu mau menyelamatkanku dan membawaku ke rumah sakit ini." Bailey mencoba memposisikan dirinya duduk di ranjang medis.
"Kira-kira siapa, ya, yang berani tega menyimpan bawang putih itu di tasmu?" tanya Gavi seraya duduk di kursi samping ranjang medis dan memberikan gelas air hangat tadi pada Bailey. Sesekali ia menggulirkan matanya karena masih terasa sakit.
"Gav, matamu mengeluarkan darah lagi?" Bailey terlihat khawatir sambil meraih gelas pemberian temannya itu.
"Hmmm, tidak, aku tidak apa-apa. Sepertinya aku kelilipan." Gavi mencoba meyakinkan Bailey untuk tidak khawatir tentang dirinya.
"Syukurlah, kau tidak menyentuh bawang putih itu, kan?" Bailey kembali bertanya.
"Aman." Gavi mengacungkan kedua tangannya dan memamerkan sarung tangan kulit miliknya yang sudah kembali dipakai.
Gavi dan Bailey tidak banyak bicara saat itu. Lelaki rambut light blonde bergelombang itu menyuruh si tomboy untuk beristirahat. Sedangkan ia akan menjaga Bailey di samping tempat tidur. Gavi memain-mainkan lancing device miliknya agar tidak bosan.
Ketika Bailey sudah terlelap tidur, Gavi mencoba peruntungan sekali. Ia mengambil darah dari pelipis kepalanya, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada darah yang keluar. Gavi tidak terkejut, karena beberapa menit sebelumnya pertaruhan dirinya sudah muncul. Gavi melamun dan sesekali melihat luka bakar di tangan Bailey yang terlihat berdenyut di balik perban. Rasanya ingin sekali ia menyembuhkan temannya itu.
"Luka itu pasti sangat sakit."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top