03. Anxious

Jam menunjukan pukul sebelas siang, sinar matahari menembus rapatnya awan-awan putih di langit biru. Pancaran ultraviolet yang digadang-gadang terlalu berlebihan itu akhirnya menyentuh langsung kulit putih sang gadis cantik berambut hitam panjang. Gadis itu berlari mencari tempat teduh di mana cahaya terik tersebut tidak bisa menggapai kulitnya.

"Ah, sial. Perasaanku benar-benar tidak enak." Gadis itu menggosok-gosok punggung tangannya.

"Ada pikiran yang mengganggumu, Lea?" tanya gadis lainnya yang menjinjing tote bag berwarna magenta.

"Kau dengar akan ada mahasiswa pertukaran pelajar di kampus kita?" Gadis yang diketahui namanya Lea itu memalingkan pandangan pada temannya.

"Ya, aku dengar mereka dari kampus sebelah ... kompetitor, haha." Tag di baju teman Lea itu bertuliskan Allecia.

"Serius? Tetapi entah aku merasa tidak enak hati, ya." Pandangan Lea mengedar mengikuti gerakan burung kolibri biru yang lewat tepat di hadapannya. "Semoga tidak satu kelas denganku."

"Oh, ya, Lea. Kau bukanya hari ini harus menjenguk adikmu di perkampungan ceri?" tanya Allecia.

Lea memiliki seorang adik yang selalu dititipkan di panti asuhan selama dirinya tinggal di asrama kampus. Gadis itu hanya akan menjenguk sang adik seminggu sekali. Alasan mengapa adiknya dititipkan di panti asuhan adalah karena tidak ada yang mengasuhnya di rumah. Ayah Lea sudah meninggal, sedangkan ibunya memiliki masalah mental sehingga tidak diperkenankan untuk mengasuh anak di bawah umur oleh pihak yang berwajib.

"Nanti sore, mungkin," jawab Lea enteng.

"Kau tidak takut pergi ke sana seorang diri dengan berjalan kaki?" Mimik muka khawatir tersirat di wajah Allecia. "Kau harus melewati perkebunan yang sepi, jika kau berangkat sore kau akan pulang kemalaman, Lea."

Lea hanya menggeleng. Melihat matahari mulai tertutup oleh awan tebal kembali, dirinya bergegas pergi. "Ayo, kita perlu ke perpustakaan."

-ooo-

Saat itu masih pagi buta. Hari di mana Gavi, Alvyn, Bailey, dan Kilik berangkat ke Wilayah Human untuk melaksanakan program pertukaran pelajar. Gavi dan ketiga temannya di ikuti oleh Profesor Vincent berjalan menuju halaman belakang Juvenile Academy. Mereka memasuki hutan kampus yang sebenarnya dilarang dikunjungi oleh mahasiswa apabila tidak ada kepentingan.

Tibalah mereka di tengah hutan kampus penuh dengan pohon yang spesiesnya masih tidak diketahui. Pohon-pohon di sana merambat menyatu dengan pohon yang lainnya, apabila dilihat sekilas akan menyerupai pohon beringin raksasa. Yang menarik perhatian di tempat tersebut adalah terdapat satu pintu kayu usang, kotor, dan berlumut berdiri tepat di ujung perbatasan hutan dan danau buatan.

"Ingat semua yang telah kalian pelajari. Tidak boleh mengungkap identitas kalian sebagai ras Vampire dan tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan bodoh di wilayah ras Human. Sampai kalian mencoreng nama baik Juvenile Academy, kalian akan mendapatkan sanksi. Paham? Apa ada pertanyaan?" Profesor Vincent terdengar lebih berwibawa pada hari itu. Dirinya mengenakan jas ungu yang cukup rapi, tidak ada renda dan tidak ada gunting kuku yang menggantung menjadi kalung seperti biasanya.

"Paham, Profesor." Secara bersamaan Gavi dan ketiga temannya menjawab dengan tegas.

"Baik, jika tidak ada pertanyaan, silakan satu per satu memasuki pintu tersebut. Kalian akan tiba di sebuah toilet umum di Wilayah Human. Ketika kalian keluar dari toilet akan ada gedung tempat kalian melakukan registrasi ulang, itu merupakan gedung kementerian pendidikan dan kebudayaan Wilayah Human." Profesor Vincent sedikit tersenyum kali ini, melihat keempat mahasiswanya akan melakukan kegiatan yang tidak biasa.

Rasa khawatir muncul pada diri Profesor, tetapi segera di tepis dengan kalimat, "Selamat berjuang, hati-hati hidup di sana."

Satu per satu dari keempat mahasiswa itu melangkah melewati portal pintu transparan. Gavi menjadi yang pertama masuk, kemudian disusul Alvyn, Bailey, dan Kilik. Profesor menutup pintu transparan tersebut sambil melambaikan tangan.

"Gelap!" Spontan Bailey berteriak dan mencengkram rambut Kilik yang panjang. "Harus bagaimana kita?"

"Jalan lurus saja, perlahan," ujar Gavi santai.

"Dan bisakah kau melepas cengkeraman ini? Sebelum kupatahkan lehermu." Kilik yang merasa kesakitan menepis tangan Bailey.

Keempatnya berjalan seolah tidak ada ujungnya. Beberapa menit berlalu mereka masih belum menemukan titik terang untuk mendapati jalan keluar.

"Bocos!" Bailey menggertakkan giginya, kemudian cahaya keluar dari dirinya.

Bailey lupa bahwa dirinya adalah seorang Vampire Poisonous. Keringat yang tercipta dari tubuhnya mengandung arsenik sebesar sembilan puluh persen, sampai-sampai ketika dalam kegelapan cairan keringatnya itu akan mengeluarkan cahaya sangat terang.

"Itu, di depan," ucap Gavi yang pandangannya terus mengarah ke sebuah pintu merah.

Keempatnya bergegas lari ke arah pintu tersebut sebelum hilang, karena ternyata dari tadi apabila mereka terlalu lama berjalan, pintu itu akan menghilang dan menjadi looping.

"Bodoh, kenapa baru kau keluarkan cahaya itu," bisik Kilik. Sedetik kemudian Bailey menginjak kaki temannya itu.

Setelah sampai di penghujung lorong, tanpa basa-basi Gavi langsung membukanya. Suara flash toilet terdengar dengan jelas. Mereka benar-benar berada di dalam toilet umum. Parahnya lagi adalah mereka berada di bilik yang sama. Dengan wajah tanpa dosa mereka bergegas keluar dari toilet tersebut. Untungnya tidak ada banyak orang di sana yang memperhatikan.

Permasalahan tentang siapa dahulu yang harus keluar dari toilet sudah mereka rundingkan sejak di lorong. Sebenarnya akan aneh ketika Bailey keluar dari toilet pria. Namun, hal itu tidak menjadi kekhawatiran utama, karena rupa Bailey pun hampir tidak ada bedanya dengan seorang lelaki.

Keempatnya berjalan beriringan. Setelah keluar dari toilet, mereka mematung tercengang dengan apa yang mereka lihat di sekitar. Sebuah kota metropolitan yang sangat padat dengan cahaya terang benderang membuat mata mereka silau. Banyak gedung-gedung pencakar langit yang dilapisi dengan kaca, kendaraan canggih yang melaju dengan kecepatan penuh, dan jalanan beraspal hitam tanpa lubang setiap lima meter. Beberapa orang di sana menggenggam sesuatu yang biasa di sebut dengan telepon genggam sambil berjalan.

"Lihat, betapa berbedanya dengan wilayah kita." Alvyn berbisik pada teman-temannya.

Tidak ada yang menggubrisnya, semua menikmati pemandangan yang di luar ekspektasi. Cukup lama mereka berdiri terpaku tepat di depan pintu toilet. Keempatnya tersadar ketika ada seorang kakek meneriaki mereka dengan kata-kata kasar untuk pergi dari tempat itu agar tidak menghalangi jalan.

Kikuk adalah satu kata sifat yang paling tepat untuk menggambarkan situasi mereka saat itu. Mereka berjalan seolah bayi tiga tahun yang masih oleng.

"Ini, kan?" Gavi menunjuk ke sebuah gedung sekitar dua puluh lantai berdiri tepat di hadapan mereka.

"Astaga, bagaimana caranya para ras Human ini mencapai lantai paling atas?" Alvyn masih keheranan.

"Ingat bab tujuh puluh tiga? Terkait sebuah alat yang bisa membawa manusia naik dari gedung lantai bawah hingga lantai atas." Gavi mengingatkan temannya terkait buku The Human yang dibaca beberapa hari yang lalu.

Keempatnya memasuki gedung yang dipercaya sebagai markas kementerian pendidikan dan kebudayaan tersebut. Tanpa pikir panjang, mereka mengetahui satu hal tentang seseorang yang sedang duduk di meja panjang tidak jauh dari pintu masuk, mereka pun menghampiri dan bertanya pada resepsionis.

Gavi, Alvyn, Bailey, dan Kilik diarahkan menuju ruangan kepala departemen pertukaran pelajar. Mereka bersusah payah berusaha semaksimal dan semanusia mungkin di sana. Para remaja tanggung tersebut sesekali tidak sengaja mengeluarkan gigi taring penghisap darah karena mencium bau darah manusia yang terlalu dominan.

Tidak banyak masalah dengan registrasi ulang di gedung kementerian tersebut. Selanjutnya, sesuai dengan instruksi dari kepala departemen kementerian mahasiswa bahwa akan ada mobil van abu-abu yang menjemput mereka berempat di depan untuk mengantarkan sampai ke kampus tujuan. Merasa tidak ingin menghabiskan waktu berlama-lama di gedung tersebut, mereka pun bergegas keluar dan berjalan menuju halte bus. Di sana terdapat mobil yang sesuai dengan deskripsi kepala kementerian. Tanpa pikir panjang keempatnya langsung naik.

Cukup lama, sampai akhirnya seorang sopir dari mobil van tersebut masuk dan mulai melajukan mobilnya. Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang hingga tiba saatnya sang sopir yang mengenakan earphone tersebut menoleh ke belakang. Para pelajar yang sedari tadi bergeming pun bertatap mata dengan sang sopir.

"Hey! Siapa kalian?" Sontak sang sopir menghentikan mobil secara mendadak.

"Eh, kami mahasiswa pertukaran pelajar, di ...." Gavi melihat ke arah surat yang ada di genggamannya. "Normal Alexandria University."

"Bagaimana kalian bisa masuk ke van saya?" Sopir itu keluar dari mobil dengan perasaan geram lalu membuka pintu penumpang. "Keluar!"

"Apa maksudmu, Tuan? Kami mengikuti intruksi kepala kementerian untuk menaiki van ini." Alvyn yang duduk di tengah melongok dari balik tubuh Kilik.

"Turun kalian. Cepat!" Sang sopir mulai menarik tangan Bailey dengan paksa.

Jelas gadis itu tersungkur ke luar mobil. Hal ini membuat Kilik naik pitam. Pria rambut panjang itu turun dan mencengkeram kerah baju sang sopir, tanpa basa-basi satu pukulan telak mendarat di muka sang sopir. Gavi yang merasa ini bukanlah pertanda baik pun dalam beberapa detik kemudian langsung melerai keduanya.

Setelah Gavi dan Alvyn turun memisahkan Kilik dan sopir yang saling tinju, sang sopir berjenggot itu berlari kembali masuk ke mobil kemudian segera menancapkan gas tanpa pikir panjang selagi keempat Vampire tersebut menolong Bailey.

"Kau tidak apa-apa?" Kilik melihat kening temannya yang berdarah akibat menghantam batu runcing.

"Bodoh, sudah lihat darah ini?" Bailey malah mengomel sambil tertatih.

Seperti yang dilakukan pada ayahnya beberapa hari lalu, Gavi kembali menggunakan kemampuannya untuk menyembuhkan Bailey. Ketika hal itu terjadi, Gavi sekilas melihat seseorang dari kejauhan sedang menyaksikan proses penyembuhan tersebut.

"Hey! Tunggu!" Gavi berteriak sesaat sebelum seseorang itu berlari menjauh.

"Siapa, Gav?" tanya Alvyn seraya mengedarkan pandangannya, ia tidak mendapati siapa pun di sana.

"Seorang gadis, harusnya kita bisa bertanya padanya jalan menuju kampus." Gavi segera berdiri. "Tunggu di sini." Pria kulit putih pucat dengan mata almond berwarna abu-abu tersebut berlari dengan harapan bisa menemukan seorang gadis yang dimaksud tadi.

Gavi dan ketiga temannya diturunkan oleh sopir tidak dikenal itu di tengah jalan suatu perkebunan di daerah antah berantah. Pemukiman di sana kebanyakan kosong dan hanya ada pohon-pohon kecil yang mengitari. Hanya sesekali mereka mendengar suara kicauan burung seolah memanggil anaknya untuk kembali ke sarang karena hari mulai gelap.

Tidak lama, Gavi kembali ke tempat semula dengan tangan kosong. Mereka kehilangan jejak seorang gadis yang merupakan satu-satunya harapan mereka. Lelaki itu menggeleng dari kejauhan.

"Agh, bagaimana bisa kita tidak berguna sebagai ras Vampire di sini." Alvyn terlihat frustasi karena hari pertama dirinya di Wilayah Human berjalan tidak sesuai dengan bayangannya.

"Sabar, lagi pula kita tidak bisa menggunakan kekuatan kita secara sembarangan di sini, ingat perkataan Profesor Vincent," jelas Gavi seraya menusukkan lancing device miliknya ke pelipis mata.

"Benar, kita tidak boleh mengungkapkan identitas kita, semanusia mungkin kita harus bersikap di sini." Kilik menambahkan sambil tatapannya masih melihat ke arah Bailey yang cemberut.

"Lantas bagaimana caranya kita sampai di kampus?" Emosi Alvyn terhadap situasi yang mereka hadapi masih belum reda. "Aku kelaparan juga."

"Mari kita pikirkan itu bersama-sama," ujar Gavi seraya melanjutkan pengobatannya pada Bailey.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top