BAGIAN II: Napas Mimpi

"Kau masih muda, Anna. Lima―ah, enam tahun. Kenapa isi pikiranmu begitu rumit?"

⌞ E ⌝

M A J O R M E M O R I A

"ANDA tahu? Sebelum tragedi Ibu, saya pernah mendengar tentang Anda dan Gauvelaire."

Kolonel Cassius menolehkan kepala sesaat setelah kalimat itu meluncur. Aku masih setia mencoba membuat gambar-gambar kecil, hampir tak acuh dengan reaksi pria yang duduk di samping kursiku.

Sekonyong-konyong, Kolonel menjawab, "Dari peri?"

Tanganku berhenti menggerakkan pensil, lalu menatapnya. "Anda berasumsi? Bagaimana bisa sejauh itu?"

"Entahlah." Dia memalingkan wajah.

"Saya tidak tahu Anda percaya peri." Berbanding terbalik dengan reaksi Kolonel, aku malah tertarik membicarakan hal ini. Bukan karena aku menghapus dendam yang terkumpul dari tragedi, melainkan karena rasa penasaran dan tidak percaya bahwa orang seperti Kolonel mengetahui peri. Biasanya peri selalu ada pada imajinasi anak kecil saja, bukan?

"Mau kuceritakan sesuatu?"

"Dongeng? A-anda mendongeng?"

Dia menarik napas tidak yakin setelah aku beranggapan demikian. Pasalnya, beberapa hari ini kami belum mencapai hubungan yang baik dan aku selalu bersikap seakan menyindir Gauvelaire. Mendengarku menjadikan kefavoritanku sebagai alasan untuk berbuat baik barang sedetik, pastinya membuat dia merasa aneh.

"Mungkin," adalah satu-satunya yang bisa ia ungkapkan. "Tentang peri, apakah kau suka mereka?"

Bibirku menipis. "Saya benci mereka. Saya hanya suka dongeng Ibu tentang mereka."

"Kenapa? Bukankah mereka sering mengunjungimu?"

"Kok, Anda tahu?" Aku menunjuk jendela, atau padang rumput yang diterangi cahaya bulan. "Rumah Anda juga sering didatangi mereka, ya? Tapi saya tidak melihat .... Ah, Anda ingin bercerita apa sebenarnya?"

Sinar keperakan yang mengingatkanku pada mata Ibu menerobos masuk tiba-tiba, jatuh pada wajah Kolonel. Perak hanyalah warna yang mendramatisasi momen ini, mengubah langit pada mata Kolonel. Pada satu titik, di mana kami memang bertatapan, aku bisa melihat Ibu menggantikan sosoknya sebelum cahaya bulan meredup.

Kolonel memulai, "Tentang Gauvelaire. Tentang hal yang diceritakan peri itu padamu sebelum tragedi. Tentang kenapa hanya kita yang dikelilingi oleh mereka."

Tangannya mengambil pena dan menggeser buku pemberiannya sebelum melanjutkan. "Gauvelaire bermula dari tempat ini." Gambar segitiga yang langsung membentuk sebuah pulau tergambar, ditambahkan ombak-ombak laut. "Di sebuah pulau kecil, entah Calistian bagian mana, ada kembar yang tidak memiliki orang tua. Mereka Noir dan Fleur Gauvelaire. Keduanya memiliki paras sama, juga berbeda. Noir pucat, kelam, mengerikan bagi penduduk pulau. Fleur, cantik, seperti bara api di tengah dingin, sehingga dia menerima hidup berbeda dari Noir."

"Mereka bersaudara," kataku. "Harusnya tinggal bersama."

"Entahlah. Noir lebih menyukai laut, sementara Fleur tidak suka hal ganas. Fleur disukai masyarakat, jadi dia menetap di tengah-tengah api unggun desa, percaya bahwa kakaknya baik-baik saja di pesisir."

"Dia memang baik-baik saja, bukan? Hanya, tiba-tiba kepingin pergi ke Daratan. Itu kata Leya."

"Leya?"

Aku memberi anggukan. "Nama peri yang memberitahuku tentang kembar Gauvelaire."

Kolonel berhenti menggambar sebuah rumah, tatapannya kosong tertuju pada kertas. Hanya tiga detik setelahnya dia kembali meneruskan cerita dan gambar. Kali ini, sebuah lingkaran dan postur manusia terbentuk di atas kertas; Noir.

"Dewa memanggilnya. Selias Agung yang menguasai tanah, dan Hart yang lama terjebak dalam penjara bawah laut, teritorinya sendiri. Itu sebabnya dia mengarungi lautan dan pergi ke Daratan. Dewa memilih dia sebagai tanda bahwa segala sesuatu yang disembunyikan, sihir, monster, telah keluar dari kotak yang memendam sisi jahatnya." Kolonel menarik garis kecil ke bagian kosong dan memulai gambar mengerikan di sana. Dia tidak pandai melukis, dan itu masalahnya, makhluk yang ia ciptakan malah terlihat lebih menakiutkan. Tanduk, taring, dan asap dari tengkorak hancur.

Ibuku tidak berbakat dalam hal mendeskripsikan sesuatu dalam bentuk gambar. Tapi dia terlampau jago membuat kata-katanya seolah ikut hidup, menciptakan makhluk-makhluk dari kisahnya nyata. Kira-kira, sensasinya sama dengan gambar Kolonel, walau pria ini tidak lebih baik dalam mendongeng.

Kurasa Ibu belum pernah membuat cerita tentang makhluk bertanduk, atau karena dia cuma mendeskripsikan semua makhluk jahat dengan satu kata: monster. Mungkin, ada nama khusus yang hendak Kolonel berikan pada makhluk bertanduk ini. Hanya saja aku enggan bertanya demi kebaikan mimpi.

Sekarang, aku terpaku pada gambar-gambar baru Kolonel.

"Dewi Hart memberikan hadiah berupa dua buah belati kembar, yang satunya Noir berikan pada adiknya sebagai tanda dia akan kembali dalam beberapa tahun," kata Kolonel. "Sayangnya, yang kembali ke pulau adalah kabar bahwa Noir memiliki sihir yang mengutuk orang-orang Daratan."

"Kenapa semua cerita tentangnya tidak benar?" protesku. "Dia tidak punya alasan untuk dijauhi hanya karena pucat seperti hantu. Dia juga diberkati, bukan punya sihir gelap."

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Mataku mengerjap.

"Bagaimana kalau mereka benar. Noir terkutuk, pembawa sial, mengkhianati dewa?" Kolonel berucap dengan nada yang biasa, tapi mencekam.

"Leya tidak bilang seperti itu," sanggahku. "Tapi, benarkah?"

"Tidak tahu." Jawaban yang tidak memuaskan. "Itu tergantung dengan apa yang kau yakini dan percayai."

Memang, sih. Tetap saja, aku merasa janggal dan kasihan dengan Noir.

"Pada akhirnya, ketika musim mendingin dan salju jatuh, Fleur menemukan kakaknya dikejar pemburu. Dia menyaksikan sihir. Setelah beratus-ratus tahun dewa-dewa Calistian menyegel sihir, itu kembali dan lepas melalui tubuh kakaknya. Noir melindungi Fleur dengan sihir sehingga dia tidak mati terkena panah dan tombak. Sementara longsor salju menenggelamkan Noir, membuatnya menghilang, dan tak ada satu pun yang tersisa kecuali Fleur dan satu belati untuk bertarung."

"Apa? Penutup yang sama? Kupikir Anda akan memberi akhir berbeda," keluhku, menempelkan pipi pada meja. "Anda tidak lupa, kan? Fleur bertarung setelahnya. Leya mengatakan dia tidak pernah kembali pada orang-orang yang dulu mengelilinginya, dan dia dikenal dalam peperangan. Apakah itu sebabnya Anda juga bertarung?"

Kolonel memandangku dengan mata yang bersinar oleh bulan sekali lagi. Dia tak memberiku jawaban, malah balas bertanya. "Apa kau percaya Noir adalah sihir pertama yang lepas?"

"Tidak." Aku menuntun jari-jari ke lembar kertas buku. "Daratan yang dituju Noir mungkin tidak memiliki peri. Tapi aku yakin, Calistian memiliki satu dua Daratan penuh misteri tentang makhluk-makhluk itu. Lagi pula, Leya juga bilang sesuatu yang tidak mungkin Anda lupakan."

Aku mengambil perhatian Kolonel sebelum mengutarakan.

"Noir pergi ke tempat bernama Eithnidgar. Di sana, tempat para peri tinggal, Daratan lain yang tak kuketahui, telah terbuka sebuah gerbang untuk membebaskan makhluk-makhluk itu. Dan Noir pelakunya."

Kolonel memberi sedikit anggukan. "Kau pintar. Peri, sihir, monster, memang ada sebelum Noir ada. Bahkan manusia tinggal bersama mereka, di Eithnidgar, kerajaan tempat dewa Selias tinggal. Noir hanya alat untuk membuka kembali dan menyebarkan apa yang dewa tarik dari hadapan hampir seluruh Calistian."

Sesuatu yang buruk di mata manusia.

"Menurut Kolonel, manusia lain percaya?" tanyaku. "Atau itu hanya saya dan Ibu, dan Gauvelaire?"

Kolonel memandang kertas lagi, menggeleng. "Tidak tahu."

Sontak bibirku cemberut. "Kenapa? Apa yang sebenarnya Anda tahu? Kalau saja Ibu yang ditanyai, pasti dia tahu jawabannya."

Meski pria itu tersinggung, dia tak bisa menunjukkannya. Karena itu aku berani menyemburkan itu semudah berteriak.

"Katakanlah manusia lain tidak percaya. Mereka mungkin tahu, tapi tidak ingin karena sihir adalah sumber masalah. Kau beruntung sejak kecil diorientasikan pada hal-hal tersebut."

Senyum terbit di wajahku sebagai reaksi ledakan kepedihan. "Beruntung," aku mengulang. "Apakah mereka baik? Para peri itu?"

Kolonel menatapku, benar-benar menoleh hingga menyalurkan segala ekspresi ambigu yang terpampang. "Ada satu yang kutahu. Seorang pemuda yang memiliki pulau dan panglima. Dia megumpulkan anak-anak, memberi mereka rumah ...."

Aku menaikkan satu alis saat dia berhenti. "Dan?"

"Melindungi mereka dengan bertarung." Kolonel terdengar enggan mengatakannya. Tapi itu tetap meluncur.

Aku tidak merasa lebih baik meskipun tetap memertahankan senyum. Bangkit ke posisi sebelumnya, kuberikan dia kalimat spontan yang terlintas. "Kalau begitu, dia adalah peri terjahat bagi saya. Dia tidak menyelamatkan Ibu, dia tidak menyelamatkan saya."

Kolonel menggerakkan bibir, tapi tidak membentuk lengkungan yang sama sepertiku. Dia menutup buku, menghilangkan semua gambar, dan seolah-olah ceritanya pun ikut meleleh bersama waktu. "Kau berpikir terlalu banyak, terlalu luas," ucapnya. "Tidurlah."

Dia meletakkan pensil begitu saja. Lalu tanpa satu pun suara, dia membuka pintu, hampir meninggalkanku sebelum aku memanggil.

"Kolonel, Anda belum menjawab. Apakah itu benar? Anda dan Gauvelaire lain ada di peperangan sebab Fleur melakukannya?" tanyaku. Dia tidak membalikkan wajah, atau membalas. Hanya terpaku. "Menurut Leya, dia membunuh monster-monster yang lepas. Anda juga melawan makhluk seperti itu?"

Akhirnya, dia berbalik. "Lebih sedikit kau tahu tentang mereka, lebih banyak harapanmu untuk hidup. Rasa penasaran akan membakarmu, Anna, meskipun kau sekarang Gauvelaire."

Hari itu, Kolonel tidak tahu. Aku masih mengingat kata-katanya dan dongeng si kembar tiap malam. Sesuatu yang menumbuhkan rasa percayaku pada eksistensi monster, tentang arti di balik nama Eithnidgar dan Gauvelaire.

「 Cruel & Lonely Shadows 」

E untuk Eithnidgar

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top