[22] Pencuri Takkan Lupa
"Kau punya tiga permintaan yang bisa kukabulkan. Sebutkanlah sebagai bentuk balas budiku."
⌞ B ⌝
TIGA tahun memperhatikan Gliffard bertarung dengan pedang-pedang kayu, aku mulai terbiasa dikucilkan di tengah-tengah latihan.
Lebih tepatnya, tidak ada yang memperbolehkanku naik ke arena. Jadi sementara para Gliffard asyik bertarung berpasangan, aku satu-satunya orang yang duduk di tepi, memandangi mereka dengan kagum. Bukan hanya Ren yang membuat mataku dipenuhi binar iri. Semua, bahkan Luca.
Para Frey cerewet mengatakan bahwa tugasku bukanlah bertarung, tapi mencuri. Jadi untuk apa repot-repot berlatih kalau aku bisa merebahkan diri sebelum misi selanjutnya? Bagi sang raja, label prajurit bisa disematkan pada siapa saja yang berani melakukan sesuatu baginya, dan itulah aku. Mencuri, membawa pulang darah sesama kaumku di dalam vial-vial bening. Kuakui pekerjaanku memang berisiko lebih tinggi dari para Gliffard, sebab sekali saja aku tertangkap, aku akan mampus, aku takkan bisa lari atau menyerang.
Hari ini, selain gravitasi para Penarik, semua latihan diliburkan. Hanya ada aku, Luca, Pat, si kembar, Miki, dan Ren di lapangan dekat pantai. Seperti biasa, aku hanya memastikan tidak ada korban di antara orang-orang yang bertarung. Kebetulan saja Patricia hendak berduel dengan Ren sehingga kini aku tidak sendiri menonton.
Pertarungan sudah berlangsung sejak lima menit lalu. Tangan kosong, tapi pukulan yang menyebabkan memar dilegalkan. Patricia ahli dalam pertarungan sejenis ini, tapi Ren bukanlah tandingan bagi siapa pun. Dia murid terkuat, meski hanya seorang Gliffard Pendengar. Satu kali pernah aku bertanya pada Kai, kenapa Ren bisa jadi sekuat itu padahal dia termasuk jenis yang ... em, tidak spesial-spesial amat atau (maaf) lemah?
"Dia punya gaya bertarung yang mendarah daging," jawab Kai. "Kita hanya tidak tahu siapa yang mengajarinya."
Patricia mengerang saat punggungnya menubruk tanah.
"Kau kalah," kata Ren. "Harus puas dengan ini."
"Enak saja!" Patricia mencoba trik menjatuhkan kaki lawannya yang masih berdiri, tapi Ren memanfaatkan telinga tajamnya untuk memprediksi hal tersebut. "Aah! Menyebalkan."
Kami para penonton tertawa.
Aku bangkit untuk membantu si cantik garang kami bangkit sebelum dia benar-benar kotor di atas tanah. "Itu lumayan," kataku. "Lebih lama dari beberapa pertarungan sebelumnya."
"Benarkah?" Matanya yang haus pujian muncul.
"Nggak. Kau tidak berkembang." Dan Ren menghancurkannya sebelum aku setuju dengan Pat. Pemuda itu menepuk-nepuk kaki pucatnya, lalu menjejalkannya kembali ke dalam sepatu bot. "Katamu kau ingin jadi penyerang. Tetapi kau hanya mengulur-ulur waktu. Pertahananmu juga tidak ada bedanya, mudah ditembus." Kemudian, dia melangkah pergi. "Nanti, aku kembali."
Patricia menggerutu kembali. Dia menjatuhkan diri di batang pohon tumbang bersama Miki, merengut di samping temannya.
"Ren makin mirip pamanmu, Anna," komentar Cal. Dia duduk di bawah sebuah batu besar bersama kembar satunya. "Keras, dingin, tapi untungnya tidak membentak."
Wim terkekeh. "Mengingatkanku saat Tuan Kai menggerutu soal bagaimana kita bercanda di tes gravitasi."
"Oh," Luca mendesah. "Itu kenangan buruk."
Luca malang. Dia berkembang, tentu saja. Meski lambat tapi kami yakin dia bisa jadi Penarik hebat suatu saat nanti. Lagi pula kalau dia tidak terlalu pengecut terhadap wajah-wajah seram para monster, kekuatan bertarungnya bisa menyamai si kembar. Itu poin plus yang meloloskannya dari penilaian buruk Kai.
Aku kembali ke sampingnya, melingkarkan tanganku di kedua bahu kecil itu. "Bagaimana latihanmu pagi tadi? Baik?"
"Agak mengecewakan," ucap Luca, lesu dalam sekejap. "Tuan bilang aku tidak bisa seperti ini terus atau aku akan dilarang keluar pulau selama satu tahun."
Aku menghela napas setelah Patricia menyahut. "Pamanmu itu, Anna, kalau kau tidak ada, dia jadi seenaknya, ya?"
"Itu, kan, tugasnya sebagai mentor." Namun, aku juga tidak ada hak melarang Kai bersikap keras pada siapa pun yang dirasanya kurang memuaskan. Aku cukup tahu diri untuk membiarkannya, dan bergerak di belakang untuk menghibur anak-anak yang baru kena damprat. Seperti Luca. Lagi pula, entah para Gliffard sadar atau gengsi, mereka seharusnya tahu Kai sungguh menyayangi mereka. Alasan mengapa Kai akan mengurung Luca di pulau kalau dia tidak berkembang pastinya karena dia tidak ingin Luca cepat terbunuh.
"Bagaimana kalau kau mencobanya di depan kami?" usul Miki.
"Tidak!" Respons yang cepat, Luca. "Kalian akan tertawa."
"Kan, kami bukan Tuan Kai," tambah Wim.
"Karena itulah!"
"Ayo, Luca. Kami pasti bisa menilaimu lebih baik daripada Tuan."
"Bagaimana kalau aku lari sekarang ke tempat Ren dan memesan jeruk dingin? Selama itu, kau harus menunjukkannya."
"Ide bagus, Cal."
"Tidak ada salahnya dicoba. Toh, ada Anna. Dia bisa membantu."
"Kalian semua jahat-jahat!" kata Luca. Wajahnya kini semerah stroberi. Mata hijaunya dilapisi air yang berkilau di bawah sinar matahari musim panas. "Sudahlah. Kemampuanku masih kayak sampah. Aku harus banyak berlatih dengan pedang saja, dengan begitu Tuan Kai takkan tega mengurungku di pulau."
Kuletakkan jari telunjuk di depan bibir, menghalangi protes apa pun yang hendak keluar dari mulut teman-temanku. Kami setia dan selalu satu, tapi batasan harus ada jika setengah dari kami memiliki mulut pedas, blak-blakan, dan asal ceplas-ceplos.
Sejak pesta penyambutan selesai, si kembar mendadak mendekatiku, yang sudah didekati lebih dulu oleh Patricia. Tidak menghenrankan atau mengganggu, sebab kedua saudara itu punya selera main-main yang bisa menghiburku. Miki bergabung sebab dia selalu ditarik Pat, dan aku harus menjaga Luca hampir setiap hari atau perundungan akan datang. Syukurlah selagi dia berada di sekitar kelompok aneh ini, tak ada lagi yang berani mendekatinya. Ren? Entahlah. Dia bergabung dengan kami begitu saja, masuk tanpa undangan, tapi anehnya kami nyaman dengan keadaan pemuda pendiam itu.
Seharusnya kami tak pernah cocok sehingga tanpa sadar membagikan simpati satu sama lain. Mereka mungkin tidak sadar karena mereka adalah Gliffard, anak-anak yang punya pengalaman traumatis. Namun, selagi aku masih bertumbuh layaknya gadis manusia normal, aku bisa memahami kondisi aneh yang menyelubungi kami. Jadi, yah, seperti itulah tujuh orang yang saling terikat ini.
"Ada yang bilang jeruk dingin tadi?" Kedatangan Ren mengejutkan kami. Satu hal yang kami tak sukai dari Ren, pemuda itu terlalu sunyi. Langkahnya tak terdengar, keberadaannya sulit disadari. Syukurlah kali ini dia memamerkan keranjang yang bisa kami ketahui isinya.
Patricia memekik dan merebut keranjang. Segera setelah dia meletakkan itu di tanah, kami mengerubunginya dalam sekejap. "Jeruk!" Pat berseru ketika dia mendapatkan sebotol jeruk dingin. "Aku akan melakukan apa pun demi mendapat jeruk khusus dari dapur."
"Ini dari Tuan Kai." Ren ikut duduk sehabis mencomot satu kue kering dan jeruk. "Energi untuk nanti malam."
Luca menaikkan kepala mendadak. "Oh. Anna, malam ini kau pergi lagi?"
"Uh-uh," jawabku. Ini topik yang agak sering kuhindari. Tidak ada yang tahu apa alasan aku sering keluar malam-malam, entah memata-matai, melacak sesuatu, atau berpatroli. Ketiga-tiganya bukan opsi sebab jawabannya tidak ada di sana.
Tiada Gliffard yang tahu aku pergi ke luar demi mencari konsumsi bagi tuan tersayang mereka, Aurelian. Kecuali Kai, Austin, dan Letnan, aku tidak diperbolehkan memberitahu siapa pun, dan entah dengan alasan apa aku masih mengunci mulut sampai saat ini. Aku sudah mewanti-wanti salah satu Gliffard Pendengar dan Patricia bisa mengetahui dengan cara licik, alias menggunakan kekuatan mereka sebagai Gliffard. Tetapi tidak. Mereka tetap bertindak polos, dan yakinlah Gliffard bukan anak-anak yang mampu berakting di saat hiperaktivitas menghantui hidup mereka.
Sebelum Patricia atau si kembar mulai bertanya ini-itu, aku menyela. "Ada makanan yang kalian inginkan? Aku bisa sedikit usil."
"Memangnya ada toko kue yang buka di jam-jam kau berangkat?" Semua tertawa mendengar perkataan Luca.
"Memang tidak. Tapi siapa tahu dapur penduduk punya persediaan untuk kita."
"Kau ini, memang seperti rumor." Patricia mendorong kepalaku dengan dua jari, hampir menjatuhkan seluruh jus ke wajahku. "Kecil, lemah, tapi licik."
Aku terkekeh selagi mengganti pembicaraan. Kuakui julukan itu benar. Aku kecil, lemah, tapi kepalaku selalu terisi oleh ide-ide sinting tiap harinya. Tetapi tiga tahun lalu, seseorang menyebutku pendosa sampai ingin memotong tanganku. Kini julukan itu semata-mata bergentayang di punggung, menggodaku dengan seribu keraguan.
Posisi punggung selalu berarti mudah dilupakan, tapi lain cerita jika seluruh ingatanku tidak pernah mengabur.
***
Gliffard Pengoyak Ruang adalah pengendali eclipse. Salah satu dari jenis ini biasanya akan melemparku ke luar pulau lalu menjemput kembali. Kali ini dia adalah seorang gadis tukang tidur dari kamar barak sebelah. Matanya dikelilingi celak tebal, yang anehnya seharian bisa luput dari pandangan Kai.
Gadis itu menguap saat dia berhasil memindahkanku dan kudaku ke seberang pulau, sementara aku sibuk menahan mual. "Jam satu pagi, ya? Awas kalau kau lama-lama di sana."
"Yeah." Aku menaiki kuda tinggi yang biasa kugunakan untuk pulang-pergi. Dia meringkik kecil, seolah memberi tanda bahwa dia siap meluncur kapan pun. "Aku malah khawatir kau yang akan tidur manis sampai pagi. Sampai jumpa."
Kutinggalkan gadis itu mengggerutu. Ada baiknya memeriksa apakah dia benar-bena rkembali atau malah tidur di pantai Pracia. Tetapi aku belum pernah terlalu khawatir pada Pengoyak Ruang. Di mana pun mereka berada, bahkan saat cengkeraman monster melilit tubuh, mereka memiliki kesempatan lari yang sangat besar.
Desingan di kepalaku muncul tanpa permisi. Kau pergi lebih cepat. Suara kakek Jeremiah mulai menemani perjalananku. Kenapa?
Ya, selamat malam juga, kakek tersayang. Apa ada masalah jika aku pergi satu jam lebih cepat dari waktu yang biasa?
Aneh, komentar Jeremiah. Aku memang tidak bisa membaca pikiranmu, Anna, tapi aku memegang seluruh memorimu yang memuat berbagai rencana gila.
Makasih, tapi kau tidak perlu tahu kali ini.
Aku memacu kuda lebih cepat, memaksa angin untuk menutup telingaku hingga suara Jeremiah menjadi samar. Selain para Gliffard, kakek itulah yang belum pernah berubah sedikit pun. Kebiasaannya masih sama: mengubah memori kelam seseorang menjadi mimpi burukku. Kebanyakan adalah memori acak para Gliffard, yang karena terlalu banyak jumlahnya, jadi bisa kusingkirkan.
Lain dari para Gliffard, aku paling benci jika memori Kai muncul. Selalu ibuku, selalu Anna kecil, selalu gelombang besar yang menghantam. Jeremiah berniat melatihku dengan terapi kejut agar aku tahu di dunia ini aku masih lebih beruntung daripada mereka, ya?
Jangan terlalu bertanya-tanya, Jeremiah, kataku saat waktu dimakan laju cepat kuda dan sebuah desa tertangkap oleh mata. Berharaplah bahwa aku bekerja lebih cepat karena tidak sabar menanti mimpi buruk darimu.
Aku membayangkan bagaimana dia duduk di atas kayu T, terbahak-bahak sambil memikirkan pembalasan apa yang cocok untuk sifatku yang satu ini. Aku gemar menantang, benar, tapi bukan selalu berarti aku tak kuat menahan risiko.
Kudaku memelankan langkah saat aku menarik tali kekang. Bersama-sama, kami memandang atap-atap rumah yang berimpitan di sana. Jalan masuk mudah kulalui jika aku menyamar di balik semak, menyelinap saat beberapa orang yang berjaga terkecoh oleh pergerakan di semak yang sengaja kubuat.
Jadi aku turun, mengikat kuda di dalam pepohonan, lalu merogoh saku-saku untuk memastikan apa semua peralatan--dan benda-benda menenagkan--ada di sana. Yep, semua siap. Vial di kantong sebelah kiri pinggang, jarum dan alat medis di samping rusuk. Dan di antara lipatan bawahanku, belati Gauvelaire terselip rapi.
Aku menepuk lengan sekali sebagai tanda kesiapan kali ini. Setelah itu aku langsung merunduk mendekati semak-semak di padang yang membatasi desa dengan pepohonan. Kami bersentuhan dan suaranya kasar di telingaku, cukup keras untuk menarik mata orang kemari. Aku menajamkan telinga dan berhenti bergerak saat mendengar orang ribut-ribut di kejauhan. Belati terasa berat tiba-tiba, tapi bukan karena rasa takut yang tiba-tiba menembus kepala. Aku malah sangat bersemangat kali ini. Aku tidak keberatan berpose bagai anak rusa waspada, menanti penjaga khawatir.
Coba dongakkan kepalamu sedikit. Aku tidak sadar semua kembali hening sebelum Jeremiah menegur.
Nanti aku tertangkap.
Ya, tapi kau sudah menunggu selama beberapa saat.
Dia tidak salah, hanya sedikit terburu-buru. Mungkin keheningan disebabkan oleh orang-orang yang juga ahli menyergap dalam diam.
Namun, lama-kelamaan Jeremiah sepenuhnya benar. Menggeram heran, aku menyembulkan kepala dari danau rumput hingga mendapati aku sudah dekat dengan gerbang desa. Kosong. Tidak seperti harapan.
Jangan, itu jebakan, peringat Jeremiah. Dia melihat memoriku, apa yang kulihat pasti akan dilihatnya pula.
Aku tidak terlalu yakin soal jebakan. Ini desa yang paling sedikit pernah kukunjungi lima kali dalam setahun. Di tahun ketiga ini, aku baru mengunjunginya tiga kali. Mengesalkan jika mereka tahu ada seorang pencuri darah sekarang. Ke mana saja mereka kemarin? Kenapa anak-anak itu baru bilang ada yang melukai jari mereka sekarang?
Pencuri darah. Itu bukan jenis pekerjaan yang bakal diekspektasikan ada. Jika orang-orang Pracia memang kelewat realistis sampai tidak menyadari ada monster pemakan manusia di Ribelin, pasti mereka akan mengira luka yang kusebabkan di jari mereka hanya luka gores saat tidur. Masa, cuma gara-gara itu mereka heboh sampai menyimpan jebakan? Lagi pula aku ini sempurna dalam menutupi jejak.
Jadi aku mendengus, menampakkan wujud di tengah padang rumput tinggi, lalu berjinjit-jinjit ke dalam tembok gerbang. Lihat! bentakku pada Jeremiah. Kau terlalu paranoid.
Kalau aku jadi kau, hal pertama yang terlintas adalah ini janggal. Kalau kau tertangkap jangan minta tolong padaku.
Jeremiah bukan hanya sekadar tidak bisa membaca pikiran. Apa pun rona perasaan yang timbul di hatiku, tidak pernah menggelayuti dirinya juga. Artinya, ketika aku merasa janggal, dia pasti masih menganggapku nekat.
Malas menjelaskan lebih lanjut pada Jeremiah, kuambil langkah ke dalam bayang-bayang rumah. Jalanan terlalu sepi hingga aku bisa berjalan di tengahnya kalau punya nyali sebesar Pat.
Biasanya, aku memanjati setiap jendela lantai atas, menciptakan sedikit celah hingga sosok anak-anak tidur tertangkap oleh mata. Itu merepotkan. Beruntunglah aku sudah mencatat semua rumah yang memiliki anak-anak remaja di dalamnya. Aku tinggal memilih, bebas menentukan apa aku akan main-main lebih dulu atau cepat beraksi.
Kupanjati dinding salah satu rumah, mencari celah pada pipa yang dicat sewarna dengan awan mendung. Pipa itu tebal, menempel di dinding dan hebatnya dekat dengan sebuah jendela. Di Lost Children, aku memang dijauhkan dari pertarungan sebisa mungkin, tetapi, ketika suatu hari aku menemukan bahwa memanjat adalah keahlian yang dibutuhkan seorang pencuri, maka Kai mengajariku. Percayalah tebing di pulau lebih ekstrem daripada rumah dua tingkat.
Lelah susah payah menggantung di pipa, aku menarik tali dengan ujung kait di luar kantung celana. Kulemparkan benda itu hingga terpasang dengan bingkai jendela bagian kiri, cocok menahanku dari sebelah kanan. Aku berayun, menahan diri dengan menempelkan kaki di dinding, setelah itu, pekerjaan paling menyenangkan dimulai.
Jendela terbuka dengan mudah. Hanya butuh satu dua trik menggunakan ujung paku dan sebuah pisau, gerendel kayu di dalam sudah terbuka. Angin menerbangkan jendela pelan hingga seorang gadis tertidur nampak di samping jendela. Aku melempar diri ke bingkai jendela yang tebal, cukup dijejaki tanpa membuatnya jatuh.
Sudah. Sampai situ saja bagian menyenangkannya. Entah kenapa aku suka membuka paksa sebuah penghalang. Saat melakukannya, bayangan aku membuka rahasia orang yang paling kubenci saat ini terlihat mudah.
Aku mengerang. Wah, bagian tidak enak datang.
Semangat, ucap Jeremiah.
Aku menarik cairan pembersih dari saku sebelah kanan, menumpahkan sedikit airnya ke sebuah kain. Aku menarik satu jemari si gadis yang tertidur. Dia menawan, sebetulnya, dan bisa jadi lebih tua setahun dariku. Enam belas.
Umur yang disukai para monster terutama vampir ... atau jenis penghisap darah lainnya.
Kutepis pikiran macam-macam sembari mengoleskan kain ke permukaan jarinya yang indah. Kuharap dia tidak mendapat nasib yang lebih buruk ketimbang menjadi salah satu makanan seorang peri.
Ketika dua menit diisi dengan keheningan dan pandangan buram, belatiku kembali menarik diriku ke bawah. Seakan-akan itu menyadarkanku bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk mengeluh atau bersedih.
Aku merogoh jarum dari saku, juga vial. Kutempatkan vial di bawah jari telunjuk yang kupegang, dan pelan-pelan kutusukkan jarum ke sana. Segera darah mengalir, mewarnai vial dengan merah gelap. Setengah vial kecil ini akan terisi dan, aku tidak tahu bagaimana porsi tersebut dapat mengenyangkan tuanku.
Belati semakin mendorongku dengan gravitasi dan bobotnya, jadi kutarik benda itu keluar dari lipatan baju. Raut kesal baru ingin kulemparkan saat pemandangan bilah belati yang tersiram cahaya bulan menjadi pusat fokusku.
Masih indah, seperti dulu, celetuk Jeremiah.
Aku balas setuju. Jika sejarah Gauvelaire memang benar, cukupkah aku hanya terkagum-kagum mendapati benda ini belum berkarat?
Kau meragukannya?
Tidak. Hanya saja .... Aku menghentikan komunikasi. Ada perbedaan saat di mana pikiranku terfokus pada Jeremiah, dan ketika aku berpikir biasa. Kuputuskan dia takkan mendengar yang satu ini atau kepalaku segera meledak karena ceramahnya.
Tentu saja aku masih percaya pada sejarah Gauvelaire. Fleur dan Noir. Walau usia tidak bisa dihentikan, kepercayaanku tidak memudar. Aku hanya jadi sering memikirkan hal-hal masuk akal. Seperti, apa motif Noir pergi dan membuka perbatasan antara manusia dan monster? Kenapa Noir tidak ditemukan? Ke mana dia? Bagaimana dengan Fleur? Cewek itu tiba-tiba saja memusuhi kakaknya dan berubah. Sempat terpikir itu masalah remaja. Namun, aku tidak yakin semua asumsi logis yang kubuat bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kusimpan kembali belati. Bukan apa-apa.
Kau mulai main rahasia, ya, Anna, protes si kakek. Ayo ngobrol dengan keluargamu sesekali. Bagaimana? Kau masih memimpikan hari itu―saat dia mendadak menakutkan?
Kurasa, sesekali berbincang dengan Jeremiah di luar ruang putih bukan masalah. Aku bersandar pada kusen jendela, menikmati tamparan angin yang menerbangkan sedikit rambutku yang tidak dikepang. Ya.
Bagaimana rasanya?
Aneh, menyebalkan. Sebab kau mengaku mimpi itu bukan kirimanmu, tapi karena otakku sendiri yang mengingatnya.
Jeremiah bergumam. Jangan terlalu membencinya.
Kuketuk-ketukkan kuku pada kayu yang membingkai jendela. Seharusnya dia tahu kalau itu tanda kejengkelan. Dia, kan, monster. Kenapa aku tidak boleh membencinya?
Karena suatu hari nanti, kau akan berterima kasih telah mengetahui sisi gelapnya.
Jeremiah, kau tidak mengerti apa-apa. Kau sendiri yang bilang kau tidak bisa membaca pikiranku―
Ya, memang, selanya. Tapi seseorang sepertiku kadang tidak butuh kemampuan Gliffard untuk mengetahui jalan pikiranmu.
Kupikir ini akan menjadi pembicaraan yang santai dan menyenangkan. Ternyata aku hanya mengisi penantian dan kekosongan dengan ocehan tidak penting seorang kakek-kakek nan kuno. Betapapun aku mengakui bahwa dia memiliki darah Gauvelaire dan menerima sentuhan sihir, kadang-kadang aku tidak bisa menerima cara dan perkataannya.
Bocah itu, memang punya tampang menyenangkan, lanjut Jeremiah. Kapan kau tidak pernah terpesona setelah mengetahui jati dirinya, Anna?
Kutolak sifat malu-malu yang mencoba membakar telinga. Masa lalu. Dan tolong ralat, hari peresmian anggota bukan hari di mana jati dirinya terbuka seratus persen.
Terserah. Tapi aku lebih suka kau memandangnya dengan cara naif seperti itu, Anna. Perpaduan antara rasa ingin mencekik dan kagum. Sekarang? Duh, aku sendiri naik pitam menyaksikanmu dipenuhi niat membunuh selama dua tahun.
Aku memang gemas ingin membunuhnya sejak-
Sebuah bunyi familier menggebrak pembicaraan kami. Alarm dan seruan orang-orang dewasa berkumandang dari arah gerbang, dan bisa kudengar beberapa bunyi benda seperti pentungan mendampingi.
"Sial."
Cepat-cepat aku mengelap tangan si gadis dan menutup vial, menyimpan segala hal yang kubutuhkan untuk bekerja di dalam tempatnya masing-masing. Aku tidak ambil pusing soal jendela yang terbuka setelah meluncur turun, lalu menggulung pengait asal-asalan.
Cepat, sembunyi, konyol! bentak Jeremiah. Jangan lari atau mereka akan menemukanmu!
Tidak. Kalau orang-orang itu memang memburuku, akan lebih baik segera keluar daripada bermain petak umpet di dalam wilayah mereka. Sama saja menjebak diri sendiri.
Suara-suara itu semakin bergelora, membangunkan tiap rumah dan menyebabkan jerit memecah segalanya. Pentungan kembali dibunyikan, sementara kakiku bukannya menjauh. Pada akhirnya aku menyerah bergerak ketika suara-suara bising mereka telah sampai pada tikungan di depanku. Kurang dari dua detik, mereka akan menangkapku, menyiksaku, mengangkat tanganku, karena aku sudah mengambil darah anak-anak mereka bahkan hanya untuk sebuah vial kecil. Lari, bodoh. Berputar, tolol! Jeremiah sudah memaki dan kami sama-sama tahu kakiku sanggup melakukannya. Aku hanya digemparkan oleh trauma tiga tahun lalu sampai memori terburuk pun tidak bisa menandinginya.
Tetapi alih-alih semua bayangan kerenku menjadi hidup, sebuah tangan merenggutku ke dalam kegelapan celah di antara dua bangunan. Bau kematian tercium pekat, dan mataku seakan masih bisa mendapat cahaya sebab aku bisa melihat bayang-bayang maut menjilati sepatuku. Kemudian, muncullah suara dari orang terakhir yang ingin kutemui malam ini.
"Diam, mereka tidak mencarimu." Atlas mendorongku ke balik punggungnya. Dia menjadikanku dinding, menyamarkan sosokku dari obor para penduduk ketika mereka lewat.
"Diharapkan mengungsi segera!" teriak salah satunya. "Perbatasan runtuh! Perbatasan jatuh! Militer dalam perjalanan pulang dan kita harus mundur serapat mungkin ke Rimegarde!"
"He. Selesaikan pengumuman ini agar kita bisa pergi besok pagi!"
"Awasi anak-anak. Cepat. Cepat!"
Bahkan di dalam kepanikan, otakku mampu mencernanya. Perbatasan ... sudah hancur?
Apa maksudnya?
"Anna, apa yang kau lakukan di sini?" Atlas berbisik tajam sembari memutar tubuh. Keributan pengumuman sudah berlalu, kini hanya ada suaranya dan riuh samar-samar.
Atlas nampak sama seperti dua tahun lalu. Hitam legam, mengkilat, figur sejati seorang prajurit maut. Pakaiannya licin tak bernoda, dengan mantel sewarna rambutnya membungkus tubuhnya. Akan tetapi, kehadiran sebuah sabit menekan nyaliku. Energi yang dihasilkan sabit itu bukan main-main. Kurasa hanya dengan menyentuh permukaannya saja sudah bisa membuatku ditandai oleh kematian.
"Bukan urusanmu," kataku, berusaha ketus. "Apa yang orang-orang itu lakukan dan apa yang kau sendiri lakukan?"
"Tidak sengaja melihatmu masuk ke sini. Dan aku tak menyesal," katanya. Dia mengintip gelisah ke belakang sana, lalu kembali padaku dengan wajah pasrah. "Kau seharusnya tidak keluar dari pulau sekarang. Terlalu rentan."
"Apa ada hubungannya dengan sorak-sorai mereka?"
"Ya. Pracia sudah hancur. Tentara kalah. Kau tahu apa artinya?"
"Monster bisa kemari?" Aku mengerutkan kening. "Tunggu. Pertahanan Pracia betul-betul rata sama sekali?"
"Kemungkinan terburuk adalah monster. Kemungkinan besar yang tak kalah merugikan adalah invasi besar-besaran. Kau seharusnya pulang, Anna. Kecuali kau ingin mengikuti orang-orang di desa dan kota dekat perbatasan memaksa masuk ke Rimegarde."
Rasanya ada yang janggal. "Saudara-saudaraku," aku bergumam. "Aku harus memperingatkan mereka."
Atlas tidak percaya aku memutuskan sesuatu yang berlainan dari cepat-cepat pulang dan mengamankan diri. "Teman-temanmu dari panti asuhan?"
"Ya. Aku harus memberitahu mereka untuk cepat-cepat pulang ke Rimegarde. Sekarang lebih baik."
Tadinya ingin kugunakan sisa waktu yang cukup banyak sebelum pulang untuk mencari camilan untuk Pat, tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat. Semua panik, termasuk aku. Jika kondisi Pracia sudah hampir dikalahkan, maka lebih baik teman-temanku berada di Rimegarde. Dari sana mereka pasti bisa diamankan oleh keluarga Gauvelaire yang tersisa. Sebrangi lautan, cari pulau yang aman, dan lain-lain. Banyak cara jika mereka ada di pusat pemerintahan manusia sebab aku takkan bisa berbuat apa-apa selama terikat dengan Lost Children.
Tapi Atlas beranggapan lain. "Anna. Jangan sinting. Kau harus pulang ke pulau."
"Lepas!" Kutepis jemarinya di lenganku. "Aku hanya ingin memberitahu mereka."
"Tidak di saat Aurelian sudah menapaki pulau itu, Gauvelaire." Nama akhirku terasa dingin di lidah sang eksekutor. Meski dia baik, kurasa ini bukan momen yang tepat untuk beramah-tamah setelah dua tahun berpisah.
Aku mengerjap. "Aurelian ... sudah kembali?"
Aku benci bocah itu tapi kali ini kau harus mendengarnya, ujar Jeremiah.
"Yakinlah dia akan marah kalau kau tidak pulang."
"Tapi―"
"Urus soal teman-temanmu saat kalian bicara berdua," potong Atlas. "Sekarang, pergilah. Seratus persen percaya Aurelian punya rencana agar kalian semua selamat."
Aku masih ingin membantah, mengatakan bahwa Aurelian hanya akan memperlambatku untuk menjaga teman-temanku di rumah pemberiannya. Saat kutelisik mata Atlas, memperhatikan dengan saksama bagaimana kilat di permukaan hitamnya berkerut tegas, aku langsung paham. Ini bukan sekadar permainanku. Ini juga menyangkut beberapa nyawa penting yang kebetulan tidak dekat denganku.
"Oke," kataku, menyerah.
"Bagus. Pergi!"
Aku tahu ragu-ragu di saat kakiku sudah beranjak adalah kesalahan. Namun, aku berbalik hanya sekada runtuk mengingat fakta bahwa kami pernah menjadi sesuatu sebelum ini.
"Jangan katakan apa pun." Dia tahu apa maksudku berbalik. "Bahkan terima kasih. Sampai jumpa, Anna."
Dia mundur ke dalam celah, lalu menghilang saat mataku berkedip.
Ayo, pergi! Kenapa harus menunggu orang yang jelas akan membawamu dalam masalah--
Ya, ya! Aku juga ingin beranjak sekarang!
Mudah saja keluar dari sini saat semua orang berhamburan karena panik. Mereka saling bertatapan, menghampiri, lalu ujung-ujungnya pergi ke arah yang berlainan seakan barang-barang mereka ada di mana-mana.
Begitu berhasil keluar dari desa yang mendadak penuh, kuraih punggung kudaku. Dengan susah payah tubuh pendekku berhasil naik. Dan dalam sekejap, tanpa perlu menunggu hal yang mustahil terjadi--misalnya perubahan pikiran Atlas--aku memacu kuda menuju pulau. "Ayo, kawan," kataku. "Kali ini genting. Aku berharap banyak padamu."
Kudaku meringkik, dan tidak perlu disuruh lagi, dia membawaku melintasi hutan dalam waktu lima puluh menit.
***
Aku menyambar tangan si gadis Gliffard yang mengantuk tanpa turun dari kuda, bahkan menghentikan kecepatannya. Refleks gadis itu otomatis melawan candu kantuknya begitu dia sadar aku akan menyeretnya ke laut.
Kami tiba di pulau dengan eclipse memualkan. Untuk kali ini saja, aku rela membiarkan isi perutku diacak-acak sembari melompat dari punggung kuda dan berlari tergopoh-gopoh. Rerumputan tebal menandakan bahwa aku mendarat di dekat kastel, pas sekali.
"Hei!" seru si Gliffard marah. "Sebelum aku kesal, kau harus tahu kita ada pertemuan--Oh, kau sudah tahu, ya? Ya, baguslah--Tapi, siapa yang mau mengantar hewan ini? Hei! Anna!"
Aku meluncur secepat kudaku membawaku pulang. Keringat membanjiri tubuh meski malam ini terlampau berangin. Sempat terpikirkan untuk beristirahat di dua gerbang yang terbuka lebar, tapi tidak jadi, sebab melihat lampu-lampu di aula bawah menyala membuatku bergegas, tidak lagi mempertimbangkan apakah baiknya ada istirahat lebih dulu.
Kakiku mengeluarkan suara tap-tap nan hening. Taman kulewati, lorong dengan pilar-pilar terbuka kujejaki tanpa memperhatikan ukiran-ukiran indah yang hanya bisa kulihat sekali setahun. Aku merasa seperti mata-mata yang berhasil memasuki wilayah lawannya, tapi itu terdengar agak konyol, sebab pemilik pulau ini sudah kuanggap sebagai musuh.
Rem terdorong hingga tubuhku berhenti tepat sebelum pintu masuk yang diterobos cahaya menampilkan sosokku. Di dalam sana, tak ada yang bersuara kecuali satu orang. Dia sedang berpidato, aku sangat yakin sampai dia menyadari keberadaanku dari ujung lain aula.
"Kelihatannya manusia kita sudah kembali," kata Aurelian. "Masuklah. Kau diundang dan tepat waktu. Ada yang ingin kau katakan―atau jelaskan?"
「 Cruel & Lonely Shadows 」
B untuk Bergaude
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top