[21] Cerita Akhir Malam
"Konon, menjadi prajurit Langit sama dengan menjadi pion bagi mereka, bangsa yang setengah kekal, yang diberkati oleh Selias Agung setelah Noir menghilang di bawah salju. Kau akan mati, tidak peduli seberapa indah janji mereka padamu."
⌞ G ⌝
TAK kunjung mendengar jawabanku, dia mulai tertawa. Anggun, sekaligus terlatih layaknya bangsawan. "Bercanda. Keputusanmu mungkin tepat untuk mengikuti Aurelian dan tidak marah padanya. Ayo, berdirilah, Kecil."
Aku tidak menyukai caranya memanggilku, sama seperti semua orang menaruh kata kecil di belakang namaku. Namun, aku tetap meraih tangannya yang terulur. Lagi-lagi dingin terasa meskipun dia memakai sarung tangan halus.
"Kau―"
Sesuatu melesat begitu cepat di dekat telingaku, memotong ucapan yang tidak akan pernah kuingat lagi. Setelah melaluiku begitu saja, sesuatu itu menuju kepada Atlas, yang syukurnya langsung ditangkap oleh pemuda itu.
Pisau. Aku melihat pisau yang baru terbang cepat di antara jari-jari Atlas.
"Atlas, pembunuh peliharaan Azuri favoritku. Lama tidak berjumpa, apa kabarmu?" Itu Aurelian. Aku terpaku di tempat ketika dia berjalan melewatiku dan langsung berhadapan dengan Atlas. Entah ke mana mahkota emasnya, tapi dia masih terlihat begitu agung.
Aurelian mendekatkan wajahnya ke samping kepala Atlas, sedangkan satu tangannya meraih gagang pedang hitam itu. Dia mencabut pedang, lalu menaruh bilah mengkilapnya ke leher sang pemilik. "Apa kau datang kemari untuk menjelaskan Dewan mana yang membuat banyak monster mengganggu kami, dari Rimegarde sampai pulauku? Atau malah mereka semua bekerja sama kali ini?"
Atlas hanya mengembangkan senyumnya yang terasa palsu kali ini. "Maafkan aku, Yang Mulia. Tapi aku tidak menerima perintah apa pun mengenai itu."
Bersiaplah lari, aku bisa merasakan suara Jeremiah berbisik di benak. Terbesit sekelebat bayangannya sedang duduk di atas kayu dan menonton. Kau tahu? Mereka bisa saling cakar sekarang, merobek sinar dan bayangan, lalu berubah menjadi sosok-sosok keji tak pandang bulu. Dan kupastikan kau tak akan selamat jika terus terpaku pada bocah ular itu, Nak.
Berisik, Kakek! aku menghardik agar suaranya berhenti.
Atlas bisa saja merebut pedangnya, atau mencoba cara serangan sederhana menggunakan pisau. Dia tidak terlihat seperti amatir yang takut pada Aurelian. Karena perlahan-lahan dia mengaburkan segala sisi manis dan sopannya, memperlihatkan bayangan gelap dari belakang tubuhnya. Baju putih itu tidak terasa terang lagi ketika tangannya mulai menggenggam pisau dengan benar. Instingku berbicara, mengatakan kalau orang ini lebih berbahaya, lebih brutal, lebih berkuasa.
Sedikit saja tindakan yang berubah, akan ada kehancuran.
Tapi secara tidak terduga Aurelian melempar bilah tajam bergagang hitam itu ke belakang sampai tercebur di kolam gelap. "Bercanda. Aku tahu itu pedang palsu."
Atlas tidak marah. "Kalau itu asli?"
"Aku yakin basah sedikit untuk mengambil pedang bukan masalah buatmu," kata Aurelian. Dia menunjuk Kai yang ada jauh di belakang. "Ya sudah. Kalau kau tidak mau menjelaskan apa pun tentang beragam kesialan yang disebabkan para Dewan, kau pergi saja dengan Kai. Urusanmu pasti lebih beres dengannya."
"Terima kasih banyak, Yang Mulia. Senang bisa berkunjung dan melihat bunga barumu." Atlas melempar senyum sekali lagi sebelum berjalan melewatiku dan pergi dengan Kai.
Aurelian berdecak saat dia sudah menghilang. "Dasar, Dewan dan anak asuhnya sama saja."
Aku mencoba pergi dan mencerna apa saja yang kudapatkan dari percakapan itu. Sayang, Aurelian mengetahui apa yang ingin kulakukan. "Kabur dari raja dua kali bukan tindakan bijak," dia berkata, membuatku mematung dan menahan napas selama beberapa detik.
Aku memutar langkah dan mencoba menepis ketakutanku. "Kau pembohong yang andal."
Dia juga menatapku. "Lalu?"
"Lalu?" aku mengulang dengan geram. "Aku tidak marah padamu kalau kau mengatakan yang sebenarnya saat sebelum hari ini. Aku marah karena kau berbohong, lalu menceritakan tentang Tuan Matahari seakan dia itu orang lain. Lihainya."
Aurelian mengabaikan, malah menunduk dan pada satu detik aku tahu dia tengah mengamati kakiku. "Kekuatan seorang Penyembuh amatir takkan berperan banyak, Gauvelaire." Ditunjuknya pinggiran jembatan. "Duduk."
Aku sadar dia akan mencoba trik sihir yang lebih berguna dari kekuatan Miki. Itu membuatku muak, ingin segera melarikan diri dari wajahnya, suaranya, pokoknya semua tentang pembohong tersebut. Alih-alih berhasil, Aurelian sadar bahwa aku punya kegesitan yang bagus, dan tiba-tiba saja dia ada di depan jalanku.
Aku memutar ulang kejadian waktu dia mencegatku sehabis mengoyak daging pemuda Ribelin. Tanpa suara, dia sudah berada dalam radar. Itukah yang dinamakan eclipse—teleportasi mereka?
"Aku sudah janji kita akan bicara empat mata." Nada lesu merambat ke seluruh ucapannya.
"Apa kau tidak punya kebiasaan minta maaf?"
Dia tersenyum kecil. "Kau tahu aku seperti apa. Ayo, Gauvelaire, akan kutunjukkan permintaan maaf yang lebih baik."
Kaitan jubah di bahunya terlepas dengan mudah, kain itu meluncur ke tanah karena tangan Aurelian rendah saat memegangnya. Kecepatan dan sikap tak tertebaknya membuatku sudah terbungkus jubah itu, tanpa tangan yang mampu bergerak bebas. Ini hangat, sampai-sampai aku lupa betapa dinginnya udara sebelum aku berada di dalam kain ini.
Kupandang dia dengan tatapan Kau-mau-apa-kali-ini yang galak, tapi tidak ada waktu mengoceh begitu dia menarikku ke atas pagar, lalu kami melompat ke arah kolam.
Setelah memikirkan bagaimana dia kekanakan, yang anehnya lebih cocok daripada tatapan menyedihkannya saat melihatku marah, aku bingung harus bersikap seperti apa. Dia gila, malam-malam ingin membuat flu menyerang dengan berenang di kolam dangkal. Aku terlalu takut, atau panik, hingga memeluk kedua tungkai. Aku berpikir itu akan memperlambat tubuhku masuk ke air walau tak sampai satu detik, bodoh memang. Apa lagi, itu berbahaya, tulang ekorku bisa menghantam bagian dasar kolam dan membuatku lumpuh.
Permintaan maaf apanya yang lebih baik?
Tetapi, aku tidak menemukan air di pakaian. Angin mendekapku, seruan seekor burung memekakkan telinga, dan aku merasakan udara berdenyar kuat di paru-paru.
Aku menukik menjauhi kastel, terbang di atas tubuh seekor ... entah apa nama burung ini. Aku tidak pernah melihat yang seperti ini di buku pendidikan.
Satu hal sederhana yang kuberikan ada berteriak. Tidak, aku tidak terlalu khawatir tentang ketinggian, masih lebih menakutkan tenggelam daripada terbang. Tetapi perbedaannya ada di sini: kalau kau mengajakku terbang dengan mesin yang baru dimiliki kemiliteran, aku akan senang sekali. Sedangkan kalau kau melemparku dari sebuah jembatan dan mendaratkanku di punggung seekor makhluk bersayap tanpa pengamanan, jangan heran kalau makian terucap.
Aku hampir terjengkang ke belakang kalau tangan Aurelian tidak memegang bahuku. "Kalem," katanya, melawan angin. "Ini seru! Coba lihat ke bawah!"
Aku tidak memikirkan drama "Tidak mau! Aku takut. Aaa!" atau semacamnya. Spontan sekaligus impulsif, aku langsung memandang ke arah yang dia tuju.
Kalau dia mengharapkan binar kagum di mataku, dia berhasil mendapatkannya. Kecuali kastel memang nampak suram seperti kali pertama aku melihatnya. Kini tempat itu seratus kali lebih bercahaya dari siang hari. Lampu-lampu tergantung di semua tempat, memberikan warna selayaknya emas. Kilau bertebaran seperti salju, tetapi meski warnanya mencolok dan tidak bervariasi, itu tidak membuat mataku sakit. Karena warna-warna yang sesungguhnya terlihat di halaman tempatku muncul.
Anak-anak tertawa, menari, menggemakan candaan. Seakan-akan hari ini bukan hari yang mendeklarasikan status mereka sebagai seorang prajurit. Seakan-akan itu bukanlah masalah.
Senyumku tidak kuat ditahan. Itu meledak bersama tawa kecil. "Kau merencanakan ini?"
"Tidak juga," sahut Aurelian. Aku melirik dia, dan itu sebuah kesalahan sebab dia langsung menampakkan seringaian. "Ide itu muncul tiba-tiba, seperti mukamu yang memerah."
Dia tidak salah, sebab aku tahu wajahku tengah memanas di tengah desingan angin. Tapi aku tergelak. "Lucu, Aurelian. Kau takkan bisa menggoda gadis mortal yang kesal seperti itu."
"Bukannya tidak bisa. Hanya disayangkan kau pandai menutupinya."
Aku kembali pada pemandangan di depan, sambil mengeratkan pegangan pada makhluk raksasa yang membawaku. Burung ini terbang dengan kecepatan normal, tidak cepat tidak lambat. Ada satu kesempatan di mana aku memikirkan makhluk ini akan mengkhianatiku, tapi yeah, kalau Aurelian serius ingin minta maaf, aku harus meyakinkan diri sendiri bahwa aku aman.
Aku melihat sekeliling pulau. Selain kastel, aku terkesan dengan air terjun dari puncak batu yang belum kulihat. Itu mengalir menuruni lereng dan bukit-bukit, lalu bermuara di laut. Aliran airnya terdengar semakin keras saat kami mendekatinya.
Di sebelah air terjun, mencuat sebuah tempat yang bisa dijejaki. Aku sempat menganggap kami akan mendarat di sana, tapi bagaimana caranya turun? Saat aku masih mengkhawatirkan persoalan itu, tak kusangka Aurelian mengendalikan si makhluk raksasa ke tempat itu.
"Bercanda, ya?" pekikku.
"Aku sering nongkrong di sana. Itu tempat yang menyenangkan." Aurelian memang tidak tertebak.
Si burung raksasa mendarat di sana, diikuti lompatan Aurelian. Dia menarik tanganku hingga cukup memungkinkan patah tulang terjadi jika dia tidak menangkapku. Dalam sekejap setelah kami mendarat, si burung pergi entah ke mana.
Aku melepaskan diri darinya, menjauh dan pura-pura melihat pemandangan di bawah. Namun, Aurelian memperhatikan sesuatu yang janggal. Caraku berjalan tidak lagi sama seperti saat pertama kali datang. Meski berkali-kali berusaha menyembunyikannya, aku tahu dia sudah sadar. Bahkan dari sudut mata saja bisa kupastikan dia sedang melihatku.
"Sini." Dia menunjuk tempat yang bisa kami jadikan tempat duduk, di dekat dinding tebing. "Ayolah, Gauvelaire. Aku tak mau menyeretmu."
Aku juga berpikir lebih baik sendiri daripada dipaksa, yang perlu dilakukan toh hanya duduk, lalu membiarkan dia bekerja. Begitu aku bersandar pada dinding tebing, dia berlutut di depanku, sesuatu yang belum pernah kubayangkan. Darah membasahi tangannya ketika perban merahku dilepaskan. Dengan hati-hati, dia menekan luka.
"Aw!"
"Aku harus mengingatkanmu untuk tidak lari-larian selama seminggu, Gauvelaire," ucapnya. Dia mengelap luka dengan sisa perban yang bersih, juga dengan kain jubahnya yang masih menutupi tubuhku.
"Apa yang ingin kau katakan padaku?" kataku, setelah mengingat bahwa pemuda ini pernah meminum darah seorang manusia. "Jelaskan."
"Entahlah." Lantas, dia mengunci mulut. Aku bisa yakin kepalanya menduduk seakan-akan dia fokus pada lukaku hanya sebuah alasan agar waktu yang terbuang semakin banyak. Dia belum ingin mengatakan apa-apa padaku, begitulah.
"Aurelian, kau tahu? Saat kau membiarkanku pergi dari ruang bawah tanah, aku memakimu karena aku takut. Aku tidak pernah berhenti memikirkan bagaimana kau bisa muncul di depan anak-anak tanpa perasaan apa-apa, seakan yang terjadi pagi itu bukan masalah." Dia masih belum berhenti mengalihkan pikiran pada kain, darah, dan luka. Aku hampir menggeram, tapi takkan menyerah sampai dia mengatakan yang sesungguhnya. "Dan malam ini, seorang eksekutor mendatangiku, memberi penawaran hidup yang sama, lalu aku tergoda―"
Aurelian mendongak sambil mengembuskan napas panjang. "Ya, Gauvelaire Kecil, aku kalah."
"Bagus. Sekarang?"
Sang Penukar tanpa sadar mensejajarkan dirinya dengan bulan kecil. Meski cahaya terhalangi, langit malam tidak menyembunyikan betapa pucat dan bersinarnya dia. Dia masih tampak indah, nakal, tetapi juga sendu.
Aku menggeleng-gelengkan kepala agar sosoknya berhenti membuatku kagum, terutama saat dia mulai bicara. "Maaf aku bohong soal Tuan Matahari. Seperti yang kau lihat, akulah dia, akulah yang tinggal dalam kastel sepi itu."
Anggaplah dia membaca apa yang kupikirkan tentang kastel itu lewat ekspresi.
"Aku yang kau benci."
Ketika fakta itu diangkat, aku merasa hampa. Terlalu lama bersama orang ini sepertinya menghilangkan sedikit perasaanku sebelumnya. Aku tidak bisa memandangnya dengan rasa benci yang sama, aku memandangnya dengan rasa benci baru. Rasa yang didasari oleh kebohongan dan semua rahasianya.
Aku tidak bisa marah pada Kai, kenyataannya dialah orang yang berusaha membujuk Ibu. Austin? Dia masih kecil, tak bisa kutemukan satu kesalahan pun pada dirinya. Aurelian, sebagai Tuan Matahari, menjaga anak-anak Gliffard. Dia membungkus mereka dalam keamanan dan pelatihan agar dapat bertahan hidup walau terikat perjanjian. Aurelian hanya keterlaluan dalam mempermainkanku.
"Maaf soal ibumu," dia bicara lagi saat aku tidak merespons. "Aku sudah tahu kau benci padaku karena itu, tapi kalau kubiarkan kau tahu siapa diriku dulu ... apakah kau mau datang―"
"Aku tahu kau," potongku, berusaha keluar dari topik. "Kau peri emas yang memberikan cahaya padaku malam itu, saat aku tersesat di hutan."
"Kau masih ingat." Dia nyengir. "Sebuah keajaiban bisa bertemu Gauvelaire yang memiliki ingatan tajam."
Memberanikan diri, aku mengerjap sebelum menatap kain putih di wajahnya. "Kau dan Kai sudah memperhatikanku sejak lama rupanya."
"Jauh sebelum kau lahir, kami sudah memperhatikan orangtuamu. Terutama Kalalia Eithnidgar."
Luka dan jubah pengganti perban kembali menjadi mainannya. Dia mengambil sedikit bagian dari jubah, melilitkannya pada kakiku. Darah masih merembes, tapi dia masih sabar agar tak menggunakan sihir. Setidaknya pada lapisan kedua, kain putih tak lagi tertembus merah.
Setelah semuanya beres, aku menarik kaki dan melipatnya. Kini kami duduk berhadapan, ditemani angin kencang nan dingin dan pemandangan laut tiada ujung.
"Pekerjaanku bagaimana?" pancingku.
"Oh, benar." Kini dia sibuk mengacak-acak baju, mencari sesuatu yang tersembunyi di balik semua warna putih itu. Tak susah menemukannya karena dia langsung mengacungkan sesuatu dari sebuah saku. Ketika diamati dengan bantuan cahaya bintang, wujudnya mulai masuk akal di kepalaku. Sebuah vial. "Saat tahu kau ahli mencuri, aku memikirkan suatu pekerjaan yang cocok untukmu di sini. Aku akan senang kalau kau mau mencuri darah manusia untukku."
Mataku berkedut. "Sori. Apa?"
"Mencuri darah .... Sudahlah, kujelaskan saja." Dia menyimpan vial di genggaman tangan, seakan-akan berharap eclipse bisa mengantarkannya jauh entah ke mana. "Aku punya mimpi buruk dari Dewan. Mereka membuat darah manusia menjadi satu-satunya hal yang dapat mengenyangkan lapar dan haus, tanpa pengecualian. Aku bisa menikmati ayam panggang, tapi hanya rasa saja yang tersisa di lidah, tidak dengan kepuasan perut."
Aku hendak bergidik, sebelum sesuatu menggelitik kepalaku. "Katamu kau raja. Bagaimana bisa?"
Aurelian tertawa, seakan aku sedang mempertanyakan sesuatu yang paling konyol. "Apa yang tidak bisa kalau kau adalah anggota kerajaan Langit? Aku seharusnya memegang kekuasaan tertinggi Maurelaus, tapi para Dewan sialan membuatku tersingkir, bersusah-payah hidup sendiri, dan akhirnya aku juga harus bergantung pada manusia."
"Kutukan?"
"Yep. Detailnya rumit, jadi simpulkan saja seperti itu."
Kenyataan bahwa dia masih tampak baik-baik saja tidak memperbaiki rasa takutku. Aku pernah mendengar betapa berbahayanya kutukan dari Ibu. Sekali, dia mengatakan ini: kalau kau menikmati momen di mana kutukan itu masih bekerja, kalau kau tertawa, kalau kau bahagia, itu takkan membiarkanmu lolos begitu saja. Kutukan tumbuh, seiring hidupmu semakin indah.
Aurelian melakukan semua itu. Dia tertawa, bahagia, menjalani hari-hari dengan damai, tapi masih baik-baik saja. Bukannya aku berharap dia cuma pura-pura .... Atau kenapa aku harus peduli soal itu?
"Kau takut karena mengira aku akan menjadikanmu makanan, bukan? Tenang saja, aku hanya tertarik pada anak-anak remaja, terutama enam belas tahun." Dia pikir aku sepercaya diri itu sampai ingin dibunuh perlahan-lahan oleh kutukannya, huh?
"Jadi," kataku, bersikap profesional. "Bagaimana teknisnya?"
"Oh benar." Dia mengacungkan vial di tengah-tengah kami. "Kau bekerja saat malam, tiga hari sekali, naik kuda ke kota atau desa terdekat. Di sana, bukalah jendela tempat remaja manusia tidur, ambil darah mereka dan tampung dengan ini."
"Yakin kau mau memberikan tugas ini padaku?" tanyaku tak percaya. "Salah-salah aku bisa membuat mereka mati. Atau tertangkap."
Lagi-lagi tawa diluncurkannya. "Itu sebabnya aku punya Gliffard Penyembuh, Gauvelaire. Belajarlah dari mereka, dan Kai akan melatihmu secara khusus. Kau bekerja saat orang-orang terlelap. Kalau kau kesulitan, bulan hanya akan memberi cahayanya padamu. Dan ketika obor atau api berusaha mengungkap wajahmu, aku takkan membiarkan itu. Aku akan melindungimu ... dari jauh."
Aku hampir tergelak. "Jangan bicara omong kosong."
"Setidaknya aku raja yang akan menepati sumpah, Gauvelaire."
"Kenapa kau tidak menyuruh Gliffard saja? Mereka lebih berbakat dariku, terutama Ren."
"Seandainya begitu, kau takkan berguna untukku, Gauvelaire. Kau tak punya harga." Ketika aku baru mau merengut, dia melanjutkan. "Maurelaus dan Gliffard mudah dibaui monster, Gauvelaire, karena kami musuh alami mereka. Setelah melihat kemarin banyak orang yang mengincarmu hingga menyerbu pulau, tak mungkin kesiapan mereka menghadapi kami di luar sana tak rumit. Mungkin saja monster-monster kemarin lemah, karena itu kiriman orang Langit yang menguji kita. Tapi tidak. Monster sesungguhnya kini menyusup di kota-kota, dan setelah membaui Frey maupun Gliffard, tamat sudah."
Kepalaku tergelitik. Kiriman orang-orang Langit, seperti yang ia tanyakan pada Atlas. Kusimpulkan ada Dewan dan Frey usil yang ingin mencelakaiku kemarin. Emosi berwarna merah menutupi kelegaanku atas pengakuan Aurelian. Seandainya aku lebih cepat mengantarkan emosi pada langit kelam di atas sana, aku pasti sudah dicap gila sekarang.
Haruskah aku beruntung ketika Aurelian menyadari ucapannya membuatku kembali mengingat Logan? "Atas nama Maurelaus, Gauvelaire, aku minta maaf. Akan kupastikan Dewan menerima ganjaran dari raja terkutuk ini."
Seperti ada seseorang yang menggali kesabaranku, merenggutnya, dan menggantikan harta tersebut dengan luapan amarah. Tidak, Aurelian, aku tidak bisa menahannya. Bahkan dengan gigiku yang menjepit bibir kuat-kuat aku masih bisa merasakan air mata meledak di mata.
Memoriku kembali pada hari di mana aku mengucapkan perpisahan pada anak-anak. Sebelum melangkah lebih jauh aku terduduk di makam Logan, bersumpah bahwa itu hari terakhir aku akan terpuruk karena kematiannya. Kini sumpah itu ingin kuingkari hari ini, aku sangat ingin melepaskannya. Aku membayangkan warna merah menjerit di mana-mana, tanganku menghabisi semuanya, hingga yang tersisa adalah diriku sendiri. Aku ingin melakukannya pada orang-orang di atas langit itu, orang-orang yang menyebut musuh mereka monster tetapi―
Namun, aku merasakan angin di hutan itu membisikkan kata-kata Logan: Pergi, Anna. Pergi untukku. Suaranya sama lembutnya seperti saat dia di sampingku. Bukan kata-kata yang menenangkan, tapi itu cukup meredakan badai yang berputar di kepalaku, dan akhirnya aku memutuskan sesuatu yang lebih waras.
"Oke," ucapku. Entah dengan keberanian mana, aku berhasil menatap wajah sang Penukar. Sang Raja. "Akan kulakukan asal kau masih membuatku hidup. Tapi, pastikan satu hal ini." Dia menungguku bicara. Kesombongan yang kunantikan tak kunjung muncul di wajahnya. Tak masalah, aku tetap meluncurkan kata-kataku. "Suatu hari nanti, saat aku sudah berguna banyak untukmu, biarkan aku mencabik-cabik dirimu dan rakyatmu. Tidak. Aku akan mengoyak yang lain dulu hingga hanya tersisa kita berdua. Dan saat itu, kau akan membiarkanku tahu rahasia-rahasiamu, terutama yang di balik kain itu."
Deru napasku menjadi satu-satunya bunyi di antara kami. Angin berhenti begitu saja meski dingin tetap menyertai. Aku memandangnya serius, masa bodoh dengan bisa atau tidaknya diriku bertindak seperti janji tersebut. Sedangkan dia hanya memberi wajah datar. Dan akhirnya, tawanya meledak.
Aurelian tergelak sampai puas. Dia bahkan memegangi perut, tidak anggun atau bermartabat sekali sebagai seorang raja. "Bagus, Gauvelaire. Perkiraanku benar." Seolah-olah dia mengucapkan selamat. Dia menghentikan cekikik, lalu menatapku dalam-dalam. "Kebencian adalah motivasimu, hal yang mendorongmu bermimpi. Aku hargai itu. Silakan. Silakan hancurkan kami dan sisakan aku sebagai penutup sekaligus santapan utama."
Itu bukan sikap meremehkan, itu undangan.
Aku lengah saat dia meraih kedua pipiku. Ibu jarinya menekan hingga aku tidak bisa melepaskannya. Dia beruntung aku menyandar dinding tebing, tak ada jalan keluar. "Tunggu hingga kau sedikit dewasa," katanya, mencondongkan wajah, "kau bakalan jadi cewek favoritku."
"Itu pun kalau kau masih hidup saat aku sudah sedikit dewasa."
Dia tertawa lagi. "Karena itu, ini akan jadi sangat menyenangkan."
Aku menyentak tangannya hingga kami kembali pada jarak yang normal. "Terima kasih hiburannya."
Sekali lagi, keheningan membungkus kami. Itu tidak lama sehingga gelenyar di kulitku yang disentuh belum hilang saat dia kembali bicara.
"Selamat datang di Lost Children, Anna." Dia tersenyum. Walau sulit menemukan ketulusan dari ekspresinya, aku bisa merasakannya kali ini. Aku tahu perannya sebagai Tuan Matahari tersirat dalam kata-katanya. "Selamat datang di tempat kau bisa berlindung dan menukarkan dirimu dengan rumah baru. Selamat datang, prajuritku."
「 Cruel & Lonely Shadows 」
G untuk Gauvelaire
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top