[19] Pardon

"Aku suka bagaimana anak-anak rela ditembaki dengan ribuan butir air oleh Langit. Polos, naif, tanpa tahu bahwa maksud dari hujan tersebut bisa saja berbanding dari tawa mereka."

⌞ B ⌝

MIKI adalah hal pertama yang kulihat begitu sadar. Dia membuka mata lebar-lebar padaku, begitu juga anak-anak perempuan lain yang mengelilingi ranjang. Peluh membasahi seluruh tubuhku, seperti banjir, tetapi tidak sebanyak saat lari mengelilingi pulau. Berikutnya yang dapat dirasakan adalah rasa sakit, mekar begitu saja saat aku mulai membuka mata. Tambahan, aku tidak tahu sejak kapan ini terjadi tapi sepertinya aku demam. Demam tinggi, hingga tenggorokan terasa aneh, dan gigil menyelimuti tubuh meski aku sudah berada di dalam selimut.

"Demi Calistian, aku lega operasi bedah darurat tidak butuh dilakukan," kata si gadis yang ada di sebelah ranjang. Miki memelototi gadis itu setelah ia melontarkannya dengan santai.

Aku bergerak gelisah saat kakiku tidak ingin lepas dari sakit, begitu juga perut dengan racun yang masih mendekam di sana. Mau bergerak ke samping untuk turun dari ranjang saja pasti susah. Ini sungguh tidak tepat! Aku sangat ingin bertemu dengan Kai, membicarakan apa yang telah diberitahu kakek-kakek Gauvelaire itu. Sebelum Miki melarangku bergerak, organ-organ tubuhku pun turut melontarkan protes.

Miki bercakap-cakap pada yang lain. "Ambil kain dan air." Dan semua barang yang ia butuhkan langsung tersedia begitu para gadis sigap menanggapi perintahnya. Dia memeras kain kompres hingga airnya turun deras dalam satu perasan. Kain itu diusapkan ke dahiku, membuat mataku menjadi berat karena air hangat.

Aku menolak semua kenyamanan yang ada di sekitarku. Selimut, kain pereda demam, dan obat-obatan di tangan para gadis. Kutepis selimut dan berusaha bangun. Tetapi itu tidak bertahan lama karena aku langsung menyerah pada nyeri dan perih. Aku masih tidak berteriak, hanya menangis karena begitu menyiksa saat bergerak.

"Jangan bergerak!" Miki memberiku perintah. "Patricia, makanannya!"

"Kau mau memberikan makanan pada orang yang sedang kesakitan begitu?" Suara Patricia tidak lebih dari kumpulan nada meremehkan.

Mataku menangkap sosok Aurelian dan Austin yang memperhatikan anak-anak perempuan ini dengan tatapan ... memprihatinkan. Austin meringis ketika Miki mencoba memperbaiki kompres dan meminta obat-obatan lebih. Aurelian heran karena Patricia malah mengajak Miki ribut-ribut sebagai jeda pekerjaannya.

Tidak ada Kai, dan aku mulai ingin menanyakannya ketika suara mereka bercampur.

Aurelian berkata, "Austin kan bisa dengan cepat menyembuhkannya. Kenapa kalian malah repot-repot mau susah begini?"

"Berikan makanannya, suapi dia, bujuk agar dia mau menelan apa pun yang ada di mangkuk itu, Pat!" Tetapi Patricia tidak mengindahkan Miki.

"Orang sakit tidak boleh makan sambil tidur begitu. Berikan dulu pengobatan pada kaki dan netralkan racunnya dengan cepat."

"Aku dan Aurelian menunggu diberi perintah juga."

"Aku sudah berusaha sebaik-baiknya agar dia tetap dalam kondisi stabil."

"Austin benar-benar bisa mengobatinya, Nona-nona."

"Stabil tidak cukup. Dia butuh obat. Kekuatanmu tidak begitu manjur."

"Kalau begitu suapi dia makanan agar obatnya bisa dikonsumsi, anak idiot! Apa yang kau pelajari di sekolahmu dulu?" Miki melempar sarung tangan yang ia gunakan dan merampas mangkuk berisi makanan yang nyaris tumpah sedikit. Dia melontarkan tatapan garang pada Patricia. "Kalau kau tidak bisa membantu, pergi saja!"

Deru napasku semakin panas, dan ada sesuatu yang membuat dadaku nyeri. Inilah yang terjadi ketika mendapat ekstra demam, ditambah dengan keributan tiada henti seakan ingin mendobrak telingaku sampai sakit.

"Kai―"

"Makan!" Miki menyerahkan mangkuk berisi bubur.

Aku menolaknya, mendorong mangkuk itu dan mencoba turun. Saat kulihat kakiku yang dibalut perban bernoda, aku merasa tidak sanggup menyentuh lantai. Luka di sana lebih parah dari dugaanku. Dalam sekejap aku menyerah dan memutuskan kembali meringkuk ke dalam selimut, menangis.

Apa yang kutangisi? Kaki yang tidak bisa diharapkan bisa berjalan, perut dan sekujur tubuh yang panas, atau mimpi dengan Jeremiah? Entahlah, aku tidak punya alasan yang bagus untuk menjelaskan kenapa air mataku turun tanpa permisi.

"Tinggalkan aku." Suara yang mengerikan, sangat serak dan terasa hilang. "Aku ingin tidur."

Mereka semua hening setelahnya. Mungkin mendengar orang sakit berkata lirih menjadi cara yang ampuh untuk membungkam mereka lain kali. Tetapi itu tidak bertahan lama hingga Patricia melakukan hal yang membuatku terkejut.

Dia menyibak selimut, membuatku duduk secara paksa. Diambilnya bubur yang mangkuknya masih ada di tangan Miki dan memasukkan benda bersama makanan itu ke dalam mulutku. Tatapannya marah sehingga aku tidak berani melotot padanya.

"Sialan kau, manusia kecil. Seharusnya kau makan saja tanpa harus merepotkanku." Dia mendorong sendok itu dengan kasar hingga sentakan napas dari para gadis termasuk Aurelian dan Austin menjalari seluruh ruangan. "Telan! Sudah baik-baik kumasakkan bubur hangat dan kau masih gengsi menelan makanan mudah seperti ini?"

Aku memaksakan untuk menelannya. Air mataku tumpah lagi ketika rasa bubur yang seharusnya enak menjadi hambar.

"Patricia, perhatikan mulutmu," bisik gadis berkepang dua. "Hormati mereka."

Patricia yang tetap menyuapiku menghujamkan tatapan tajam pada Aurelian dan Austin. "Kenapa masih ada di sini? Ini kamar anak cewek. Pergi, dasar tidak sopan!"

Seruan panik yang berusaha disamarkan bermunculan, bahkan dari Austin. Dia tertawa canggung dan mendorong-dorong Aurelian. "Ayo pergi. Aku takut gigiku rontok gara-gara disodorkan sendok oleh kakak itu."

Aku masih disuapi oleh Patricia yang marah. Aku paham kalau dia melakukan ini karena kesal denganku yang hanya ingin bersembunyi di balik selimut alih-alih menghadapinya. Anak-anak lain termasuk Miki pun hanya bisa menatap kami tercengang. Aku pasrah, melakukan apa pun agar dia senang.

Aku menolak menghabiskan bubur yang tersisa. Kubilang pada Patricia kalau aku akan muntah jika terus seperti ini. Miki memberi obat sebelum aku berbaring kembali, yang sangat susah kumasukkan ke dalam kerongkongan. Pada akhirnya aku tidur, menahan air mata agar tidak menggenang saat mereka mulai merapikan ruangan, menyelimutiku, dan bahkan membenahi rambutku.

Untuk kesekian kalinya, tidak ada waktu untuk bertanya mengapa mereka melakukan ini semua.

Patricia menghampiriku terakhir, sementara anak-anak lain menunggu di ambang pintu dan siap mematikan penerangan. "Seharusnya kau tidak usah ikut campur urusanku," dia berucap. Ketika tak kubalas itu, dia berbicara lagi. "Intinya lain kali aku tidak mau memanjakanmu lagi. Kalau kau berani membiarkan tanganku melakukan kebaikan padamu, akan kupastikan hal itu lebih kejam―"

"Mm ... Terima kasih," kataku, masih sama seraknya dengan suara tadi. Kurasa, dia hanya perlu ucapan itu. "Terima kasih, Patricia."

Dia bungkam, lalu menyentak kaki hingga menimbulkan bunyi ribut menuju pintu. Semuanya membisu saat kamar menjadi gelap sepenuhnya, meninggalkanku untuk menangis.

Kali ini bisa kupastikan bahwa aku menangis untuk Kai dan Ibu.

***

Aku terbangun karena menyentuh sesuatu yang bergerak dan hangat. Setelah kugapai, kusadari itu adalah jari-jari tangan seseorang. Ruangan masih gelap gulita tanpa cahaya sehingga aku tidak bisa mengetahui siapa yang ada di samping ranjangku. Orang ini tidak bergerak sama sekali atau menarik tangannya ketika kusentuh. Baru kuketahui dia adalah lelaki. Yang kugenggam saat ini adalah tangan laki-laki dewasa.

Tapi butiran cahaya putih muncul seperti salju dari tangan yang kupegang. Salju-salju mini itu merayap ke atas seakan gravitasi berada di langit-langit. Hawa sejuk menyertai saat salju-salju itu ada di dekat wajahku, begitu juga dengan tangan orang ini. Dengan cahaya yang membuat mataku tidak lagi hangat dan penuh air mata, aku bisa mendongak dan melihat dengan jelas wajah orang ini.

Namun, aku tidak siap karena dengan salju ini saja aku sudah bisa menebak siapa dia. Aku tidak bisa mengarahkan bola mata ke atas. Aku takut. Takut pada murka yang siap dia keluarkan. Mata yang sudah susah payah berusaha kubebaskan dari air malah menjadi semakin tergenang, lalu membanjiri wajah.

Aku berkata parau, "Maaf." Tidak bisa berharap banyak kalau dia akan mendengar, tapi setidaknya aku mencoba.

Dia mencoba pergi dengan meninggalkan salju-salju sejuk itu, tapi kutahan sambil terus menggenggam tangannya. Jari-jariku bergetar, mencoba terus meski memaksakan tidak terlalu berguna. Dia bisa saja menepisku dengan mudah dan akhirnya aku akan mencoba jalan terakhir dengan melompat dari ranjang lalu berlutut sambil memeluk kakinya. Tetapi seolah membaca pikiranku, dia tetap berada di tempatnya sekarang sambil membalas genggamanku.

Aku berkata sekali lagi, lebih keras, lebih jelas, lebih memaksa, "Maaf." Seharusnya yang itu terdengar, hanya saja aku tak mendapatkan reaksinya. "Gara-gara aku. Semuanya gara-gara aku. Kakakmu ... Ibu, dia pergi. Salahku."

Aku tak tahu dia sependapat atau tidak, dan aku enggan memastikannya.

Dia memegang kepalaku, mengusap beberapa rambut di dahi. Sentuhan menyejukkan itu membuat tali tak kasat mata melilit di sana perlahan hilang. Karena aku terus menangis, aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menangis dalam pelukannya, sebelum aku ditendang dan melakukan permohonan ampun dengan bersujud. Aku membawa kedua tanganku untuk memeluknya, dan membenamkan wajah pada kemeja acak-acakan itu. Tak peduli kalau tubuhku akan pegal dengan posisi ini, aku tetap melakukannya.

Dia tidak berusaha membuatku terjengkang, atau belum. Ketika suara serak dari tangisanku memenuhi ruangan, hanya diam, malah membuat semakin banyak salju.

Saat kupikir dia marah sampai tak tahu mau mengatakan atau melakukan apa pun, satu tangannya ada di punggungku, lalu satu lagi menyusul. Dia membalas pelukanku, membiarkan air mata penyesalan yang tidak berguna ini terus membasahi bajunya.

Aku tidak pernah tahu kalau pelukan Kai bisa sehangat ini, di balik es yang tersimpan dalam tubuhnya.

***

"Selamat pagi!"

Austin menyambutku ketika cahaya matahari masuk melalui jendela-jendela yang sudah terbuka. Aku menoleh untuk melihat ekspresi manis dan riang yang selalu menjadi kebanggaan tersendiri untuknya. Aku membalas senyuman yang menampilkan deretan gigi putih itu dengan lengkungan ke atas, tipis.

"Bagaimana keadaanmu?" Austin bertanya.

Aku mencoba bergerak, menghirup napas banyak-banyak sebelum mulai duduk. "Rasanya lebih baik." Aku tidak demam lagi, dan cahaya matahari membuatku bisa merasakan sedikit keringat pagi. Suaraku juga membaik, meski masih ada sedikit yang mengganjal di dalam sana.

"Baguslah." Austin memberiku senyuman lagi. Dia memang tak bisa melepaskan senyum dari wajah, jadi kuputuskan untuk menganggapnya selalu tersenyum walau dia sedang bertanya sekalipun. "Gadis-gadis itu mencoba menyembuhkanmu dengan cara biasa selama sisa hari kemarin. Lalu Miki panik ketika napasmu semakin pendek. Pokoknya kemarin kacau sampai Miki harus menggunakan kekuatannya dengan izin Eli. Miki bisa masuk daftar Gliffard Penyembuh yang lumayan berkat kejadian kemarin, dan si gadis galak akan jadi teman yang cocok sebagai tenaga medis."

Aku bergumam seakan paham.

Kuperhatikan kakiku yang masih ada di balik selimut. Bagaimana keadaannya? Kuakui aku tidak punya cukup keberanian untuk menyibak selimut dan melihat sendiri. Yang pasti di sana masih ada lilitan perban, dan juga mungkin luka-luka belum kering. Heran, kenapa kakiku hobi terluka?

"Tengah malam Kai bilang demammu tidak kunjung menurun, lalu dia menyuruhku memberimu obat. Dan kakimu kambuh lagi, harus terus di atas ranjang selama beberapa jam. Kau baik dengan itu?"

Aku mengangguk. "Aku sudah biasa dengan istirahat panjang." Walau sebenarnya aku lebih ingin berjalan-jalan di luar mencari Kai. Mungkin aku tak bisa luput dari mata anak-anak, tapi lebih menyenangkan dipelototi dengan berbagai macam jenis pandangan daripada mendekam tanpa melakukan apa pun. Padahal kemarin aku bertekad untuk mencari tahu apa yang akan dipelajari anak-anak, barangkali aku bisa menirunya tanpa bergabung di barisan. Kini, akulah yang tumbang lebih dulu.

Seandainya cara curang tak mereka pakai, aku pasti tetap kalah. Mengingat bahwa tubuh mereka lain dari manusia saja sudah membuat aku mendesah suram.

"Wah, anak-anak sedang bersiap di sana," kata Austin. Dia memandang ke luar jendela. "Sepertinya mereka mandiri, bersedia dihukum tanpa diseret Kai."

Aku membuka mata lebar-lebar dan sadar dari lamunan. "Mereka apa?"

"Bersedia dihukum. Pagi-pagi buta mereka berbondong-bondong ke gerbang depan kastel, lalu meminta Kai menghukum mereka. Mereka bilang hukumannya terserah―Tunggu, jangan meloncat dari kasur dan berlari!"

Tidak kuhiraukan Austin yang berseru-seru, juga kakiku yang meraung-raung sakit. Hukuman tidak pantas diberikan pada mereka sekarang. Aku malah menginginkan hal yang sebaliknya, permintaan maaf dariku untuk mereka. Aku yang salah, aku yang menyebabkan mereka semua bertingkah usil karena aku seharusnya tahu stereotip mereka di sini.

Hal yang disebutkan oleh Luca, bukan Gliffard berarti tidak diterima.

Mungkin mereka hanya melindungi diri sendiri dari orang di luar pulau yang masih manusia. Itu masuk akal mengingat mereka disingkirkan dengan cara kasar dari lingkungan asal mereka, dan terancam ditangkap tentara palsu kalau tidak memilih kesepakatan dengan Aurelian.

Aku berlari dengan pincang, keluar dari tempat yang ternyata adalah rumah kecil di titik rendah pulau—rumah pengobatan darurat. Rumah ini lebih dekat dengan pantai, dengan begitu aku tak perlu tertatih di tangga barak dan lereng yang curam.

Dan benar saja. Mereka sedang berbaris tanpa seragam, atau malah tanpa tidur juga. Tambahan, kini mereka juga tidak memakai alas kaki sama sekali. Kai dan Letnan ada di depan barisan anak-anak, memunggungiku. Sedangkan Aurelian tidak tampak di mana-mana.

Aku berseru, "Tunggu, jangan hukum mereka!"

Kai tidak berbalik, hanya saja anak-anak itu mengejutkanku. Mereka langsung menegakkan tubuh, menaruh dua tangan di samping, dan menatap lurus ke depan tanpa berkedip. Lalu semua berseru serempak, "Kami bersedia dihukum atas kesalahan curang kami pada manusia. Manusia yang bersangkutan tidak berhak ikut campur!"

Sedetik, aku terpaku. Lalu detik berikutnya aku mencoba maju lagi. "Aku paham―"

"Simpatimu tidak dibutuhkan saat ini, Non." Willem―atau Caleb―yang ada di depan barisan menyela. "Aku Cal, omong-omong."

Kukepalkan tangan karena geram. Kucari sosok yang kemarin sempat berlatih bersamaku. "Luca?"

Anak cowok itu segera mendapat perhatian hingga aku bisa melihatnya. Tapi dia menegak ludah, mengalihkan pandangan, dan berteriak, "M-manusia tidak usah dekat-dekat dulu! Ini ... Ini urusan kami." Payah.

Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. Sukarela dihukum? Tampak seperti bukan gaya mereka saja.

"Keliling pulau lagi," Kai bersuara, sementara aku tidak berani berteriak membantahnya. "Jangan berhenti sampai kalian merasa itu sepadan dengan apa yang telah kalian lakukan."

"Akan kami laksanakan!" Lagi, mereka serentak menjawab. Satu persatu mereka mulai berlari di garis pantai. Mulutku tetap menganga sambil memperhatikan mereka menghilang dan meninggalkan jejak kaki di pasir.

"Kau memarahi mereka?" Aku menatap Kai.

"Tidak," dia menjawab. "Aku juga tidak terlalu terkejut ketika mereka membangunkan penghuni kastel untuk meminta hukuman."

"Itu ...." Protesku terputus begitu dia berbalik, menatapku dengan ekspresi menyebalkan. Maksudku, semua ekspresinya memang aneh, menyebalkan, membuatku ikut naik pitam. Tapi kali ini aku mengalah. 

Dengan segenap nyali yang masih kumiliki pagi ini, aku membuat senyum selebar mungkin hingga deretan gigiku terlihat oleh Kai. Ini pasti bukanlah yang diharapkan pemuda itu sehabis melihat seseorang meminta maaf dengan penyesalan teramat dalam. Namun, aku tetap melakukannya sampai dia melirikku.

Seperti biasa, Kai akan mengerutkan kening dan menyipitkan mata jika dia melihat hal yang mungkin tidak disukainya. "Ada apa denganmu?"

Aku melebarkan senyum.

"Berhenti memasang wajah bodoh. Ini masih pagi," dia berujar seolah kami baru bertemu hari ini, dan tidak ada yang terjadi malam kemarin. Kai berdecak saat senyumku tak luntur sedikitpun saat dicecarnya. "Apa maumu kali ini?"

Sempat-sempatnya aku melontarkan "Hehe" yang menjadikan tatapannya berubah sinis. "Jadi," aku memulai topik baru, "sekarang aku harus panggil apa?"

"Kai. Panggil Kai yang benar," jawabnya cepat.

"Tapi bukankah lebih bagus disebut Paman Kai―" Aku langsung dibungkam dengan tangannya yang berada di kedua pipiku. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dia tidak suka dengan kata 'Paman'. Tapi aku malah tertantang untuk memanggilnya begitu lagi.

"Kai," dia menekankan. "Kalau kau berani mengejekku dengan panggilan paman, akan kupastikan tak ada ampun."

Kai melepaskan tangannya dari wajahku, lalu berjalan ke pantai. Aku mengikutinya karena ingin, membuntuti tetapi tidak berani berada di sampingnya. "Orang itu," kata Kai, padaku, "dia memberitahumu apa saja?"

Aku memutar otak untuk mengetahui siapa yang sedang ditanya olehnya. "Jeremiah? Detailnya kurang, dan dia selalu bilang untuk bertanya padamu saja. Selain memori pertama saat kau bertemu dengan Ibu dan aku saat masih bayi, lalu gelombang besar yang sudah pernah kulihat sebelumnya, dan patung kutukanmu, dia memberitahu semuanya dengan kekuatan super cepat, lalu aku bangun. Juga identitasnya sebagai pengelana mimpi?"

Kai mengangguk. "Kakek yang sungguh baik."

"Kenapa?"

"Anna, ada dua hal yang ingin kukatakan padamu." Aku mendengarkan dengan saksama apa yang hendak dia ucapkan. "Pertama, jangan singgung soal kematian Ibumu. Biarkan suara badai, api, dan gelombang air itu tinggal dalam memori kita saja. Mengerti?"

Kuteguk ludah sekali, lalu mengangguk patuh.

"Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Aku membentak bukan karena marah padamu."

Aku menunduk. "Tapi, ini semua terjadi memang karena aku. Aku berandai-andai jika yang terjadi selama aku tinggal bersama Ibu adalah hari-hari normal tanpa dongeng. Apakah ...."

"Anna," kata Kai lagi. Kali ini, dia menghindari kontak mata. "Bukan salahmu. Berkat Kalalia juga, kau tidak susah untuk menemukan dan menaruh kepercayaan padaku. Terima kasih, dan maaf." Kalimat terakhirnya dipenuhi kemurungan. Dia memiliki niat untuk mengatakan hal itu, tapi karena saking terbiasanya dengan mulut kasar, jadilah permintaan maaf dan terima kasih terasa canggung di lidah. Tak lama berselang, dia sudah mengubah raut menjadi serius. "Kedua, aku benar-benar minta padamu satu hal ini. Rahasiakan kutukanku. Cukup kau, Eli, Jeremiah, Austin, dan si Puan sialan itu yang tahu. Berjanjilah."

Aku yakin dia memilih untuk membuatku bersumpah ketimbang janji kalau dia tidak mengingat apa yang telah dikatakannya sebelum itu. Kuangukkan kepala kuat-kuat agar dia percaya padaku. Dia terlihat begitu memaksa meski hanya dengan tatapan singkat.

"Bagus."

"Tapi Kai," kumulai pertanyaan, "apa itu hanya kebetulan? Maksudku, tentang kau dan Ibu yang memiliki nama Eithnidgar?"

Dia melempar satu lirikan, lalu memandang biru nan luas seakan itu membantunya meredam emosi campur aduk. "Seratus tahun lalu, ketika aku masih kecil dan manusia, aku merupakan seorang pangeran Eithnidgar. Ya, Anna, itu juga sebuah tempat yang dulu Noir datangi."

"Aku lebih terkejut kalau kau pangeran yang berakhir menjadi roh menyebalkan," gumamku.

"Eithnidgar hancur pada hari kematianku, tiada yang tersisa dari puing-puingnya. Sedangkan kakek Kalalia, yang bukan berasal dari keluarga utama Eithnidgar, ada di suatu tempat lain. Kau tahu pepatah sekeras apa pun kau mencoba membakar rumah, selalu ada kecoak yang lolos. Begitulah kakek Kalalia, Tuan Anonim, hingga Kalalia lahir dan ditemukan oleh Maurelaus. Tidak kebetulan kami memiliki nama yang sama."

Aku yakin keterkejutanku ketika mendengar kata hancur dan Eithnidgar berada di satu kalimat yang sama tidak tertutupi. "O-oh." Tanganku bergerak canggung ke belakang telinga. "Eithnidgar negeri yang indah, tempat manusia bergaul dengan kalian―maksudku, peri, bukan?"

Kai setuju, berdeham. "Indah sekali."

Meski demikian, aku tahu Kai tak ingin membicarakan tempat kelahirannya lagi. Ada perasaan mengganjal yang sempat kutangkap dari punggungnya, lengkap dengan biru kejam bunga es.

Samar-samar teringat olehku bunga kutukan itu. Daun-daun dan durinya merambati otakku, memaksa agar aku merekam jelas bunga itu selalu. Kelopak merah yang lebih pekat dari mawar meleleh dalam pandangan, seakan mengubah warna gelap pada punggung Kai, dan akhirnya menunjukkan jantung pemuda itu.

Aku menggeleng-gelengkan kepala agar ilusi tersebut menghilang.

"Kenapa kutukannya masih bekerja?" Kuberanikan diri bertanya. Berharap Kai takkan memberi diam yang sama seperti Jeremiah. "Ibuku sudah mati. Tapi kau ...."

Kalimatku terputus, atau perlahan-lahan memelan menjadi suara yang hanya bisa kudengar dalam pikiran. Jika aku ingin membatalkan isinya berarti aku terlambat. Kai sudah keburu mengetahui apa yang kumaksud. Dia berbalik, siap melontarkan balasan yang mungkin akan meremukkanku dengan nada ganasnya.

Namun, dia tidak mengerutkan kening. Pijar es membekukan ekspresinya. Lalu, pelan tapi menyedihkan, bersama secercah senyum tipis yang tak pernah kulihat, dia meninju ulu hatiku dengan berkata, "Kalalia sudah mati, tapi kau belum. Aku tidak bisa membiarkan diriku hidup dalam bayang-bayangmu yang terus mengingatkanku pada Kalalia."

「 Cruel & Lonely Shadows 」

B untuk Bergaude

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top