[18] Eithnidgar
"Ingatlah seberapa lama bongkah es mampu bertahan dari matahari."
⌞ E ⌝
"SIAPA nama bayi itu?"
Kulihat Ibu di ambang pintu rumah menoleh pada anak lelaki yang bersandar di dekat jendela. Aku tidak ingat kalau aku pernah berada di rumah itu sebelumnya. Bukan jenis rumah atau lingkungan yang ada di dalam daftar tempat-tempat yang dulu menjadi tempat tinggal sementara kami. Tetapi harus kuakui rumah kecil itu cantik dengan sulur-sulur tanaman dan bunga-bunga beragam warna yang menghiasi taman serta dinding luar rumah itu sendiri.
Aku tidak tahu kalau Ibu dulu senang membuat taman.
Ibuku keluar dari pintu dan berdiri menghadap Kai kecil dengan jarak yang masih membentang di antara mereka. Ibu menunjukkan senyum jahil yang sangat kukenali. "Bayi?"
Kai mengerjap dengan wajah dingin. "Ada bayi di dalam rumahmu, bukan? Azuri bilang dia perempuan, punya sebelah mata yang mirip denganmu."
Senyum yang ditunjukkan Ibu kali ini sangat lembut hingga aku merasa ini sebuah ketidakadilan. Karena selama tujuh tahun aku hidup bersama Ibu, rata-rata yang selalu dipakainya untukku adalah senyum jenaka. Kupikir dia mengambil alih tugasku sebagai anak kecil yang nakal tingkahnya dan aku menjadi bahan candaan manisnya setiap hari. Sedangkan untuk Kai, dia malah memberikan senyum terbaik yang pernah kulihat.
"Kau Frey Bulan yang baru, ya?" Ibu bertanya.
Kai memalingkan wajah santai. Dia benar-benar terlihat seperti peri kali ini. Pakaiannya sederhana tetapi rapi, serta pendar berkilauan yang mungkin hanya menjadi ilusi semata bagi orang-orang yang tak memperhatikan. Aku sudah menduga-duga kalau Ibu mengenalinya.
"Mana pria itu? Kenapa tidak kelihatan dari tadi?" Mata Kai menyusuri halaman tanpa menggerakkan kepala, tidak menghiraukan pertanyaan tadi.
Ibu nyengir lebar. "Jangan panggil dia seperti itu, Adik. Dia juga bagian dari keluargamu sekarang."
Alis Kai menukik tajam ke bawah. Diliriknya Ibu. "Adik? Keluargamu?"
"Iya." Sekarang Ibuku malah memamerkan deretan gigi dan tertawa kecil hingga matanya sedikit menyipit. "Aku tahu kau. Karairan Eithnidgar yang selalu bolak-balik ke arena perang Dewan dan membuntuti Azuri. Aku juga Eithnidgar, Kalalia Eithnidgar."
"Jadi cuma karena itu kau bilang aku adikmu?"
"Yap!"
"Mana sudi." Kai kecil mendengus dingin. "Buang-buang waktu saja di sini."
"Jangan lupa datang lagi, ya!" kata Ibu. "Banyak kue manis kalau kau bersedia mengunjungi rumah kami."
"Nggak tertarik."
Tawa ibuku mendampinginya saat dia berjalan pergi dari taman indah itu. Ibu menyadari bahwa Kai sebenarnya enggan merusak taman dengan sengaja, gerakannya kaku dan dibuat-buat saat melindas salah satu bunga. Kesal karena niat buruknya malah gagal, Kai mengubah target dengan menginjak rumput secara biadab dan menghentakkan kaki.
Namun, ia datang lagi keesokan harinya, saat Ibu masih ada di dapur dan membuat makanan. Entah Ibu memang sudah mengira kalau Kai akan berkunjung lagi atau dia memang membuat kue sebagai hobi sampingan saja.
Ketika Ibu hendak memindahkan kue yang baru matang ke piring di meja, bisa dilihat jumlah kue yang sebelumnya ada berkurang. Remah-remah kue tidak nampak di mana pun. Dia juga masih cukup memiliki akal sehat untuk tidak mencurigai bayinya yang mencuri kue-kue itu. Dia berkacak pinggang saat tahu sang pelaku, yang bertamu tanpa mengetuk pintu.
"Jangan kau pikir kau bisa menutupi sesuatu dengan tabir magis, Karairan." Setelah Ibu berkata begitu, sesosok anak lelaki yang sama seperti hari sebelumnya muncul di kursi dengan kue di tangan. Iya, wujudnya langsung ada setelah Plop! dan atmosfer sihir pecah.
Kai tak menoleh dari sesuatu di pangkuan dan kue. "Aku juga tidak berharap cara ini akan berhasil."
"Padahal aku berniat mengundang dan mengajakmu makan baik-baik. Tahu-tahu kau juga panjang tangan rupanya." Ibu duduk di seberang meja sambil merapikan kue-kue yang tersisa hingga kue di tangannya bisa diletakkan. "Tunggu, apa yang di tangan―"
"Nih." Dengan satu tangan, dia mengangkat si kecil yang sedari tadi ada di pangkuannya. Ibu menarik napas tertahan saat bayinya berada di tangan Kai tanpa perlindungan apa pun. Yang mengherankan, bayi itu tidak menangis saat Kai membuatnya melayang alih-alih dicengkeram. "Kecil amat. Aku baru tahu kalau bayi tidak menangis kalau dibawa pergi dari tempat tidurnya, dan diajak main begini."
"Anak nakal. Kau boleh mencuri kue mana pun, tapi jangan anakku," kata Ibu, semakin merengut. Dia geli melihat tingkah Kai sekaligus was-was.
"Sebentar. Aku mau mengecek si buntelan bunga ini. Siapa tahu ada kejanggalan padanya gara-gara pria itu, atau―Jangan direbut!"
Ibu langsung mengambil bayi di dalam selimut bermotif bunga itu. "Bukan begitu caranya bermain dengan keponakan, Karairan."
"Siapa yang bilang aku mau punya keponakan aneh seperti dia? Bikin jijik saja." Kai mencibir, lalu menaikkan kakinya ke atas meja. Di samping tubuhnya ternyata ada pedang. Dan ada jubah putih yang senada dengan pakaiannya, tergeletak begitu saja di lantai seakan menunggu tukang angkut pakaian untuk mengambilnya. "Matanya jelek. Pasti gara-gara campuran dari pria jahat itu. Taruhan dia bakal mewarisi sikap tidak sopanmu. Mengambil sesuatu dari utusan Dewan secara paksa termasuk tidak sopan."
Ibu mengulas senyum. Kedua tangannya menimang bayi dalam selimut itu, yang masih tidak heran sama sekali akan kehadiran dan perilaku Kai. Kedua tangan yang tadi terselip di dalam kain bermotif terangkat karena sudah terbebas. Dia mencoba mengatakan sesuatu, hal-hal tidak yang mungkin tidak dapat dipahami oleh orang lain.
"Bukankah mata yang langka adalah mata yang cantik?" Ibu berkata.
Bola mata Kai berpindah posisi menjadi ke sudut-sudutnya. "Mata merah pupil ular―mata iblis, itu juga langka terlihat."
"Mata manusia, Karairan Sayang. Mata yang dimiliki oleh makhluk sempurna yang menghuni dunia ini."
"Manusia?" Kai terkekeh, menunjuk si bayi dengan telunjuknya. "Yang seperti itu masih kau bilang manusia? Kalau saja kau tidak mengkhianati Azuri dan pergi dengan lelaki gila itu, dia mungkin masih bisa disebut manusia biasa. Bukan. Kalau saja dia lahir di keluarga lain―Hei!" Dia tidak dapat menyelesaikan ucapannya karena kini kedua tangannya penuh dengan badan mungil di bayi. Ibu menaruhnya di sana, membiarkan Kai mencoba menggendongnya dengan benar. "Apa-apaan ini?"
"Coba pegang yang benar," kata Ibu. "Begini. Nah."
Terlihat jelas Kai ingin menjatuhkannya―melepaskan pelukan, lalu membiarkan bayi itu terjun bebas di hari-hari awal dia menyapa dunia. Maka dia menjauhkannya dari wajah. Tetapi tangan-tangan kecil si bayi terangkat seakan hendak menggapai dagu bocah lelaki itu. Dengan suara-suara asal dan dua mata berbeda warnanya, ia melawan kehendak Kai.
"Apa sih, maumu?" Dibentaknya bayi itu. Hasrat untuk menjatuhkan si bayi kecil makin meningkat.
"Coba dekatkan wajahmu padanya," Ibu memberi saran. "Akhir-akhir ini aku tahu kalau dia senang memegang wajah orang yang baru ditemuinya."
Kai tidak mau mengikuti ucapannya, tentu saja. Menurutnya wajah mungil dan tangan yang mencoba menyentuhnya itu sangat menganggu, aneh. Ia setengah mati tidak tahu harus berbuat apa dengan tangan-tangan yang masih terangkat untuk menggapai. Dipandangnya si bayi sambil membuat telinga memerah hingga seluruh wajahnya menjadi seperti tomat.
Bisa ditebak, Kai kesulitan, dan itu semua karena dia belum pernah ada di posisi tersebut.
"Kupotong tanganmu kalau coba-coba mencakar!" dia berkata sebelum membiarkan wajahnya disentuh tangan bayi itu. Tawa kecilnya ikut menyertai ketika ia bisa merasakan dagu Kai pada tangannya. Gigi-gigi taring yang ditunjukkan oleh bocah lelaki itu sepertinya tidak berdampak pada nyalinya.
"Menjijikan," ujar Kai. Namun, dia tetap membiarkan anak di tangannya terus melakukan hal yang diinginkan.
Waktu berlalu begitu cepat, membiarkan pemandangan berganti. Kai di halaman rumah yang terkena matahari sore, dengan jubah yang sudah terpasang lagi pada tubuhnya, serta pedang yang masih menggantung. Sebetulnya tak ada alasan khusus kenapa dia harus membawa itu ke mana-mana, toh, ujungnya dia takkan menggunanya. Namun, mungkin dia membawanya untuk menunjukkan sesuatu yang kuat dari tubuh kurusnya. Di ambang pintu, Ibu masih setia melihatnya berjalan pergi meninggalkan rumah. Bayi kecil dalam bungkusan kain tak lupa berada di dekapan, bergerak-gerak agar melihat anak lelaki yang baru saja "menculik"nya pergi.
"Jangan lupa berkunjung lagi, ya," kata Ibu.
"Kalau ada waktu. Jadi Frey itu nggak enak. Tugasku lebih mudah saat jadi pembantu Azuri saja." Tapi Kai mengangguk menyetujui. Dia melangkahkan kakinya menuju deretan pohon hutan tak jauh dari rumah, hendak pergi entah ke mana.
"Kai!" Ibu memanggilnya lagi, dengan nama pendeknya. "Aku selalu menerimamu di rumah, termasuk membantumu. Dan, tentu saja, Anna akan selalu menunggumu."
Kai menghentikan langkahnya. "Namanya ... Anna?" Lalu ia berbalik, memperhatikan bayi kecil di dalam selimut bunga. "Nama yang biasa. Tapi, yeah, untung tidak sejelek rupanya."
Dan dia menghilang setelah itu. Entah karena dia memang sengaja menghilangkan dirinya dengan sihir, atau dia sudah tidak nampak di balik pepohonan. Aku tidak tahu. Setelahnya pun aku hanya melihat kenangan-kenangan singkat mereka berdua. Sampai aku berumur setidaknya dua tahun, Kai mulai jarang mengunjungi rumah kami yang berpindah-pindah. "Anna masih terlalu kecil," kata Ibu. "Biarkan dia bersamaku saja dan kau bisa temui dia saat dia sudah beranjak dewasa."
Kai menghilang selama beberapa saat. Entah mungkin dia menyatukan dirinya bersama bayang-bayang, atau memang penglihatan ini sendiri yang berubah menjadi gelap. Karena yang kulihat setelahnya adalah angin kelabu yang membuat warna-warna di sekitarku terlihat kusam. Setelah kuperhatikan dengan fokus, itu bukan hanya sekadar badai, melainkan pemandangan tempat yang kacau.
Sesuatu yang kemerahan ada di sana-sini. Itu meliuk-liuk dengan cahaya oranye dan membuat benda-benda yang disentuh berubah hitam. Api. Ketika badai di lautan bertemu dengan api yang mengamuk, aku tidak tahu mana yang akan menang. Kecil kemungkinan bagi api untuk menang di sumber terbesar lawannya, tetapi itu tetap terlihat mengerikan.
Kulihat pemandangan di hari terakhir bersama Ibu. Penglihatan yang sama seperti saat aku nyaris terjatuh dari pulau melayang pertama yang kukenal. Ada Kai, memegangi tangan Kalalia―Ibu, dan menarik-narik pergelangannya untuk mundur dari bibir tebing.
Aku tahu akhirnya: sia-sia.
***
Kupegangi leher saat semua itu berlalu, seolah ada air yang hendak menenggelamkanku. Semua putaran adegan yang kulihat belum sepenuhnya menghilang dari penglihatan. Dan aku tidak bisa berdiri dengan tegak. Tubuhku terguncang hingga mataku tidak bisa melihat dengan jelas karena pemandangan yang terus berganti secara cepat.
Aku batuk-batuk saat memutuskan untuk duduk di permukaan dingin dan datar. Mirip seperti lantai, tetapi tidak memiliki ubin. Saat air mata sudah menghilang, baru aku tahu lantai ini berwarna putih. Begitu juga pakaianku―yang sangat kuingat ini berbeda dengan yang kupakai sebelum bermimpi.
Demi dewa, traumaku—kebencian terhadap laut—lagi-lagi diungkit. Bisa-bisanya aku masih merasakan napas sendiri setelahnya.
"Woah, kau masih selamat setelah hantaman memori tadi?" Suara itu tidak mengejutkanku, melainkan langsung membawa kedua mataku kepada sosok di atas sebuah tongkat kayu. Dia seorang lelaki tua dengan rambut memutih, wajah keriput, tetapi matanya masih segar dan bersemangat. Dia berjongkok di atas kayu berbentuk huruf T itu. Keren, tulang pinggangnya tidak bermasalah.
Aku tidak sempat membalasnya karena mataku teralihkan dengan hal lain. Beberapa meter di sampingku, aku melihat patung yang sangat mengerikan, membuatku ingin berteriak.
Patung anak laki-laki berwarna putih, duduk dengan dua kaki rapat seperti bersujud. Tapi ia tidak bersujud, melainkan membungkuk kesakitan. Di bawahnya, batang bunga raksasa tumbuh dan menembus jantungnya, dan menampilkan bunga berwarna merah gelap di ujung tangkai. Itu bukan mawar, dan itu juga bukanlah patung. Bunga itu sungguhan hidup. Kelopaknya sudah ada yang berjatuhan, menyisakan beberapa lagi di atas sana.
"Itulah yang terjadi bila kau tidak tahu konsekuensi membuat kontrak dengan makhluk primordial." Kakek itu turun dari kayu T, meloncat dengan mudah dan berjalan tegak seperti anak-anak.
"I-itu Kai?" Aku mencicit.
"Karairan? Ya, itu dia." Tangan keriputnya mengambil satu kelopak besar yang sudah jatuh, tetapi tidak layu atau menghitam. "Seharusnya dibersihkan saja, tapi bocah keras kepala itu menolak. Merepotkan."
Aku mulai berdiri dengan kaki bergerak tak nyaman. "Kau siapa?"
"Bukankah anak itu sudah menyebutkannya tadi?" Pria itu tetap memperhatikan kelopak di tangannya. "Dia menyerukan namaku dengan kemarahan."
Kuputar ulang adegan yang terjadi sebelum aku memasuki penglihatan. "Jeremiah?" semburku ketika mengingat nama yang tak sempat kupermasalahkan tadi.
"Ya, aku Jeremiah." Dia menjawab dengan tenang dan lagi-lagi tidak memandang padaku. Aku tidak mendapat kesempatan untuk bertanya kenapa aku ada di sini, karena dia mulai mengatakan hal tidak masuk akal. "Aku kakekmu."
Maksudku, itu masuk akal. Aku tahu setiap anak punya kakek, sama seperti punya ayah. Tapi memangnya ini waktu yang tepat untuk berkenalan dengan kakek? Atau mengetahui bahwa kakekku masih hidup?
Aku melotot. "Kau apaku?"
"Kakek buyutmu," ulangnya, kali ini melihat padaku dengan mata biru pucatnya.
Setelah dilihat-lihat, dia tidak memiliki kesamaan apa pun denganku, atau dengan Ibu. Memang mata Ibu biru, tetapi bukan pucat (mata Ibu warnanya keperakan) dan tidak juga menatap tajam sekaligus sengit begitu. Lekukan senyumnya apa lagi, semakin membuatnya tidak mirip dengan Ibu ataupun aku.
Seolah menyadari apa yang kupikirkan, dia berdecak. "Aku kakek Cassius."
Masih tidak mirip, hanya matanya saja yang sewarna dengan Kolonel. Selain itu, segala-galanya nampak berbeda. Helai-helai rambut Kolonel pirang, berbanding terbalik dengan pria tua yang memiliki rambut hitam setengah putih karena umur. Begitu juga cara mereka menatap. Pria ini terlihat seperti orang yang maniak menyerang tanpa strategi. Aku bisa membayangkan dia berteriak di depan prajurit lain, menggila seorang diri.
Walau demikian, aku tidak bisa terang-terangan meragukannya.
"Aku sudah mati, harusnya," dia mengaku lagi sebelum aku menanggapi.
"Harusnya?"
Jeremiah mengangkat bahu. "Setelah aku merasakan kematian, aku menjadi roh pengelana mimpi. Aku menyimpan memori semua orang, tak terkecuali kau."
"Kalau begitu aku sudah mati juga?" Aku melongo. Racun yang Gliffard berikan ampuh sekali hingga membuatku terdampar di tempat orang mati.
Namun, alih-alih menyetujui, Jeremiah merengut kesal. Raut yang biasa ditunjukkan jika berhadapan dengan orang-orang miskin ilmu atau berpemikiran lambat. "Hari yang cukup bagus untuk menjadi roh muda, ya?" sindirnya. "Kau ada di mimpi sekarang. Jika kau bertemu denganku, artinya kau tertidur, sangat pulas hingga aku gemas ingin mengirim memori-memori kelam."
Aku berjengit mundur. "Tunggu. Apa, sih? Coba jelaskan secara singkat tapi mudah dimengerti. Kau ini apa, aku ada di mana, dan apa yang tepatnya kau lakukan?"
"Aku roh pengelana mimpi, bocah," ulangnya jengkel. "Aku bisa membaca memori semua orang, terkhusus kau, dan mengirim ingatan seseorang pada yang lain. Apa kau tidak merasa akhir-akhir ini kau banyak memikirkan masa lalu?"
"Tidak. Karena aku ingat semua hal―"
"Di hidupmu sejak kau berumur tiga tahun. Ya, ya, ya. Bakat yang luar biasa." Tahu begitu kenapa aku harus repot-repot mengatakannya? Jeremiah melontarkan tatapan tajam. "Ada alasan kenapa aku menunjukkan diri padamu. Secara sederhana, kau istimewa."
Aku mendengus. "Karena kau takjub aku bisa mengingat detail-detail dari seluruh hidupku?"
"Tidak juga. Pokoknya kau spesial karena orangtuamu berdarah Eithnidgar."
Eithnidgar, itu nama lamaku sebelum Kolonel menggantinya dengan Gauvelaire. Saat bertemu Leya, lalu mendengar Kolonel bercerita, aku sadar Eithnidgar bukan sekadar nama susah yang ibuku miliki. Itu juga nama sebuah tempat, di mana Noir Gauvelaire bertemu peri.
Pemahamanku waktu mengobati trauma sederhana saja. Oh, inikah alasan Ibu sering bicara tentang peri, karena nama kami sama dengan tempat yang Noir Gauvelaire kunjungi.
Kalau dipikir-pikir pun, tak heran aku suka menempel pada Kolonel, mengingat hubungan nama Eithnidgar dengan Gauvelaire. Aku sempat ingin bertanya lebih lanjut, andai saja Kolonel tidak begitu kaku, Kapten tidak galak, dan Teresia tidak dingin. Pokoknya Gauvelaire bukanlah solusi mencari jawaban saat ini.
Aku menolehkan pandangan pada patung Kai. "Jadi begitu. Dia juga punya nama Eithnidgar."
"Memiliki nama yang sama bukan berarti anak itu sudi mempertaruhkan nyawanya demi kau dan ibumu," kata Jeremiah. "Sejak Karairan dekat dengan kalian, dia mulai tahu ibumu merencanakan sesuatu. Dia tahu ibumu akan menceritakan segala hal tentang Maurelaus dan Meredin, mengkhianati manusia, mengkhianati Dewan."
"Permisi? Apa hubungannya dengan Dewan?"
"Entahlah." Ketika melihatku berkacak pinggang kesal, Jeremiah mengalah. "Bocah emas itu bilang hal-hal buruk akan datang pada siapa pun yang melanggar sumpah, bukan? Hal-hal buruk itu bukan kebetulan yang alamiah, tapi disengaja oleh para Dewan. Biasanya Dewan akan mengirim bayangan dan eksekutor pada di pengkhianat sumpah. Begitulah."
Seketika hawa dingin membungkus kulitku. "Kai ... melakukan apa?" aku bertanya. Kai adalah seorang Frey, dekat dengan Dewan. Ketika ibuku melanggar sumpah, apa dia juga ikut berkhianat?
"Persis seperti yang kau pikirkan. Dia membuat perjanjian dengan makhluk primordial Pracia."
"Apa itu?"
"Semacam entitas yang menjadi induk utama sebuah wilayah di Calistian. Mereka mewujud menjadi Daratan, dan nama mereka sesuai dengan nama wilayah Calistian sekarang. Sebutlah saja peri kuno, yang pertama sebelum Maurelaus dan Meredin."
"Frey?"
"Tidak. Mereka jauh lebih dari sekadar Frey. Bahkan sebelum Dewan lahir, mereka sudah ada. Mereka perwujudan dari setiap negara yang ada di Calistian," terang Jeremiah.
Itu ... berlebihan sekali. Seribu tahun sudah cukup membuatku bergidik ngeri, seberapa lama kira-kira umur para primordial itu? Seberapa banyak kekuatan uang disimpannya untuk mengikat sebuah perjanjian yang menaklukkan seorang Maurelaus?
Aku kembali pada topik utama tentang Kai. "Perjanjian apa?"
"Kalalia harus selamat, apa pun yang terjadi. Puan Pracia menghalau maut yang dikirim Dewan, sebagai akibat, kekuatan Kai sebagai Frey mulai mengkhianatinya, dan kalau kelopak bunga ini rontok sepenuhnya, Puan Pracia akan mendapatkan jiwanya."
"Apa?"
Tiba-tiba, aku merasakan denyar aneh pada sekujur tubuh. Aku menatap tanganku yang mengabur. Iya, aku tahu kau pasti protes kalau ini semua salah mataku, aku juga berpikir begitu sebelum kedua tanganku tiba-tiba menghilang. Aku buntung, tapi tidak sakit.
"Sudah waktunya kau kembali," jelas Jeremiah sebelum aku sempat panik. "Tidak apa-apa, itu wajar kalau kau menghabiskan terlalu banyak waktu di tempat ini."
"Tidak! Aku masih ingin mendengar banyak." Tubuhku tidak sependapat. Semakin banyak bagian tubuhku yang hilang. Saat kakiku lenyap, rasanya aneh kalau menanyakan kenapa aku bisa mengambang setengah badan sekarang. "Jeremiah, kenapa kutukannya masih ada? Ibuku sudah mati!"
Mata Jeremiah melebar, mungkin terkejut, tapi kuharap itu bukan karena bentuk tubuh baruku. "Benar ternyata," katanya, menjawab tanpa memberikan jawaban. "Kau lebih cerdas kalau lebih memperhatikan."
Pertanyaanku bukan itu! "Ibuku sudah mati, kenapa kutukannya tidak terlihat berhenti? Kenapa Puan Pracia ingin jiwanya?"
Jeremiah diam, dan tubuhku sudah tinggal kepala.
"Hei! Jawab! Kenapa dia harus melakukannya? Kenapa―"
Terlalu banyak pertanyaan yang membutuhkan alasan, tapi ketika waktu berkehendak lain, maka aku harus melupakannya hingga semua menjadi gelap.
「 Cruel & Lonely Shadows 」
E untuk Eithnidgar
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top