[17] Gliffard and Their Games

"Dia memiliki emas pada matanya. Konon menarik perhatian Selias Agung. Ketika kematian tragis menyambut, tangis Kaneta menyertai pemakamannya."

⌞ E ⌝

Matahari masih nampak, sudah condong ke barat tapi cukup untuk memberikan banyak cahaya pada lapangan yang kini sepi. Aku termasuk hal yang disinari olehnya, masih berdiri dengan kedua tangan di samping dan mata kepada lingkaran Meredith. Gadis itu belum menghapusnya, jadi kukira tak ada salahnya mencoba untuk menaikinya. Bahkan jika anak-anak itu mengamatiku diam-diam aku akan berusaha abai.

Langkah kaki ringan terdengar sebelum aku berada di atas lingkaran, membuatku berbalik. Yang jelas itu bukanlah Aurelian atau Kai. Anak malang yang dijaili tadi menatapku dari bawah sampai atas. Ia mendekat walau sedikit lambat begitu mata kami bertemu. Wajahnya berusaha netral dan dia pasti berharap rona merah di sana hilang. Namun, dia gagal meneguhkan hati begitu membuka mulut.

"Kamu!" Aku tak terkejut ketika dia malah membentakku sambil mengacungkan jari. "Untuk apa manusia ada di tempat ini? Kau cuma beban, kecil, lemah, tidak tahu apa-apa, dan ... dan manja. Kau seharusnya mendekam saja di rumah besarmu yang nyaman dan hangat. Me-menyusahkan!"

Rumah besar dan hangat. Seharusnya dia tahu kalau rumah Gauvelaire itu sedingin ruang bawah tanah.

"Aku juga pernah marah-marah pada kakakku," aku berkata padanya. "Dia melakukan hal yang tidak kusenangi agar aku bisa maju dan melakukan hal lain yang lebih dari itu."

Wajah Luca semakin merah, semakin melemah untuk tunduk pada malu dan tangis. Aku menghampirinya dengan sapu tangan bekas bungkusan bekal Maria. Kain itu menyapu wajahnya hingga semua air yang tersisa di sana menghilang. Merah masih menghiasi wajahnya, tetapi itu cukup untuk meringankan kesedihan.

"Mereka keterlaluan. Aku tidak akan menyangkal," kataku lagi.

"Tapi manusia sepertimu adalah salah satu yang beruntung. Kudengar mereka adalah penyelamatmu. Kenapa sikapmu seperti itu?" ucap Luca.

Satu-satunya sisi beruntung yang kudapatkan adalah teman-temanku aman, sisanya super buruk. "Balas budi. Aku kemari hanya karena pertukaran semata. Mereka menyelamatkan keluargaku dan aku mengikuti mereka. Nah―" Aku berbalik dan kembali pada area― "Aku ingin mencoba ini sekali lagi, bahkan berkali-kali sampai aku ada di atasnya. Mau ikut?"

Kedua tangannya saling menggenggam. Manik hijaunya jatuh kepada sepasang sepatu cokelat lusuh yang membalut kaki-kaki mungil cowok itu. "Kau manusia. Bukankah kau seharusnya tidak bisa menyentuh apa pun yang berbau magis?"

"Memang." Aku menyunggingkan senyum. "Hanya muntah bukan masalah."

Lelucon itu sempat mengentikan isaknya. Setelah bertatapan cukup lama, kami memutuskan untuk duduk dan saling berbicara. Lebih tepatnya Luca yang menginginkan itu. Dia bilang, rasanya aneh kalau berbicara sambil berdiri. Menjelaskan hal-hal yang tidak kuketahui mungkin saja membuat energinya terkuras saat berdiri. Kami mengambil tempat yang tak jauh-jauh dari lingkaran gravitasi milik Meredith.

Luca melirikku ragu-ragu. "Kau keren karena tidak takut pada kami."

Aku tersenyum tanpa memandangnya. "Sebelum para Frey, ayah asuhku, Kolonel Cassius, mengenalkan kalian dengan nama Anak-anak Tersesat di sebuah pulau bahagia."

Dia mengerjap seakan itu hal luar biasa. "Kolonel yang baik hati," dia memuji. "Dia tidak menyebut nama Gliffard?"

"Tidak. Aku baru tahu tentang itu saat Aurelian menjelaskan."

Luca mendesah, matanya berkaca-kaca. "Benar-benar baik. Kau tahu? Gliffard adalah nama asli dari anak-anak yang menghuni Pulau. Kalau kata orang-orang di tempatku dulu arti nama itu adalah tercela, tercemar, dan aneh. Kami ditendang keluar diiringi huru-hara yang menyerukan nama itu, lalu berseru mengejek, menyumpah agar kami mati saja." Dia semakin menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya. "Padahal mereka sama sekali tidak berani mendekati kami, bahkan hanya pada para Pendengar."

Dia membuatku membayangkannya. Sebuah tempat dengan jalan penuh orang dewasa dan anak-anak yang berseru, rela berteriak-teriak sampai serak agar memecahkan tangis serta ketakutan seorang anak. Seorang anak yang masih belum mengerti apa yang tengah terjadi pada dirinya, diusir, yang dalam satu malam hidupnya berubah.

Ceritanya membuatku memeluk diri sendiri.

"Di tempatku, Rimegarde, semua anak hidup bahagia." Aku berganti menceritakan bagian dari kisahku. "Rumah keluarga Gauvelaire sepi, jadi aku lebih sering dititipkan di panti dekat situ. Tidak buruk. Aku jadi punya kakak, teman pengacau, penasihat cerewet, dan adik-adik manja. Tetapi orang-orang dewasa―tentara―mengubah semua itu dalam satu malam. Aku bersama anak-anak lain yang bertahan hanya bisa mengandalkan makhluk asing untuk kabur."

"Rumah Gauvelaire, kan, aman?" Luca mendongak, melebarkan matanya yang tadi masih seperti bendungan. "Kau bisa bertahan hidup sampai dewasa di sana."

Aku mengeluh dalam hati, berharap hanya Luca yang masih menganggap itu benar. "Tidak ada yang aman di seluruh bagian dunia ini. Kolonel hilang, Kapten Orna sibuk mencari, Paman Finn punya urusan sendiri, Bu Ingrid dan Teresia bukan orang yang senang berurusan dengan perang. Mendekam di rumah itu sama saja menunggu monster dan makhluk lain datang dengan sendirinya, lalu aku tidak bisa berbuat apa-apa."

Luca mengerjap, mungkin tidak mengerti siapa saja yang kusebutkan itu. "Jadi kau lebih memilih menyelamatkan teman-temanmu dan membuat dirimu terjebak dalam perang ini?"

"Ya."

"Mengapa?"

Kumainkan jari-jariku agar tidak takut ketika menjawabnya. "Aku tidak mau melihat orang mati begitu saja lagi. Kalau tanganku tidak mampu melindungi mereka, maka aku akan melakukan pertukaran apa pun dengan makhluk yang bisa menjamin keselamatan mereka. Aurelian dan Kai memang sepenuhnya belum kupercayai. Tapi mereka pasti bisa menolongku."

Suara kami diredam keheningan sehabis itu, dan kami enggan saling melirik. Luca mungkin lebih dulu memaksakan matanya untuk tertuju padaku. Sedangkan aku masih memperhatikan kakiku yang terbalut alas kaki biasa, diam karena memikirkan ulang ucapanku. Setelah memutar kalimat-kalimat itu seperti piringan hitam yang tidak berhenti, aku mulai menganggapnya aneh.

"Enaknya." Dia mendesah. Suaranya semakin kecil dan takut-takut. "Sejak kecil aku sudah menjadi orang buangan di tempatku tinggal. Lalu semakin ditindas lagi saat mereka tahu aku terpapar radiasi. Di sini aku juga bukan Gliffard normal pada umumnya. Kau manusia, tapi hebat sampai punya orang-orang yang ingin diperjuangkan, Anna. Eh, itu namamu, bukan? Aku takut salah menyebut namamu."

Wajah kecilnya dihiasi tawa. Wah, cepat sekali dia bisa menghibur dirinya sendiri dengan kepalsuan. Kujawab, "Cuma Anna. Aku anak asuh yang beruntung dapat belas kasih kepala keluarga, dan tidak ada label terhormat bila Gauvelaire ada di pertarungan."

Aku tertawa dalam hati karena kalimat terakhir. Semoga itu menjadi karangan yang sempurna untuk mengejek diri sendiri.

"Bukannya kau tidak punya sesuatu yang ingin kau lindungi, Luca," kataku, "tetapi kau hanya perlu waktu untuk menemukannya. Kau butuh keberanian agar hidupmu berubah, tidak selalu menjadi yang paling terinjak-injak. Sedikit keberanian, banyak hal yang berubah, dan akan ada sesuatu yang muncul untuk kau sayangi."

Aku memandangnya sambil tersenyum. "Kau tahu? Tidak ada yang salah kalau kau berbeda. Kau bukannya cacat atau tidak mampu. Dorong sedikit keberanian, dan tunjukkan pada mereka kalau kau―"

Dia menangis. Aku berusaha menahan keterkejutan ketika dia melakukan hal yang seharusnya membuatku terlonjak. Dia bahkan berkata, "Maaf. Aku sulit menahan diri kalau soal itu. Ada lap?"

Kuberikan sapu tanganku padanya. Dia membenamkan wajah di sana, memberikan sedikit celah bagiku untuk melihat wajahnya ketika dia mengelap kasar hidungnya yang merah. Masalah enteng, aku bisa mencucinya sendiri nanti.

"Aku ... bukannya cacat," kata anak itu, sesenggukan. "Entah para Gliffard lain dan Tuan Matahari paham atau bingung, aku hanya terlalu takut untuk mencobanya karena selalu memikirkan manusia-manusia normal. Kalau aku berhasil, aku pasti akan ditendang lagi dari rumah. Aku kepingin pulang, mencoba melawan kekuatan ini agar selalu diam dan kalau bisa kembali normal. Aku terlalu lama menekannya dengan pikiran itu, sampai-sampai sekarang aku lupa cara melakukannya."

Luca bersin dan batuk-batuk lagi sementara aku berusaha memahaminya.

"Bu Panti bilang, aku tidak boleh pulang sebelum sembuh," katanya. "Anak-anak di sini bilang, aku tidak diterima kalau tidak terpapar. Aku―aku tidak punya rumah." Histeris lagi.

"Kau selalu punya rumah, Luca," aku berkata jujur, bukan sekadar ingin menghibur dan kemudian bersikap tidak tahu apa-apa ketika dia hancur. "Kau hanya belum menemukan yang tepat."

Sama seperti aku dan Ibu yang selalu berpindah-pindah. Ibuku bilang, aku belum menemukan tempat yang tepat untuk tinggal selamanya. Kami berjalan dari ujung ke ujung, mencari-cari, dan kadang bisa beristirahat di naungan pohon raksasa saja sudah cukup membuatku nyaman. Meskipun, mungkin kenyataannya Kai benar, ibu hanya sedang berbohong padahal dia menghindari maut.

Kupikir Ibu benar. Sampai saat Kolonel mengajakku pulang bersamanya. Akhirnya aku punya rumah, akhirnya aku punya tempat yang bisa digunakan untuk bernaung selamanya, dan kuharap memang itu benar.

Sisa sore kami habiskan dengan berdiam diri dan mencoba menaiki lingkaran gravitasi. Meskipun diam, kami berdua tahu apa yang ingin kami utarakan dalam setiap gerak.

***

"Lebih cepat lebih baik!" Letnan Sigmund sudah membentak pagi-pagi. Dia yang akan melatih anak-anak untuk bagian ini.

Dia menjelaskan aturan singkat yang dengan berat hati diulang sekali lagi. Anak-anak hanya akan berlari kecil sambil membawa beban, dari barak lalu mengitari pulau yang kelilingnya tiga mil empat kali. Jujur, berlari sekitar lima mil tanpa berhenti saja sudah akan membunuh kakimu.

Aurelian menghampiriku yang bingung mau berbuat apa. Kutebak dia ingin menyuruhku pergi bersama mereka. Dan benar saja. Namun, ada satu orang yang mencerocos sebelum aku menjawab.

"Tidak boleh." Kai melipat tangan, alisnya menukik. "Jangan coba-coba ikut dengan mereka."

Tak pikir panjang, aku melotot padanya. "Kau berisik!"

Aku pergi untuk mengambil roti dan air sarapan, mengabaikan dua orang yang segera mencerca dan berdebat dalam bahasa asing. Sebenarnya aku tidak ingin ikut, tetapi aku enggan disebut manusia pemalas.

Beberapa gadis Gliffard menyetopku-atau, menghadang. Salah satunya menyodorkan roti dan air.

"Mau?" Gadis itu memamerkan gigi-giginya. Menyeringai, bukan tersenyum.

"Yang ada di dapur barak pasti sudah ludes. Kau belum makan malam dari kemarin, bukan?" Gadis lainnya benar. Aku menghindari keramaian, dan tak ada satupun yang menghampiriku untuk memberikan makanan.

Jadi kuambil keduanya dengan tatapan waspada. "Terima kasih."

Aku pergi dan berdiam diri di dalam pepohonan. Sendirian tak membuatku takut, malah, ini lebih menenangkan ketimbang mendengar orang lain tertawa tanpaku.

Kupandangi roti berbungkus itu dengan datar, lalu berganti pada botol air. Beracun, bisik bagian dalam hatiku. Senyum tadi adalah senyum mematikan seekor ular yang hendak memangsa targetnya. Tetapi, otakku memunculkan sebuah pemikiran baru. Kalau benar roti dan air yang tersedia sudah habis, maka inilah makananku satu-satunya. Kalau aku tidak makan karena berpikir di dalam ada racun, aku bisa mampus saat berlari nanti.

Jadi aku menyingkirkan pikiran soal racun dan memakannya. Aku terus melahap roti seakan aku sudah tidak makan berminggu-minggu. Entah ini disebabkan karena kemarahan pada anak-anak yang mencoba mempermainkanku, atau memang aku sendiri yang lapar.

Roti itu habis dalam waktu lima menit, disusul air yang setengahnya langsung berkurang. Bagus, aku baik-baik saja. Ini tidak-

Suatu tarikan besar melilit perutku. Rasa sakit menjalar tiba-tiba dan membuat aku menjatuhkan botol. Kupandangi isinya yang tumpah ke tanah sambil memegang perut, sedangkan mataku berkunang-kunang. Sakitnya mereda setelah itu, tetapi kembali lagi, lalu reda lagi. Berulang-ulang begitu.

Aku salah. Di dalamnya ada racun.

***

Belum cukup dengan sarapan beracun, mereka juga mengerjaiku dengan trik konyol.

Letnan Sigmund dan kedua Frey menyediakan seragam sampai sepatu dan ransel untuk latihan ini. Masing-masing anak satu. Jumlah semua seragam itu pas, entah karena mereka punya cadangan atau malah sudah mengira aku akan ikut jadi aku juga dapat satu.

Aku tidak punya waktu cukup untuk memakai seragam karena sibuk dengan sakit perut yang lama-kelamaan memengaruhi kepala. Ketika memakai sepatu di luar barak, aku merasakan benda-benda kasar ada di dalamnya.

Kerikil. Mereka memasukkan kerikil ke dalam sepatuku. Dan yakin seratus persen kalau sepatu anak-anak yang lain tidak diberi benda ini.

"Kenapa berhenti?" Letnan melempar mata galak padaku, dan barisan anak-anak di belakangnya menahan tawa.

Aku masih bisa menekan tombol Tahan agar wajahku tak terlihat marah. Malahan, reaksi mereka membuatku cepat-cepat mengikat sepatu dan langsung berdiri. Kucoba untuk tidak oleng meskipun batu-batu itu sangat menyakitkan.

Tas yang mereka berikan juga berat. Namun, ini pasti tak memiliki campur tangan anak-anak sama sekali karena untuk ukuran manusia, ini masih bisa kubawa sampai dua mil dengan lari-lari. Kurangi setengah mil dengan kondisi sepatu yang aneh.

Aku berbaris di paling belakang, tidak peduli padangan dari seluruh penjuru barisan. Kini, kudengarkan apa yang hendak dikatakan sebagai arahan.

"Arah larinya tidak jauh-jauh dari pantai, tapi tidak menyentuh pasir. Pastikan kalian selalu berjalan berurutan dan rapi. Waktu untuk sampai ke ujung adalah tiga jam. Yang tertinggal, diberikan pukulan sampai mengikuti barisan kembali." Letnan menunjukkan sebuah benda panjang terbuat dari kayu. Tampak kejam dan sadis, pasti sudah pernah mengenai beberapa punggung remaja-remaja Lost Children. "Pengecualian mungkin untuk manusia."

Ucapan terakhirnya membuat seluruh kepala berbalik untuk menatapku. Sang letnan sendiri tidak mau repot-repot.

"Mulai dari barisan paling kanan. Bergerak!" Mereka langsung berderap begitu Letnan Sigmund menyuruh.

Barisan kedua mengekor, begitu juga barisan ketiga, keempat, dan seterusnya. Sampai barisan terakhir pergi, aku baru menyusul di belakang mereka. Aku berlari, sedikit menjaga jarak dengan anak perempuan yang ada di depanku. Dan mataku tidak melirik Aurelian maupun Kai yang ada di atas bukit, menonton dengan sarapan hangat mereka.

Beberapa ratus meter pertama, aku masih baik-baik saja. Peluh belum terlalu membasahi tubuhku, dan batu-batu itu masih bisa kutahan. Terkadang karena aku ingin meminimalisir rasa sakit, aku berlari pelan-pelan hingga agak terpisah. Ketika kulihat Letnan Sigmund yang berlari mengawasi datang ke belakang, cepat-cepat aku menyamakan barisan.

Sekitar satu mil, aku merasakan beberapa kulitku terkelupas dan lecet. Kusumpahi semua orang yang ada di depan ketika telapak kaki kananku perih bukan main. Apa, sih, masalah mereka sampai mau senang-senang dengan cara begini? Lagi pula aku juga tidak pernah mengganggu mereka, mengajak ngobrol saja tidak.

Lalu dua mil. dua setengah mil. tiga. Lebih dari itu bahkan, dan waktu sudah berjalan mendekati satu jam.

Sesuatu merembes dari dalam kulit sepatu. Aliran pertama yang tak besar datang dari kulit yang berhasil dibobol batu. Meskipun tidak mencium baunya atau membayangkannya seperti jatuh dari batu melayang, aku tetap merasa ketakutan. Belum lagi keringat yang membuat rasa sakitnya menjadi lebih tajam.

Kesempatan untuk mulai berlari lambat mulai terlihat ketika banyak dari anak-anak mundur. Mereka juga kelelahan, walau aku lebih terlihat ingin mundur. Aku berbaur di antara mereka yang sudah ingin bersantai sebentar. Letnan Sigmund masih ada di depan, jadi kupikir aman untuk membiarkan kakiku beristirahat sehabis tersandung.

Yang kami tidak tahu, Letnan menghilang dari barisan depan dan muncul kembali ke belakang. Suara yang memekakkan telinga membuatku sadar kalau dia ada di belakang. Aku memutuskan membalikkan tubuh dan melihat apa yang sedang terjadi pada beberapa anak bersama Letnan. Pria itu memegang kayu yang dia tunjukkan sebelumnya, dan seorang anak nyaris jatuh sehabis kakinya kena kayu itu. "Lari!" Letnan membentak nyaring. Suaranya mengundang gemetar pada tubuh.

Beberapa anak lainnya bernasib sama, dan aku harus berulang kali mendengar suara itu memecah fokusku. Setiap kali kayunya menebas pergelangan kaki seseorang, bunyi itu muncul dan mengingatkanku akan suara kayu pada malam itu. Malam saat aku merasa kehilangan tangan.

Ah, tidak, tidak! Aku harus berhenti memikirkannya atau semua rehabilitasiku terhadap trauma selama ini akan hancur.

Kakiku memaksa bangkit dan menjauh tanpa kusuruh, seakan dia punya insting sendiri. Sebelum aku dan Letnan saling menatap aku sudah mengayunkan langkah, berlari lebih cepat seperti rusa dikejar singa. Rasa sakit dan lelah tidak kupedulikan selama aku bisa jauh-jauh dari bunyi yang tidak mengenakkan itu. Gigi atas dan bawahku saling bersentuhan hingga menimbulkan gertak saat satu lagi anak terkena kayu.

Ketika Letnan kembali ke depan, bukan hanya rasa lega yang menghampiri. Di sebelah kiri, kulihat Patricia pelan-pelan melambat dan akhirnya menunjukkan dirinya terengah-engah. Aku berusaha memandang lurus ketika dia sejajar denganku. Baju cokelatnya yang semula berwarna muda sudah benar-benar menghitam berkat keringat yang membanjirinya. Dia menyeka kening, mulutnya mencebik marah. "Sialan," umpatnya. "Miki benar-benar kurang ajar."

Dia tersandung, mundur, lalu kakinya mulai berjalan. Tetapi Letnan segera muncul dengan cara yang sama seperti tadi. Tanpa sadar aku ikut menyetop langkah perlahan dan memperhatikan Patricia yang duduk, melepas ranselnya. Dia sadar kalau Letnan ada di belakangnya, siap dengan alat pemukul.

Yang membuatku terkejut, Patricia tidak peduli. "Pukul saja!"

"Lari," kata Letnan, masih mencoba sabar.

"Kau membiarkan anak lain berbuat curang?" Sudut bibir Patricia terangkat sebelah, memandang Letnan dengan mata tajam. "Pangkatmu lumayan mengecewakan."

Dia menemukanku tak jauh dari tempatnya melepaskan ransel. Semburat perasaan yang sama di antara kami menyatukan sepasang mata kami. Bahkan setelah dia memutus kontak singkat itu, aku masih merasakan dan memahami ketidakadilan yang tengah kami lewati.

Dengan suatu kesimpulan yang hanya dimengerti oleh diri sendiri, aku mengangkat tekad untuk menatap Letnan. Langkah kakiku dibuat sekeras mungkin agar perhatiannya bergeser dari Patricia. "Lima belas detik. Beri kami waktu."

"Seorang prajurit tidak menghabiskan waktu untuk beristirahat di tengah-tengah tembakan musuh, bocah. Bahkan bila ada yang membuatnya terbebani lebih," Letnan berujar cepat. "Bangkit dan lari, atau-"

Aku melepas ransel, menjatuhkannya di depan Patricia, lalu-dengan kebodohan yang baru kudapatkan kurang dari lima belas detik-aku mencoba mengangkat ransel milik Patricia sebelumnya. Aku benar-benar kehilangan akal sehat, dan mungkin akalku pun juga tidak cukup tahu apa yang membuat ransel ini jadi lima kali lebih berat dari ranselku. Namun, aku tetap menaruhnya dalam pundak dan membiarkan bebannya semakin menekan kakiku ke kerikil-kerikil di sepatu.

"Banyak omong!" Aku ingin memaki Letnan lebih dari itu sebelum akhirnya pergi. Kulihat Patricia melotot, lalu berteriak memanggilku kembali dan mencaci.

Di atas angin, kakiku melayang dalam seperempat detik yang singkat sebelum akhirnya menapak tanah. Namun, karena rasa sakit yang mendera akibat kerikil-kerikil di sepatu lebih terasa, seperempat detik itu tidak menenangkan atau menghibur sama sekali. Bobot baru yang menekanku juga ikut mendesakku agar menyerah saja.

"Berhenti kau, manusia kecil!" Patricia berseru. Ia sudah tidak terhalangi beban seberat tadi untuk melajukan kakinya secepat mungkin. Ketika aku sudah melewati beberapa anak yang terheran-heran karena kami berdua sangat mencolok, dia masih berusaha menghindari Letnan yang akan memukulnya kalau tidak mencapai barisan. "Kembalikan tas sialan itu padaku!"

Aku menerobos barisan dan berlari di tengah-tengah Willem dan Caleb. Masa bodoh tatapan keduanya menunjukkan bahwa aku telah memisahkan mereka, dan mereka jelas tak menginginkan manusia di tengah-tengah. Tetapi aku terus berlari agar Patricia mengikuti saja apa yang telah kulakukan padanya. Setelah si kembar, aku kembali menyalip barisan agar jauh-jauh dari anak-anak di belakang. Aku sadar itu membuat anak-anak lain ikut kesal, sedangkan aku masih tidak peduli.

Setelah melaju dari Patricia, kejanggalan lagi-lagi menggerogoti semangat. Kepalaku melontarkan jeritan: Panas! Kaki dan perutku berteriak, Sakit! Ketiganya berlomba-lomba memakiku serta mengeluarkan keluhan mereka.

"Oi, oi, langkahmu tidak benar." Suara di belakang adalah Simon. Dia jelas berbicara padaku setelah melihat kakiku melayang seperti hendak copot. "Kau oke?"

"Tidak. Berisik!" Aku menyamping dan mencoba menyalip lagi. Namun, karena mataku tergenang, aku jadi menyandung sesuatu yang tidak terlihat. Aku nyaris berteriak dan terjerembab andai saja aku tidak memaksa untuk terus berlari.

"Hentikan, kau gila!" Simon berteriak.

Biar saja. Siapa juga yang mau membuat kakiku putus atau bengkak berbulan-bulan? Kalian! Siapa yang mau membuat organ pencernaanku meledak? Kalian! Kalian, kalian, kalian! Jika punya niat membunuhku, teruskanlah dan jangan ragu-ragu. Seorang prajurit maupun pembunuh mana pernah bersimpati pada targetnya yang mulai sekarat. Sini, beri aku roti bertabur racun tambahan, dan aku akan pastikan itu habis sebelum kalian mencapai titik henti. Aku juga bisa memastikan aku akan mati, sedetik setelah racunnya bereaksi dan aku kembali jatuh.

Di sandungan berikutnya, aku benar-benar jatuh hingga daguku menghantam bebatuan. Kurasakan ada darah yang mengalir setelah gigi-gigiku saling menabrak. Ada tali imajiner yang putus, menandakan bahwa inilah titik tertinggi dari rasa sakit setelah berlari-lari. Aku tidak bisa bangkit.

Luca melihatku, dan kami saling bertatapan. Dia berbalik bersama anak-anak lainnya. "Anna!"

Tetapi sosok sang Letnan yang langsung muncul membuat mereka ketakutan. "Lari! Yang berani bersantai akan kupastikan tidak dapat jatah makan dua hari."

Dengan ancaman mematikan begitu, mereka semua buru-buru memutar arah. Luca enggan, tapi dia tetap melangkah perlahan meskipun tatapannya masih sepenuhnya padaku. Patricia hendak membangkang kalau saja Letnan tidak mengangkat pemukulnya.

Aku batuk karena debu yang masuk ke dalam tenggorokan. Ransel tak lagi kubawa, benda berisi itu menindihku seperti boneka, tinggal tunggu waktu sampai aku melemah.

"Bangun," Letnan bersuara.

Aku malah menggeliat sambil mencoba melepaskan ransel. Satu tangan berhasil bebas, dan aku menyerah untuk melepas yang satunya. Kugeser ransel itu hingga tidak lagi berada di atas punggung. Akhirnya posisiku bisa miring meski tempat berbaringnya bukanlah kasur empuk.

"Gauvelaire, bangun."

Sekeras apa pun suara batinku menolak, dia tetap berbicara untuk menyuruhku bangun. Aku mengambil bebatuan yang paling dekat dengan mata, lalu melemparnya lemah ke arah sepatu pria itu.

"Aku juga mau berdiri, tahu!" kubentak dia meski tidak mengerti dari mana datangnya nada tinggi tersebut. "Tapi kau bahkan pura-pura abai kalau mereka memasukkan batu ke sepatuku."

Hatiku berharap kalau ada tangan yang segera menampar mulutku. Lihat, sekarang aku jadi merengek pada Letnan padahal tadi aku sendiri yang keras kepala untuk berlari gila-gilaan. Jelas dia tak akan peduli setelah aku bersikap sombong dengan menantangnya. Dia akan memandangku seperti para Gliffard, manusia kecil yang sok.

"Memang sakit rasanya." Tidak kuduga dia masih bisa berkata pelan-pelan. "Kau hanya ingin menunjukkan keberadaanmu bukanlah suatu beban bagi mereka, atau bahan cemoohan. Kau memaksakan dirimu, terus berlari, sampai akhirnya kau harus menerima kalau kau tetaplah manusia. Kecil, lemah, tidak akan bisa menang dari anak lain."

Aku tidak butuh penjelasannya. Aku tidak butuh kata-katanya yang merendahkan sesama manusia. Atau malah memang dia sudah kehilangan sisi kemanusiaan selama berada di pulau magis.

Kuangkat bola mata ketika Letnan berlutut di samping, mengulurkan satu tangannya padaku. "Bukan begitu caranya untuk menang sebagai manusia, Nak."

"Kalau kau punya saran yang lebih baik dari menyadarkanku akan keagungan anak-anak pulau itu, katakan." Aku menjawabnya dengan ketus. "Tapi kalau kau hanya mengulang kata-kata yang sama, mending jauh-jauh dariku. Sampai mulutmu berbusa pun aku tak akan mau dengar. Pergi, sana!"

Dia menghela napas. "Ayo, larilah bersamaku sebagai manusia biasa."

Ingin kumuntahkan segala makian karena dia begitu keras kepala untuk menarikku. Dia benar-benar melakukannya tanpa meminta lagi.

Air mata nyaris membendung karena dia membuat kerikil-kerikil kembali menggores saat aku berdiri. Sakitnya tak ada beda dengan perut dan punggungku. Dia menarikku sekuat tenaga sampai-sampai aku merasa tidak punya energi sama sekali untuk membantu diri sendiri. Tanah di bawahku berbunyi kasar selama kami mencoba membuat tubuhku bangkit.

Usahanya tak kuhargai sama sekali. Dengan jatuhnya badanku ke tanah lagi, itu sudah menunjukkan bahwa kakiku tak dapat diajak bekerjasama. Aku tidak menjerit, tetapi mencoba menutupi wajah karena tangisan yang memalukan.

"Jangan menangis, Gauvelaire!" Sekali lagi, Letnan menarik tanganku.

"Sakit." Akhirnya kata itu keluar sendirian. Tak sanggup lagi ditahan dalam lidah karena kenyataannya, memang aku kesakitan.

"Memangnya apa yang berbeda kalau batu-batu itu tidak ada?" Letnan mendengus. "Seluruh tubuhmu juga akan mampus kalau berlari bermil-mil jauhnya sambil kuawasi. Jadi, berhentilah menjadi lemah sekarang dan-"

"Sakit!"

"-berlarilah sampai anak-anak itu tidak percaya apa yang mereka lihat. Buat mereka menyaksikan anak dua belas tahun yang keracunan-"

"Sakit, Letnan, sakit!"

"-dan terluka kakinya bisa mencapai garis akhir sambil membawa ransel penuh batuan."

Dan dia berhasil membuatku berdiri dengan dua kaki yang menginjak tanah. Menginjak benda-benda tajam kecil yang ada di dalam sepatu.

"Anak pintar."

Letnan hendak mengambil ransel yang tergeletak seakan telantar. Namun, sebelum dia sempat menyentuhnya, aku kembali melakukan hal bodoh. Aku mengambilnya dan membuat Letnan melotot heran sesaat. Dia sadar dari keterkejutannya dan mencoba menghentikan ketika melihatku berlari.

Wajahku merah karena air yang terus menggenang di sana, keringat bercampur tetesan dari mata. Panas terik matahari sudah tidak lagi membuatku mengeluh sakit kepala, juga dengan racun yang terus melilit perut dan bebatuan di sepatu. Aku malah berteriak sekeras-kerasnya jika kurasakan ada luka baru yang akan membuat kakiku tidak bisa berjalan lama. Teriakan acak itu berubah menjadi cacian hebat kepada Lost Children. Pada anak-anak yang dipercaya oleh Kolonel.

***

Anak-anak itu melongo melihatku datang dengan seragam serba basah dan rambut acak-acakan. Pandangan mereka tidak lepas pula dari sepatu yang sudah meloloskan darah hasil luka-luka. Ketika kujatuhkan ransel dan membungkuk ke arah tanah kering untuk mengeluarkan isi perut, mereka malah semakin melebarkan mata.

Yang kudapatkan selanjutnya bukan air minum, melainkan kaki bersepatu yang menghajar pipi. Pelakunya bukan para Gliffard-yang kini memekik tertahan. Bukan juga Letnan Sigmund.

"Anak tolol." Kai memberikan tendangan lagi. "Sudah tahu beracun masih saja dimakan. Kenapa juga kau tidak keluarkan batu-batu itu? Otakmu sudah lari duluan, ha? Kalau tahu kau tidak sanggup, diam saja! Kubilang ikuti saja aku dan Aurelian ...."

Semua ocehannya tidak kudengarkan lagi.

Bagi roh yang sudah hidup lebih lama dari kebanyakan manusia, memukul cewek sepertinya bukan larangan norma lagi. Aku juga sudah tidak peduli karena aku tidak bisa mengharapkan apa-apa dari Lost Children. Baik kedua pemimpinnya maupun anggota-anggotanya pun sama bencinya padaku.

Aku berakhir terkapar sendirian. Sudah tidak lagi kupedulikan apa yang terjadi pada tubuhku. Barangkali daging ini akan berubah menjadi bubur dalam sekejap, atau menjadi olahan yang monster favoritkan.

Entah sejak kapan, aku tidak lagi mendengar Kai membentak kasar sambil menendang. Aku memaksa mata untuk tetap terbuka selebar mungkin, lalu membuat fokusnya terjaga. Tetapi sebuah tangan sedingin tangan orang tak bernyawa menutupi kedua mataku. Siapa yang bisa membuat tangannya menjadi seperti salju di tengah-tengah pulau berhawa panas?

Aku mendengar Kai menggeram, seperti anjing liar yang marah karena diusik. "Jeremiah!"

Tidak ada waktu untuk menanyakan siapa itu Jeremiah, karena tarikan mimpi lebih menggiurkan bagiku. Kupejamkan mata bersama sebuah suara yang menemani. Suara itu berkata, "Anak ini menarik. Akan kupinjam dia dulu, Eithnidgar."

「 Cruel & Lonely Shadows 」

E untuk Eithnidgar

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top