[16] Kau Konyol
"Katakanlah aku takkan kembali, maka kumohon, jangan pernah tinggalkan rumah ini."
⌞ G ⌝
"Menyebalkan," aku bergumam.
Orientasi tentang pekerjaanku katanya? Mending dia seka dulu semua noda di tubuhnya baru berani menahanku. Mengerikan, mengerikan, kau mengerikan! Aku hendak menyemburkannya kalau saja keberanianku memuncak saat itu.
Kini sudah dua jam aku menghilang dari pandangan anggota pulau. Beruntungnya, tak ada yang mencari, atau bahkan peduli ke mana si manusia baru pergi. Bagus. Aku bisa mengobrak-abrik isi kepala dan mencari kewarasan sendiri, menghirup udara segar, lalu menghayati keheningan. Walau demikian, hal yang kulakukan sejak tadi hanyalah mencabuti rumput dan bunga liar, lalu membuangnya ke segala arah. Aku benci memikirkan cowok itu lagi hari ini, dan aku benci kepalaku yang enggan mengeluarkannya. Karena itulah aku hanya melakukan hal bodoh sambil bergumam asal.
Posisiku sekarang dekat dengan jantung rimba, di hutan kaki gunung yang cocok dijadikan persembunyian. Meski begitu, aku tak menghindar dari kenyataan seseorang bisa berada di sekitar sini. Aku hanya tidak berharap orang itu adalah Kai. "Apanya?" dia berkata. "Aurelian?"
Aku merapatkan sandaran pada pohon. "Siapa yang mau bicara padamu?"
Sosoknya muncul dari balik pohon tempatku duduk. "Itu salahmu sendiri. Andai kau membiarkan temanmu yang mengikat perjanjian, cara Aurelian takkan sekasar ini."
"Aku atau Logan, sama saja."
"Berbeda," Kai berkeras. "Kalau kau tidak membatalkan perjanjiannya, Logan yang berhutang pada Eli. Logan hanya bilang akan memberikanmu pada kami, tidak meminta agar kau menuruti semua kemauan Eli. Tapi kondisi sekarang sebaliknya. Kau berhutang padanya."
Iya, deh. Tuan Frey keras kepala tahu segalanya.
"Apakah dia membawaku kemari karena aku makanannya?" tanyaku hati-hati.
"Singkirkan pikiran bodoh itu. Aurelian mana sudi diberi darah bocah sepertimu," geram Kai. Tetapi lucunya, aku malah mendengar gelak tawa yang disamarkan oleh suara kasar.
"Oh," balasku. "Kau memberi bocoran yang bagus."
Dia melupakan percakapan barusan seiring rautnya kembali menjadi ekspresi pemarah. Kini keteduhan hutan telah membuat wajahnya muram, sedikit penyesalan datang sebab dia jadi tidak santai lagi.
Kalau kusingkirkan ekspresi kerasnya, juga melupakan bahwa dia selalu bicara sarkas, akan terlihat betapa kemiripannya dengan Ibu berbeda tipis. Rambutnya lebih gelap dari rambut kami, matanya pun tidak perak melainkan seperti bayang-bayang cahaya bulan dan langit malam. Hanya saja lekuk wajahnya, alisnya, bentuk bibirnya, semua cocok dengan Ibu. Sangat mengganggu.
Semenit kemudian dia sadar mataku tak lepas darinya. "Apa-apaan tatapanmu? Kau doyan kumarahi?"
Segera aku menutupi rasa ingin tahu dengan cengiran. Namun, aku masih belum memiliki keberanian mengatakan sesuatu yang akan mengubah jarak di antara aku, Ibu, dan Kai. Kau mirip Ibu, he-he-he. Alih-alih mengatakan itu, aku nyengir bak orang sinting lalu berujar, "Jangan cepat naik darah. Aku anak baik."
"Kau pikir baik cukup? Aku bisa langsung membunuhmu kalau kau tidak berguna dan kurang ajar."
"Aku berguna, kok!" bentakku. "Buat apa juga kau kemari? Kalau cuma mau menceramahiku tentang Aurelian lupakan saja. Aku tidak takut, hanya ... terkejut."
Dia memutar bola mata, juga langkah. "Aku ke sini untuk memberitahu. Siang ini ada latihan dasar. Lebih baik kau pergi sarapan dan melihat Gliffard daripada merusak tanaman.",
Aku tidak memberi balasan "ya" atau "malas, ah", hanya membiarkannya pergi. Tetapi tak sampai seperempat menit, aku menyerukan namanya.
Kai berbalik. Sosoknya sudah tampak kecil dan terhalangi banyak daun. Walau demikian, tatapannya masih bisa kupahami. "Apa?"
Kau kenal ibuku? Kau pernah bertemu dengannya, bukan?
Itu yang ingin kutanyakan, tapi aku takut. Entah kenapa, kali ini aku tidak mempercayai nyaliku. Mimpi itu bisa saja berbohong. Meski sama-sama kurang masuk akal, aku lebih mempercayai dongeng ketimbang mimpi, terutama mimpi buruk. Mimpi tidak boleh dipercaya sembarang, atau itu hanya akan menghantui. Ingatanku pun tak pernah mengatakan bahwa Kai pernah masuk dalam kehidupan kami.
Kau cuma anak kecil, bagian terdalam dari benakku berbisik. Bisa saja kau lupa.
Tidak! bentak akal dan hatiku. Aku spesial. Aku bisa mengingat semuanya!
"Apa?" ulang Kai.
"Tidak. Bukan apa-apa," kataku. "Kau cukup menghibur. Makasih."
Tentu saja, dia hanya menganggap itu sebagai omong kosong. Bunyi gemerisik daun kembali terdengar berkat langkahnya, persis seperti yang kuharapkan.
***
Sewaktu aku kembali, aku mendapati anak-anak berlalu-lalang di seluruh penjuru barak. Lantai atas, lantai terbawah, dan halaman depan dipenuhi oleh mereka. Satu yang berbeda dari pagi tadi, mereka sudah rapi dengan seragam.
Letnan Sigmund menarik perhatianku. Dia berdiri di samping gerbang dan menyerukan perintah pada sekumpulan anak. Tampaknya dia pun ikut mengendalikan para Gliffard sebelum pelatihan dimulai.
Ketika seorang gadis penjaga gerbang meniup terompet, semua yang masih ada di dalam gedung makin kocar-kacir. Tetapi arah mereka serasi. Aku berusaha tidak melawan atau terseret arus lari mereka dengan menyingkir. Dari percakapan antar Gliffard, bisa kusimpulkan bahwa mereka harus pergi ke lapangan, latihan dilakukan di sana. Aku pasti bisa menyusul, tapi pakaian dan perutku tidak memungkinkan sekarang.
Rengekan perutku terdengar jelas setelah semua Gliffard pergi, mengingatkan tentang sarapan. Hampir saja tujuan awalku pulang ke barak terlupakan berkat anak-anak itu. Namun, tak ada waktu bersikap santai, apa lagi memanjakan tubuh dengan duduk sembari melahap makanan. Aku harus bergegas sebelum banyak hal terlewatkan.
Begitu meluncur ke bagian bawah barak, aku menemukan tempat kursi dan meja panjang berjejer. Semestinya ini adalah tempat anak-anak makan, tempat hidangan tersedia. Namun, sepenjuru ruang makan kosong, kecuali satu meja. Sepaket bungkusan roti dingin terletak di atasnya. Ada juga botol-botol selai, yang biasanya akan kuambil banyak-banyak.
Mengingat aku masih harus berganti baju, kini aku mesti puas dengan mencomot selembar roti tawar. Kuletakkan itu di sela-sela gigi, menggigitnya, lalu berusaha mengunyah sambil terburu-buru ke lantai atas.
Detail (baca: drama) lain selama berganti pakaian banyak. Seperti bagaimana kakiku tersandung kasur, roti menyangkut dengan kancing baju sampai robek, dan yang paling parah aku nyaris menerbangkan roti ke lantai karena risih. Tetapi lupakan saja, aku tidak mau menceritakan kisah lengkapnya. Yang terpenting aku sudah rapi, aku siap melihat pelatihan.
Di arena persegi panjang yang cokelat, Gliffard berkerumun acak-acakan. Sedangkan di hadapan mereka berdiri lima orang: Letnan sebagai pelatih, Kai dan Aurelian, Austin, serta seorang gadis kecil. Bukan hanya itu, sesuatu yang melingkar-lingkar berwarna biru di depan si gadis juga turut mengisi pemandangan. Semua anak-anak-termasuk aku-menatap pada benda tersebut. Sebagian beberapa dari anggota Lost Children mengira adanya perintah buruk nanti, sedangkan segelintir malah tertawa-tawa mengejek.
"Kecuali para Penarik, silakan berbaris untuk tes pertama," Kai berucap di sela-sela keheningan. Dia berdiri di samping Meredith, gadis yang sangat pucat seperti mayat hidup.
Sebagian anak langsung memisahkan diri dari kerumunan. Mungkin merekalah yang disebut Penarik. Sisanya yang memiliki jumlah lebih banyak dari anak-anak Penarik membuat beberapa barisan. Mereka sangat teratur hingga aku tidak melihat kecacatan. Aku―lagi-lagi―tidak tahu harus berdiri di mana selain tetap berada di bagian belakang barisan, di tanah yang sedikit lebih tinggi agar aku bisa melihat apa yang akan terjadi.
Kai nampak puas dengan barisan-barisan itu. Dia mulai menjelaskan. "Mungkin kalian semua tahu ini." Ditunjuknya lingkaran di depan si gadis. "Ini medan yang gravitasinya dapat diatur oleh Gliffard tipe Penarik, entah itu semakin ditarik ke bawah atau dilayangkan. Meredith akan menguji kalian dengan mengecilkan tarikan gravitasi, yang artinya kalian akan melayang. Tetapi, kami ingin melihat sikap kalian di atas sana. Keseimbangan."
Anak-anak mulai berbicara dengan orang di sampingnya. Kali ini Kai seolah memberi izin mereka untuk berdiskusi. Sayangnya, para pengendali gravitasi itu sudah dipisahkan agar tidak ada tips yang dapat dibagikan.
"Simon, mau coba pertama?" Austin yang duduk di atas satu-satunya pohon yang dapat kutemui di tanah ini menunjuk salah satu anak yang ada di barisan terdepan.
"Saya?" Simon menunjuk dirinya sendiri, lalu maju beberapa langkah setelah semuanya mendesak dia. Oh, dia adalah remaja yang menjadi penanggungjawab asrama tempatku tidur semalam. Tampaknya dia akan lulus ujian ini. Dia terlihat seperti anak baik-baik yang sudah berhasil mendapat banyak penghargaan.
Dia menatap lingkaran itu ragu-ragu. Satu kakinya mulai naik ke atas sana, sedikit terdorong ke atas karena dia mulai merasakan tekanan gravitasi yang mengecil. Dia memberanikan diri untuk menaikkan kaki yang satu lagi, dan aku sangat terkejut melihatnya.
Dengan konsentrasi super penuh sampai memejamkan mata erat, Simon benar-benar melayang di atas lingkaran itu. Tubuhnya nyaris oleng kesana-kemari, mencoba menyesuaikan. Berat, pasti sangat berat. Keseimbangan yang dimaksud Kai pasti bukanlah sekadar bisa melayang tanpa membuat posisi jadi terbalik.
"Tegakkan kakimu," Kai memberi instruksi. "Pastikan tubuhmu lurus vertikal."
Hebat. Dia menyuruhnya untuk berdiri di atas udara. Kupastikan seluruh remaja kecuali para penarik menelan ludah mereka sendiri.
Tetapi, Simon berhasil melakukannya. Tolong jangan tanyakan bagaimana cara dia melakukannnya karena aku yakin hanya dia yang tahu. Simon membuka matanya lebar-lebar sampai mau copot sekarang. Kakinya lurus, begitu juga dengan punggung dan lehernya. Dia memandang ke depan tanpa ekspresi Lihat-aku-bisa-melakukannya. Dia agak tersiksa dengan itu. Namun, cicitan kekaguman teman-temannya terdengar, seakan menyemangatinya dengan secuil roti dan setetes air.
"Bagus. Turun." Begitu Kai memberi perintah, Simon langsung menggapai-gapai ke luar lingkaran dengan kakinya. Dia jatuh menubruk tanah. Sepertinya dia sedikit terkejut dengan hal itu sampai ingin muntah. Selebihnya dia baik-baik saja.
"Kami membutuhkan regu udara yang bisa bekerja dengan para Penarik," Aurelian sedikit memberitahu alasan mereka diberikan tes tersebut. "Tahun ini tidak terlalu banyak Penarik yang masuk ke dalam Pulau. Karena kami sangat membutuhkannya, jadi, tolong sedikit berusahalah."
Kai melipat tangan. "Jangan sok lembek, Aurelian. Intinya aku tidak mau dengar ada yang bilang ini susah atau tidak bisa dilakukan."
Tidak ada yang menjawabnya dengan bantahan. Mereka hanya berani menyerukannya dalam hati karena tes ini terlihat begitu berat. Beberapa dari mereka mungkin menanggapi Aurelian dengan sedikit kasihan sehingga mau berusaha. Tetapi karena Kai sudah membentak, mereka jadi menekan diri mereka.
Satu per satu mereka mulai berdiri di atas lingkaran yang dibuat Meredith. Kali kedua ada yang mencoba, dia gagal. Tetapi berikut-berikutnya masih ada yang bisa berdiri seperti Simon. Bahkan ada yang tidak kesulitan sama sekali dan berdiri tegak seakan dia membuat lantai tak kasat matanya sendiri. Orang itu adalah Ren. Paling sempurna.
Bisik-bisik mulai menguap ketika Ren melayang selama satu menit lebih. Mulai dari "Anak kesayangan" lalu "Padahal dia adalah salah satu Pendengar" dan "Yakin dia akan jadi yang terbaik tahun ini." Tidak salah kalau dia jadi favorit Kai dan Aurelian, dia terlalu sempurna. Teknik berpedangnya, fokus, dan juga caranya lolos di tes ini. Satu yang baru kutahu dari Ren adalah dia seorang Pendengar. Aku menebak-nebak. Apakah itu salah satu kekuatan yang ada di sini, atau hanya julukan?
Si kembar tidak terlalu mahir untuk naik ke atas sana. Kai tak melihat perbedaan dari keduanya. Dia hanya memutar bola mata ketika Willem dan Caleb masih sempat-sempatnya bercanda hingga membuat anak-anak lain menahan cekikikan. "Remaja tak tahu tempat," komentarnya.
Setelah kembar itu lari terbirit-birit ke belakang barisan, datanglah Patricia. Entah kenapa gadis itu dan si kembar selalu ada di waktu yang tidak berjauhan. Dia mencoba, dan hasilnya tidak buruk, masih bisa dikatakan lolos.
Miki menerobos maju, membuatku berpikir kalau mereka berempat adalah kawan sejati yang tak terpisahkan. Gadis itu mendapatkan hasil lebih baik dari si kembar dan Pat. Dengan itu, dia menyemburkan kesinisan pada temannya. Persahabatan ini manis sekali.
Kemudian, ada anak itu lagi. Luca. Tapi, tunggu dulu. Dia bukanlah anak yang berasal dari kelompok-besar-selain-Penarik. Dia adalah salah satu dari para Penarik. Teman-teman di kelompok Penarik yang bandel mendorong tubuh kecilnya sambil berseru-seru mendesak. "Kau harus mencoba!" kata mereka.
Kupikir ada perintah galak dari Kai. Namun, pemuda itu dan Aurelian cuma memperhatikan Luca digiring.
Meskipun sudah diseret-seret hingga hampir menangis, Luca tak kunjung menaikkan kakinya ke atas lingkaran dengan gravitasi rendah itu. Sampai, Kai berkata, "Naik."
Apa? Bagaimana bisa mereka mendukung kejahilan ini?
Luca tak berani memohon untuk mencabut perintahnya. Segera saja para Penarik lain meninggalkan dia sendirian di depan arena, kembali ke tempat menonton. Kami semua mendapatkan pemandangan menyedihkan dari seorang bocah yang menahan tangis.
Luca mengangkat kaki, menerima tekanan gravitasi kecil yang membuatnya melayang. Satu kaki lagi diletakkannya dengan cepat dan hati-hati. Dia adalah penarik, dia pasti bisa.
Ya, sebelum semua pasang mata menyaksikannya jatuh tergelincir dua detik kemudian. Serentak, semua anak-kecuali aku dan Austin dan Meredith, serta dua pimpinan itu-tertawa. Suaranya memecah keheningan yang sangat mencekam sejak tadi.
Tanpa sadar kakiku berlari menerobos barisan yang tak lagi teratur itu. Aku berpura-pura tidak melihat tatapan Patricia yang berusaha mematahkan kemauanku. Bahkan Miki sempat mengernyit heran. Lalu aku pun sampai di antara Lost Children dan dua pemimpin mereka. Kuarahkan pandangan sepenuhnya pada Luca yang terkapar di tanah. Ia sudah menangis, maka aku cepat-cepat membantunya bangkit.
Tindakanku tak direspons Kai maupun Aurelian. Tetapi itu mengundang sunyi dari anak-anak, disusul bisikan-bisikan menggunjing. Kuperingatkan diri untuk mengabaikan mereka saja. Aku melakukan hal yang benar. Apa yang salah dari mencoba menolong seseorang kembali berdiri?
Mata hijau Luca menatapku. Perlahan-lahan tangannya juga naik ke udara, menggapai, dan menggenggam telapakku. Tanganku ikut gemetar karenanya, meski masih berusaha untuk menariknya bangkit lagi. Perlahan-lahan dia kembali membuat tubuhnya berdiri meski masih belum berani untuk tegak. Kami hertatapan selama beberapa detik. Namun, entah karena apa, dia langsung berlari pergi sambil menutup mata.
Aku berani melontarkan tatapan galak pada Kai. "Kau sengaja?"
"Siapa pun boleh mencoba," kata Kai. Dia yang berdiri di atas tanah berbukit semakin terlihat memandangku rendah. "Apa aku terlihat marah pada yang gagal?"
"Kau bahkan tidak memberi bantuan padanya."
"Ini tes, Gauvelaire. Ini saat-saat di mana kemampuanmu diukur. Apa alasanku membantunya?"
Mataku melebar agar bisa melontarkan lebih banyak cacian lewat tatapan. Mulutku ingin mengatakan sesuatu. Jahat! Tapi itu hanya berakhir di ujung lidah.
"Kau mau coba?" Aurelian tiba-tiba menawarkan. Suaranya membuat tengkukku bergetar. "Kau juga bisa kalau ingin."
Kai langsung memutus kontak mata denganku, menoleh pada temannya. "Eli."
"Kalau kau mau tahu, kau dan Luca itu sama. Kupuji keberanianmu, dan akan kuberikan pujian lagi bila kau juga berani mencobanya." Anak-anak tersentak mendengar salah satu pemimpin mereka yang dicap lembek sedang menguji kesabaranku.
"Berhenti memprovokasinya," tukas Kai, lalu beralih lagi kepadaku. "Kau, jangan coba-coba terpancing olehnya dan pergilah."
Dia mencoba bergerak. Baru kami semua sadar sesuatu menahannya untuk tetap diam, bahkan hanya mengangkat tangan saja tidak bisa. Diliriknya Aurelian, dan berkat kemarahan yang berapi-api di kedua matanya kami semua tahu siapa yang melakukannya.
"Aurelian," Kai menggeram. "Kau berani menggunakan kekuatanmu padaku?"
"Memangnya tidak boleh?" Aurelian tersenyum.
Merasa tak ada gunanya memaksa Aurelian, Kai beralih pada si gadis kecil. "Meredith, lenyapkan area itu."
"Tidak bisa," kata Meredith, dingin, datar. "Aku sedang mengikuti keinginan seseorang."
"Kalau begitu ikuti kataku!"
"Bukan Anda. Bukan Tuan Aurelian. Tapi dia." Meredith menunjukku dengan jari-jari mungil khas anak umur dua belas tahun.
Aku tidak lagi memandang satupun dari mereka. Tatapanku fokus pada lingkaran magis yang dibuat oleh Meredith. Aku sangat tergoda untuk melompat naik ke atasnya, menuruti bisikan-bisikan Aurelian yang tidak terdengar oleh orang lain. Telingaku mendengarnya berbicara. Lakukan. Atau kau lebih senang kubantu? dia berkata dalam pikiranku.
Kuakui aku tidak punya niat untuk melawannya karena aku juga ingin. Ingin kulakukan agar Luca tidak jadi satu-satunya yang terlihat bodoh. Agar anak laki-laki itu tidak malu sendirian. Agar Aurelian tahu aku tidak takut padanya setelah apa yang dia lakukan di hadapanku.
Ya, bagus. Teruslah bertekad, Gauvelaire. Pikiranku membobol hati. Tidak kuhiraukan apa yang tengah diserukannya karena aku masih berfokus pada lingkaran itu. Bangun dirimu, lapisi kulitmu dengan tameng. Kau mau hancurkan bocah emas itu, bukan?
Suara-suara lain mulai berdatangan. Kira-kira menyemangatiku, tetapi mereka tidak satu jalan dengan Aurelian. Kusingkirkan mereka dengan mudah agar tidak menghalangi konsentrasi.
Lalu aku melompat ke atas area, merasakan sesuatu yang menahanku di atas dan tidak jatuh. Keseimbanganku payah, dan kuulangi sekali lagi apa yang membuatku berani melakukan ini saat keyakinanku goyah. Tidak apa-apa jatuh, malah bagus kalau begitu. Dengan demikian, aku bisa menunjukkan caraku membalas pada mereka. Jatuhlah!
Dan aku jatuh. Beberapa detik aku sempat berguling, membiarkan wajahku bergesekan dengan tanah kasar, lalu berhenti menghadap langit.
Rasanya sedikit mual dan mendebarkan, mengingatkanku pada sihir Austin. Sensasi itu membuatku oleng saat mencoba berdiri. Kuseka bibir dengan punggung tangan ketika menatap kedua Frey itu.
Satu kata dariku, "Puas?"
「 Cruel & Lonely Shadows 」
G untuk Gauvelaire
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top