[15] Selamat Pagi dari Tuan
"Aku khawatir kau punya kelebihan untuk menjadi prajuritku. Mau jadi anggota pertama pulauku?"
⌞ B ⌝
BAYANGANKU tentang barak sangat mengerikan. Saat aku dituntun Austin untuk pergi ke barak benteng batu besar, rasanya aku berharap jaraknya semakin jauh saja. Aku tidak ingin datang cepat-cepat ke dalam sana, berhadapan dengan ratusan mata yang memandang aneh padaku, dan kemudian mendengar mereka mulai menggunjing.
Nyatanya, aku pun juga tidak bisa berharap Austin akan mengerti keinginan terdalam yang tak kukatakan tersebut. Anak lelaki itu meloncat-loncat girang, lalu bergelantungan di pohon sambil melompat untuk mecapai dahan pohon lain. Aku terpaksa harus berlari kalau tidak mau tersesat di pulau ini. Berlari sama dengan lebih cepat sama dengan semakin dekat. Dan yeah, Austin membawaku ke depan gerbang benteng secepat kata-kata kasar Kai meluncur.
Soal laki-laki itu dan teman pirangnya, aku tidak melihat mereka di mana pun saat menuruni bukit. Letnan Sigmund sepertinya sedang mengajar, karena kudengar samar suara tentara remaja meneriakkan beberapa slogan dan jawaban dari pertanyaan maupun perintah. Begitu kuat sampai terdengar olehku yang agak jauh dari mereka.
Jariku menyentuh wajah, mengingat-ingat akan kenangan yang terlintas di benakku beberapa menit yang lalu. Dulu, saat Ibuku masih ada, sebelum gelombang laut itu menenggelamkannya, mataku masih memiliki warna biru. Semakin bertambah umur, mungkin yang tersisa hanya seberkas peraknya saja. Setiap kali aku melewati kaca aku tidak pernah tertarik untuk memeriksa apakah kini warna mataku masih cokelat-biru atau sudah cokelat total. Aku membencinya, aku membenci warna mataku, dan tidak mengerti mengapa Logan selalu bilang kalau mataku indah dulu.
Bagiku, mata yang paling cantik adalah mata Ibu. Dia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa matanya akan berubah. Itu yang membuatku yakin kalau dia juga akan ada di sisiku, selamanya, tidak akan berubah, tidak seperti mataku. Sayangnya, mata itu tetap berwarna sama seperti dulu, harapanku yang berbanding terbalik―berubah, hancur hingga sisa-sisanya hilang.
"Sampai!" Austin mengetuk-ngetuk gerbang benteng yang menjulang. Bagian tengah gerbang terbuka sedikit, anak seumuranku cukup melewatinya.
"Sepinya," kata Austin ketika masuk ke halaman benteng, di depan bangunan utama. "Anna, kupilihkan kamar, ya?"
Aku mengangguk. Kalau aku sendiri yang memilih sepertinya harus memutar-mutar sampai besok pagi. Tidak ada tanda-tanda kalau semua remaja yang ada di pulau ini sedang berkumpul di dalam asrama mereka, mungkin karena hukuman serta tugas harian yang diberikan oleh Kai. Kupikir, itu bagus, karena tidak akan ada yang melihatku di sini. Tidak akan tatapan penuh kebingungan yang seakan menusukku dengan kalimat "Bisa-bisanya kau--manusia kecil--ada di tempat perang begini" dan "Pergi jauh-jauh sana!"
Sejujurnya, aku pun juga sama herannya kenapa aku masih ingin berada di sini. Terlepas dari kekuatan seperti apa yang dimiliki oleh pasukan ini, aku tetaplah anak kecil yang ... cuma mengundang cibiran jika ngotot mengaku kuat. Mereka akan menertawakanku, menceburkanku ke dalam kloset, dan mengerjaiku dengan berbagai candaan perang-perangan milik mereka.
Aku bergidik, tapi aku juga ingin menunjukkan wajah tegas pada mereka. Aku takkan mau duduk diam dan menurut jika diseret ke dalam segala bentuk percobaan.
Namun, kalau aku mencoba untuk menepis semua rencana buruk para prajurit padaku, pikiran tentang sumpah yang disinggung Kai kembali datang. Aku benci ketika itu selalu mengingatkanku pada Ibu dan pada manusia-manusia yang bertahan hidup dengan sumpah sialan.
Sentuhan Austin pada pergelangan tanganku terasa dingin dan menyengat. Dia menarikku ke dalam bangunan. "Kamu lama," katanya sambil tertawa. "Nggak ada siapa-siapa, Anna."
Aku mengikutinya sambil terkekeh canggung. "Apa di sini tidak ada ... um, manusia?"
"Ada, Letnan jangkung itu manusia."
"Selain Letnan Sigmund?"
"Tidak ada yang lain. Kamu jadi manusia kedua yang menempati pulau ini." Pujian yang hebat, terima kasih, Austin.
Austin terus memegangi tanganku bahkan setelah kami memasuki barak. Bangunan batu kokoh itu memiliki lorong yang agak gelap, hanya diterangi obor yang sebagian belum menyala. Beberapa pintu tertutup di kanan dan kiri lorong. Sedangkan setelah lorong itu selesai, ada ruang besar yang kutebak menjadi tempat berkumpulnya anak-anak. Perapian besar di dinding membuatku sedikit yakin akan hal itu, begitu juga dengan kursi-kursi panjang yang berantakan.
Kami menaiki tangga menuju lantai dua. Austin tidak membawaku berkeliling dan langsung mencapai tingkat tiga. Ada beberapa kamar yang semua pintunya tertutup. Nomor-nomor di atas pintu terukir rapi. Austin membuka pintu yang berukiran nomor 32. Kulihat jejeran delapan ranjang di kanan dan kiri. Satu kamar delapan orang, bagus.
Aku melihat perbedaan di satu kasur pojok dekat jendela. Selain selimut cokelat dan sprei putih serta bantal, ada nampan berisi banyak makanan. Austin melonjak girang. "Cepat sekali Eli bertindak."
"Ya?"
"Eli bilang soal makan malam tidak?"
"Oh, itu." Makan malammu ada di kamar. Sudah, seperti itu saja. "Tapi bukannya kau bilang kau yang memilih kamar, bukan Aurelian?"
Austin mengangguk. "Aku pilih kamar, Eli taruh makanannya."
Berapa kali memutar otak pun aku masih tidak mengerti apa yang dia katakan. "Aurelian ada di sini?"
Anak lelaki itu lagi-lagi menertawaiku. Selain dia, kupastikan akan ada banyak lagi yang akan tertawa karena pertanyaanku yang aneh menurut mereka. Tapi serius, aku tidak tahu apa pun yang dilakukan Aurelian dan tekniknya memasukkan nampan tanpa terlihat olehku. Tidak mungkin kalau dia memanjat, kan?
"Eli bisa melakukan hal-hal semacam itu, Anna," kata Austin. "Seperti meletakkan nampannya di satu dimensi atau ruang. Sebut saja ruang kosong itu adalah sebuah kotak. Lalu dia akan melakukan sulap dan kotak itu dalam sekejap ada di kasur. Itu disebut eclipse. Teleportasi."
"Kalau kau tahu aku belum pernah mengerti bagaimana cara kalian melakukannya."
"Yeah, agak sulit dijelaskan. Tapi tidak semua Frey mampu berpindah tempat menggunakan eclipse, aku termasuk. Eli bisa melakukannya dengan mengorbankan sejumlah energi. Kai juga bisa, tetapi energi yang dibuang untuk satu kali eclipse sangat banyak. Eli juga bisa melakukan banyak hal lain di luar eclipse. Dia sudah pernah mencobanya di depanmu?" Austin memiringkan kepala.
Aku menggeleng. "Kecuali hal itu termasuk sikap anehnya, berarti dia belum. Memangnya Aurelian itu Frey apa?"
Wajah Austin tampak terkejut, seakan itu adalah hal penting yang tidak boleh sampai tidak kuketahui. "Aku ... berusaha untuk tidak heran," katanya sambil menetralkan ekspresi. "Sebenarnya Eli bilang kalau dia tidak ingin identitasnya dibongkar pada orang asing. Kupikir dia sudah memberitahukannya padamu."
Orang asing. Baginya aku cuma anak cengeng yang tidak bisa dipercaya. Cukup adil bila aku juga menganggapnya perlu dicurigai.
"Memangnya itu rahasia?" Aku menyipit, lalu melirik makanan. Aurelian membingungkan. Kadang dia bertingkah aneh dengan senyum nakal andalannya. Di satu waktu orang lain membicarakannya seakan dia begitu misterius. Aku tidak memiliki bayangan apa pun soal apa yang sebenarnya ada di dalam dirinya. "Dia itu Frey apa?"
Austin tersenyum, menggeleng berkali-kali. "Percayalah kau hanya akan bisa mengerti kalau Frey itu sendiri yang membuka identitasnya." Dia berjalan menuju pintu, bersiap untuk pergi dan menutupnya dari luar. "Selamat malam, Anna."
***
Malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Setidaknya, empat jam terakhir sebelum matahari muncul aku berhasil memejamkan mata dan terlelap. Orientasi waktu di sini cukup buruk, sebab jam tidak tersedia di ruangan, sementara aku bukan orang yang senang membawa arloji. Jadi bulan adalah satu-satunya petunjuk mengenai waktu. Syukurnya, tidak ada mimpi―yang membuatku menarik napas lega di pagi hari, karena itu artinya monster-monster menyeramkan tidak memasuki alam bawah sadar. Tetapi pagiku tidaklah seindah sewaktu aku berada di asrama. Sambutan yang kudapatkan bukanlah ucapan selamat pagi Laia, atau tepukan bantal ramah Carmen.
Aku duduk, memegangi pundak yang pegal karena salah posisi tidur. Memandang jendela dan cahaya matahari yang masuk, aku sadar kedua mataku belum jernih. Tanganku berganti memijat kepala karena tidur yang singkat membuatku pusing. Beberapa menit aku terus tetap di posisi yang sama, tanpa menyadari mereka sudah ada di depanku, menatap dengan beragam warna dari mata penasaran mereka.
Langsung aku memekik dan menyeret tubuh untuk mundur sampai punggung terbentur. Para remaja itu membuka mulut, tapi suara mereka masih teredam. Wajah mereka bertumpuk-tumpuk di depan ranjang. Para gadis sampai yang laki-laki, semuanya ada di dalam kamar ini.
"Apa manusia sekarang masih bisa tidur ketika matahari sudah tinggi?"
"Dia bahkan berteriak," kata yang lain, gadis dengan rambut bergelombang pirang. Patricia. Wajahnya tampak malas untuk menatapku, hanya menilai dari atas sampai bawah.
Aku tidak tahu harus melakukan apa selain memasang wajah berkerut kesal. Nyatanya aku takut. Akan tetapi akhirnya aku berani menyemburkan desis mengusir sambil menyipitkan pandangan. Setelah itu aku kembali ke dalam selimut, menutupi seluruh tubuh hingga terlihat seperti kepompong. Ayolah, cepat pergi, cepat pergi!
Seseorang mengucapkan "Selamat pagi!" yang sangat telat. Aku tahu dia ada di antara kerumunan para remaja itu, si penanggung jawab asrama dua. Aku belum tahu siapa namanya, tapi sudah bisa menebak dari suaranya. "Kami akan sarapan di bawah," dia berkata lagi. "Ikut?"
"Tidak." Itu bukan jawabanku, melainkan seorang pemuda. Cowok itu membuat ruangan hening. Sepatunya menapak lantai, membuat irama menegangkan. Aku terlambat bertindak saat dia menarik selimut hingga tubuhku yang bergelung bersama seprai terlihat.
Dia pemuda yang kemarin membuatku iri. Ren!
Mataku menyusuri pakaiannya yang berupa setelan perang lengkap. Jubah sewarna darah tersampir di satu bahunya, dikaitkan dengan sebuah pin lingkaran dan bintang perunggu. Cahaya matahari yang menembus gorden membuat besi di seluruh tubuh Gliffard itu berkilat, termasuk pedang tampa sarung yang ada tergantung di pinggangnya.
"Aku diperintahkan untuk membawamu ke sebuah tempat sebelum sarapan," katanya dingin.
"Ren," kata si penanggung jawab asrama dua. "Apakah ke luar barak? Bukankah wilayah sekitar masih berbahaya?"
Berbahaya kenapa?
Ren menggeleng. "Aman. Lagi pula kami akan pergi kepada Tuan Besar."
"Oh." Mata Simon mengerjap. "Hati-hati, Gauvelaire."
Sepertinya sesuatu terjadi selagi aku terlelap. Aku tak percaya mereka semua mengetahuinya dan aku dibiarkan buta hingga matahari sudah tinggi. Dilihat dari keheningan yang terjadi di halaman bawah, anak-anak ini mungkin tak diperbolehkan keluar, karena itu si penanggung jawab agak heran. Aku juga, sebenarnya, tapi mengingat bahwa Ren menyebut Tuan Besar, terbetik di benak kalau yang dia maksud adalah Tuan Matahari, raja yang menyendiri di kastelnya.
"Tunggu," kataku sebelum pergi. Tanganku menyusup ke bagian atas tempat tidur, mencari-cari benda yang kuselipkan di sana. Ketika gagang belati memenuhi kulit telapakku, langsung kutarik itu. Sebelum banyak yang menyadarinya, aku meluncurkan belati ke dalam piama hingga wujudnya tidak kelihatan lagi.
Ren pasti sempat melihatnya karena dia terus mengawasi pergerakanku. Namun, dia menuntunku keluar barak tanpa bertanya.
Hingga kami keluar gerbang, barulah aku bicara. "Apa kau anggota yang punya peringkat?"
Dia melirik singkat. "Ini hanya sementara, aku menggantikan orang nomor tiga di Lost Children. Orang sebelumnya―kalau kau sudah dengar tentang Gliffard generasi pertama―ikut tertangkap."
"Ah," kataku. Mereka benar-benar berperan seperti pasukan tentara saja. "Apa yang terjadi?"
Cowok itu menatap pemandangan pulau yang suram. "Kau datang saat monster menyerang pantai, bukan? Kami pikir masalah selesai setelah Tuan Kai datang. Dan jam tiga pagi, pulau kembali diserang."
"Bagaimana bisa?"
Ren menghela napas, memberi tahu bahwa masalah ini lebih dari sekadar biasa. "Ada hubungannya denganmu, dan Tuan kami tahu. Itu sebabnya kau tidak kami biarkan bangun sebelum selesai."
Hebat sekali. Langit cerah, matahari hangat, tapi kenapa informasi menyebalkan ikut menyambut pagi ini? Ren terlihat enggan berbicara banyak soal kejadian itu, jelas sekali dari bahasanya saat menjabarkan. Banyak kata yang ia samarkan dengan kata lain. Meski ingin menghormati keputusannya dengan tidak banyak tanya, aku masih tidak suka menebak-nebak dan menambah berat beban kepala.
Waktu yang kami lalui untuk sampai di tujuan cukup lama. Pasalnya tempat itu berada di kaki gunung―sebuah bangunan kubus suram, persis seperti gambar kotak yang ditandai di peta pulau kemarin. Ren mendorong pintu besinya, dan bau anyir darah menyeruak hingga ke tempatku berpijak sekarang.
Ren tidak memberi pilihan lewat tatapannya. Aku harus masuk lebih dulu sebelum dia memastikan pintu tertutup. Benar saja, begitu aku masuk, dia menutup pintu. Namun tak terpikirkan olehku kalau dia akan menutupnya dari luar.
Aku baru ingin protes ketika Austin muncul dari kegelapan sudut kubus. "Anna, kau sudah datang." Dia mencubit lengan piyamaku. "Ayo, Eli dan Kai menunggu di bawah."
Austin menarikku ke sebuah lubang kotak di lantai, menuruni undakan yang dalam. Di ruangan bawah itu, ada sebuah obor, setidaknya cukup menerangi tangga. Lantai tangga masih terasa dingin dan licinnya meski aku sudah memakai selop. Bersama bau darah yang makin menyiksa penciuman, noda-noda merah di dinding ikut menekan keberanianku.
Kemudian, bunyi rantai jatuh mengalihkan pandanganku dari tangga, sekaligus membuatku terpeleset karena terkejut.
Aurelian duduk menghadap dinding, membelakangiku sembari mengacungkan sebuah pisau yang dilumuri merah. Cairan itu menetes-netes hingga warnanya menodai bahu Aurelian. Hanya butuh lima detik untuk menyadari bahwa dia sedang tidak menghadap dinding. Di hadapannya, tidak berdaya meski masih bernyawa, terkulai seseorang. Darah itu pastilah miliknya.
Otakku membeku karena terkejut, meninggalkan satu pertanyaan yang paling cocok: Apa yang cowok itu lakukan?!
"Aku khawatir jantungmu yang akan mati kali ini." Sosok Kai baru kelihatan saat dia menyalakan obor di kejauhan. Persis di bawah kakinya, berjejer selusin pria berseragam. Mulut mereka tersumpal sedangkan mata mereka ditutupi kain. Warna dan lambang yang terjahit dengan benang merah di dada mereka membuat pikiranku melayang pada sebuah ingatan. Aku mengenali lambang dan seragam itu.
Aurelian berbalik. "Waktunya menakutkan juga," dia berucap. "Maaf, Gauvelaire, sayangnya aku harus menunjukkan ini padamu ... sekarang."
Pemuda di hadapan Aurelian nampak. Dia masih muda, sebesar-besarnya lima tahun di atasku, tapi tidak ada waktu mengasihaninya sebab dia juga memakai seragam yang sama dengan orang-orang di bawah pengawasan Kai. Seragam itu melekat pada tubuh Gausten, bisa kupastikan bukan duplikat semata. Lambangnya bersinar di bawah api dan matahari seperti lambang pada punggung seragam Gausten.
Pemuda itu melebarkan matanya yang sudah terluka sebelah, melotot padaku. Dia berusaha mengeluarkan suara walau dihalangi kain. Rengekannya membuat Aurelian jadi tidak sabaran untuk membuka sumpalnya.
"Kau! Gauvelaire sialan!" Setelah mengatakan itu, Aurelian menampar wajahnya dengan pisau.
"Aduh, aduh. Asuransikan mulut dan nyawamu lebih dulu kalau ingin bicara macam-macam."
Aku bersingsut mundur, mencari tameng dan benda itu tercipta dari kaki-kaki mungil Austin. "Apa-apaan!"
"Katanya orang-orang ini mencarimu," ucap Aurelian, mengabaikan besarnya ketakutan yang terkumpul dalam diriku. Dia menodongkan belati ke dagu si pemuda. "Mereka sampai menjinakkan monster laut rendahan untuk dikirim sebagai ancaman. Kau itu berharga banget, ya, Gauvelaire?"
Kalau Gausten adalah tentara Treya, pengkhianat yang bersama Ribelin, maka orang-orang di sini pun sama. Agak ngeri membayangkan bagaimana mereka menangkap monster. Meski mudah diatasi dengan para Frey, tetap saja, manusia sepertiku adalah sasaran empuk. Berapa banyak monster yang mereka punya sebenarnya?
"Hoi," Aurelian meninggikan suara, menekan pisau ke leher pemuda malang itu. "Jawab. Kau diutus kemari karena anak itu?"
Si pemuda menggeleng kuat. "T-tidak mau bilang apa-apa."
"Masih setia di saat seperti ini rupanya. Baiklah. Sini, kuberitahu rahasia." Aurelian mungkin bisa ramah, tapi kata-katanya tidak sejalur. Sewaktu dia mulai berbisik-bisik dengan bahasa asing, lidahnya sedang menjelma menjadi bilah tertajam di dunia. Nadanya enak didengar. Saking indahnya, si pemuda langsung memekik ketakutan. "Bagaimana?" Aurelian kembali pada bahasa Pracia. "Rahasiaku bagus untuk kau jual. Sekarang giliranmu."
"Benar! Anak itu―Kami mencarinya," jerit si pemuda.
Orang-orang di bawah kaki Kai melontarkan protes, tetapi tidak lama sebab Kai menempeleng kepala mereka dengan obor satu per satu.
Aurelian tampak puas, juga tambah mengerikan. "Siapa yang menyuruhmu?"
"D-distrik."
"Monster itu juga dari kalian?"
"Ya. Tapi―tapi itu bukan milik―"
"Mau menyangkal?"
"Tidak!"
Aurelian menepuk tangan sekali, lalu menatap Kai. "Pendapatmu, Kai?"
Si pemuda menoleh, tapi dia malah makin ketakutan. Seakan-akan dia sudah menyadari malaikat maut yang menjelma menjadi kabut tak kasatmata ada di sampingnya selagi melihat Kai. "Tidak, tidak, tidak. Jangan dia!"
Seharusnya dia tidak mengatakan itu. Sebagai akibat, kejengkelan menaikkan sifat temperamental Kai. "Berisik. Bereskan saja dengan caramu."
Seringai Aurelian mengikis jarak bahaya dengan si pemuda. Entah sejak kapan aku tidak menyadari di barisan giginya tumbuh dua taring. Kini dua gigi itu bersinar di bawah cahaya remang, memamerkan bahaya yang lebih tinggi daripada ditodong belati.
Si pemuda mencoba beringsut, tapi rupanya dia terikat dengan dinding di belakang. "Jangan! Kau sudah berjanji."
"Kapan?" tanya Aurelian. Dia memotong tali pengikat si pemuda dan langsung mencengkeramnya. Dia tampak lebih dewasa dua kali lipat, atau si pemuda saja yang menciut karena takut. "Aku memberimu rahasia, bukan menjanjikan sesuatu. Lagi pula seseorang yang mengetahui rahasiaku cuma punya dua pilihan: mengabdi atau mati. Sayangnya kau terlalu bodoh untuk dijadikan bawahanku."
"Kumohon," pinta si pemuda. Tanpa sadar, dia melayangkan tatapan memelas padaku. "Gauvelaire, tolong. Orang ini―dia akan membunuhmu juga. Tolong aku!"
Aurelian membungkamnya dengan menusukkan pisau ke sisi tubuhnya. Lolongan memenuhi ruangan.
Tidak ada yang bisa membantuku keluar dari kepanikan, bahkan Austin. Anak lelaki itu menyingkir ke samping Kai, membiarkanku melihat tanpa dihalangi. Aku tahu aku bisa saja menangkupkan kedua tangan pada wajah. Masalahnya, aku tak sanggup menahan rasa penasaran, yang sudah aku ketahui akan menjadi sesal setelah ini berakhir.
Dengan satu tarikan, Aurelian mampu merobek pergelangan seragam si pemuda. Itu bukan karena keberuntungan atau energinya cukup kuat. Usaha kelima paku yang menonjol dari kuku-kukunyalah yang membuat sobekan kain terlihat liar, mengerikan. Tangan yang dia gunakan untuk mengoyak kain itu diletakkan pada leher si pemuda, mencekiknya, sedangkan yang lain mencengkeram kulit tangan yang terlihat mulus. "Ah," kata sang penukar, "kebetulan kau masih belia. Setidaknya, jangan kecewakan aku dalam hal ini."
Si pemuda menangis sambil berusaha mendapat simpatiku. Dia berhasil, tapi aku pun terlalu takut. Satu-satunya keberanian yang tersisa kugunakan untuk meneriakkan "Berhenti!" pada monster emas di depan sana.
Aurelian mengalihkan giginya padaku. "Ya, Gauvelaire?"
Apa yang akan kau lakukan? adalah hal yang ingin kukatakan. Namun, tenggorokanku, lidahku, seluruh mulutku hilang rasa.
"Ini rahasiaku, Gauvelaire. Dan ini awalan untuk tugasmu," lanjut Aurelian. "Aku akan melakukannya kalau kau tidak mengatakan apa pun dalam lima detik."
Tunggu.
"Lima."
Astaga. Aku harus mendorong diri untuk mengatakan sesuatu. Tetapi belum cukup kebuntuan menghiasi mulut, otakku juga kehilangan ide.
"Empat. Tiga."
Kenapa waktu selalu berjalan cepat ketika aku butuh berpikir, sih?
"Dua." Aurelian tersenyum. "Lihat dan perhatikan, Gauvelaire Kecil."
Kedua taring tajamnya terbenam pada daging si pemuda. Semua suara menghilang dalam sekejap. Sunyi, bahkan jerit sakit pun tertahan. Bunyi pertama yang terdengar adalah cipratan darah yang tumpah ke lantai batu. Awalnya setetes, lalu tiga, dan akhirnya sepetak lantai banjir merah.
Bunyi kedua dan ketiga adalah jeritan kami―perpaduan antara aku serta si pemuda malang. Aku pernah melihat Logan berdarah-darah, diinjak oleh raksasa sampai tubuhnya bengkok, dan pada akhirnya dia mati. Mungkin karena itu aku tidak memiliki kekuatan menghadapi yang satu ini. Karena itu, reaksiku setelah mendapat seruan minta tolong adalah lari.
Otakku buntu selain memutuskan keluar dari situasi ini. Aku menaiki undakan secepat-cepatnya, tapi tentu saja ada satu dua kesalahan sehingga aku harus terjatuh. Setelah mencapai pintu, aku merasa sangat dekat dengan kehidupan, aku merasa lebih beruntung dari siapa pun. Namun, si pemuda emas belum mengizinkan.
Aku menoleh pada cengkeramannya di pergelangan tanganku. Tak kurasakan cakar di sana. Meski demikian, darah masih membanjiri sudut bibir hingga pakaian putihnya mudah terlihat. "Yeah, aku tahu reaksimu bakalan begini."
"Kau ...." Suaraku lenyap di kerongkongan.
"Ya, Gauvelaire Kecil, aku memakan manusia, hanya darahnya tapi itu sudah cukup buruk di matamu, bukan?"
"Katamu kalian dilarang menyakiti manusia," pekikku.
Dia menelengkan kepala. "Membunuh, kami hanya tidak boleh membunuh. Akan kusuruh Ren melenyapkan mereka nanti. Bagaimanapun, mereka musuh."
Aku bergetar di tempat. Aurelian tidak membuang nyawa anak itu, hanya dia meminum darahnya. Nama makhluk yang tepat dengannya adalah vampir, kaum yang tak banyak kudengar dari Ibu. Aku bertanya-tanya apakah dia betul-betul manusia dahulu, atau vampir yang kembali hidup menjadi Frey?
Di balik keremangan, aku melihat segaris ekspresi aneh dari wajahnya. Kemudian dia mengubah raut menjadi seperti biasa, meski kurang lengkap tanpa cengiran. "Aku sengaja melakukan ini sebagai orientasi tentang pekerjaanmu di pulau. Tapi aku takut membicarakannya sekarang, di saat masih banyak orang yang mengincarmu." Ketika aku diam, dia menambahkan. "Selamat pagi, Gauvelaire Kecil, kita akan bicara empat mata soal ini, nanti."
Dia melepaskanku. Meski ragu bahwa rasa takutku benar, aku mengetuk pintu keluar hingga suara klik kunci terdengar. Ren membuka pintu, dan tanpa menghiraukannya, aku kabur.
「 Cruel & Lonely Shadows 」
B untuk Bergaude
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top