[14] Peri Kecil

"Kau tanya padaku caranya bertahan hidup? Tentu saja dengan menjadi kuat!"

⌞ ⌝

M A J O R M E M O R I A

KATANYA, tiap ibu memiliki seorang pria di sampingnya. Seseorang yang melakukan hal-hal wajib untuk membantunya bekerja. Seseorang yang anak-anak seumuranku panggil Ayah. Namun, aku belum pernah melihat yang seperti itu bersama Ibu, atau bahkan mengerti apa yang dimaksud dengan Ayah.

Kutanya padanya. "Bu, Ayah di mana?"

Dia mengalihkan wajah dari piring cucian, menatapku yang mencomot kue di meja. Wajahnya ceria seperti biasa, sedikit meringis geli mendengar pertanyaanku. "Kamu tahu dari mana tentang Ayah?"

"Teman-teman sering panggil pria-pria tua berkumis dan tinggi itu ayah, lalu aku penasaran ayah itu sebenarnya apa," akuku. "Kalau begitu, Pak Smith bisa dipanggil ayah? Karena dia juga tinggi walau agak gempal, dan kumisnya banyak."

Seketika, Ibuku meledakkan tawanya. Dia sering tertawa kalau aku mulai berbicara sesuatu yang menurutnya mungkin lucu, tapi pemahamanku belum luas sepertinya, jadi tidak bisa mengetahui alasan dia tertawa. Memang Ibu senang menempatkan keadilan di tong sampah jika sedang berdua denganku. Aku mengerucutkan bibir sambil memakan kue buatan Ibu yang selalu enak, dengan isi krim dan luaran cokelat. Kuseka noda di bibir sesekali, meskipun itu malah membuat krimnya makin menyebar.

Ibu menyelesaikan cuciannya. Selama menggosok piring dengan sabun dan membilasnya dengan air yang mengalir, tak ada satu pun kata yang keluar. Mungkin nanti baru akan dijawab, atau mungkin pertanyaan tersebut akan diabaikan meskipun aku tahu dia adalah tipe orang yang terkadang lambat untuk menanggapi sesuatu.

Ibuku punya rambut cokelat panjang yang sama denganku. Tetapi miliknya lurus panjang, sedangkan aku terkadang sulit disisir karena bergelombang, sering kusut. Kami punya banyak kesamaan selain rambut. Wajah kami sama-sama mungil dan raut kami tidak jauh beda. Tetapi Ibuku ceria, lain denganku yang agak jarang tertawa. Hobiku sama dengannya―atau memang aku yang suka mengikutinya―yaitu menulis. Karangan Ibu sudah banyak, termasuk puisi-puisi berbahasa lama, dan cerita pendek mengenai lingkungan yang kami tinggali tiap kali berpindah tempat. Hidup nomaden seperti ini memiliki keuntungan tersendiri untuknya.

Satu yang tidak kami miliki bersama adalah mata. Mata Ibu cantik, warnanya biru keperakan seperti bulan purnama. Semua orang mengatakan itu saat kami mengunjungi tetangga baru. Sedangkan aku sedikit membenci mataku. Yang kiri berwarna cokelat terang, warna biasa. Masalah sebenarnya ada di sebelah kanan. Separuh bola mata di sana berwarna cokelat terang seperti yang kiri, sebagian lagi berwarna biru seperti Ibu. Meskipun ada unsur birunya, aku tetap tidak suka. Jelek dan aneh.

"Apa warna mataku jadi begini karena Ayah?" Aku bertanya ketika dia mengelap tangan yang basah. "Semua anak seumuranku bilang mereka punya mata atau rambut yang sama dengan ayah mereka."

"Tidak juga. Aku punya mata yang agak berbeda dengan ibuku dulu, begitu juga dengan ayahku," Ibu menjawab cepat. Ditariknya sebuah kursi di depan meja makan dan dia duduk di sana, menungguku untuk mengikutinya. Aku juga menarik kursi di seberang, berusaha naik sendiri ke atasnya dengan satu tangan masih memegang kue.

Ketika aku berhasil menatapnya sesudah bersusah payah naik kursi, aku memulai percakapan lagi. "Lalu? Ayah itu apa? Kenapa semua anak punya ayah, sedangkan aku tidak?"

"Aduh, siapa bilang?" Ibu terkekeh. "Memangnya kalau kau tahu tentang ayahmu, kau mau apa?"

Kuangkat kedua bahu. "Ingin lihat warna matanya."

Ibu memangku dagu dengan tangan, tampak berpikir sambil tersenyum mencurigakan. "Ayahmu itu ... ada di luar sana. Dia berkelana setiap hari, bertahan hidup, menjadi seorang pria yang mandiri untuk kita berdua. Menuruni lembah, menyusuri setiap bukit, mendaki gunung-gunung, dan mengarungi luasnya samudra. Dan dalam beberapa hari dia akan bertemu dengan tuan faun yang kikuk."

"Ayah ... bertemu dengan faun?" Aku nyaris menjatuhkan kue dari mulut karena Ibu sungguh mengejutkan.

Ibu mengangguk. "Tuan faun yang gugup dan baik hati menawarkan tempat tinggal sebelum dia melanjutkan perjalanan untuk menemui seorang peri kuno. Peri itu mendengar Ayah mengetuk pintu, lalu memberikan teh sebagai jamuan."

Cepat-cepat kue yang ada di tanganku habis di dalam mulut. Aku tidak sabar menunggu kelanjutan cerita Ibu soal faun, peri, dan segala makhluk yang ada di buku dongeng. Ibuku adalah jagonya bercerita. Meskipun ada banyak wanita di negeri ini, aku masih tidak bisa menemukan yang lebih hebat dari Ibu. Dia menceritakanku segalanya, sampai tidak pernah membiarkan mulutnya tertutup sedikit pun bila membocorkan tentang makhluk-makhluk ajaib tersebut.

Sekarang dia membicarakan sosok ayah, yang masih tidak kumiliki bayangannya. Tetapi ibuku berhasil membuatku berpikir bahwa ayahku adalah seorang petualang.

"Tapi kata Ibu, Peri itu benci tamu yang kotor dan suka merusuh," kataku.

"Benar, dan ayahmu berhasil melewati syarat menjadi bersih dari kotoran debu perjalanan karena dia berusaha terlihat sakit-sakitan. Ayahmu licik, dia pintar mengelabui sikap Peri," Ibu mengecilkan volume kalimat terakhirnya, serupa bisik-bisik jahil. Aku terkekeh. "Dan Ayah untungnya tidak senang berisik atau membuat onar, hanya saja dia agak disegani hampir seluruh penjuru hutan."

"Kenapa begitu?"

Ibu mengangkat bahu. "Mungkin karena dia punya beragam taktik konyol." Aku berusaha untuk tidak nyengir karenanya. "Lagi pula ayahmu lebih hebat mendongeng, jadi dia bisa menarik hati para Peri paling arogan sekalipun. Kisah-kisah ayahmu mampu membuat para peri duduk manis dan melupakan rumah indah mereka. Ketika dia mulai bersuara, lampu-lampu di rumah meredup, burung-burung berhenti bernyanyi, semuanya seperti terhipnotis."

"Itu semua dilakukan oleh Ayah? Hanya dengan ceritanya?"

Ibu mengangguk. "Dia tidak akan pernah mengecewakan kalau sudah berbicara tentang dongeng. Dari anak-anak sampai pria-pria tua akan berhenti untuk mendengarkan ceritanya. Hutan pun tunduk, semua daun dan hijau yang hidup tidak bersuara selama dia berbicara." Ibu mengangkat kedua alisnya. "Bagaimana, ayahmu hebat, kan?"

Kuucapkan "Wow." Itu terlalu luar biasa untuk ukuran anak kecil sepertiku. Bangsa peri sudah cukup untuk membuatku terheran dan takjub, Ibuku berlebihan kalau hanya ingin menghiburku.

"Tapi Ayah kenapa tidak cerita padaku?"

Ibu membuat bunyi "Hmm" yang panjang sambil tetap mengangkat sudut bibir dan melirik usil. "Kenapa, ya? Mungkin karena kau masih tidak bisa menghafal nama-nama buah di pasar dan menghitung dengan cepat, jadi dia pergi mencari banyak buah untuk mengujimu."

"Ah, bohong!" Aku melompat ke meja dan menggapai Ibu, mencoba menggelitiknya meskipun aku tahu dia akan bercanda lagi. Tahu-tahu saat aku sampai ke pelukannya, akulah yang tertawa keras-keras karena jarinya ada di perutku.

Kami berakhir di tempat tidur. Dengan lentera yang menjadi satu-satunya penerang redup di ruangan, dan dia membacakan salah satu karangan dongeng yang selalu dia buatkan untukku. Karena aku belum bisa membaca dan menulis, aku selalu menunggu waktu kami tidur agar aku bisa mendengarnya membacakan dongeng, aku penasaran dengan apa yang ada di dalam kata demi kata yang tertoreh pada kertas itu.

"Dan Peri yang tidak memiliki rumah itu tidak pergi, karena di mana pun dia berada, dia tahu dia telah berada di rumah." Ibu mengakhiri ceritanya malam ini dengan kalimat itu. Mataku sudah setengah terpejam dan berat ketika dia menoleh dari kertas. "Nah, cukup ceritanya. Akan lebih baik kalau kau segera tidur."

Aku bergelung di bawah selimut. "Bu, nanti Ayah akan cerita soal peri-peri yang ditemuinya padaku, kan?"

Kurasakan tangannya di kepalaku. "Kapan-kapan dia pasti akan cerita padamu. Saat itu juga, kau harus berterima kasih padanya." Ibu pasti mengatakannya dengan harapan aku akan melakukan hal tersebut. Tetapi untuk anak seumuranku, pastinya ia tahu bahwa aku hanya bertanya demikian untuk memuaskan keingintahuan yang datang tiba-tiba.

Ibu bernyanyi sebelum memadamkan cahaya lentera. Sebuah lagu dengan makna yang tidak kupahami. Hanya karena itu bercerita tentang peri, itu menjadi pengantar tidur yang sempurna.

Petarung hutan, pengelana di bawah gunung
Angin sang Tuan berbisik
Sebutkan namanya, dia yang bebas dan agung
Putra kecil kami, bintang yang sendirian

Kelap-kelip melayang di padang
Dia sedang berlalu
Kalau kau berdansa dengan magis
Suaranya memperingatkan
Ingatlah, Sayangku, jangan terpesona
Karena dia senang mempermainkanmu

「 Cruel & Lonely Shadows 」

Anonim

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top