[13] Satu Keraguan

"Lahir di negeri ini bukan suatu kebanggaan. Kalau kau manusia, kau adalah makanan hampir seluruh monster. Kalau kau monster, dan kau lemah, harus kukatakan kau tidak beruntung. Manusia bisa memanfaatkanmu sebagai alat percobaan."

⌞ G ⌝

PEDANG itu menembus batu dan membelahnya dengan mudah. Aku seperti sedang melihat seorang ksatria yang telah berkali-kali mendapatkan kekuatan di peperangan hingga bilah pedang miliknya menjadi sekuat logam langit dalam legenda.

Anak laki-laki lima belas tahun ini membuatku sedikit iri. Tekniknya melompat dan mengayunkan pedang hingga memusatkan energi untuk menghancurkan sesuatu yang nyaris mustahil, itu poin utamanya. Dia berpostur seperti seorang prajurit sejati, dan memiliki sikap serupa.

Tanpa mengucapkan sepatah kata atau melirik, dia langsung pergi ke arus yang sama dengan pasukan anak-anak.

Aku tak ambil pusing soal anak itu sekarang dan mengikuti para remaja lain. Pantai agak melengkung hingga apa yang terjadi di sisi sebelah kiri terhalangi dinding pepohonan. Aku mesti lari memutar sebelum mengetahui keributan yang semakin menjadi di sana. Kuharap bukan sesuatu yang mengkhawatirkan, mengingat anak-anak ini dikumpulkan untuk menjadi petarung.

Ekspektasiku terlalu rendah. Pemandangan di balik lengkungan jelas-jelas patut dikhawatirkan.

Seekor raksasa bulat kelabu tengah menempel pada batu karang yang menonjol dari air laut. Bentuknya seperti gurita, tapi tentakelnya agak terlalu wah untuk ukuran tubuh tersebut. Sekilas gurita itu nampak normal seperti kebanyakan hewan besar di laut, kecuali ukurannya. Tak ada tanda-tanda bahwa dia akan menyerang ke pantai dan berjalan menggunakan tentakel. Dia tetap ada di kedalaman yang sanggup membuat dirinya hidup. Namun, segera kusadari itulah bagian terburuk dari segalanya.

Monster itu juga memiliki sebuah kelebihan yang patut disombongkan. Tentakelnya mampu memanjang hingga delapan kali lipat. Aku melihat salah satu tentakel itu melesat ke arah pantai hingga melilit tong-tong di tumpukan batu dinding yang tidak berguna karena isinya kosong. Dia meleset untuk menangkap anak-anak gesit, tetapi benda-benda lunak (menurut monster) itu masih bisa digunakan sebagai alat penyerang. Tong-tong itu terlempar ke segala arah, salah satunya ada yang sampai ke tempatku.

Kini terjawab sudah apa yang membuat batu tadi bisa terbang.

Kubilang kalau posisinya di dalam air adalah yang terburuk, karena kalau manusia terseret tentakelnya, aku tidak yakin bisa selamat. Air adalah salah satu kelemahan manusia, dan laut itu kejam.

Karena terlalu takut mendekat, aku pergi ke dinding rendah yang menjadi pembatas antara pasir pantai dengan rumput. Lain dari pantai sepi tempat tadi aku datang, daerah pantai di sini lebih ramai―sekaligus kacau bukan main. Andaikan saja kericuhan ini tidak ada, asumsikanlah lapangan masih utuh tanpa bolong-bolong, sebuah gubuk tak harus kehilangan atap jeraminya, dan beberapa batu yang mengisi dinding tak akan hilang untuk membuat setengah lingkaran yang besar.

Sepasang kaki mendarat tegak di atas tembok batu, menghentikan tungkaiku untuk lanjut bergerak. Aku terkejut, karena orang itu lebih terlihat habis terbang. Ketika mendongakkan kepala, kulihat anak lelaki itu lagi. Anak pucat yang membuatku iri.

Namun, dia hanya menatap si monster tanpa menoleh sedikitpun padaku. Aneh. Dia seolah tidak bertanya apa-apa atau peduli tentangku. Padahal seharusnya orang asing dicurigai, terlebih mereka baru saja terkena musibah. Masa, saking fokusnya dia sampai tidak menyadari itu?

Sekonyong-konyong, sebuah suara muncul, membuatku berpaling dari si anak laki-laki. Awalnya pelan dan mampu diabaikan, tapi lama-kelamaan menjadi keras dan memenuhi kepala. Itu berkata: Kau, anak Gauvelaire, akan binasakan semua daratan, kosongkan lautan, dan membelah langit.

Kutolehkan kepala ke kanan dan kiri, mencari-cari siapa yang tengah bicara. Cowok itu bukan pilihan. Dia tetap tidak menoleh, dan bibirnya terkunci rapat―aku juga yakin suaranya tidak menyerupai suara seorang wanita. Kemudian, bisikannya berubah menjadi bahasa asing yang belum pernah kudengar. Sewaktu-waktu, orang itu menyelipkan kata Gauvelaire, dari situlah aku tahu kalau dia menunjukku.

Sisi lain. Gauvelaire yang telah bangkit, bahasa Pracia kembali. Oh, betapa aku menunggumu .... Lalu bahasa kuno.

Pandanganku jatuh pada si gurita yang masih mengamuk di bangkai kapal berkarang, melempar tentakel-tentakelnya dengan membabi-buta dan tidak berjeda. Entah sejak kapan anak-anak kacau itu mengabur dan hanya gurita yang terekam jelas oleh kedua mataku. Bukan, bukan gurita. Lebih tepatnya sesuatu yang ada di belakangnya, sesuatu yang berdiri di atas karang runcing. Seseorang.

Bisikan-bisikan yang bergema, teriakan samar, dan sosok yang tidak terlihat jelas selain pakaian hitamnya―perpaduan sempurna untuk membuat kepala meledak.

Mata dan telingaku kembali pulih begitu mendengar seruan Aurelian. Kai ikut muncul. Keduanya berada di lain tempat. Aurelian berdiri beberapa meter di depan dinding―di depanku. Sedangkan Kai melayang. Saat mataku pulih seratus persen, aku memang melihatnya melayang secara harfiah, tepatnya di atas si gurita. Dengan sebilah pedang panjang, dia langsung merobek kepala makhluk tersebut hingga seluruh tubuh termasuk tentakelnya meledak. Ketika asap ledakan itu kembali mewujud menjadi seekor gurita sekarat, Kai mengayunkan pedangnya ke segala arah, membentuk pola gerakan terlatih yang anggun.

Semua tentakel terputus. Makhluk tanpa kehidupan yang telah terpotong-potong itu jatuh ke dalam air. Kai sendiri melompat ke bibir pantai, membelakangi anak-anak.

Lalu tiba-tiba hening merambat ke sepenjuru pantai, tiada yang bersuara. Seluruhnya enggan bergerak seakan mereka baru dikutuk menjadi batu. Hingga tarikan napas tegang perlahan terdengar.

Baik, seharusnya mereka lega. Monsternya hilang, semua selamat, dan penyelamat mereka tepat ada di depan. Mana sorak-sorainya?

Hanya Aurelian yang berani memecah keheningan. Dia tertawa, menepuk-nepuk tangan seperti ada banyak debu yang bersarang di sana. "Tadi nyaris sekali. Semua oke?"

Kai berbalik, menunjukkan wajah tertekuk. Mata biru gelapnya berkilat, yang kutebak sebagai tanda dia jengkel atau marah. Dengan tangan yang masih mencengkeram pedang berlumur darah kehitaman, dia tampak sepuluh kali lebih menyeramkan, dan itulah alasan kenapa semua kelihatan tegang.

"Baris dalam satu menit!" perintahnya.

Seketika dalam kepanikan, anak-anak itu tak lagi memedulikan betapa kotornya tubuh mereka dan langsung berlarian ke pasir kosong, membuat satu formasi tanpa ribut menentukan siapa yang ada di mana.

***

Aku tak tahu harus berdiri di mana ketika anak-anak berbaris rapi dengan kedua tangan di belakang punggung, berdiri tegap seakan sedang menghadap raja. Karena Austin sudah terlanjur bermain-main di pohon kelapa, aku mundur hingga bersembunyi di balik punggung Aurelian. Kecuali pilihan untuk mengikuti Austin akan menjamin tulang-tulangku makin sehat dan bukannya patah, ini akan menjadi pilihan terakhir.

"Memalukan." Itu kata pertama dari mulut Kai. Dapat dipastikan seluruh anak tengah menenggak ludah sendiri. Bukan salah mereka, sebab Kai terlihat seperti ingin mencungkil mata hingga menguliti seseorang. "Kami hanya pergi seminggu penuh, dan kalian sudah bertindak sesukanya sampai masalah begini saja sulit diselesaikan. Aku yakin harus ada yang bertanggung jawab atas kerusakan salah satu gudang, bukan?"

Kai menuding sebuah bangunan berwarna merah yang bisa dibayangkan wujud utuhnya. Sekarang atapnya sudah hancur dan sebagian tong pecah berhamburan.

Anak-anak masih diam dan bergeming di tempat. Mereka gelisah dan itu membuat Kai naik darah. Dia berseru, "Kalian tuli?!"

"Tidak!" kompak anak-anak Lost Children.

"Kalau begitu siapa yang menyebabkan ini semua?" Kai bertanya, jengkel sebab tidak ada yang kunjung menjawabnya.

Kulirik Aurelian. Dia tampak tenang, tak meledak seperti kawannya meskipun tahu bahwa kekacauan ini bukanlah masalah kecil. Aku menarik-narik baju putihnya dari belakang, memancingnya agar menoleh sedikit padaku.

"Tenangkan dia, bisakah?" bisikku.

Aurelian mengangkat sudut bibir. "Ini masih belum kelewatan, kok."

Persis sekali. Kusimpulkan bahwa dia juga menikmati tontonan ini.

"Ren." Kai menyebut sebuah nama. Semuanya memandang pada seorang laki-laki pirang―penyelamatku. "Siapa yang menyebabkan ini?"

Ren melirik pada Kai, lalu memejamkan mata, kalem. Dari seluruh orang yang ada di sana, dia termasuk yang sangat santai atau bahkan tidak tergertak sama sekali. "Bukan menyalahkan, tetapi menurutku ini harus dipertanggung jawabkan oleh Willem dan Caleb."

Aku langsung mengetahui siapa W dan C yang disebut oleh Ren karena dua anak lelaki yang memiliki wajah mirip langsung mencerocos. Mereka kembar, dan kuputuskan tidak mencari tahu yang mana yang Willem mana yang Caleb. Bahkan suara mereka sangat identik hingga aku bingung untuk memastikan siapa yang berbicara ketika keduanya berlomba-lomba untuk memprotes.

"Bukan salah kami saja, dong!" Akhirnya aku bisa mendengar bahwa lelaki yang di kanan berbicara tanpa diikuti saudaranya.

"Benar," sahut yang satu lagi. "Patricia hendak berkelahi dan dia meminta kami membuat suatu kekacauan―"

Seorang gadis dari tengah barisan berseru, "Huh?" Rautnya menyebalkan, seperti tipe yang suka memutar balikkan fakta atau membuat fitnah. "Ada yang ingat kalau aku meminta kalian untuk membuat pulau hancur?"

Desisan sinis dan bisik-bisik semua orang mulai menyatu dengan keributan dari debat mereka bertiga. Para lelaki ikut bergosip dengan gadis-gadis, menyipitkan mata pada mereka bertiga, dan sebagian lagi memutar bola mata malas seperti telah menghadapi ini ribuan kali sebelumnya.

"Miki juga ada di tempat kejadian. Tapi dia ogah melerai dan akibatnya sampai seperti ini."

"Apa? Salahku?"

"Benar, kau seharusnya tidak diam saja melihat mereka."

Satu lagi pertengkaran mulai menyaingi kehebohan tiga tersangka.

Miki meninggalkan postur tegak, siap membantah tuduhan terhadap dirinya. "Memangnya kalau kau jadi aku apa kau bakalan rela babak belur oleh mereka?" Ditunjuknya seorang anak laki-laki kecil yang langsung bergetar ketakutan. "Bocah itu bahkan bersedia mengambilkan pedang kayu untuk si kembar dan kapak dari kebun untuk Pat!"

"A-aku diancam." Namun, nyaris tidak ada yang mendengarkan suara si anak yang ketakutan. Aku kasihan padanya karena kurang mampu melawan sekuat Miki.

Kai berteriak gusar. Mungkin dia menggunakan kekuatannya untuk membekukan seluruh anak tanpa mengubah mereka menjadi patung es, atau memang mereka sudah terlalu takut untuk bicara hingga keheningan melanda secepat embusan angin. "Satu keributan lagi atau kulempar kalian semua ke perut gunung," ujar Kai.

Dalam dua detik, barisan kembali rapi.

Aurelian mendapat atensi Kai dengan menepuk pundaknya, lalu menunjuk sebuah pohon kelapa yang tumbang di belakang. "Duduk, sana."

Kai mengambil cukup banyak udara untuk bernapas sebelum bicara. Tangannya masih dikepalkan meskipun Aurelian sudah berhasil meredam sepertiga amukannya. "Baik," dia berujar seakan itu adalah tantangan. "Tolong sampaikan pada mereka." Tetapi dia tidak duduk.

"Aku tahu kalau Letnan saja tidak cukup untuk mengawasi kalian." Aku melihat semua remaja itu mengeluarkan napas lega karena Aurelian menggantikan Kai. "Kami pergi sebentar dan sudah ada keributan seperti ini―atau bahkan masih ada lagi kemarin-kemarin. Ya, sudahlah. Kai hanya ingin bilang kalau kalian semua harus bertanggung jawab atas semua itu, dan ketidakmampuan kalian mengurusnya."

Keluhan singkat bermunculan.

"Jadi," kata Aurelian lagi, "siapa yang mau bertanggung jawab?"

Diam, mereka semua sudah sungkan menuding sana-sini. Patricia merengut di tempatnya berdiri, begitu juga dengan Miki karena kurasa dia tersinggung. Aku melihat Willem dan Caleb hampir saling senggol dan bertengkar lagi. Dari balik punggung Aurelian dan banyaknya kerumunan anak yang menutupi, aku masih bisa berfokus pada si anak laki-laki yang sudah mau menangis.

Merasa terabaikan, Aurelian tertawa canggung. "Jadi, pilih mengaku atau ..." Dia mengisyaratkan Atau-lebih-suka-Kai-yang-menyeret-kalian dengan gerakan kepala.

Satu tangan kecil terangkat menandingi berpuluh-puluh kepala. Saat itu juga beberapa anak menyingkir untuk memberi jalan pada mata Aurelian dan Kai.

"Aku," lirihnya. "Gara-gara aku mengambilkan kapak dan pedang kayu, jadi seperti ini. Aku yang salah."

"Yeah, tapi aku masih bingung benda-benda itu dibuat apa hingga monster laut terpanggil," gumam Aurelian pada dirinya sendiri. "Baik, Luca. Bersedia untuk menerima hukumannya?"

Anak lelaki itu mengangguk sambil terisak. "Iya."

Sebentar, sebentar. Kalau berdasarkan pengamatanu setelah adu mulut dan keributan tadi, sepertinya ini kekeliruan. Dapat dikatakan Luca dirundung dan diancam sehingga mau-mau saja memberikan senjata-senjata itu pada Patricia dan si kembar. Mereka bertiga menggunakannya entah untuk apa (disarankan jangan membayangkannya dengan segala teori) sampai membuat kekacauan dengan monster. Kenapa jadi Luca yang salah?

Aku agak membenci tipe orang yang seperti ini. Bukan Pat dan si kembar, tapi Luca. Ini nggak adil, dan dia tidak pantas menerimanya. Bukan dia yang menggunakan benda-benda itu. Bukan dia yang menyebabkan semua ini. Tapi dia malah menyerahkan diri dengan wajah pengecut yang hampir menangis?

Patricia mengangkat tangan beberapa saat sesudahnya, disusul Miki. Keduanya saling menatap sinis ketika mengetahui bahwa mereka mengangkat tangan di waktu yang bersamaan.

Terakhir, si kembar pun juga mengangkat tangan sambil memalingkan wajah. Kutebak, mereka hanya memikirkan harga diri yang terancam bila mengorbankan anak perempuan dan seorang penakut.

Aurelian tersenyum lebar, menunjukkan gigi-giginya sambil menepuk tangan sekali. "Oke. Lima orang sudah mengaku untuk bertanggung jawab atas masalah ini. Trims, setidaknya kami tak perlu mengeluarkan tenaga untuk menyeret kalian. Hukuman akan kuserahkan pada Kai."

"Apa?!" Pekikan Miki terdengar nyaring begitu Aurelian selesai mengatakannya, spontan. Sama cepat dengan datangnya, dia langsung menutup mulut dengan tangan rapat-rapat. Patricia mendesis kesal karenanya. Sebagian besar mungkin menebak bahwa hukuman mereka akan ditambahkan setelah protes tersebut.

Kai sedang tidak ingin marah lagi rupanya. Dia diam saja ketika suara melengking Miki menusuk telinga. "Tugas untuk kalian mudah," dia memulai. "Bersihkan tempat ini dan perbaiki semua yang rusak. Kalau belum selesai, makan malam hanya sebatas bayangan."

Patricia mundur ke celah barisan untuk membungkam mulut Miki. Gadis itu cepat bersuara rupanya, membuat suaranya jadi mudah diingat.

"Kalau aku benar hari ini waktunya anak-anak asrama satu memerah susu sapi, asrama dua membersihkan lapangan belakang, dan asrama tiga sampai empat menghafal materi terakhir yang diberikan oleh Letnan. Apa ada salah satu dari ketiganya yang selesai lebih awal?" Kai tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut. Kesimpulannya adalah jawaban 'tidak'. "Kalau begitu kuharap kalian tidak keberatan kalau tidak dapat makan malam sebelum semuanya diselesaikan. Ada yang ingin protes?"

"Tidak!" kompak mereka lagi. "Kami akan menyelesaikannya!"

Mereka sungguh terlatih untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu. Aku kagum, sekaligus sedikit gentar menghadapi Kai yang begitu keras terhadap mereka. Aku ingin membantu agar mereka cepat selesai dan mendapatkan jatah makanan untuk malam hari. Ngeri saat kubayangkan apa jadinya mereka jika tidak makan setelah mengatasi penyerangan tiba-tiba tersebut.

Cahaya matahari tidak lagi terhalangi untuk mengenai wajahku. Aku langsung tahu kalau Aurelian bergeser. Baru saja aku ingin mengikutinya untuk bergerak, namun aku langsung mengetahui bahwa dia sengaja melakukan hal tersebut agar aku dapat dilihat oleh semua orang. Dia menoleh sedikit kepadaku, menelengkan kepala ke ratusan anak yang menatapku sebagai pusat perhatian mereka.

"Anggota baru kita, Anna Gauvelaire," umumnya. Ketika mendengar nama belakang yang diikutsertakan, anak-anak itu mulai memekik tertahan hingga berbisik-bisik. Aku tahu persis apa yang mereka katakan tentangku―tentang Gauvelaire. Kalau salah satu dari mereka mempunyai kerabat di kemiliteran, dia pasti tahu siapa Kolonel Cassius, bahkan aku.

Ketika masih anak-anak, hal yang kulakukan untuk menjalin pertemanan adalah ... bermain. Tetapi sekarang, meski aku belum termasuk dewasa, tak ada yang bisa kulakukan untuk mengatasi bisik-bisik tentang kesan pertama.

Kai, yang matanya masih setia menatap anak-anak, menyambung. "Penanggung jawab asrama dua?"

"A-ah, ya, itu aku." Pemuda dengan tubuh tinggi dan berbadan besar keluar dari barisan sambil berusaha mengeluarkan buku kecil dan pena yang ada di kantong celananya. "Uh, baik, siapa namanya tadi? Anna. Anna Gauvelaire. Boleh aku tahu dia tipe apa?"

"Manusia."

Pemuda tadi mengerjap. Bukan hanya dia, melainkan semuanya. "Ya, Tuan?"

"Dia manusia, bukan jenis anak yang terkena radiasi," ulang Aurelian, menambahkan penjelasan. "Kalian tahu, kan? Seperti Letnan Sigmund. Tidak melakukan hal-hal aneh, dan sangat polos akan dunia luar Rimegarde."

Pemuda yang mencatat terus memakukan kebingungan dari wajahnya. Namun, dia menyadari bahwa melongo berlama-lama bisa membuat bentakan keluar lagi dari mulut Kai. "Baik, baik. Kami akan mengantarnya ke asrama."

"Tidak perlu. Dia dalam kendali kami seharian ini," kata Kai. "Sekarang, bubar!"

***

Adil menurut Kai, kejam menurutku. Aku tidak tahu kenapa Miki si gadis tidak bersalah itu ikut bekerja membereskan pantai. Dan lihat Luca yang bahkan tidak berani mendekati air penuh sampah, aku yakin dia terlalu pengecut karena beranggapan bahwa gurita raksasa akan kembali. Tiga lainnya sangat parah. Si kembar dan Patricia dengan niat penuh saling melempar batu-batu dan berkejaran sambil marah-marah. Mereka bertiga memang keranjingan bertengkar, sampai-sampai semua puing menara dan sampah yang sudah dikumpulkan Miki berserakan kembali. Kini pertengkaran dilakukan bukan hanya oleh tiga anak.

Lain lagi dengan Ren, cowok yang dimintai Kai untuk mengawasi mereka. Aku tidak tahu definisi 'mengawasi' di kepalanya itu seperti apa. Dia hanya berdiri di dekat dinding pembatas pantai dan memperhatikan lima anak yang sedang bersih-bersih itu dengan pandangan kosong.

Aku ikut menonton bersama Austin dari sisi tembok yang berlainan sehabis kami puas melihat-lihat kerang dan hewan laut di pantai yang tidak terkena kekacauan. Frey sepuluh tahun yang duduk di sampingku ini bersorak ketika Miki melempar selop hanyut ke kepala Caleb, dan Patricia saling tendang pasir dengan Willem. Aku meringis saat gerakan kaki Patricia mengenai Caleb yang oleng. "Aku tak yakin ini semua dilakukan karena mereka bersalah."

"Kayaknya Eli hanya butuh orang-orang untuk membersihkan semua ini. Jangan sampai mereka dengar ini, oke?"

Austin benar. Aku mulai berpikir seperti itu saat menyadari bahwa monster dan alat-alat kebun tak memiliki hubungan.

Sisa hari kuhabiskan dengan Aurelian, Kai, dan seorang pria yang dipanggil Letnan oleh anak-anak di sini. Dia berambut panjang, diikat ekor kuda. Itu termasuk sebuah pelanggaran kalau dia masuk militer sungguhan, sayang sekali kharismanya juga menunjukkan bahwa dia pantas memiliki pangkat tersebut. Aku juga terkejut saat Aurelian bilang dia adalah seorang manusia.

Letnan Sigmund menunjukkan beberapa gambar padaku di atas bukit tempat kami mengobrol. Satu gambar menunjukkan posisi apa saja yang ada di pulau. Dari atas sini aku bisa mengetahui letak beberapa tempat, kecuali yang tersembunyi di balik tebing tinggi yang mencuat di tengah-tengah pulau.

Barak tempat tinggal anak-anak ada di sebelah timur, lapangan berada dekat pantai. Lumbung persediaan, kebun, dan ladang tempat beberapa kuda berkeliaran berada di tengah-tengah pulau. Semuanya mudah kusadari kehadirannya, hingga perhatianku terpaku pada sebuah bangunan besar selain barak yang dilindungi dinding tebal.

"Halaman Mentari hanya boleh dimasuki beberapa dari kami, dan dalam hari-hari tertentu saja anak-anak diperbolehkan datang," Aurelian menerangkan saat menyadari pandanganku.

"Kenapa?" Di dalam tembok, itu nampak seperti kastel megah. Namun, seperti ada yang kurang dari tempat itu.

"Tuan kami tinggal di sana. Jangan masuk sembarangan, ya?"

"Oh."

Aku jadi membayangkan betapa asyiknya tinggal di sebuah kastel, dikelilingi tembok pelindung, dan bisa mengeluarkan aturan agar tidak ada yang menjejakkan kaki di tempat itu. Dia pasti sangat kesepian, karena aku mulai tahu apa yang kurang dari tempat itu. Suasananya begitu mencekam, malah kelewat suram jika diperhatikan dengan seksama. Sang raja boleh saja menciptakan cahaya sendiri, tapi dia tidak mendapat kehangatan dari orang-orang di sekitarnya.

Percayalah, apa pun pendapat burukku soal kastel itu, delapan puluh persen tidak didasari kebencianku.

Beralih pada gambar lain, kini mataku menangkap ilustrasi tubuh remaja dari depan dan samping, dengan catatan-catatan rumit mengitarinya.

"Apakah ini anak-anak itu?" tanyaku.

Letnan Sigmund mengangguk. "Dua puluh tahun lalu, di distrik bernama Treya, sebuah percobaan dilakukan hingga kegagalannya menimbulkan ledakan. Dari sana, muncul wabah yang mengubah anak-anak menjadi mengerikan. Mereka terkena penyakit parah, lalu tiba-tiba kekuatan muncul di tubuh mereka. Sebutan bagi mereka sekarang adalah Gliffard, anak-anak di pulau ini."

Kai mengarahkan pandangan pada Gliffard remaja yang sedang melakukan tugas masing-masing di bawah. "Sebelum Tuan Matahari membagikan pulau pada mereka, perburuan, pembunuhan, serta pengusiran anak-anak ini marak dilakukan. Tetapi sekarang, mungkin sudah tidak ada yang pernah melihat mereka lagi, kecuali monster dan segelintir tentara Ribelin."

"Jadi ini yang kau sebut teman-temanku," kataku pada Aurelian. "Apa harga yang mereka tawarkan dalam perjanjian?"

"Sama sepertimu." Aurelian mengikuti arah pandang Kai. "Menjadi prajurit, setia pada Tuan Matahari."

Aku menarik napas panjang untuk itu, lalu kembali pada kertas yang ditunjukkan Letnan. "Di sini tertulis kalian punya 319 anggota. Ke mana yang lain?" Bukan tanpa alasan, sebab Gliffard yang kulihat bahkan tak lebih dari setengahnya.

"Itu jumlah anggota lama. Semua sudah ditahan," kata Aurelian.

"Ya?"

"Tiga tahun lalu kami punya sekitar tiga ratus Gliffard. Tapi kecerobohanku membuat mereka ditangkap oleh monster," dia menjelaskan tanpa semangat. Kurasakan dampak hal tersebut agak memengaruhi pikirannya. "Mereka adalah Gliffard generasi pertama, yang sudah lulus latihan dan sepenuhnya berperang. Kini aku harus mulai dari nol untuk mengajari Gliffard baru yang datang beberapa minggu sebelum kau."

"Apa kau berniat menyelamatkan mereka?"

"Tentu saja. Tapi itu acara nanti. Pahamilah dulu semua ini."

Sampai sini tentu paham, meskipun sedikit terkejut sebab aku belum pernah mendengar apa-apa tentang ledakan besar itu. Dipikir-pikir, tidak heran juga kenapa anak-anak ini memiliki senjata dan tampak terbiasa menghadapi makhluk aneh. Penyelamat mereka merupakan peri, yang, walau tidak pernah disebut-sebut, tapi tetap saja nyata.

Semenit kemudian, sebuah nama menggelitik benakku. "Tunggu. Tadi ada yang bilang Distrik Treya?"

"Kupikir kau tidak akan peka," goda Aurelian.

"Itu tempat yang Gausten katakan sewaktu membunuh ibu panti dan mengejar kami."

Dari wajah mereka, kuasumsikan orang-orang pulau ini sudah tahu soal itu. Letnan menjawab sembari menunjukkan gambar sebuah dinding raksasa, "Treya adalah bekas-bekas Oakenford, tidak terlalu jauh dari perbatasan Ayari dengan Pracia. Itu tempat ilmuwan dan tentara bekerja sama menculik anak-anak, membuat mereka menjadi prajurit boneka bagi para monster. Wabah dan Gliffard di sini pun produk dari percobaan gagal mereka."

Aku meremas tangan sendiri, sangat erat. Kejutan yang dipersiapkan Gausten ternyata tidak berhenti sampai dia menunjukkan sekutu monsternya. Kali ini, jantungku seperti dicubit, yang mengartikan kabar ini lebih dari sekadar mengerikan.

"Itu artinya dia mengincar panti asuhan ... karena dia ingin menjadikan kami senjata seperti Gliffard?" tanyaku hati-hati, dan ketika Aurelian mengangguk, aku nyaris ingin berlutut di hadapannya, atau memaki lebih dulu. "Tapi kenapa tentara bekerja untuk monster?"

Kalau mereka bukan bagian dari para monster, aku tak memiliki ide untuk menebak sampai Letnan menyahut. "Beda dari Pracia, pemerintahan Ribelin dikuasai monster. Rakyat fana tunduk pada mereka. Yeah, demi satu tujuan sama yaitu menguasai Pracia, tak heran mereka memperkuat diri satu sama lain."

Selanjutnya, Kai bergumam pada diri sendiri. Dia mengucapkan kalimat yang ... aneh. "Manusia. Kalau sudah soal kekuatan, hilang akal sehat. Semua diselesaikan dengan perang, segala cara dijalankan."

Aku gatal untuk menjelaskan sesuatu yang mengganjal ketika mendengarnya. Ada keanehan, karena itu berarti Pracia―kubu yang Kolonel bela―juga termasuk salah satu kaum yang Kai maksud. "Tapi, Kai, Pracia berbeda dari Ribelin."

Tanpa kuketahui, Kai membalikkan kenyataan seperti sedang menggulingkan meja sampai hancur. "Berbeda apanya? Kau pikir hanya karena Pracia berisi manusia, dan ayahmu ada di sana dan berlaku baik padamu jadi kau bilang Pracia lebih baik? Ini perang, sialan. Pracia juga membuat anak-anak Gliffard tertendang. Sama saja seperti Maurelaus di matamu." Habis perkara, Kai menandaskannya dalam beberapa detik yang cepat.

Kai memang ahlinya merusak suasana. Jika nada suaranya berubah marah dan sengit, udara di sekitar berubah sesuai dengan kekuatannya. Tidak ada es ataupun salju, bahkan angin pun tidak kencang, tetapi Kai mampu membuat sekeliling menjadi dingin.

Dia membangkitkan sesuatu yang tumbuh di pikiranku: perspektif kami berbeda.

"Hentikan," kata Aurelian, setengah memelankan suara. "Kau selalu membentak―"

"Dia benar. Tak seharusnya kubela Pracia," aku memotong. "Siapa pun yang menyetujui untuk berperang adalah orang jahat, sekalipun untuk membela diri. T-tapi bukan berarti aku tidak percaya pada Kolonel."

Kai mengerutkan dahi dan tidak mau melihatku. Aku pun sama, hanya memalingkan wajah ke pantai yang ditimpa cahaya matahari menjelang sore.

"Kenapa kalian tidak membantu Pracia saja?" tanyaku. "Kau dan seluruh Maurelaus dan Dewan Langit yang memerintah itu bisa bersekutu dengan Pracia memerangi monster Ribelin."

"Kau dengar apa yang kami jelaskan tadi pagi, tidak?" Wajah Kai muram. Dia merebut kertas-kertas Letnan dan mengacaknya, lalu menunjukkan sebuah tulisan yang berantakan. "Pracia, khususnya bagian ujung, sudah lama melupakan kami dan membuat sumpah. Siapa pun yang mengetahui tentang kami dan menyebarkannya, akan dihadiahi hukuman."

Mataku hendak keluar dari kelopak. "Apa?"

"Ketika perang pecah seratus tahun lalu. Pracia membentuk sumpah agar tidak seorang pun yang membicarakan tentang monster-monster di Ribelin. Sementara tentara berperang melawan tentara, monster Ribelin berurusan dengan kami, kaum Maurelaus. Itu sebabnya semua orang di sekitarmu tidak tahu tentang peri yang kau percayai dari ibumu, kecuali Gauvelaire."

"Kami berperang, kok. Tapi tidak bersama manusia," Aurelian berkata seakan aku sudah seharusnya mengingat itu berulang kali. "Meski bukan sekutu, Maurelaus khususnya Frey dan Gliffard juga menusuk monster tiap harinya demi manusia."

Letnan setuju. "Lagi pula, kalau kami mencoba beramah-tamah, sama saja mencoba merobek sumpah. Manusia yang tahu mengenai keberadaan kami, lalu coba-coba percaya, akan didatangi hal buruk. Maut atau karma bisa datang kapan saja di balik bayang-bayang pengetahuan."

"Begitukah?" Aku bukannya tidak percaya, hanya skeptis sesaat. "Tapi, ibuku menceritakan dongeng-dongeng itu padaku. Meski dia bilang para peri cuma khayalan singkatnya. Dan kalian bilang Logan percaya pada kalian."

"Dan pada akhirnya mereka mati, kan?" Kai kembali membentak, memutar tubuhnya hingga aku bisa melihat wajahnya merah. "Apakah setelah itu Kalalia hidup? Tidak. Oh, apa kau perlu kuberitahu alasan kau dahulu hidup berpindah-pindah bersama ibumu dan Aurelian mencoba memperingatkanmu?"

Tenggorokanku mendadak kering. "Jangan sok tahu. Kau tidak mengenalnya secara pribadi." semburku tiba-tiba.

Dia tidak langsung menjawab, tapi membuat wajah meremehkan lebih dulu. Sedetik sebelum dia mengatakan sesuatu, aku berasumsi semua yang akan keluar dari mulutnya adalah buruk, dan benar. "Gauvelaire malang. Siapa Maurelaus yang tidak kenal Kalalia si gadis mortal bodoh? Dia orang pertama yang mematahkan sumpah dengan percaya pada kami."

Bukan hanya aku, Aurelian pun syok mendengarnya. "Kai!"

"Bodoh?" ulangku.

"Maurelaus ingin mengambilnya karena dia mengkhianati Pracia. Oh, tapi dia hidup nomaden! Dia pintar mencari persembunyian agar tidak terkejar!" Kai tak lagi menyembunyikan gigi-giginya di balik bibir tipis. Dia menunjukkannya, dan itu sangat buruk, sangat melambangkan penghinaan yang dalam. "Katakanlah dia mendongeng agar kau tidak takut dan percaya pada kami. Tapi, hei! Apa bagusnya? Setelah itu kau juga memaki kami, menyalahkan kami atas kematiannya."

Aku terkejut, sangat. Ketika dia mengatakannya aku bisa melihat dia mengeluarkan semua yang membuat hatinya terbakar. Matanya berkilat di balik air mata yang menggenang, menyipit seakan sedang menentukan target mata pedangnya. Hal yang membuatku ketakutan, dia seakan berbicara bahwa itu salahku, dibandingkan si sumpah tidak kasat mata.

Ibuku membuatku membenci kalian, kataku tadi siang. Benar. Benar sekali. Tetapi aku lupa bagaimana caranya marah seusai melihat Kai murka.

Tanpa kusadari, kakiku bergetar. Kai sudah pergi bersamaan ketika kalimat terakhirnya meluncur dan menusuk ulu hatiku.

Aurelian panik. "Anna," panggilnya sebelum mengejar Kai, "minta tolong Austin mengantarmu ke barak, makan malam ada di kasurmu." Dan dia pergi, berseru pada temannya.

Aku menjadi sendirian ketika Letnan juga meninggalkanku di bukit. Baguslah, tidak ada yang melihatku memeluk diri sendiri seperti mendekap luka dan mencubitnya. Aku menahan sesuatu yang bergejolak di dalam diri. Hal yang tidak kuketahui itu menusuk-nusuk dari belakang, seakan mencoba membuatku lumpuh dengan serangan bertubi-tubi.

"Kenapa kau berkata begitu?" gumamku. "Padahal ... Padahal kau―"

Padahal kau ada di sana! Kau sempat menariknya dari maut!

Penyesalan terbesarku adalah tidak dapat mengucapkannya keras-keras.

「 Cruel & Lonely Shadows 」

G untuk Gauvelaire

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top