[10] Bangau, Suara, dan Sungai

"Peri memiliki mahkota. Satu yang tak boleh kita lakukan sebagai manusia adalah merusak atau menginjaknya."

⌞ L ⌝

SATU hari tidak ada masalah. Perjalanan hanya sekadar naik-turun bukit, melintasi padang rumput nan luas yang akan kupikir takkan berakhir kalau kami berada di tengahnya, dan memasuki hutan gelap untuk beristirahat. Sebisa mungkin kami menghindari pemukiman. Menurutmu apa yang terjadi jika manusia melihat objek sihir? kata Kai saat aku bertanya mengapa. Kau tidak bodoh, bukan?

Ucapan Kolonel beberapa tahun silam menjawabnya. Manusia mengenali mereka. Tapi tidak ingin. Melihat bagaimana kedua Frey ini begitu "perhatian" pada manusia, kurasa manusia sendiri telah mengetahui tentang mereka. Tentang sihir dan monster, tapi mereka tidak bersuara tentang itu. Memang belum ada alasan yang pernah kudengar. Entah kerena sihir berbahaya atau hal lain, setidaknya itu menjelaskan kenapa Logan diam saja walaupun dia tahu. Itu menjelaskan mengapa aku selalu merasa sendirian setiap mengingat dongeng-dongeng Ibu.

Namun, hari ini ada kelainan. Setiap satu jam sejak aku terbangun dari tidur, seekor burung melintas di atas. Itu terbang berputar-putar, lalu pergi. Satu jam berikutnya, dia kembali menunjukkan rupa di atas. Aku memperhatikan. Entah bagaimana dengan kedua Frey yang berjalan di depan.

"Burung apa itu?" tanyaku saat dia muncul keenam kalinya. Kami sedang duduk di tepi danau yang dipagari oleh ilalang.

Aurelian bangkit dari posisi tidurnya sehingga aku bisa melihat dia memperhatikan burung itu. "Bangau."

Burung itu punya kaki panjang dan ramping, tapi sayapnya mengembang lebar. Aku hampir mengira itu angsa kalau tidak memperhatikan kakinya, sebab sekujur tubuhnya pun dilapisi bulu putih kecoklatan, layaknya angsa. Paruhnya hitam, dan bertabrakan dengan warna merah di kepala. Aku belum pernah melihat bangau, dan menarik rasanya untuk mempelajari burung itu dari dekat.

"Kenapa dia terbang di atas kita dari tadi?" aku kembali bertanya.

"Itu berarti seseorang melihat kita," jawab Kai, membuatku melotot. "Seseorang dari langit."

Biasanya akan kusimpulkan itu buruk. Tetapi kedua Frey hanya termangu menatap sang bangau, kelewat santai. Karena itu, aku memutuskan meraih rasa penasaran daripada mempermasalahkan soal baik dan buruknya.

Aku bangkit dari peristirahatan, meninggalkan tas dan memacu kaki untuk menyamai kecepatan bangau. Burung itu sudah terbang menjauh. Kupastikan dengan luka yang sudah kurawat selama dua hari ini takkan menghalangi.

"Kau ingin mengejar?" kata Aurelian.

"Hanya sebentar!"

"Kau takkan bisa." Dia mulai berteriak ketika aku menjauh. "Itu akan lenyap sebelum kau menyadarinya."

Aku tidak mendengar. Padang rumput membentang di depan, hingga berbatasan dengan pohon-pohon tebal yang berarti hutan. Sang bangau menuju arah itu. Sangat menguntungkan baginya karena aku akan kesulitan melihat.

"Hei!" teriakku.

Bangau itu tetap terbang, dan akhirnya aku tidak bisa mengejarnya lagi karena dia sudah pergi ke atas hutan.

Aku hanya penasaran. Kenapa burung itu mengikuti kami, atau kenapa tuannya menyuruh demikian? Aku ingin tahu, makhluk seperti apa lagi yang akan kujumpai jika menangkapnya.

***

Beruntung, kakiku tidak kembali menimbulkan luka sehabis bermain kejar-kejaran bangau. Kai akan membenciku jika sekali lagi membuat permohonan istirahat atau Aurelian meminta untuk membawakan tasku. Yeah, semua perhentian kami selama ini memang gara-gara aku. Siapa yang menyangka mereka bukan kuat dalam segi pertarungan, tapi juga mampu berjalan ratusan mil nonstop?

Astaga, terkutuklah bonus dari jati diri mereka itu. Seharusnya mereka sadar, yang mereka bawa adalah seorang manusia terluka, kecil, kurus, dan mudah terserang penyakit.

Kami memasuki hutan yang tadi dilalui oleh si bangau. Tidak terlalu lebat dan gelap. Sinar matahari bisa menembus dengan baik ke dalam. Sayangnya hutan sering membuatku tersandung dengan akar-akar pohon nakal.

"Kenapa kau mengejarnya?" Aurelian, setelah sekian lama bertahan dalam keheningan, memulai pembicaraan.

"Kuharap kau tak bertanya lagi setelah mengetahui manusia selalu mudah jatuh pada rasa penasaran," jawabku.

Dia menoleh ke belakang. "Sewaktu aku masih manusia, aku tidak seperti itu."

Tatapanku menunjukkan seakan aku butuh penjelasan. Manusia? Sewaktu dia masih menjadi manusia?

Aurelian telanjur memahami raut wajahku. "Dan kuharap setelah kau mendengar penjelasan ini, kau tak lagi penasaran. Kami," dia menunjuk dirinya dan Kai, lalu langit, "adalah kehidupan kedua setelah mati sebagai manusia―Frey dan Dewan Langit. Kami berbeda dari para makhluk lain yang kau bilang peri dan monster. Dan kami hidup hingga sekarang karena perpanjangan usia. Meski begitu, kami terkadang memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Maurelaus."

"Maurelaus?"

"Nama bangsa kupu-kupu atau putih," sahut Kai dari belakang.

Aurelian mengangguk. Dia meneruskan langkah, tak kembali menoleh. "Maurelaus terdiri dari Frey, Dewan Langit, dan bangsa peri biasa. Sedangkan bangsa barbar di utara adalah Meredin. Sudah pernah dengar tentang kembar Gauvelaire?"

"Eli." Kai berdeham, tapi suara peringatannya sudah keluar. Ketika dia mendapat tatapan dariku, dia hanya memalingkan wajah. "Maksudku, tentu saja. Dia Gauvelaire sejak tujuh tahun. Sedangkan orang-orang militer itu sudah mendongengkan para leluhur sejak keturunan mereka masih dalam kandungan."

Mataku menyipit. "Pertanyaannya mudah, jawabannya mudah."

"Lupakan."

Terkadang aku melihat Kai sebagai sosok yang lihai berpura-pura. Entah mengapa, aku selalu bisa membaca kebohongan yang dia ingin tutupi. Aku percaya dia cukup ahli melakukannya, sayang sekali, aku selalu memikirkan setiap detail yang kuingat.

Beralih pada Aurelian, pemuda itu kembali berceloteh ria. "Dahulu, seribu tahun sebelum Calistian yang sekarang, Noir Gauvelaire membuat daratan Pracia dan Ribelin diperebutkan oleh manusia dan Meredin. Itu memang bagian terburuknya, sampai tiba-tiba perang pecah seratus tahun lalu, dan sebagian Calistian didominasi oleh kami. Meredin di utara serta Archna, sementara Maurelaus menyebar. Maurelaus memerintah di angkasa, tapi kami juga wilayah sendiri di tanah.

"Pada akhirnya, Calistian rusak. Manusia Pracia membuat sumpah agar tidak mengingat lagi hal-hal buruk tentang sihir, menyingkirkan eksistensi mereka hingga ke ujung Rimegarde, membuat perbatasan, dan melimpahkan segalanya pada para prajurit. Gauvelaire Kecil, tahukah kau siapa yang patut disalahkan?"

Gauvelaire.

Aku tidak merasakan nada sindiran itu tertuju padaku. Mungkin pada Kolonel Cassius, pada Gauvelaire yang sesungguhnya. "Sebelum itu," kataku, "apa sebenarnya yang ada di luar sana? Luar Rimegarde."

Mataku berusaha tidak melirik pergerakan yang tertangkap samar di antara semak. Dari tadi, benar-benar sejak pertama kali kami keluar rumah, aku sudah bisa merasakan ada yang mengikuti kami. Tidak seperti bangau, mereka menyembunyikan sosok dengan baik. Hanya dengan suara dan hawa mencekik, aku sudah bisa tahu. Dan bangau tidak terlihat mencurigakan dari segi fisik.

Hanya burung. Burung dengan seorang tuan yang sepertinya tak perlu dihiraukan kecuali oleh rasa penasaran.

"Monster," sebut Aurelian. "Satu kata sudah menjelaskan lebih dari satu makhluk."

"Benar, begitu juga dirimu."

Aku bisa merasakan tatapan Kai menyamai horornya makhluk-makhluk yang tengah mengintai kami dari kejauhan. "Coba katakan sekali lagi. Lidahmu putus setelahnya."

"Begitu juga kau. Peri, Frey, Maurelaus," ulangku lebih tegas. "Itu bukan salah Gauvelaire. Dewa memilih Noir, maka dia mengerjakan apa yang seharusnya dia kerjakan."

"Hanya yang baik-baik, Gauvelaire Kecil. Dewa tidak meminta seluruh Calistian diratakan dengan monster-monster pemakan manusia," kata Aurelian. Entah dia sedang berpura-pura menahan amarah atau karena memang dia tidak tersinggung sama sekali.

"Naif. Dewa Kehancuran mungkin sedang bekerja sekarang, bahkan membuat dewa besar seperti Selias tunduk." Aku sudah mempersiapkan sesuatu yang terjadi, tapi tidak menyangka yang datang adalah tangan Kai.

Secepat kilat, aku sudah memunggungi pohon, dengan kelima jari Kai mencekik leherku. Satu kekuatan tambahan yang dia berikan pada ujung kukunya, leherku bisa-bisa patah. Sebisa mungkin aku tidak terpancing untuk mengeluarkan belati dan terus menatapnya penuh perlawanan.

Sinar di mata Kai menunjukkan lapisan pelindung kemarahan yang sungguh tipis, rawan rusak. "Jaga mulutmu, manusia. Dewa mungkin tak menghukum atau menghiraukan. Tapi Dewan Langit dan Maurelaus lain tidak tinggal diam jika kau menghina."

"Kai," kata Aurelian. "Lepaskan."

"Tidak sebelum dia tahu caranya beradab di depan kita," balas Kai.

Aurelian menghela napas. Tatapannya saat memandangku tidak terbaca. "Sekarang atau aku yang melakukannya."

Ancaman tersebut tidak terlalu ampuh sebenarnya. Namun, demi menjaga tanah tetap bersih dari darah dan perkelahian, aku bersyukur Kai memilih menyerah. Dengan enggan, dia melepaskanku dan memberikan tatapan final agar aku tak membuatnya marah dua kali.

Kuabaikan pemuda itu. Tubuhku lemas karena kehilangan aliran udara selama beberapa saat. Aku merosot dengan mudah ke bawah pohon. Secara tidak langsung aku membuat permohonan istirahat untuk melancarkan pernapasan.

Sosok Aurelian yang terbalut pakaian serba putih menjadi sejajar denganku. Dia berlutut, terlihat netral walau aku ragu dia takkan menggantikan hukuman Kai. "Kau bilang kau membenci kami. Kenapa?"

"Lebih dari apa pun, Aurelian. Aku sangat ingin menyingkirkan kaummu. Setidaknya sampai aku melihat monster sungguhan dan terjebak perjanjian." Aku menunggu, tapi dia diam. Karena respons belum keluar, muncullah kalimat jawaban atas pertanyaan sang Frey. "Ibu membuatku membenci kalian."

Dia masih bergeming. Kai pun tidak lagi bereaksi, memunggungiku dalam kebisuan sebelum berjalan pergi.

"Begitu," kata Aurelian. Dia meraih tanganku dan kami sama-sama berdiri kembali. "Alasan yang kuat. Kuharap kau juga punya itu saat kau memulai pekerjaan barumu."

Sudah, itu saja. Aurelian mengikuti Kai sehingga aku sendirian, terbengong-bengong pada reaksi kedua Frey itu. Bukannya aku meminta mereka mencekikku kembali, tapi rasanya konyol jika mereka mengalah pada ucapan anak-anak yang bisa jadi cuma omong kosong. Padahal sebelum ini Kai tidak peduli dan selalu langsung menerjang dengan kata-kata tajam. Aurelian memang lebih sabar, tapi tak menutupi kemungkinan bahwa dia juga memiliki kemarahan tersendiri.

Saat melihat punggung mereka yang mulai menjauh, hal yang terpikirkan bukan apakah mereka berniat meninggalkanku. Namun, bayangan akan bagaimana keduanya memiliki rahasia masing-masing terbentuk di benakku. Hutan seolah lenyap, digantikan ruang putih imajiner dan kedua orang itu. Dan aku hanya bisa mendengar suara langkah mereka yang tidak kontras dengan hamparan putih licin di penglihatanku.

Yang satu tidak bisa mengontrol diri, tapi dipaksa menekan setiap emosi yang ingin meledak. Sedangkan satu lagi ... sudah menyimpan rahasia sejak awal dan bisa mengendalikannya.

Saat kakiku mencoba menyusul, sebuah suara menghentikanku.

"Tiada hal baik datang jika kau coba-coba menguji Aurelian."

Belatiku keluar dari persembunyiannya. Aku sudah siap mengancam seseorang yang mengagetkanku, sebelum menyadari bahwa sosok pemilik suara itu tidak ada di mana-mana. Berputar, mendongak, dan menunduk, tetap saja dia tidak ditemukan. Seolah-olah ... dia salah satu hal-hal buruk di luar Rimegarde. Monster.

"Uh, Gauvelaire. Sungguh, aku tak mengharapkan refleksmu sebagai petarung."

Dia benar-benar ada. Hanya saja, sosoknya menghilang lebih cepat sebelum aku menyadari posisinya.

Aku mencoba berputar-putar, menunggu kembali saat yang tepat untuk menghunuskan belati ke titik buta. Dia pasti datang dari punggungku, satu-satunya tempat yang tak bisa kuperhatikan.

Hingga sebuah suara kembali datang. Kali ini seperti benda gempal bersayap jatuh. Aku benar-benar cepat sekarang, tapi aku tidak terlalu puas dengan sosok itu. Kupikir akan muncul peri bersayap atau apalah, ternyata itu cuma seekor burung.

Kaki tinggi, sayap putih kecokelatan, dan mahkota bulu merah. Si bangau. Burung itu membalas tatapanku dengan kedua mata yang ... tidak manusiawi. Sesaat aku berpikir membiarkannya saja, sebelum berpikir kalau bisa saja burung ini adalah samaran. Seseorang mungkin berada di dalam tubuhnya. Wajahnya tersamarkan oleh bulu putih-merah dan paruh hitam.

"Hei," kataku, berusaha mendekatinya. Namun, tiba-tiba saja usaha baikku gagal ketika burung itu terbang. Mau tak mau, aku harus mengejar demi mendapatkan apa yang kuinginkan: sosok aslinya.

Kakiku menantang luka dan semak. Karena sudah memancing rasa penasaranku, terlalu sayang jika burung itu bisa lepas begitu saja. Langsung saja kuabaikan marabahaya dan makhluk-makhluk yang mengintai.

Aku berusaha mengalihkan perhatian si bangau dengan mengulurkan belati, bahkan sempat berpikir untuk melemparnya. Untuk anak dua belas tahun yang sudah lama mencuri dan belajar cara mengendalikan bahaya, rasanya agak aneh jika aku memutuskan melempar satu-satunya senjata yang kumiliki, di saat peluang tepatnya pun kecil.

Di sela-sela deru napas dan riuhnya tabrakan antara kaki dengan semak, ada suara lain yang mulai menguat. Dari kejauhan bisa terdengar aliran air deras. Semakin besar, semakin liar suara itu. Aku mulai tahu apa yang sebenarnya bangau ini tuju.

Sungai.

Dan benar saja. Burung licik itu membawaku ke hadapan sungai besar. Sementara sayapnya menerbangkan dia ke seberang dengan mudah, aku mesti terbengong-bengong lebih dulu. Hebat.

"Apa-apaan," gumamku begitu sang bangau berhenti di salah satu batu, menatapku.

Selain laut, aku juga benci aliran ganas lainnya, seperti sungai. Meski air sungai biru menyenangkan, atau aromanya segar, terkadang petaka mampu menyelinap di dasarnya. Bagiku lebih baik pergi daripada meladeni si bangau yang mulai mengejekku sambil memiringkan kepala. Tanpa menunggu sosok di dalam tubuh hewan itu mencibir, aku berbalik.

Namun, sengatan rasa sakit menyerobot. Kakiku oleng karena luka yang kembali terbuka, dan sialnya pijakanku salah, mengenai bagian terlicin pinggir sungai.

Tak perlu cerita bagaimana aku mencoba menggapai pertolongan, dalam waktu singkat aku sudah tenggelam.

「 Cruel & Lonely Shadows 」

L untuk Lansch

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top