[03] Menoleh ke Belakang
"Ketika menoleh ke belakang, dia mendapati keluarganya telah binasa ditelan bayangan."
⌞ E ⌝
M A J O R M E M O R I A
"TIDAK coba menyapa mereka?"
Aku mengalihkan pandangan dari anak-anak yang sedang bermain di padang rumput, persis di hadapan serambi terbuka rumah Gauvelaire. Kolonel Cassius duduk di seberang meja. Dia masih memakai pakaian bertugas yang lengkap, dengan kancing teratas dilepaskan. Walau sehabis ini dia akan kembali pergi ke medan perang, aku bersyukur senjatanya tidak ditampakkan di depanku, menghilang untuk sesaat. Senapan bukan hal yang membuatku gemetar. Hanya saja itu memberi kesan menakutkan tersendiri bagi anak-anak umur tujuh tahun, bukan?
Dialah ayah angkatku. Dia orang yang memberiku nama Gauvelaire sebagai ganti nama ibuku.
Aku menggeleng menjawabnya. "Lebih menyenangkan baca buku."
Pria itu berhenti mengangkat gelas teh, memandangku dengan mata biru tanpa cahaya. "Baca buku apa?"
"Sejarah Oakenford dan Kerajaannya yang Memisahkan Pracia Dengan Ribelin." Sayang sekali buku tebal itu tidak kubawa, disimpan baik-baik dalam laci agar tak seorang pun menyadari aku membacanya. Buku itu kuambil dari rak perpustakaan yang dulu terbuka, dan kuselundupkan diam-diam ke kamar.
Kolonel melupakan tehnya dan aku merasa bersalah pada si teh. Sesaat kupikir dia akan marah karena aku mengaku telah mengambil bukunya. "Oh," dia berkata. "Kau memilih buku berat di perpustakaan ketimbang bermain?"
Kuanggukkan kepala.
"Itu ...." Aku merasakan ada kalimat yang hendak disampaikannya, tapi tiba-tiba saja kerongkongannya tersumbat. Dia terdiam selama beberapa saat tanpa memandangku, hanya memainkan kuping cangkir teh. "Maafkan aku. Seharusnya aku tidak membiarkanmu lama-lama di rumah dan bermain bersama."
Alisku hampir saja menukik kalau tidak cepat-cepat dikontrol. Memang benar apa yang dia katakan, seharusnya dia tidak menelantarkanku di rumah besar nan luas ini sendirian, dengan seorang wanita kejam yang suka mengatur bagaimana aku harus bertindak. Pria militer ini pastinya berpikir dangkal soal mengadopsi anak. Tinggal urus surat-surat asuh di pusat Rimegarde, bawa aku pulang, lalu tinggalkan aku di rumah selama mungkin sampai aku muak.
Inginnya langsung kubilang itu keterlaluan. Tetapi aku sendiri tak punya rencana bermain bersama ayah yang memiliki wajah sedatar dan sekaku dinding rumah.
Agak merinding mendengar pria ini meminta maaf dengan wajah biasa saja. Sejak pertama kali bertemu di sisa-sisa tragedi yang merenggut ibuku, dia selalu seperti itu. Makan, mengobrol, bahkan menenangkan anak kecil dengan wajah super datar. Kolonel mungkin figur sempurna bagi tentara, tetapi tidak dengan kekurangan yang disadarinya. Kemampuan manusia untuk berekspresi hampir menghilang dari dirinya, membuat dia seakan terkutuk bersama wajah tanpa senyum, tanpa kesedihan, tanpa emosi.
Yang artinya, saat dia meminta maaf, belum tentu dia merasakan perasaan terpenting saat mengucapkannya. Bersalah.
Tetapi aku menghormati dia yang sudah menyelamatkanku dari tragedi. Walau aku sempat menginjak wajahnya dan memukul, dia tetap mengasihaniku (sebutlah demikian agar tidak menyinggung siapa pun). Balas budi yang tepat saat ini hanya diam dan tenang saja, nikmati kehidupan baruku, menjauh dari keluhan.
"Saya cukup senang dengan buku itu. Terima kasih kalau Anda mengizinkan saya meminjamnya," kataku.
"Ambil saja apa yang kau mau," ujar Kolonel. "Ini rumahmu, jangan lagi minta izin."
Menenangkan sekali, mengingat masih ada satu wanita yang sering memarahi jika aku sembarang masuk ke ruang-ruang tertentu.
"Kuharap kau tidak marah padaku," dia berkata lagi.
"Kenapa harus?"
"Entahlah." Dia menghela napas sembari mengangkat cangkir teh. "Mungkin karena memang seharusnya kau marah padaku."
"Karena saya jadi tidak normal dan mengabaikan permainan anak-anak?" Aku menoleh pada mereka yang tertawa-tawa di padang rumput, lalu kembali pada Kolonel. "Saya pikir sekarang waktu yang tepat untuk jujur. Saya belum pernah bergaul dengan anak-anak."
Orang-orang kebanyakan langsung melotot lalu memanggilku aneh. Tetapi Kolonel lagi-lagi terdiam. "Akan kupanggil mereka, kalau mau," tawarnya.
"Tidak, tidak. Terima kasih." Aku tergelak seperti yang orang-orang lakukan jika merasa tak nyaman. "Saya suka di rumah. Sendirian, baca buku. Dan saya tidak marah pada Anda gara-gara Anda sibuk. Peperangan hal serius, kita bisa main-main ... nanti."
Kolonel mengangguk singkat. Untuk waktu yang sangat lama, akhirnya dia mendekatkan cangkir ke bibirnya, meminum teh yang sekarang sudah dingin. Tegukannya cepat, jadi aku tahu sensasi panas yang disukai orang-orang menghilang dari airnya. Kupandangi tehku yang masih tersisa setengah. Oh, lebih tepatnya memandangi pantulan gadis kecil yang nampak tolol sekali beberapa hari ini. Aku menimbang-nimbang untuk meminumnya, atau membiarkan saja sampai pertemuan keluarga singkat ini selesai.
Dari balik lipatan baju, Kolonel mengangkat sesuatu. Sebuah persegi panjang yang pipih dan tebal. Setelah diletakkan di atas meja kusadari itu adalah sebuah buku, masih dalam bungkus plastik yang menandakan benda itu baru dibeli.
"Aku menemukan kertas-kertas di rumah lamamu," dia berkata. "Kau suka menggambar?"
Aku berdeham. "Menulis."
"Menulis," ulangnya. "Ini, kuberikan padamu. Tinta atau pena ambil saja di ruang kerjaku, semua ada di meja." Tetapi sepertinya dia menyadari aku tak senang dengan ide tersebut. "Ada apa?"
Pertama, makasih untuk bukunya, itu bagus sekali untuk menulis. Lagi pula, aku sudah lama mencari benda seperti itu untuk dijadikan tempat berceloteh. Masalahnya dia menyuruhku ke ruang kerjanya sendirian. Kolonel betul-betul tidak mengenal kondisi rumahnya sendiri, ya?
"Apa Orna suka menghalangimu di sini?" Astaga, akhirnya dia peka terhadap wajahku. "Oh, sepertinya begitu."
"Aku sering bertanya-tanya apakah dia tidak menyukaiku, atau lebih menyarankan panti asuhan seberang ketimbang berbagi tempat dengan bocah? Aku bisa angkat kaki sendiri, tidak perlu dibentak ini-itu," kataku. Sekali ini, aku sungkan menahan sedikit emosi dan melepaskan rem mulut.
"Maaf soal adikku," ucapnya. "Dia memang seperti itu pada anak-anak."
Oh, aku jadi kepikiran apakah dia juga membentak dirinya sendiri waktu kecil di depan cermin.
Kuangkat bahu. "Anda terlalu baik, tetapi kalau keluarga Anda keberatan dengan saya, itu hanya akan membuat saya tertarik pergi."
"Ke panti asuhan?"
"Ke mana saja. Saya bisa bertahan hidup sendiri."
Dia tahu persisnya apa yang kubicarakan. Tentang hidupku―tentang catatan hidupku―yang selama ini berkelana bersama Ibu. Aku hidup nomaden bersamanya, seolah-olah setiap bagian yang kami tinggalkan memiliki kutukan sendiri dan kami berlari menjauhinya. Hingga tragedi itu merenggut Ibu beberapa hari lalu, dan aku dikurung di sini, bersama adik ayah baruku yang entah bagaimana sedang menganggur dari pekerjaannya.
Orna, adik perempuan pertama Kolonel Cassius, memang seorang kapten. Bekerja di kemiliteran darat yang sama dengan sang kakak, tapi dia berada di rumah selama seminggu saat aku tiba. Ketika aku lewat di depannya, dia berteriak. Ketika aku masuk ke salah satu ruangan, dia melotot dan memarahi. Ketika aku makan di meja keluarga sendiri, dia mengataiku. Umurnya berapa, sih? Aku bakalan lega kalau seseorang menjawab dia adalah cewek empat belas tahun yang emosinya bermasalah.
Tetapi Orna tak pernah mengusirku, begitu pula anggota Gauvelaire lain. Padahal jika dia menyuruh, aku bisa membulatkan tekad lalu pergi. Ibuku punya panduan bertahan hidup nomaden, dan aku sangat bodoh jika membuang-buang waktu bersamanya tanpa mempelajarinya.
"Jangan pergi." Mataku melebar begitu Kolonel berucap. Aku bahkan tak menyadari ekspresiku sangat serius saat kami terdiam. "Di sini memang suram dan membosankan, tapi jangan pergi."
"Ya. Uhm, maksudnya ...." Aku berubah kikuk. Jangan pergi, itu kata-kata yang entah bagaimana menusukku. Kolonel belum pernah bicara tanpa mengalihkan pandangan, tapi kali ini matanya menunduk. Kudapati kesan ... sedih? Atau hanya kebetulan karena bibirnya juga nyaris melengkung setiap saat? "Serius, Pak. Kalau Anda tidak bisa menerima Saya, itu bukan salah Anda. Saya siap pergi ke mana pun."
"Anak tujuh tahun takkan bilang itu," ujarnya.
"Tapi saya lebih suka terang-terangan."
"Aku berbeda dengan ibumu, aku tahu. Tapi bisakah, setidaknya, kau tetap di rumah ini dan tunggu aku?"
Aku mencengkeram cangkir. Sudahlah. Semua percakapan ini membuatku merasa lebih baik kami memisahkan diri satu sekarang. Jadi aku berkata, "Tehnya hampir habis. Boleh saya minta lagi?"
Terdengar palsu, aku sudah kenyang dengan air harum dan manis itu. Tetapi Kolonel mengangguk polos dan beranjak ke dapur. Pada momen itu, entah mengapa aku merasa dia takkan kembali lagi ke kursinya.
"Kau jahat sekali." Suara baru yang tak asing menerobos keheningan.
Di seberang pagar pembatas, aku melihat seorang anak lelaki. Rambut hitam lurus, mata cerah, dan senyum nakal yang amat kubenci. Aku langsung tahu ini dia. Si bocah yang larinya kencang dari panti asuhan. Kubalas tatapannya seolah aku ilmuwan yang melihat spesies langka penyebab orang-orang masuk rumah sakit.
Anak itu bersandar di pegangan pagar, menempelkan pipinya ke lengan. Satu tangannya yang lain terangkat, membentuk gerakan menyapa. "Hai lagi."
Sepertinya aku sedang impulsif hingga melempar sisa teh ke wajahnya. Dia tidak bergerak maupun kaget, malah senyumnya makin lebar walau masam. "Terima kasih sambutannya," dia menyahut. "Harusnya aku tidak bilang kau jahat."
"Kalaupun tidak aku akan tetap melakukannya."
"Kusarankan kau lakukan saat tehmu masih panas."
"Ide bagus, akan kucatat agar lain kali wajahmu melepuh."
Anak itu tertawa sambil mengibaskan rambut. "Pria itu baik, lho."
"Kau menguping?" Alisku naik sementara mataku mencari-cari benda apa saja yang bisa dijadikan lanjutan teh. Sayangnya aku hanya menemukan buku pemberian Kolonel. Kalau sanggup, aku pasti akan melemparkan meja pada anak itu. Bersyukur aku masih waras untuk melakukannya.
"Mau bagaimana lagi, Non? Rumah ini sepi sekali dan tiba-tiba, puf! Kau datang sebagai putri angkat pria paling pendiam yang pernah kukenal," dia menjelaskan secara singkat. "Intinya, aku penasaran. Omong-omong, kau benar-benar suka menulis dan membaca daripada main bersama kami?"
Aku mengabaikannya.
Mataku menangkap sesuatu di kejauhan. Di gerbang utama daerah Gauvelaire, aku melihat dua orang pria berseragam lengkap. Lengkap di sini bukan hanya sebatas kemeja hijau dimasukkan ke celana panjang dan lencana. Senjata berupa senapan ada di sisi tubuh, dan topi lepek dengan pin emas juga bertengger di kepala. Aku kenal salah satunya, yang memakai pin lebih banyak dari temannya. Dia adalah rekan Kolonel yang dulu ikut menyelamatkanku. Kolonel sendiri ada di hadapan mereka, menyambut. Tetapi segera aku sadar pembicaraan mereka lebih dari serius, terlihat dari raut wajah kedua tentara itu.
"Waduh, tugas menanti, ya?" Si anak lelaki menoleh ke arah yang kutuju. "Sepertinya dia nggak akan kembali."
Aku sependapat.
"Sana, beri dia salam perpisahan."
Kali ini aku memberi pelototan padanya. "Kenapa bukan kau saja? Sepertinya kau lebih sayang dia."
"Seandainya aku yang diangkatnya jadi anak, dengan senang hati kulakukan tiap kali." Anak laki-laki itu menggodaku terus dengan senyum dan alisnya. Ini sudah kesekian kalinya dalam seminggu setelah aku datang ke wilayah Gauvelaire. "Kenapa kau membencinya?" dia bertanya.
Aku menggeleng. "Aku tidak benci dia. Cuma tidak percaya sepenuhnya pada pria yang menyelamatkanku secara tiba-tiba."
"Hebatnya."
"Ya, ya, aku tahu wajah penghinaan macam apa itu."
Semua orang bakalan tertawa mendengar jawabanku. Kenapa pula aku harus takut dan bersikap bodoh pada orang yang berbaik hati? Jawabannya mudah.
Saat masih nomaden, ibuku bilang seorang pria tidak benar-benar bisa dipercaya jika dia menawarkan sesuatu secara cuma-cuma. Kurang beretika memang, jika aku menanyakan maksud baik seseorang. Namun, ini adalah dunia yang keras, aku sudah mengetahuinya selama berpindah-pindah. Masih terlalu banyak orang yang mencoba merebut demi mempertahankan hidup dan mencurangi demi keuntungan. Maka berhati-hatilah sedikit terhadap orang-orang bermuka malaikat yang tiba-tiba mengulurkan tangan. Itu bukan pertanda baik.
Kolonel sendiri tidak luput dari aturan tersebut. Dia tentara yang, kalau tak menembaki orang, pasti akan membatasi pergerakan rakyat sendiri. Pelindung dalam kondisi gawat, ya. Sayangnya ibuku bilang jangan pernah berharap mereka akan melakukan tugasnya jika tak ada ancaman. Jangan salah sangka, aku dan Ibu pernah melihat orang-orang berseragam seperti Kolonel meletuskan tembakan sebagai peringatan super nggak penting. Padahal yang mereka hadapi cuma gelandangan, kurus dan menyedihkan, bukannya tentara berseragam lain. Kupikir itu semacam gertakan dan agar orang-orang tahu posisi mereka saat ini setinggi apa, di samping untuk mengusir si gelandangan.
Prajurit. Begitulah, Sayangku. Ibuku tersenyum saat mengatakannya. Kau boleh percaya pada mereka, hanya jika kau temukan saat yang tepat untuk memeriksa kebenaran di setiap kata-kata dan tatapan mereka.
"Kau bisa tanya-tanya pada anak di panti kalau belum yakin padanya," kata si anak asing. "Dia memang terlihat menyeramkan, tapi kujamin perbuatannya berkebalikan dengan semua itu."
Aku menunduk menatap kuku. "Seharusnya aku menolak saat dia tawarkan untuk tinggal di sini."
"Dia bukan orang yang main-main kalau soal anak-anak. Kalau dia meninggalkanmu begitu saja untuk diurus Pusat Bantuan Rimegarde, dia akan kembali ke sana dan menjengukmu. Lagi pula, apa sih kurangnya orang yang sangat baik sampai mendirikan panti asuhan ini? Dia memberikan kami, anak-anak telantar, tempat tinggal paling layak yang bisa kami terima. Lalu―"
"Dia membangun panti asuhan itu?" tanyaku.
Si anak lelaki memutar bola mata miliknya. "Non, kau pikir ada orang yang membangun rumah di lahan yang sama dengan panti asuhan? Jarak rumah kita kurang dari seratus meter dan kau menganggap ini kebetulan?" Dia menangkap raut tak percaya di wajahku. "Astaga."
"Belum ada yang menjelaskan."
"Kalau kau pintar, hanya dengan melihat pun kau pasti tahu."
Aku merengut. "Maaf, aku bodoh banget."
"Hei! Bukannya aku mengejekmu."
Aku mendapati Kolonel sedang berbalik dan kembali ke rumah. Sepertinya aku agak malas bertemu lagi dengannya, setelah mendengar kebaikan hatinya dari bocah ini. Masalahnya, aku harus kabur ke mana? Dia akan menemukanku, pamit seperti biasa, lalu pergi. Hambar dan menurutku buang-buang waktunya saja.
"Aku mau main dengan kalian," kataku. Wajah si anak laki-laki berubah kaget, begitu pula denganku, walau aku masih menahan ekspresi. Kata-kata itu muncul tiba-tiba dari mulutku, tanpa ada keinginan atau niat sebelumnya. Rasanya lebih baik kutarik kembali, tapi sudah telanjur hingga aku meneruskannya. "Boleh?"
Anak itu menjauhkan diri dari pagar. Kini dia memandangku seperti baru mengetahui sebuah teka-teki. "Oh, aku paham kenapa kau ingin main dengan kami, padahal bukumu pasti jauh lebih menarik."
"Berisik. Boleh, tidak?" desakku sambil melirik ke Kolonel. Dia sudah semakin dekat dengan rumah.
"Boleh-boleh saja. Asalkan kau ucapkan salam dulu pada Kolonel Gauvelaire."
Dasar, dia rupanya hendak menjebakku untuk mengatakan sendiri maksud dari permintaan konyol tadi. "Aku ingin―hari ini saja―dia pergi tanpa mengucapkan apa-apa padaku."
"Kau tidak mau menemuinya lagi," koreksinya. "Ya sudah, kuajak kau main hari ini. Tapi aku punya syarat."
Gelisah dan gatal untuk segera melompat dari kursi, aku memaksanya mengatakan apa syarat yang dia ajukan. Ini sudah seperti gencatan saja!
"Kalau kau ingin main lagi dengan kami, pastikan kau katakan dulu pada Kolonel Gauvelaire. Saat dia pergi dan kau ingin main, ceritakan apa yang kau lakukan ketika dia pulang," anak itu mengajukan syarat teraneh yang pernah kudengar.
Aku menggebrak meja lalu bangkit berdiri, hampir menggulingkan bangku. "Bermimpilah terus aku akan bermain untuk kedua kalinya dengan kalian," ucapku sengit. "Syarat disetujui. Sekarang, ayo!"
Tak menggubris peringatan si anak laki-laki, aku melompati pagar dan segera berpijak pada rumput. Secepat kilat aku menarik tangannya dan kami berlari bagai dua bocah yang lari dari raksasa. Dia menjerit kesal, tapi aku masa bodoh dan tetap berlari dengan wajah pura-pura ceria. Sebab tepat saat aku melirik ke belakang, pria pirang itu sudah ada di ambang pintu serambi.
Dan di tangannya ada teko teh panas!
Oh, tidak. Aku jadi merasa sedikit bersalah. Namun, aku sudah telanjur berlari, dan pantang bagiku untuk kembali. Bukan. Itu bukan pantang, melainkan gengsi berlebih.
"Kau ini larinya cepat juga," kata si anak laki-laki yang kutarik.
Kami memelankan laju lari di tengah-tengah bukit. Kusadari tingginya lebih sepuluh sentimeter dari tinggiku. Wajahnya yang basah terlihat ceria. Bukan dalam arti ceria yang biasa ditunjukkan anak-anak saat melihat belalang joget, melainkan ceria yang kalem, dewasa. Hebat sekali, rupanya dia lebih tua dariku. Aku jadi enggan menyebutnya bocah sinting yang hobi berteriak saat lari-larian lagi.
Matanya miring ke belakangku. "Carmen, lempar bolanya padaku!"
Refleks bekerja cepat hingga aku bisa menghindari benda bulat merah yang melayang dari belakang. Seorang bocah perempuan yang nampaknya seumuran denganku berdiri bak berandalan kecil. Rambutnya acak-acakan, rompinya pun terkesan aneh buat dipakai anak-anak. Dari posenya berdiri, aku yakin dialah yang bernama Carmen, si pelempar bola.
"Ups, nyaris kena anak bangsawan." Aku mengerutkan kening mendengarnya bicara seperti itu. Jelas-jelas padaku.
"Tolong, deh, jangan pancing pertengkaran sekarang," kata si anak pemegang bola.
"Kenapa kau mengajaknya, Logan? Putri Gauvelaire seharusnya berkutat dengan hal-hal politik saja kalau tidak mampu meneruskan tradisi militer itu," Carmen mencibir tanpa memandangku. Sukses sekali dia membuat emosiku meletup-letup di kepala. "Lagi pula, siapa yang main kejar-lempar sambil memakai rok selutut?"
Anak lelaki itu, yang kutebak namanya Logan, maju beberapa langkah di depanku. "Ya! Jangan bertengkar sekarang, adik-adik manis."
"Seleramu dalam memilih adik jelek juga," komentar Carmen.
Logan mengabaikannya. "Gauvelaire, tangkap ini." Dia melemparkan bola karet dan dengan sigap aku memeluknya. "Sekarang, kejar kami."
"Apa?" tanyaku.
"Kau jadi pemburunya," jelas Logan. Entah kenapa dia dan Carmen mundur perlahan sambil menatapku. "Kau harus mengejar kami dan mengenai kami dengan bola itu."
"Lalu?"
"Lalu ...." Logan nyengir. "Uh, lalu, kalau kau tidak berhasil menembak sebelas anak di sini, kau kalah. Kalau berhasil―eh. Dadah!"
Dia dan Carmen melesat menuruni bukit kecil, memberi pengumuman pada anak-anak lain di kejauhan. "Semuanya! Nona Gauvelaire di sana adalah pemburu jahat. Ayo lari dan selamatkan dirimu dari tembakannya!"
"Hei!" teriakku, tapi mereka terlalu asyik berpencar hingga ke dalam pepohonan. "Kembali kau, Logan―atau siapa pun! Kuburu kalian semua!"
Aku berlari menyusuri lereng bukit dan mempersiapkan tembakan. Sekali itu, aku lupa sama sekali pada Kolonel di belakang.
「 Cruel & Lonely Shadows 」
E untuk Eithnidgar
Ingat ya, setiap Major Memoria berarti memori/flashback.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top