[02] Pencuri dan Hukumannya
"Putra-putri terberkati tidak tinggal dalam istana langit. Mereka pergi dari desa ke desa, kota ke kota, negeri ke negeri, mencari yang layak masuk taman Selias Agung."
⌞ G ⌝
JALANAN pasar ramai. Berdesakan seperti biasa, orang-orang memenuhi kios favorit mereka, membuat penyempitan ruang bagi yang hendak lewat.
Pasar mulai sesak sejak lima menit lalu. Orang-orang berkumpul, pedagang berteriak, dan suara-suara mereka melayang hingga ke tempatku. Tak satu pun tertangkap jelas di telinga. Aku hanya menebak-nebak kalau mereka mulai menawar dan meminta barang. Pada kondisi normal, aku akan menekuni cara si pedagang meladeni lebih dari sepuluh pembeli dan mereka semua ingin mengajukan permintaan berlainan. Itu akan bermasalah bagiku yang kurang teliti. Entah dengan ilmu ajaran siapa, para pedagang ini mampu menguasai peran mereka dengan baik.
Aku memperhatikan bagaimana khalayak mulai berseru-seru di dalam sana dari gerbang pasar. Bagiku yang memiliki tubuh anak kurang gizi, menyelinap ke dalam sana bisa saja dilakukan semudah berlari di padang berumput tinggi. Celah sekecil apa pun rasanya pas jika aku yang lewat. Tetapi aku paling tidak tahan jika aroma daging bercampur dengan bau keringat. Udara seperti itu bisa membuatku pingsan dalam satu menit pertama.
Aku memandang bangunan yang menjulang di antara deretan atap kusam. Jam kota belum menunjukkan tanda-tanda bahwa itu akan berbunyi. Tandanya, aku belum diperbolehkan melaju ke dalam gang. Ini kesengajaan. Bukan tanpa alasan aku pergi beberapa menit sebelum jam berdentang. Lebih cepat aku meninggalkan tenda, lebih besar peluang Logan takkan menghentikanku. Kebetulan sekali tidurnya nyenyak saat aku menghilang tanpa pamit.
Mungkin, saat aku kembali nanti, kami akan bertengkar lagi. Bisa dibayangkan tarikan jarinya pada telingaku mampu membuatku menjerit. Dan dia pasti takkan membiarkanku membalasnya dengan pukulan punggung.
Baru beberapa menit terdiam di hiruk-pikuk daerah pasar, hal yang ditunggu-tunggu muncul. Jam kota berdentang satu kali, menyadarkan lamunan. Panik, aku langsung meloncat ke jalanan dan berlari kencang. Astaga, aku terlambat menjalankan misi dan bersiaga di pintu gang.
Kuambil langkah secepat yang kubisa agar di dentang ketiga aku mampu mencapai gang. Semua orang kulalui begitu saja dan ada beberapa di antaranya yang terkena senggolan bahu. Beruntunglah aku cukup cepat, jadi mereka sudah tidak bisa melakukan apa-apa selain mengeluhkan tubrukanku. Di dentang ketiga, bahkan satu detik sebelum bunyi pasnya terdengar, aku sudah membanting arah ke dalam gang. Aku menang dari waktu yang ditargetkan kali ini, tapi bukan berarti boleh bersantai sejenak di saat jam masih mengeluarkan bunyi melengking.
Hampir mengenai pipa menonjol di dinding, aku menambah kecepatan lari tanpa pikir panjang. Di dentang kelima, aku ingin berhenti karena napasku kacau, mulai ada sesuatu yang tak kasat mata melilit perut. Cicit tikus yang tadinya hendak menyebrang dari tembok satu ke tembok seberang menyingkir setelah genangan air diinjak olehku. Mereka memasang rem dan mengalah agar aku bisa lewat lebih dulu. Aku setengah yakin mereka sedang menjerit takut, sebab raksasa kurang ajar sepertiku tiba-tiba menerobos jalan mereka. Hm, siapa yang tidak terkejut?
Namun, bagi lorong ini, aku hanya seorang bocah kecil yang mampu disesatkan oleh waktu. Selagi aku fokus pada setiap dentang yang dihasilkan, lorong-lorong ini berniat menghalangiku. Cara yang pertama adalah dengan bau busuk khas genangan air hijau. Aku selalu ingin berhenti saat baunya menyengat di hidung. Lebih parah dari aroma khas daging dan keringat, tetapi lebih cepat dilalui. Cara kedua adalah tumpukan batu yang bisa berceceran saat angin ekstrem. Kurasa batu-batu itu tidak berubah sejak kemarin, tapi sama saja, itu hendak menghalangiku bagai pion lawan. Kalau aku lengah di berbagai tikungan, khawatir kakiku akan menyusul punggung Logan.
Sekeras apa pun aku berlari, waktu tidak bisa diganggu. Dentang-dentang berisik itu mulai menghilang saat aku masih berlarian. Terlambat sudah.
Aku terengah-engah di dalam lorong yang langsung menembus tukang jual roti dan daging. Sama seperti penjual ikan kemarin, mereka juga punya celah sempit yang mereka kira hanya untuk menimbun sampah dan tempat kucing liar keluar-masuk. Letaknya agak lebih jauh dari tukang ikan kemarin, jadi jika ingin tepat waktu, sangat disarankan jika aku masuk lebih awal dua detik sebelum jam berbunyi. Alih-alih demikian aku malah menghabiskan tiga dentang di jalanan.
Samar-samar, aku mulai fokus pada kebisingan di luar lorong. Percakapan antara penjual dan pembeli lebih jelas di sini, walaupun mereka berceloteh dalam bahasa angka yang berbeda-beda.
Aku menyelinap ke mulut lorong, melirik ke luar perlahan agar tidak menarik perhatian. Mataku mencari-cari keberadaan tempat daging biasanya ditaruh dalam satu kotak sebelum digantung. Oh, sepertinya kelihatan satu. Boks besar berwarna biru di belakang kios daging.
Itu ... agak mustahil. Sedikit saja ada pelanggan yang melirik pergerakanku, habis sudah semuanya. Sedikit saja si penjual berbalik, aku mati. Tapi aku tidak bisa kembali ke tempat penjual yang lebih menguntungkan. Terlambat jika ingin mencari kemudahan.
Ada alasan kenapa aku dan Logan memilih waktu jam kota berdentang. Di waktu-waktu sekitarnya, lebih banyak pelanggan yang datang dan mereka sangat brutal. Pemilik barang-barang pasar memancing mereka dengan diskon yang besar, ada yang sampai separuh harga. Situasi cemerlang itu kami manfaatkan. Takkan ada yang mau repot-repot menyadari satu dua bocah yang mencomot daging di saat tawaran besar lebih menggiurkan. Yang terjadi adalah untung bagi kita semua―mereka mendapat barang-barang dalam harga murah, dan kami dapat secuil secara gratis. Secara tak langsung mendeskripsikan hubungan aku, si jam, dan sifat tak acuh manusia.
Tapi ini sudah hampir lima belas menit, yang artinya kesempatan akan berakhir sebentar lagi. Waktu tipis seperti itu, jika disia-siakan dengan pertaruhan, aku pasti akan kalah. Sial, aku hanya punya sedikit keberhasilan atau satu pilihan lain yang akan kusesali: pulang dengan tangan kosong. Sebenarnya aku ragu mempertaruhkan nasib bersama detik-detik yang kian melaju. Perut kami akan kosong selama sehari penuh kalau gagal, dan seratus persen yakin akan gagal sebab sudah ada beberapa seruan bahwa potongan harga akan ditutup. Peluang sukses sekarang lebih terbuka pada boks biru daging segar.
Dua-duanya bisa saja sukses, Anna. Bisa juga gagal. Hanya satu kesimpulan jika akhirnya menyedihkan: adik-adikmu takkan makan. Oh, ataukah harusnya kau kembali saja daripada mengambil risiko? Pikiranku berisik sekali.
Di sela napas yang masih tersendat, aku merutuk diri sendiri. Aku memikirkannya seolah ini adalah akhir dari segalanya, begitu kacau hingga tanpa sadar sudah banyak waktu berlalu. Dengan begini, pilihan pertama―mencari pedagang lain―jelas mustahil. Meski bukan berarti aku akan berhasil terhadap kotak daging, setidaknya aku berusaha.
Ya, benar. Harus ada usaha sebelum menyerah.
Aku mengambil ancang-ancang. Bersiap menyeret tubuh mendekati si boks. Dalam hitungan detik, aku berhasil mencapainya tanpa satu orang pun yang sadar. Kulirik para manusia itu, masih heboh bagaian singa yang kelaparan melihat daging.
Tanganku menyentuh boks, mengambil napas sejenak sebelum membukanya. Perlahan-lahan, bagian gelap dari isi boks terkena cahaya, membuat jantungku serasa dicopot oleh sensasi rasa kaget.
Kosong.
Belum sempat mengusap mata untuk memastikan apakah ini benar, sebuah bunyi nyaring menggetarkan udara. Jebakan, kotak biru dan suara ini adalah jebakan untukku.
Gonggongan galak tertuju padaku selama bunyi alarm masih berbunyi. Aku berkelit ke samping saat seekor anjing berhenti di depan, semata-mata engkau karena ada tali yang menahannya. Punggungku terbentur tembok, berusaha mencari lebih banyak ruang untuk mundur tetapi sia-sia. Si anjing menggeram dan menunjukkan gigi-giginya, seketika liur berjatuhan.
Kami bertatapan tak lama. Ada berpasang-pasang mata yang lebih menakutkan. Orang-orang itu mulai mendekatiku, membuat bayangan di sekitar. Mereka menatapku dengan wajah horor, disertai bibir yang berkomat-kamit tak jelas.
Betapa bodohnya aku yang tidak langsung lari begitu tangan-tangan mereka mulai menarikku. Paru-paru dan jantungku sibuk berpacu sementara otakku buntu. Pada akhirnya, orang-orang itu menang. Mereka berhasil menyeretku keluar dari kios daging hingga ke tengah jalan. Lautan manusia mengelilingiku dengan tatapan mengerikan sepersekian detik setelahnya.
Seseorang menarik tanganku ke atas bak trofi. "Ini dia!" serunya. "Pencuri kecil yang menghabiskan persediaan kita semua."
Sorak para pedagang dan pelanggan pasar semakin menjadi.
Dari pagar kerumunan itu, ada seseorang yang memisahkan diri. Dia maju ke tengah lingkaran, matanya menatapku tajam dengan wajah berkerut. Bisa kurasakan bau kemarahan yang melekat di tubuhnya, merambat ke udara sekitar. Hal yang dia lakukan setelahnya mengundang beberapa pekik tertahan. Tangannya terayun, didorong ke bawah oleh energi super hingga telapaknya menampar pipiku.
Bunyi alarm sudah mati dan orang-orang bisa mengendalikan suara, sehingga nyaringnya tamparan itu terdengar jelas. Setelahnya, aku terjatuh ke aspal panas. Andaikan jubah Logan tidak menyelimuti, tubuhku pasti sudah penuh goresan.
Si pedagang marah itu belum puas dengan satu pukulan. Dia kembali menghampiri dengan kuku-kuku yang meraih telingaku. Kekuatannya bukan hanya bisa mengangkatku dari tanah, tapi juga hampir memutuskan telingaku. Aku ingin menjerit, tapi di depan orang-orang begini? Mending kugigit lidah agar diam.
"Bedebah kau," maki si pedagang. Aku ingat suara ini. Dia pedagang ikan yang kemarin kudatangi kemarin. Tarikannya pada telingaku mengeras setiap detik. Aku bersumpah merasakan sesuatu mengalir dari sana. cairan yang lebih hangat dari sebutir keringat. "Pembuat kerugian, kau harus diberi pelajaran. Siapa lagi selain kau yang mencuri dari kami?"
Ada dua alasan aku tak menjawab. Pertama, lidahku masih tergigit kuat demi mengimbangi rasa sakit di telinga. Dan kedua, bodoh sekali jika aku tergoda untuk menjebloskan Logan dalam masalah ini.
"Dia pasti juga pencuri yang mengambil minyak Tuan Rojas," seseorang memberitahu. "Kasihan sekali Tuan Rojas. Seharusnya dia bangkit dari kesedihannya dan menyaksikan anak kecil ini mengaku."
"Hukuman apa yang harus kita berikan?" tanya orang lain.
Si pedagang ikan menghempaskanku ke tanah. "Potong tangannya."
Mataku melotot, jantungku berdetak keras.
"Mulai dari jari-jarinya kalau bisa."
"Itu kejam sekali," komentar salah satu pedagang. Si penjual daging. "Kita pukul saja tangannya?"
"Kau kasihan?" bentak pedagang yang kucuri ikannya. Dia menunjukku penuh amarah. "Bocah ini membuat kita semua ribut. Bukan hanya pedagang, pelanggan pun juga terkena imbasnya. Tak ada orang tanpa uang yang bisa makan ikan sebanyak itu. Kita harus mengambil sesuatu yang telah merusak bisnis dan kehidupan kita, sama besarnya. Setelah kita potong tangannya, mari beri anjing-anjing itu jari-jarinya."
Lambat laun, semua pedagang yang mulai mendominasi lingkaran sekitarku setuju. Bahkan mereka yang belum pernah kudatangi kiosnya ikut-ikutan. Mereka maju dan salah satunya menangkap jubahku, membungkus kedua tanganku di dalam cengkeraman yang kuat. Yang lainnya membawa pisau pemotong daging.
Tidak. Aku akan kalah. Jika kedua alat bertarungku hancur, semuanya akan sia-sia. Aku takkan bisa melindungi siapa pun lagi. Tidak ada pedang yang dapat kupegang. Dunia yang selama ini tercampur oleh pertarungan akan sirna, dan aku tidak layak lagi menjadi prajurit. "Tolong," kataku dengan air mata yang sudah membasahi wajah. "Jangan tanganku."
Si penjual ikan mengguncangku. "Diam. Kau tidak berhak menawar di sini."
"Jangan tangan. Apa saja selain tangan."
Mereka tak menggubris.
Seruan-seruan mereka semakin besar. Kebanyakan wanita yang menggandeng anak segera meninggalkan tempat, menyisakan teriakan bocah penasaran selama mereka pergi. Sepertinya sudah terlalu terlambat jika mataku kebetulan menemukan celah di antara mereka. Aku memang gesit, tapi tidak kuat. Perlawanan sangat sia-sia. Bahkan angin pun menyerukan hal yang sama dengan para manusia di hadapanku: Terima saja, Nak. Ini hasil dosamu.
Ketika si pedagang daging menaruh pisaunya di atas udara, aku masih memandangi kilatan yang indah dari logamnya. Tinggal tunggu waktu sampai ayunan mematikan itu merenggut kedua tanganku. Darah yang terciprat ke mana-mana, rasa sakit tak terbendung, dan kematian yang bisa saja mengulurkan tangannya ... itu semua terbayang.
Kemudian, pisau itu berhenti tepat di depan wajahku. Tenaga yang mengisi ayunannya menghilang, begitu pula bayangan seram tentang dua tangan baruku. Si pedagang menggertakkan gigi, menghindari tatapanku yang memelas, lalu melemparkan pisaunya ke tanah.
Aneh. Dialah pemilik kios yang menaruh jebakan untukku, yang juga membawa pisau paling tajam untuk eksekusi. Namun, aku bertanya-tanya kenapa dia menghentikan tindakannya. Wajahnya kelihatan tidak tega, dan aku tahu bukan karena menebak-nebak atau berharap. Itu sungguhan.
"Bisakah kita memakai hukuman yang lebih waras?" tanyanya saat dia mendapatkan kembali ekspresi normal. "Dia masih terlalu kecil, dan kita tersulut amarah."
"Apa kau hendak menjadi pahlawan sekarang?" Lagi-lagi, si penjual ikan.
"Ya," sahut lainnya. "Apa menurutmu jika anak-anak sepertinya dilepaskan begitu saja akan menjamin kejadian yang sama tak akan terulang?"
"Dia sudah mencuri dalam jumlah besar tiap harinya. Bukan, lebih tepatnya merampok! Mereka merampok kita!"
Si penjual daging menyela perdebatan yang mulai timbul, "Hei! Kemanusiaan kalian sudah putus? Hukumlah dia sesuai umur dan kepantasan. Kita bukan penikmat kesadisan pada anak-anak."
"Kalau kau tak bisa melakukannya," kata si penjual ikan, "biarkan aku!"
"Tidak! Dengar―"
"Atau anak perempuanmu bisa menggantikan gadis kecil ini." Ancaman yang jitu sekali. Keberanian si penjual daging, serta harapanku, langsung pupus. Dia membisu dan aku mulai panik.
Namun, saat pisau sudah diangkat tinggi, lagi-lagi ada yang menghentikannya di udara.
"Tajam."
Mataku serta-merta terbuka, melihat siapa yang berbicara di dekat tanganku.
Dia, yang berbicara tadi, meletakkan satu jarinya di atas tanganku yang disatukan. Tepat di atasnya, pisau besar berhenti. Satu dorongan saja dipaksakan oleh si penjual ikan, maka tamatlah jari orang itu.
"Apa-apaan?!" Tuan penjual ikan membentak.
Orang asing itu bersembunyi di balik jubah yang lebar, bahkan wajahnya tertutup tudung. Dia menoleh padaku, lalu pada pemegang tanganku, terakhir pada si penjual ikan. "Lepaskan."
"Apa?"
"Manusia tidak pantas disebut demikian jika memotong tangan anak kecil tanpa pikir panjang, Tuan," kata pemuda dalam jubah itu. Jemari pucatnya menyentuh tangan pedagang yang mengikat tanganku. Kurasakan cengkeramannya bergetar sesaat.
"Apa tanganmu juga ingin dipotong?" ujar si pedagang ikan. "Kau pasti orang asing, bukan? Orang asing yang pekerjaannya hanya mencampuri urusan orang lain―"
"Ya, lalu?" Kerumunan massa berjengit mendengar pemuda asing ini menyela. Pemilik-pemilik kios merapat. Mereka mencoba mengintimidasi.
Kutebak umur pemuda ini tidak jauh dari Luke, tapi dia sudah berani menunjukkan taring muda pada monster. Pemberani, nekat, dan dia tidak bodoh. Entah mengapa, aku tidak merasakan kedunguan dari tindakannya selama lima menit ini. Padahal jika aku yang melakukannya, aku yakin diriku sendiri pun menjerit: Kau tolol banget, Anna!
Terlalu lama kami bungkam, dia sudah bertindak. Waktu seolah melambat saat pemuda itu meraih tanganku, lalu menarik sampai aku terjungkal lagi. Begitu mudahnya dia merebut paksa hingga aku bebas dari si pedagang, dengan tenaga yang sepertinya tidak dikeluarkan begitu banyak karena cengkeramannya tidak kasar. Atau, ini semua terjadi karena berat tubuhku yang jauh dari kata normal.
Kekehan pemuda itu menyambut olengnya tubuhku. "Maaf, Kecil. Tubuhmu terlalu ringan, sih."
"Berani-beraninya kau melepaskan pendosa dari hukumannya!" Si pedagang ikan berteriak, menggerakkan pisau besarnya walau belum berani menyentuh pemuda berjubah itu. "Berikan dia kepada kami agar kami bisa memberinya pelajaran. Atau jarimu akan kami potong sebagai gantinya."
Walau bagiku itu mengerikan, si orang asing mengeratkan genggamannya di pergelanganku. "Kau tidak memiliki hak. Untuk memutuskan hukuman, juga melemparkannya pada orang lain."
"Sepertinya kau salah paham, Nak." Ucapan pembuka itu membuatku merinding. Seringai sang pedagang ikan melebar dan berubah licik, "Rimegarde memiliki hukum sendiri yang mendarah-daging, bukan hanya sekadar tulisan. Siapa pun yang hendak menghapus kesalahan orang lain, bisa dibayar dengan pengalihan hukuman. Kau jelas bukan orang Rimegarde sehingga tidak tahu hal sepele macam itu."
Lagi-lagi, ancaman yang mampu melemaskan tangan seseorang. Secepat kilat pemuda itu tidak lagi menggenggamku, dan dia mematung seperti baru membeku. Beberapa detik setelah momen itu berlangsung, aku menjerit dalam hati. Kuminta si pemuda tidak goyah, tetap melindungiku, tetap membela yang ....
Aku tak tahu cara melanjutkannya. Membela apa? Kebenaran? Di sini akulah iblisnya. Setan kecil yang sudah berbuat salah belasan kali hingga membuat orang lain murka. Dan aku tidak memedulikan kerugian yang mereka alami demi kepentinganku sendiri. Kenapa orang itu harus melindungiku? Rasanya, pertanyaan yang tepat adalah alasan apa yang bisa kuberikan agar ada yang tetap memegangku?
"Memangnya ini masih Rimegarde? Nggak penting amat."
Sekonyong-konyong, aku terperanjat. Apa? Orang itu bilang apa?
"Boleh kuminta uangnya?" Sesaat kami mengira pemuda itu tengah berbicara pada pedagang, sebelum seseorang dengan jubah yang sama memberikan dua kantung di depan wajahnya. Bunyi gemerincing menarik perhatian kami saat kantung itu ditarik oleh si pemuda. Dia berdiri, lalu melemparkan satu kantung ke kaki si pedagang ikan, sengaja membuat koin-koin itu tumpah di jalanan. "Lebih dari cukup, bukan?"
"Hei!" ujar si pedagang. Dia merasa terhina, tapi aku terlalu takut untuk peduli.
"Pilih, Pedagang, uang atau penegakkan hukum?" Pertanyaan itu lancar sekali dari mulut sang orang asing. "Yeah, sebetulnya ada cacat dalam hukum tersebut. Bagaimanapun, kau harus mengakui uang ini sebanding dengan yang diperbuat gadis kecil itu. Tiga keping emasnya bisa membayar kerugian, dan sisanya bisa kau pakai untuk membeli anggur terbaik Rimegarde. Pada dasarnya, itulah hukum manusia, Pedagang."
Dia melewati pedagang yang kini berwajah pucat. Jubahnya panjang menyapu tanah, seolah tidak membiarkan sejengkal tubuhnya pun terlihat. Orang-orang memberi jalan, menyingkir, sampai si pemuda berhenti di depan pedagang lain.
"Aku minta apa pun yang kau jual, yang seharga dengan ini." Ketika pemuda itu menyodorkan kantung satu lagi, si pedagang daging terperanjat.
"A-ah, oke." Pedagang itu pergi dan mengorek-ngorek apa pun yang dia simpan dalam boks penyimpanan asli. Kami menunggu dia bekerja sambil menghasilkan bunyi-bunyi berisik.
Usai berkutat dengan bungkusan daging-daging itu, dia menukarnya dengan keping-keping uang. Tanpa protes, dia menerimanya dan membiarkan kumpulan daging terbaiknya ditenteng oleh si pemuda.
"Buatmu, nih." Yang tidak disangka-sangka, dia menyodorkan semua daging merah dalam bungkusan bening itu padaku. Aku melihat gurat-gurat darah di kantung, lalu pada bibirnya yang tiba-tiba saja terlihat, berulang kali bolak-balik hingga aku terpaku pada lengkungan senyumnya. Itu tidak tampak lebih baik dari amukan pedagang, atau ujung tertajam pisau segi empat yang berusaha memotong jariku. Licik. Penuh tipu muslihat walau aku sempat berharap.
Lama terdiam, orang berjubah lainnya merampas kantung itu dan menyerahkannya padaku. Tepat di atas kakiku yang terduduk, dia menjatuhkannya. "Sama-sama. Sudah susah-susah itu didapatkan orang lain demi mengisi perutmu, tahu?"
"Jangan kasar," tegur temannya. "Omong-omong, Kecil, itu akan cukup sebagai makan kalian selama dua hari, bukan?"
Kalian?
Sebelum responsku keluar, suara gaduh dari kerumunan di belakang menyela. Orang-orang mulai bergumam dan satu suara besar berkoar hingga mendekat kemari. Dari gumaman orang-orang yang bergerak seolah membentuk jalan, datanglah si pemilik suara, yang terdengar sangat marah sekaligus sedih. Suaranya familiar, hingga bulu tengkukku berdiri.
"Mana?" kata pria itu. "Mana pencuri yang telah mengambil minyakku? Biar kukuliti tangannya. Akan kuberikan jari-jarinya pada ternak-ternakku."
Dia barangkali kelewat bodoh saking sedihnya. Kecuali dia memiliki ternak singa, mungkin aku percaya hewan-hewan itu mau memakan jariku yang berlumur darah.
Namun, aku sudah tidak peduli lagi. Kata-kata kejamnya bagaikan petir pengingat. Tanganku memeluk kantung daging dan menutupinya dengan jubah. Sama seperti biasa, aku pergi dari tempat aku mendapatkan makanan dengan tangan di dalam jubah, merapat pada hasil curian. Kini aku tidak mendapatkannya karena mencuri, melainkan dari kebaikan aneh dua orang yang membebaskanku dari hukuman. Rasanya berbeda, tentu saja. Bukannya aku merasa sangat berterima kasih, tapi aku akan lebih lega jika menyebutnya sebagai kejanggalan.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi terhadap mereka, aku berdiri dan kabur. Menembus pertahanan orang-orang yang terkejut, aku berhasil lolos dan mencapai lorong kecil tempatku datang. Mereka takkan bisa mengejar karena tubuh yang terlalu besar, atau menebak ke jalannmana aku akan muncul nanti. Aku bahkan ragu mereka tahu di mana saja jalan keluar gang itu.
Di sisi lain jalan, banyak yang masih menganggapku bocah biasa. Mereka tak tahu-menahu tentang kejadian di pasar. Pada akhirnya aku sampai di tenda tanpa memungut perhatian, langsung masuk ke dalam tenda. Di dalam, kegelapan agak suram. Tawa menghilang, keceriaan terenggut. Kemurkaan besar yang sesungguhnya menyambutku setelah beberapa detik kami semua saling terdiam.
Bunyi tangan Logan yang menampar pipiku terdengar nyaring. Tidak sesakit yang tadi, hanya saja ... tetap menyakitkan. Biasanya, dalam kondisi normal, aku akan menamparnya balik. Aku sanggup melumpuhkannya seperti kemarin.
Namun, napasku langsung memberontak parah. Kujatuhkan semua barang di pelukan dan menyambut satu tong penderitaan. Tidak, jangan sekarang. Tetapi tubuhku tidak mendengarkan apa yang kuinginkan, tetap membiarkan kenangan suram mengambil alih segalanya.
Kemudian aku menyadari Logan tidak bersuara. Dia tengah memelototiku, tapi bukan sepenuhnya aku. Matanya mengarah pada sesuatu yang lebih mengerikan. Tetes-tetes darah merah dari samping wajahku.
"A-aku nggak sengaja," dia panik seketika. "Anna, sumpah, aku bukan bermaksud membuatmu berdarah―" Logan mematung. "Tunggu, apakah itu dari telingamu?"
Aku terengah saat dia menyentuh samping wajahku, menyibak rambut yang menutupinya. Air mata jatuh seketika karena ... Entahlah. Aku menangis, inginnya bilang karena ditampar oleh Logan, oleh kakakku. Atau karena aku hampir mati di pasar tadi. Namun, aku yakin aku tidak menangis karena itu. Kenangan yang melintas di kepalaku-lah yang menyebabkan segalanya mengabur dalam genangan air.
"Siapa yang melakukan ini? Siapa?!" Logan membentak dan aku berjengit. Dia mungkin juga terkejut kenapa aku bertindak seakan baru mendengar serigala menyalak.
Bentakannya membuat kakiku lemas. Aku merosot begitu mudah hingga semua orang bisa menganggapku pudding lembek. Pudding dengan air mata dan terisak-isak.
Sesaat setelah aku ambruk di lantai beralaskan kanvas, jubah di bahuku ditarik hingga menutupi seluruh tubuh. Logan yang melakukannya. Dia bergabung dalam jubah, melingkarkan tangannya ke seluruh kepalaku. Tangan satunya menuju jari-jariku, dan dia langsung mendorong sesuatu hingga aku menggenggamnya. Benda yang selama ini tersimpan di dalam bungkusan tas, berusaha kuhindari hampir tiap hari, dan sekarang itu berada di dekatku.
"Ini, kau membutuhkannya. Aku minta maaf karena marah." Untuk pertama kalinya, Logan berusaha mengucapkan sesuatu yang lembut, nyaris ceria, setelah pelarian dan pertengkaran kami. "Hei. Mereka takkan menemukanmu, kau tahu itu, kan?"
Tangisanku makin kencang di dalam keheningan. "Mereka mencoba―mereka ingin membunuhku.
Logan diam kali ini. Semua membiarkanku menangis sambil mencengkeram benda yang Logan berikan erat-erat. Pemuda itu benar, aku membutuhkannya. Meski tanganku bergetar bukan main, itu mengingatkanku akan sesuatu yang dapat menenangkan trauma di ingatanku.
Perlahan-lahan aku mendengar suara tenda disibak, semua orang keluar. Hawa di dalam sini mengatakan bahwa tersisa aku dengan Logan, yang masih bergumam tentang apa yang terjadi padaku. Dari semua hal yang dapat kudengar, aku tahu dia mengucapkan sesuatu yang hampir tidak bisa disebut bisikan. Nadanya getir, ingin marah, dan kesal. Pas sekali dengan suasana hatinya yang campur aduk setelah kehilanganku, lalu mendapatiku dalam keadaan mengenaskan.
"Sialan."
「 Cruel & Lonely Shadows 」
G untuk Gauvelaire
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top