{TWENTY}

Alona POV

"Jadi, kenapa kamu datang malam-malam begini, Rai?"

Sejak lima menit yang lalu, kami saling diam—setelah aku mengobati dahi Rai yang memerah. Aku berusaha membuka topik pembicaraan.

"Aku tidak suka basa-basi, nggak mau jadi orang yang hanya ngandalin kata-kata, harus ada tindakan." jawabnya, kemudian berpaling dariku.

Tunggu, kayaknya ada yang aneh...

Aku maju sedikit lalu menatap Rai. Aku tertawa pelan, lalu menggeleng-gelengkan kepala.

"Kamu mau buat aku terpukau dengan kata-katamu, Wajah Tomat?" tanyaku, menatapnya dengan wajah geli.

Aku menyadarinya melalui warna suaranya yang sedikit biru di dalam kuning cerah. Saat tadi aku menatap Rai, aku melihat wajahnya yang memerah.

"Me-memangnya kenapa, sih? Apa salahnya aku berkata seperti itu? Bukannya banyak orang sok berkata bijak agar terlihat keren di depan orang lain?" sahutnya, membela diri.

Aku tertawa pelan. "Kamu itu, sudah umurnya jauh lebih tua dari aku, malah sifatnya yang nggak ikut tua. Kayak anak SD aja, Rai—wujudmu sih begitu,"

"Bahkan aku nggak tahu bagaimana caranya aku bisa tetap berwujud anak kecil begini. Harusnya sekarang aku itu wujudnya kayak Alan, lho,"

"Seriusan? Bukannya kamu masih lebih tua daripada kak Alan?" tanyaku, menggodanya. Memang enak banget kalau godain anak kecil begini.

"Ih, setidaknya aku lebih awet muda!"  gerutunya, menyilangkan kedua tangan, memasang wajah cemberut.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan, Tuan Yang Bijak?"

"Sini," dia menarikku, dan langsung mengacungkan tangannya ke depan.

"R-Rai? Kau mau membawaku ke mana?!" teriakku panik, melihat portal dengan cahaya biru muda dari dalamnya.

"Kemana lagi kalau bukan Anabric, Lona!" teriaknya, segera melompat masuk ke dalam portal.

"RAAII!!" teriakku saat ditarik masuk, dan suaraku langsung lenyap dari kamarku. Ditelan oleh portal biru muda menuju Anabric.

***

"KYAA!!" teriakku saat sampai di ujung portal. Cahaya terang menyilaukan datang, tanda kami akan segera sampai di Anabric.

"Aduh!" rintihku kesakitan, mengelus-elus bokongku setelah jatuh duduk di lantai.

Tunggu—lantai? Bukankah sejak aku dua kali pergi ke Anabric, aku selalu terjatuh di Padang Rumput yang dikelilingi berbagai jenis bunga dan Danau Mimpi? Kenapa sekarang malah keluar di lantai marble putih?

"Ah, kalian sudah kembali!" sahut seseorang dari belakangku. Suara perempuan yang tidak kukenali.

"Eh?!" aku terkejut saat berdiri lalu berbalik badan ke belakang.

"Kalian... kembar?" aku refleks berkata, menatap kedua anak itu satu per satu.

Mereka mirip sekali!

"Oh, kami bukan kembar, kak Alona." sahut anak perempuan yang berada di kiriku. "Dia adalah kloning milikku."

Anak perempuan dengan rambut hitam indah dibagi menjadi dua dan poni di dahinya. Dia memakai kaos biru muda dengan dua garis putih di bawahnya dipadukan dengan celana coklat pendek, cardigan biru emerald lengan pendek ala jubah, kaos kaki hitam panjang, dan sepatu coklat.

"Kloning?" tanyaku bingung. Bukankah teknologi membuat kloning itu masih sulit ditemukan? Bahkan Papa belum menemukan caranya.

"Iya kak, kloning. Proses pengambilan informasi genetik dari satu makhluk hidup untuk menciptakan salinan identik darinya." jawabnya, tersenyum ramah.

Wow, jubah biru itu benar-benar cocok dengan mata biru emerald miliknya. Batinku.

"Salam kenal, kak Alona. Namaku Greta," sahutnya, mengulurkan tangan. Aku yang sedikit malu, akhirnya menerima tangannya, dan kami berjabat tangan. "Salam kenal juga, Greta."

Warna suaranya pas banget sama bajunya—warna kuning cerah bercampur hijau! Aku seperti melihat sekuntum bunga matahari dikelilingi air di depanku sekarang. Batinku.

***

"Greta, kamu sebenarnya siapa?" tanyaku padanya, setelah diajak jalan-jalan keliling klinik Dr. Elda—tempatku keluar dari portal.

"Aku hanya ngebantuin tante El—eh, maksudku, aku profesor yang suka bantuin klinik Dr. Elda, kak," jawabnya agak bingung.

Sepertinya dia mengalihkan pembicaraan sesaat—warna suaranya tadi ada yang abu-abu di balik warna kuning dan hijau suaranya.

"Rai ada di mana, ya? Kok nggak aku lihat setelah jatuh dari portal?" gumamku, dan menoleh pada Greta.

"Kamu tahu di mana Rai, Greta? Bukannya tadi kamu bilang kalau kami sudah datang? Bukankah itu artinya kau melihat Rai?"

Greta terdiam, dan kami berhenti di tengah koridor.

Kok malah jadi canggung sih? Tadi kan lancar-lancar aja. Mungkin inilah rasanya para artis saat bertemu lawan main sinetron pertama kali, kelihatan akrab tapi canggung... aneh.

"Emm, kak Rai ada di ruangan Dokter Elda, kak Lona." jawabnya gugup, dengan warna suara putih bercampur kelam. Dari raut wajahnya, dia terlihat takut... padaku?

"Baiklah, aku tahu jalannya. Jadi, apa kita masih bertemu lagi, Greta?" Aku menunduk sedikit agar bisa menatap kedua mata biru emerald itu.

"Tentu bisa, kok. Kak Alona jika ada perlu, silahkan menanyakan ruanganku di resepsionis depan." jawabnya lembut. Hmm, kuning cerah. Dia sudah kembali menjadi dirinya.

"Ya udah, aku pergi dulu. Dah!" aku belok kanan, melambaikan tangan.

Di belakangku, Greta dan kloningnya melambaikan tangan dengan wajah tersenyum tipis.
***

Ok, kenapa aku hiatus lamaaa banget? Karena kemunculan cerita baru itu! (Iya, yang di sana itu, loh! Baca juga ya!)

Mohon doanya agar cerita ini tetap lanjut seperti dulu lagi—lancar jaya seperti air🤣


See you on {TWENTY ONE}!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top