PROLOG


Author POV

"Maa, ceritakan dongeng buatan Mama lagi, dong." rengek Alona manja di samping Elena--Mamanya--yang duduk di atas tempat tidurnya. Tepat di samping Alona, bersiap untuk mengambil salah satu dari banyaknya buku dongeng milik Alona di rak buku setinggi dua meter yang ada di samping kasur Alona.

Tangan Elena langsung terhenti saat Alona merengek di sampingnya.

"Lho, cerita Mama lagi? Kamu nggak bosan, sayang? Kan Mama sudah cerita lima hari berturut-turut setiap kamu mau tidur minggu ini,"

"Alona hanya suka dongeng Mama, nggak ada yang lain," sahut Alona dengan suaranya yang menggemaskan. Mamanya yang tidak kuat menahan tangannya akhirnya mencubit pipi kanan Alona yang tembem dan kenyal.

"Kok Mama cubit pipi aku? Alona buat salah?"

"Salah kamu punya pipi tembem!" Elena menjulurkan lidah ke Alona, membuat Alona menyilangkan tangannya dan memasang wajah cemberutnya.

"Putri yang cantik ini kesal yah? Mau Mama cubit lagi pipinya supaya makin tembem?" goda Elena.

Elena menggelitik perut Alona sampai dia tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha, iya, Ma! Alona nggak kesal lagi hahaha! Aduh! Berhenti, Ma! Hahaha!" seru Alona. Akhirnya, Elena berhenti. "Mama cerita sekarang, ya," Elena tersenyum lembut.

"Iya, Ma!"

Hanya saja, satu hal yang tidak Alona ketahui... Itu adalah terakhir kalinya Elena menceritakan dongeng untuknya.

***

Saat Elena, Alona dan Jaya--ayah Alona-- sedang jalan-jalan di pusat perbelanjaan di kota, Tiba-tiba Elena memegang kepalanya dan mulai terhuyung-huyung.

"Mama!" Teriak Alona saat tubuh Elena mulai jatuh. Jaya dengan sigap menangkap tubuh Elena sebelum membentur lantai.
"Ada apa denganmu, Elena?!" teriak Jaya sambil menggoyang-goyangkan tubuh Elena.

Semua pengunjung yang ada di sekitar mereka dalam sekejap menatap keluarga kecil yang memang menarik perhatian sejak tadi, ditambah teriakan Alona kecil yang mulai menangis.

Tiba-tiba, ada salah seorang pengunjung laki-laki yang mendekati Jaya yang masih menopang tubuh Elena di bahunya.

"Ada apa dengan istri bapak?" Tanya pengunjung pria itu. "Saya tidak tahu, pak! Istri saya tiba-tiba pingsan di saat anak saya berteriak," jawab Jaya dengan suara serak.

"Kalau begitu, bawa istri bapak ke rumah sakit! Saya punya rumah sakit di sekitar sini. Ikuti mobil saya, pak!" sahut pria itu. Menurut Alona, pria ini tidak seperti orang Indonesia pada umumnya.

***

Setelah sampai di rumah sakit milik pria itu--yang bernama Ares, Elena langsung dimasukkan ke UGD karena tidak kunjung sadarkan diri satu jam lamanya.

Alona dan Jaya masih duduk sambil terdiam di kursi depan UGD, menunggu Elena yang sedang diperiksa oleh para dokter.

***

Alona POV

"Pa, kapan Mama bisa keluar?" tanyaku polos, sudah sedikit baikan setelah setengah jam duduk di kursi pengunjung rumah sakit.

Papa hanya tersenyum tipis padaku, dan berkata, "Sebentar lagi, sayang,"

Aku melihatnya lagi, warna biru yang muncul setelah Papa berbicara, mengelilinginya. Di sekitarku, aku melihat banyak warna, dan sebagian besar biru dan merah.

"Papa sedih?"

"Enggak kok, sayang," Papa berkata pelan dengan suara serak. Warna birunya semakin jelas terlihat, tadi samar-samar saja. "Papa yakin Mama akan baik-baik saja,"

Aku hanya mengangguk pelan.

Tetapi, aku tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari di mana Mama terakhir kalinya memegang tanganku, berjalan bersamaku, menemaniku, menyuapiku makanan setiap aku menolak, dan mencubit pipiku setiap kali aku kesal padanya.

***

Author POV

"Pak Jaya Dirgantara," Ares keluar dari ruang UGD dengan menggunakan baju operasi biru muda.

Jaya langsung berdiri saat Dokter Ares keluar dari ruang UGD. "Kenapa, Dok??!"

"Istri bapak... tidak bisa diselamatkan." Ares menunduk, mengepalkan kedua tangannya. Jaya langsung syok mendengar itu, kemudian ia berlari dengan cepat masuk ke dalam UGD. Disusul oleh Alona dan Ares juga.

"ELENA!!!" teriak Jaya, saat melihat satu kasur pasien yang ditutupi kain putih. Perlahan dia membukanya, dan yang ada di balik kain putih itu adalah benar istrinya; Elena Jaya Dirgantara.

Perlahan, Jaya menangis sambil menatap jasad istrinya yang terlihat tenang dan damai, sambil tersenyum tipis. Alona langsung menghampiri mamanya--yang sudah mati tetapi dia tidak tahu--dan langsung menggoyang-goyangkan badan mamanya.

"Ma, bangun, Ma! Aku mau dengerin dongeng Mama. Bangun, Mama!" Alona masih terus menggoyang-goyangkan tubuh Elena yang tidak bernyawa. Jaya yang melihat putrinya itu semakin sedih, kemudian memeluk putrinya dengan erat. Ares juga menunduk.

***

Alona POV

Aku melihat warna biru dan hitam di sekelilingku. Warna yang paling tidak aku sukai, karena ibu guru berkata kalau warna-warna ini adalah tanda kesedihan, bahkan kematian. Aku tidak tahu kenapa Papa peluk aku sambil menangis. Aku sebal, kenapa Mama tidak bangun juga.

"Pa, Mama kenapa nggak bangun-bangun?" tanyaku. Suara tangis Papa semakin besar.

Papa terisak, dan berkata, "Mama sudah nggak ada, Alona! Mama sudah pergi!"

Aku terkejut, dan aku langsung menetaskan air mata, dan berlanjut mengalir menjadi sangat deras, membasahi pakaian Papa. Aku balas memeluk Papa sambil menangis.

***

"Ma, jangan tinggalin Alona," aku masih menangis, mengusap batu nisan Mama. Papa yang berada di sampingku masih menebarkan bunga melati berbagai macam warna di atas tanah kuburan Mama. Hanya satu warna yang aku lihat sekarang--hitam. Tanda kesedihan terdalam.

"Kamu harus sabar ya, sayang," sahut Papa, memegang kedua pundakku dari belakang. Tangisanku makin menjadi-jadi, tetapi Papa berusaha menenangkanku dengan pelukannya yang hangat. Tidak sehangat pelukan Mama, tapi cukup untukku.

Satu hal yang tidak aku ketahui; Ini memang harus terjadi.


***

Maaf kalau ceritanya kurang jelas. If you like this, please vote + comment my story!


See you at {ONE}!

-A

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top