{NINETEEN}

Author POV

"Tapi, masa hanya aku sendiri yang menepati janji?"

"Eh?" Luna dan Arka menatap jeri Alona yang terlihat sedikit licik.

***

Alona POV

Masa sih mereka melupakan janji "kami" untuk menjenguk Rai dan Dokter Elda di Anabric saat akan pulang? Waduh, bisa bahaya nih kalau diberi tahu tentang PR Matematika dari Pak Tio tadi nih. Aku yakin meraka sudan melupakannya.

"Hei, kalian tidak amnesia, kan?" tanyaku memastikan--meskipun itu adalah pertanyaan yang konyol.

Mereka berdua saling tatap, kemudian menggeleng. "Maksud kamu apa, Alona? Mana mungkin aku dan Arka amnesia?"

"Kamu ingat tentang "pidato" Pak Tio tadi sebelum pulang?"

Arka memegang dagunya, berpikir.

"AH!! PR Matematika dua bab!!" teriak mereka berdua, memekakkan telingaku.

Yap, mereka berdua amnesia.

"Bukan dua bab, pelupa. Tapi dua belas soal esai--dikumpul lusa!"

Mereka berdua menepuk dahi. "Bagaimana ini? Aku saja kurang mengerti materinya," sahut Arka cemas.

"Kalian, sih, saat istirahat kedua tidak kerjain aja secepatnya. Kan kita ini les Matematika, sudah diberitahu kalau akan ada PR itu saat les hari Minggu kemarin," aku menghela napas pelan, memegang pelipisku.

Kenapa mereka jadi pelupa begini, sih? Kan kita udah diberi tahu sama Pak Tio sejak kemarin saat les tentang PR ini. Untung aku udah kerjain sejak sampai di rumah, dan dengan bantuan dari materi buku perpustakaan minggu lalu yang punya penjelasan lengkap.

Terima kasih, Tuhan, sudah melindungi hambamu dari sifat pelupa kedua anak ini. Batinku.

"Jadi, kalian mau belajar di mana? Ini masih jam satu, lho. Banyak waktu." tanyaku lagi.

"KITA KE RUMAH ALONA." mereka berkata tegas, serempak. Lho, kok malah mereka yang jadi menyeramkan?

***

Author POV

"Kalian sudah mengerti soal ini?"

"Me-mengerti, ibu guru," jawab Luna dan Arka dengan suara bergetar.

Kenapa kami lupa kalau Alona itu kategori guru killer sih?! Batin Luna dan Arka ketakutan.

Sejak saat mereka masuk SMP, Alona adalah guru kesekian Luna dan Arka saat mengerjakan tugas sekolah. Tetapi, sisi amarah Alona jika sampai seseorang tidak cepat mengerti pelajaran itu seperti iblis.

"Kayaknya pepatah kalau wanita marah bisa berubah jadi iblis itu benar," Alan berkata pelan, menatap ketiga "adiknya" itu dari lantai dua. "Entah mengapa aku merasa kalau sebaiknya aku tidak turun ke ruang tamu di bawah."

***

"Dadah, Alona!" Luna dan Arka melambaikan tangan, beranjak masuk ke dalam mobil masing-masing.

"Dadah, Luna, Arka!" balas Alona tengan cara yang sama.

Due mobil putih hitam itu melaju di jalan yang sepi. Dua detik, kedua mobil itu tidak terlihat lagi.

"Alona, masuk. Nggak baik kalau di luar rumah saat magrib." Alan menepuk bahu Alona, membuatnya menoleh.

Alona mengangguk, lalu mereka berdua--bersama Pak Jordan--kembali masuk ke dalam rumah.

***

"Ya Tuhan, kenapa materi ini sulit sekali, sih? Bu Nana nggak beri belas kasihan ke kami, nih!" teriak Alona dengan wajah datar. Tidak aneh apa orang frustasi malah teriak dengan wajah datar?

Kali ini, gadis "Otak Einstein" kita ini sedang belajar materi fotografi. Ulangan hari Selasa besok hanya satu, pelajaran fotografi. Kali ini, Bu Nana tidak memberi belas kasihan pada murid-muridnya.

Sisi killer Bu Nana sedang ia aktifkan. Seperti menekan saklar lampu yang sedang mati. Saat dinyalakan, lampu itu menerangi dengan baik sebuah tempat atau ruangan. Berbalik dari itu, Bu Nana justru menghalangi cahaya lampu itu.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan dari arah balkon, membuat Alona hampir saja terjatuh ke belakang bersama kursinya karena kaget.

"Si-siapa itu?" teriaknya dengan suara bergetar. Ia perlahan mengambil taser gun miliknya dari laci meja belajarnya yang diberikan Papanya untuk berjaga-jaga.

Alona perlahan berjalan dari meja belajarnya menuju arah jendela balkon. Seluruh badannya bergetar, dengan tangan kanan yang memegang taser gun.

"Tenang, Alona, tenanglah... Tarik napas, lalu buang." gumam Alona, berusaha menenangkan dirinya (meskipun sama sekali tidak berpengaruh juga karena ketukan kedua).

Dengan cepat, Alona menarik tirai, lalu melihat ke luar.

Tidak ada orang di sana, hanya ada lampu-lentera gantung yang ada di sudut balkon saling berhadapan silang. Menerangi balkon itu.

Alona yang semakin gemetaran memberanikan diri keluar ke balkon, mengecek taser gun nya sudah nyala atau tidak, lalu berjalan ke samping kursinya.

"Si-siapa di luar? Apa yang kau inginkan?!" tanyanya ketakutan, menekan tombol taser gun. Listrik biru kecil menyala-nyala.

"Tidak perlu takut, kali, Lona!" teriak seseorang dari kegelapan. Dia berdiri di atas railing balkon.

Sosok itu lompat turun, dan perlahan berjalan. Alona yang tidak sempat melihat wajah orang itu langsung mengarahkan taser gun pada orang itu.

"Astaga!" teriak orang itu, mengangkat salah satu lengannya.

"Alona, kenapa panik, sih? Kamu pikir aku hantu, apa?!" gerutu orang itu.

"Emm, coba mendekat ke cahaya," sahut Alona yang melihat dengan mata kepalanya sendiri semacam tameng hitam keunguan terbentuk di depan lengan orang itu.

"Syukurlah hanya kau, Rai!" Alona menghembuskan napas lega, mengusap dadanya.

"Ya kali pencuri bisa masuk ke rumahmu. Rumahmu kan itu pengamanannya ketat banget! Mungkin kalau nyamuk aja yang masuk baru satu milimeter lewatin pagar udah ditembaki laser saking ketatnya." gerutu Rai, menurunkan tangannya. Tameng itu seketika lenyap.

"Kenapa harus lewat sini, hah?!" Alona berteriak, menjitak dahi Rai. "Kamu nggak pernah berubah, ya , Rai! Selalu mau menakuti orang dengan cara-cara yang kau tonton di film horor!"

Rai mengusap dahinya yang memerah, meringis kesakitan. "Itu jari apa batu sih, keras banget!"

Alona tertawa pelan. "Bercanda,"

"Silahkan masuk, Tuan Muda Rai." Sahut Alona pelan, berlagak seperti pelayan muda, meminta Rai masuk dengan mengarahkan kedua lengannya pada pintu jendela.

"Ja-jangan main-main, deh!" celetuk Rai, perlahan berjalan masuk ke kamar Alona. Wajahnya terlihat memerah.

Dasar jaim... Padahal dia suka banget tuh dipanggil "Tuan Muda" olehku. Batin Alona.
***

Kenapa Rai datang ke rumah Alona?

See you on {TWENTY}!

-A

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top