{FOURTEEN}
Arka & Luna POV
Kenapa ada lift tersembunyi di bawah tempat tidurnya Alona?! Tidak ada tanda-tandanya! Apalagi, tombol rahasia di dinding kamarnya, yang sangat tersembunyi.
Sebelum kami berkomentar, Alona langsung menarik lengan kami memasuki lift rahasia itu. Kemudian setelah di dalam, ia mengambil snelly putih dari dalam lift.
Selama di dalam lift, kami berdua hanya bisa terdiam. Kami saling lirik.
Aku gak pernah menduga kalau Alona itu benar-benar jenius. Pantas saja tes IQ di sekolah bilang IQ nya itu di atas rata-rata--alias jenius. Memang benar, sih. Batin kami berdua--meskipun kami tidak bisa mendengar satu sama lain.
***
Alona POV
Entah kenapa, aura di sekitarku jadi agak canggung. Luna sama Arka ngeluarin aura kuning dan biru muda yang memancar terang. Mereka pasti nggak pernah menduga, kalau sahabat mereka punya laboratorium jauh di bawah tanah rumahnya. Batinku.
Beberapa detik kemudian, suara mendesing terdengar pelan. Pintu lift perlahan terbuka, dan memperlihatkan kami tempat rahasia di rumahku.
***
Author POV
Luna dan Arka kembali menganga, begitu melihat tempat jauh di bawah tanah rumah Alona itu. Mereka tidak pernah menyangka, kalau sahabat mereka punya laboratorium seperti ini. Mereka berpikir, Alona dan mereka itu sama saja; Remaja kelas 3 SMP yang suka memainkan ponsel dan sering posting foto di Instagram--kecuali Arka.
Ternyata, Alona itu lebih dari dugaan mereka berdua. Alona lebih dari seorang gadis remaja kelas 3 SMP semester akhir yang biasanya melakukan hal-hal yang dilakukan gadis remaja pada umumnya. Dia adalah gadis remaja umur 14 tahun yang "mewarisi" otak Albert Einstein.
***
Alona POV
Setelah keluar dari lift, aku langsung menarik lengan Luna dan Arka yang kembali menganga sambil berdiri, tidak berkutik.
Aku menghembuskan napas pelan. Akhirnya, aku kembali lagi ke tempat ini setelah seminggu. Laboratorium dengan dinding biru dan lantai marble putih, dilengkapi alat-alat canggih ciptaannya dan Papa.
Ya, kalian tidak salah dengar. Sebenarnya, bukan aku yang sepenuhnya memiliki laboratorium canggih ini. Papaku juga memiliki hak atas laboratorium ini, karena beliau lah yang membangun laboratorium ini dengan kakekku: Sagraha Dirgantara.
Menurut cerita versi Papa, ia dan kakek membangun laboratorium ini dengan teknologi yang mereka berdua kembangkan dan ditambah dengan menggabungkan teknologi Korea dan Amerika Serikat. Kebanyakan peralatan di sini adalah buatan mereka, dan sisanya adalah alat yang diberikan oleh beberapa supplier baju mesin yang bekerja sama sejak dulu dengan perusahaan keluargaku.
Sedangkan menurut cerita kakekku, beliau yang membuat hampir seluruh laboratorium beserta isinya dengan teknologinya sendiri, sedangkan Papa katanya hanya terus merusak barang-barang di dalam. Mengingat kisah itu selalu membuatku tertawa.
Aku putuskan untuk mempercayai cerita Papa, sejak warna suara Papa itu kuning dan putih, meskipun sama juga dengan kakek...
"Alona,"
Aku langsung sadar dari lamunanku, dan menoleh ke belakang. "Ya, Arka?"
"I-ini laboratorium rahasia di bawah tanah bukan?" tanya Arka dengan antusias.
Aku mengangguk. Aku lupa kalau Arka itu fanatik dengan sesuatu yang berbau teknologi. Dia bakalan gila dalam hitungan detik, nih! Batinku.
"Memangnya kenapa? Kau baik-baik saja kan, Ka?" tanyaku memastikan. Aku langsung memberi kode ke Luna untuk segera mundur. Arka sudah mau meledak.
"Dan ini laboratorium yang keluargamu buat tanpa sepengetahuan dunia luar?!" sahutnya lebih antusias lagi. Warna suaranya makin kuat saja. Matilah aku kalau dia sampai menggila!
Aku menjawab dengan anggukan lagi.
Mata Arka berbinar-binar. Sepertinya Arka sudah melupakan rasa sakit di bokongnya itu. Lihat saja, sebentar lagi, dia bakalan bertanya seperti paparazzi di TV di laboratoriumku ini.
"Kalian ikuti aku," sahutku, mulai berjalan ke meja tombol dengan bahasa yang hanya aku dan Papa mengerti.
Ketika aku sampai di meja itu, suara bip terdengar. Aku langsung mengetikkan sesuatu di layar hologram yang muncul dalam sekejap jika mendeteksi kehidupan.
Di layar, muncul kamera pengawas yang aku taruh di dekat pintu kamarku untuk
mengawasi sekitar. Siapa tahu kalau bakalan ada maling, atau hewan liar masuk lewat teras, aku bisa berpikir 2 langkah lebih cepat.
Dari pantauan kamera, muncul pelayan tadi yang ada di teras.
"Nona Alona," sahut pelayan itu sambil mengetuk pintu kamarku perlahan.
Dengan cepat, aku menekan tombol biru di meja, kemudian keluarlah semacam benda berbentuk bola kasti dari lantai kamarku. Benda itu terbang, kemudian berhenti dua langkah dari pintu, mengambang.
"Iya, Mbak? Kenapa ya?" sahutku, membuat Luna dan Arka bingung. Aku yakin mereka berpikir, bagaimana caranya Mbak itu mendengarku.
"Tuan sudah sampai di teras, Nona. Beliau ingin menemui anda saat makan malam,"
Dalam hati, aku berseru kegirangan. Akhirnya Papa pulang, aku bisa bertanya bagaimana caranya membuat alat lagi.
"Oh, baik, Mbak! Beritahu Papa, Alona bakal makan malam!"
"Baik, Non." Pelayan itu mengangguk--terlihat dari layar--kemudian kembali berjalan di koridor.
Setelah aku menoleh, semua yang ada di atas meja kembali seperti semula.
"Alona, gimana Mbak itu bisa denger kamu? Kan kita belasan meter di bawah tanah?" tanya Arka penasaran--lebih ke antusias.
"Umm, kalian lihat nggak benda terbang kayak bola kasti tadi?"
Luna dan Arka mengangguk.
"Nah, itu adalah bola terbang yang aku buat untuk menjadi semacam "telepon genggam". Fungsinya, agar tidak ada yang curiga kalau aku itu ada di kamar atau tidak. Dengan teknologi penyerap suara pantulan yang aku tanamkan di dalamnya, suara yang keluar dari bola itu akan terdengar seperti aku yang menjawabnya secara langsung dari dalam kamarku. Seolah fisikku berada di sana, karena suaranya terdengar sangat jernih."
Luna dan Arka hanya bisa terdiam. Mereka tidak tahu harus berkata apa.
"Oh iya, aku membuat ini dua minggu lalu sebelum belajar untuk UAS," aku berjalan ke sisi kanan ruangan, kemudian mengambil dua kotak yang berisikan alat yang aku buat khusus untuk kami bertiga.
Aku menyodorkan kotak itu pada mereka masing-masing, dan mereka menerima dengan wajah bingung.
"Ini... Earpods?" tanya Luna setelah melihat isi kotak itu. Dua earpods putih yang memiliki lambang Dirgantara Inc. di salah satu sisinya.
Aku mengangguk. "Aku buat cadangan, in case kalau salah satunya rusak. Jadi pakai satu aja, ya,"
Luna dan Arka hanya bisa mengangguk patah-patah.
"Ayolah, jangan diam terus, dong. Aku jadi ngerasa ngomong sendiri dari tadi!"
Luna dan Arka terkekeh. Kok warna suaranya jahil bener?
"Alona, kamu sudah pulang?"
Aku menoleh ke belakang. Luna dan Arka berhenti tertawa. Mereka menoleh dan langsung mematung, dengan tubuh yang kaku.
"Ka-kakak?!"
***
Menurut kalian, siapa kakak ini? Bukannya... Coba cek chapter {ONE}, pasti bakal lebih seru nih Sabtu depan!
See you at {FIFTEEN}!
-A
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top