{ELEVEN}

Someone POV

Tut..

Tut..

Tut..

"Halo, bos?"

"Kalian berhasil menculik putri Jaya?"

"Ti-tidak, bos... Dia ditolong seorang bocah, dan kabur. Bocah itu menghabisi kami berdua dengan benda aneh!"

"Datang sekarang juga ke markas! Siap-siap kalian mendapat hukuman!" aku langsung menutup telepon, dan membantingnya di meja.

"Sialan mereka berdua! Tidak becus hanya untuk menculik satu anak perempuan," aku mengepalkan erat kedua tanganku, kemudian memukul meja.

"Lihat saja, Jaya! Aku akan menghancurkanmu!"

***

Alona POV

"Dokter,"

Dr. Elda menoleh. Sejak beberapa menit yang lalu, Dr. Elda mengusapkan obat tradisional kota Irazanda--yaitu bunga lavender digabungkan dengan daun pohon mahoni--di tangan dan wajah Arka.

"Kenapa, Alona?" tanyanya, membuat Luna dan Arka menoleh ke arahku.

"Bolehkah aku meminta sedikit obat ini? Aku membutuhkannya,"

"Kamu terluka, Alona? Di mana?" sahut Dr. Elda, mengusap wajahku dengan telapak tangan kanannya. Aku sempat terkejut. Tangannya lembut sekali... Sepertinya, dokter mengkhawatirkanku.

"Aku tidak terluka, kok, dokter," sahutku, melepaskan tangan Dr. Elda dari wajahku. Entah mengapa, aku melihat kesedihan di matanya.

"Boleh, kok. Ini, Alona," sahut Dr. Elda, menyodorkan toples kecil obat itu. Aku menerimanya. Toplesnya sebesar tempat compact powder, cukup banyak.

Aku tersenyum, dan berkata, "Terima kasih, dokter,"

Dr. Elda membalasnya dengan senyuman.

Setelah itu, aku menanyakan keberadaan Rai. Dr. Elda berkata, Rai biasanya ada di atas permukaan danau. Dia sering berlatih di sana. "Setelah kamu keluar dari klinik, berjalan lurus saja di jalan yang memiliki lampu. Kau akan segera sampai di tangga ke permukaan."

"Terima kasih, dokter. Luna, kamu di sini aja, ya. Tunggu saja Arka di sini."

Luna mengangguk. Aku langsung berjalan ke luar ruangan Dr. Elda.

***

Di jalan, banyak sekali orang-orang yang menatapku, tapi, aku menghiraukannya. Beberapa tersenyum padaku, dan aku balas tersenyum. Mereka terlihat seperti manusia asli, persis seperti Rai dan Dr. Elda, hanya saja, mereka terasa berbeda...

Setelah dua menit berjalan, akhirnya aku bertemu dengan anak-anak tangga kaca itu. Aku perlahan menaikinya, dan sambil menikmati pemandangan 'bawah laut' Danau Mimpi di balik dinding kaca.

Saat sampai di dekat permukaan, air danau menyusut, membuat celah. Ternyata, ada pintu kaca tipis di dekat permukaan danau.

Saat aku keluar, sinar matahari lembut menerpaku. Pemandangan yang paling aku sukai dari dunia ini.

Saat aku menoleh ke kanan, aku melihat Rai. Dia sedang bersemedi di atas sebuah batu di tepi danau lainnya. Aku perlahan berjalan, dan menepuk bahunya perlahan.

Kelopak matanya terbuka, membuat kedua mata ungu besarnya terkena terpaan sinar matahari sore. Membuat siapapun yang melihat matanya terhipnotis dengan tatapannya yang syahdu.

"Eh, Alona? Kenapa kamu ada di sini?" tanya Rai. Aku meliriknya, dia berusaha menyembunyikan lengan kanannya.

Tanpa menjawabnya, aku menarik Rai dari atas batu itu, lalu duduk di batang pohon tua di dekat padang bunga.

"Kenapa, Alona?" tanyanya lagi. Aku langsung mengeluarkan toples obat dari kantongku, dan menarik lengan kanan Rai. Dia terkejut, dan aku mengoleskan obat "salep" itu ke luka pisaunya.

"Kenapa kau berbohong padaku, Rai?" tanyaku, mengoleskan obat itu di tangannya.

"Aku... Tidak ingin kamu khawatir," jawab Rai, kemudian dia menunduk.

"Kau tahu kalau aku tidak bisa kau bohongi, kan?"

"Aku tahu, nona jenius," Rai mengangguk, menghembuskan napas pelan. Aku melirik, dan aku melihatnya tersenyum tipis.

"Jadi, kalau aku bilang, aku kentut barusan, kamu percaya?" tanyanya lagi. Aku menatapnya dengan wajah bingung. Tetapi, aku langsung mencubit lengan kirinya.

"Ih, jorok!" teriakku. Bagaimana nggak teriak kalau warna suaranya putih!

"Maaf, maaf! Tapi, nggak kecium, kan?" sahut Rai, tertawa terbahak-bahak. Apanya yang minta maaf kalau begini?!

Aku hanya bisa menghela napas pelan. Aku masih mengoleskan obat ke lukanya.

"Oh, Rai,"

"Iya, Alona?"

"Kenapa Luna sama Arka nggak bisa lihat lukamu ini? Kenapa hanya aku yang bisa?" tanyaku penasaran.

Rai memejamkan matanya, berpikir sejenak.

"Aku tidak tahu, Lona. Tapi, aku yakin, Dr. Elda dan kau bisa melihat lukaku. Biasanya, Dr. Elda yang mengobatiku kalau ada luka." jawab Rai.

"Kau yakin tidak ta--"

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku segera mengeluarkannya dari kantongku, dan melihat layarnya. Luna meneleponku.

"Halo, Luna?"

"Arka udah selesai diobatin, Lona. Sebaiknya kamu kembali ke klinik sekarang juga,"

"Oke, kami segera kembali!"

Aku mengakhiri perbincangan. Dengan cepat, aku menarik lengan Rai, dan berjalan menuju tepi danau tempatku keluar. Tanpa perlu di-scan seluruh tubuh untuk "membuka" anak tangga, air danau langsung menyusut.

Begitu anak-anak tangga kaca sudah terlihat, aku langsung turun dan menarik Rai bersamaku. Dia sedikit terkejut, tapi dia tetap menurutiku.

***

"Kalian sudah siap pulang?"

Aku, Luna dan Arka mengangguk. Kami kembali ke permukaan setelah menjemput Arka dan Luna di kota Irazanda. Untuk jaga-jaga, Dr. Elda ikut menemaniku--bersama Rai--ke permukaan.

"Sebaiknya kalian memiliki obat ini, untuk jaga-jaga," Dr. Elda menyodorkan dua toples kecil obat tradisional kota Irazanda pada Luna dan Arka. Mereka mengangguk, dan mengucapkan terima kasih.

"Ucapkan kalimatnya, Alona," sahut Dr. Elda, menoleh kepadaku.

Aku mengangguk, dan berseru di depan batang pohon besar, "Cirbana ot Etag!"

Seperti yang kuduga, portal biru setinggi orang dewasa terbuka. Pinggirannya berwarna keemasan dan biru.

"Sampai jumpa, Alona," sahut Dr. Elda, menepuk pundakku. Senyumannya yang hangat membuatku merasa tenang. Aku memegang tangannya, membalas dengan senyuman.

Kemudian, aku mencium tangannya. Dr. Elda sedikit terkejut, tapi dia tersenyum. Entah mengapa, wajahnya memperlihatkan kesenangan, sekaligus kesedihan.

Setelah itu, Luna dan Arka mencium tangan Dr. Elda. Mereka sempat berbicara dengan Rai, kemudian kembali berdiri di sisi kanan dan kiriku.

"Sampai jumpa, Rai, Dokter!" sahut kami bertiga, kemudian Luna perlahan masuk ke dalam portal, disusul Arka.

Aku melangkahkan kaki, akan masuk ke dalam portal, tapi langkahku terhenti. Aku memikirkan sesuatu sejak tadi.

Aku menoleh, menatap wanita cantik itu lamat-lamat. Kulihat sekilas, dia terkejut. Wajahnya merona. Entah mengapa. Rai yang bingung, menatap Dr. Elda.

Pippy yang kutunggu datang, akhirnya hinggap di pundakku.
Aku masuk ke dalam portal.

***

"Alona, kamu kok pucat?" tanya Arka, masih mengambang seperti sedang terbang di dalam portal. Luna juga. Mereka berdua sangat menyukai isi portal ini. Aku hanya terus bergerak maju. Pippy terus bermain-main di dalam portal.

"Ah, tidak, kok, Ka. Lukamu sudah sembuh?"

Dia mengangguk. "Obat itu ampuh banget, Lona. Lukaku langsung hilang tanpa bekas!"

Dia jujur. Batinku.

Setelah itu, Arka dan Luna bermain bersama Pippy di dalam portal.

Masih ada pertanyaan berat di kepalaku. Kenapa Dr. Elda tidak punya warna suara? Kenapa hanya dia yang warna suaranya yang tidak ada? Ini malah membuatku mengingat dia...

***

Kenapa Dr. Elda tidak memiliki warna suara? Kenapa hanya dia yang tidak bisa terlihat warna suaranya?

See you on {TWELVE}!

-A



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top