GTB 6: Perasaan Lain

Diandra

Diandra merapikan barang-barangnya ketika melihat waktu telah menunjukkan pukul 17:30. Tepat satu bulan ia sudah magang di Nationtrust Bank. Perusahaan yang bergerak di bidang perbankan ini memang sudah menjadi incaran Diandra, karena termasuk perusahaan besar dan bonafide. Tidak hanya magang, ia pun berharap bisa bekerja di perusahaan ini suatu hari nanti.

Diandra tidak sendiri magang di Nationtrust Bank, ia bersama teman dekatnya yang bernama Siena. Mereka berdua berada di satu departemen dengan atasan yang berbeda. Kendati belum mahir betul seluk beluk dan ruang lingkup pekerjaan yang dilakoninya, Diandra berusaha memahami dengan penuh minat.

Sebuah pesan dari Ansell mengalihkan perhatiannya dari ramainya pengunjung di halte bus depan kantor.

"Serius banget. Pasti dari Ansell," seru Siena dengan tatapan menyelidik. "Mau jemput kamu ya?"

Lagi. Tebakan gadis yang kini berdiri di sampingnya tidak salah. Akibat seringnya Ansell menjemput Diandra, beberapa temannya mengira kalau mereka berdua sedang menjalin kasih. Kendati Diandra sudah menjelaskan yang sebenarnya, tetapi mereka tetap saja tidak mau percaya. Diandra tidak bisa menutup segala macam komentar yang datang kepadanya, ia hanya mampu menahan diri agar tetap bersikap sesuai kebutuhannya.

Dalam pesannya, Ansell berkata sedang dalam perjalanan menjemputnya. Maka dari itu, Diandra memilih duduk ketika seorang wanita meninggalkan bangku halte demi berjalan menuju bus tujuannya. Ia lalu membalas oke kepada Ansell.

Terkadang, Diandra tidak habis pikir dengan isi pikiran Ansell. Padahal kemarin lelaki itu sudah menghabiskan waktu seharian bersamanya, dan sekarang masih saja mau bertemu dengannya. Menjemput Diandra pula. Memangnya Ansell tidak bosan ya, bertemu dengannya terus?

Bukan apa-apa, ia hanya takut terbiasa merepotkan Ansell. Diandra bukan tidak tahu kalau Ansell punya kesibukan lain, salah satunya bekerja. Namun, entah kenapa ia tidak bisa menolak tawaran lelaki itu atau memang ia justru senang bila diperhatikan oleh Ansell. Ya, tidak bisa dipungkiri ia memang senang memiliki Ansell di sisinya.

"Di, gue duluan ya!" Siena melambaikan tangan ketika bus tujuannya sudah tiba di depan halte.

"Iya, hati-hati, Sie! Sampai ketemu besok." Gadis itu balas melambaikan tangan sampai akhirnya naik ke bus meninggalkan Diandra yang masih menunggu dijemput.

Dari jarak 5 meter di seberang jalan, Diandra bisa melihat sosok Ansell dengan seorang gadis. Ia sudah hafal betul motor dan helm lelaki itu meski dari jarak jauh, jadi tidak mungkin salah lihat. Diandra menyipitkan matanya sekali lagi agar bisa melihat jelas sosok gadis yang Ansell turunkan di halte seberang. Dari postur badannya rasanya tidak asing, tetapi ia masih belum bisa mengenalinya.

Diandra masih memperhatikan gadis yang tampak misuh-misuh di bangku halte, ketika Ansell terlihat turun dari motornya. Keduanya tengah berbincang singkat sampai akhirnya Ansell kembali ke atas motornya dan pergi begitu saja. Gadis yang dilihat Diandra itu lalu merogoh ponselnya dan melakukan panggilan. Mungkin menelepon keluarga atau temannya, pikir Diandra.

"Gimana magang kamu, lancar kan?" tanya Ansell saat keduanya sudah sampai di depan rumah Diandra.

"Masih beradaptasi sih, tapi semuanya oke kok."

"Syukur deh kalau begitu. Betah-betahin ya, biar kamu dapat pengalaman dan nilai yang bagus." Diandra memasang senyum diikuti harapan agar semua rencananya bisa berjalan dengan baik.

"Sel!"

"Hmm."

"Tadi aku lihat kamu nurunin cewek di halte seberang tempat aku nungguin kamu."

"Oh, kamu lihat?" Diandra mengangguk seraya memandang wajah Ansell yang tampak kikuk sebelum memenuhi rasa penasaran gadis di depannya, lalu lelaki itu menambahkan, "Itu Viona. Temen satu jurusan sama Krystal. Tadi aku mau ngasih tebengan cuma pas di tengah perjalanan baru inget kalau ternyata aku punya janji nganterin kamu, Di."

"Pantesan dia kelihatan marah-marah. Aku jadi enggak enak."

"Dia sih udah biasa marah-marah begitu."

"Tapi harusnya kamu enggak boleh kayak begitu loh, Sel!"

"Iya, aku yang salah dan aku udah minta maaf. Dia aslinya baik kok, jadi jarang marah sama aku. Udah ya, kamu enggak perlu merasa bersalah begitu." Ansell menepuk bahunya dua kali sembari mmasang senyum dan hal itu membuat Diandra bertanya lebih jauh.

"Jangan baperin anak gadis orang, Sel, kasihan!" Akhirnya, kalimat itu justru yang keluar dari mulut Diandra.

"Hey, mana ada begitu. Ada juga aku yang dibaperin kamu, Di." Tawa mengejek Ansell terbit yang langsung dihadiahi cebikan di bibir bawah milik Diandra. Lelaki itu lantas pulang usai pamit kepada Devina, Mama Diandra, yang kebetulan sedang berada di depan rumah.

Diandra menggandeng lengan Devina, lalu bercerita tentang kejadian hari ini secara detail. Tidak hanya tentang Ansell, seputar pekerjaannya pun ia tumpahkan kepada sang mama. Beruntungnya, Diandra punya orangtua yang menghormati kehidupan pribadi anak-anak mereka, meskipun awalnya Devina juga banyak bertanya soal teman dekatnya, termasuk Ansell. Jadi, sebelum mamanya bertanya lebih banyak, biasanya Diandra sudah membagi cerita lebih dulu.

"Minggu depan Dinda jadi pulang, Ma?"

"Jadi. Dia mau naik kereta, nanti kita jemput di stasiun."

Tidak seperti Diandra, adiknya, Dinda sekolah di Purwekerto dan memilih tinggal bersama sang nenek. Sejak kecil, Dinda memang sudah diasuh oleh neneknya karena pada waktu itu Devina harus bekerja dan mengurus Diandra. Rentang usia Diandra dengan sang adik hanya berjarak dua tahun yang membuat Devina sedikit kerepotan. Apalagi saat itu sang mama baru mendapat promosi jabatan yang dituntut mengedepankan profesionalitas dalam memimpin tim barunya.

"Kamu sudah makan belum, Di? Mama lagi malas masak nasi lagi nih soalnya papa lembur, dan sudah pasti bakalan makan malam di kantor."

"Udah kok, Ma. Tadi mampir di jalan dulu makan bareng Ansell. Mama sendiri, memangnya udah makan?"

"Mama lagi malas makan nasi, Di. Penginnya makan sekoteng, nanti nunggu abang yang biasa lewat saja."

"Jam segini memangnya belum lewat, ya?"

"Belum. Nanti biasanya habis azan isya. Oh ya, Di, kemarin Dinda bilang, kalau sampai Jakarta mau barbeque-an."

"Di mana?"

"Di rumah saja. Mama kan, sudah punya alat panggangnya. Kompor portable juga ada. Kamu nanti bantu mama beli segala keperluannya, ya!"

"Oke deh."

Setelah mengobrol banyak hal dengan sang mama, Diandra memilih mandi dan ganti baju. Ia juga perlu menulis laporan kegiatannya hari ini. Diandra lalu mengambil catatan miliknya untuk mengeluarkan isi pikirannya pada selembar kertas putih. Tak lupa, ia juga menulis keperluan untuk barbeque nanti. Mumpung Diandra sedang ingat, pikirnya.

Satu per satu segala hal yang diperlukan mulai Diandra catat. Bahan pokok, bumbu pelengkap, camilan serta minuman. Bicara soal minuman, ia jadi ingin menambahkan es teler ke dalam menu. Sepertinya Diandra harus bertanya kepada Krystal, karena ia ketagihan pada minuman itu sewaktu menikmatinya di rumah Widhy.

Diandra menghentikan jarinya di atas kertas, pandangannya menerawang ke sembarang arah. Sekelebat memori terlintas dalam pikirannya, cukup jelas hingga membuat dirinya agak terkejut. Diandra akhirnya berhasil mengingat sosok gadis yang dibonceng Ansell tadi. Ya, di rumah Widhy. Waktu mereka merayakan kelulusan Keanu sekaligus lamaran Widhy dengan Dhisti.

Namanya Viona seperti yang Ansell katakan tadi. Diandra juga sering mendengar nama itu dari Krystal, tetapi belum pernah hangout bersama mereka.

Ah, jadi gadis itu yang Ansell antar hari ini? Gadis yang menyukai Ansell. Ia tahu betul perasaan Viona hanya melihat dari tingkah laku gadis itu ketika berinteraksi dengan Ansell.

Namun, kenapa tiba-tiba Diandra merasa resah mengingat fakta yang satu itu?

22 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top